Sistem penjara di Hindia-Belanda sangatlah berbeda dengan sistem penjara masa kini. Pada masa kolonial, para narapidana jarang sekali dikurung dalam jeruji besi,tetapi dikerahkan dalam berbagai proyek kolonial seperti ekspansi militer, pembangunan infrastruktur, pertambangan dan produksi komoditas perkebunan.
Sistem Penjara
Terdapat dua karakteristik penting dalam sistem penjara di Hindia-Belanda. Pertama, penjara yang dibuat di tanah koloni bukanlah tempat pembuangan narapidana dari Belanda, karena kebanyakan narapidana berasal dari Hindia-Belanda.
Kedua, penjara bukanlah tempat rehabilitasi yang digunakan untuk mengurung narapidana. Para pengambil kebijakan kolonial percaya bahwa penduduk di tanah koloni tidak memiliki kemampuan untuk berubah atau memperbaiki diri. Karena itu, label penjara (gevangenissen) diberikan untuk tempat kerja narapidana, yang kebanyakan bekerja di pertambangan dan proyek infrastruktur.
Sistem penjara ini dikembangkan oleh VOC pada abad ke-17 dan 18. VOC mempekerjakan narapidana untuk kerja paksa di lima pulau narapidana: Onrust dan Edam (dekat Batavia), Rosingain (Banda), Pulau Robben (Tanjung Harapan), dan Allelande (Tuticorin). Di pulau-pulau itu, para narapidana dipekerjakan di dermaga, pabrik tali, atau mengumpulkan batu kapur dan kayu (Rossum, 2018).
Pola sistem penjara VOC masih diteruskan pada masa pemerintah kolonial. Pola penahanan dan penggunaan tenaga kerja narapidana hanya berubah secara bertahap, menyesuaikan dengan strategi eksploitasi kolonial yang berkembang pada abad ke-19 dan 20.
Pada abad ke-19, perkembangan sistem penjara tidak bisa dilepaskan dari penghapusan perdagangan budak. Para narapidana dikirim ke pertambangan (Banka dan Padang), pekerjaan umum (Batavia dan Semarang), dan perkebunan (Banda dan Jawa). Mereka menggantikan posisi para budak yang sepanjang abad ke-17 dan 18 menjadi poros utama penggerak roda ekonomi.
Anthony Reid menganggap penting posisi pekerja narapidana dalam sistem kerja paksa. Ia berpendapat bahwa pemerintah kolonial menggunakan narapidana untuk membuka perbatasan koloni, menggantikan pekerja rodi yang tidak bisa dikirim jauh dari tempat tinggal. Dalam prosesnya, hukuman penjara menjadi bentuk hukuman yang umum untuk setiap kejahatan (Reid, 1993).
Sistem penjara yang berkembang tidak bisa dilepaskan dari fungsinya sebagai alat kontrol sosial. Hal serupa juga berlaku di Hindia-Belanda. Seluruh mekanisme yang dikembangkan bertujuan untuk mengamankan ketertiban umum dan mengontrol tenaga kerja melalui administrasi peradilan lokal.
Sistem peradilan kolonial di Hindia Belanda terdiri dari berbagai pengadilan, mulai dari Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi) di Batavia hingga pengadilan lokal (untuk orang Eropa), dan landraden, hakim polisi, dan pengadilan lokal ( untuk subjek kolonial).
Hanya kasus pidana serius, seperti pembunuhan atau pencurian besar, yang dapat dihukum dengan hukuman lama dan ditangani oleh pengadilan pidana, landraden dan Raad van Justitie.
Lihat juga: Bandit-Bandit di Jawa Masa Kolonial
Semua pelanggaran “kecil” dan kejahatan lainnya ditangani oleh politierol. Gubernur, asisten gubernur, dan bupati diberi wewenang untuk mengadili kejahatan dan pelanggaran ringan di bawah politierol. Perkara yang ditangani meliputi pelanggaran ketenagakerjaan, mobilitas, dan ketertiban umum.
Bentuk hukuman kerja terpidana perkara ringan disebut tenarbeidstelling berupa hukuman kerja jangka pendek, mulai dari beberapa hari hingga tiga bulan. Narapidana yang dihukum kerja paksa lebih dari tiga bulan tidak terdaftar di bawah tenarbeidstelling (kerja narapidana jangka pendek), tetapi di bawah dwangarbeid (kerja narapidana jangka panjang).
Kerja paksa tidak hanya berlaku bagi narapidana tetapi juga tahanan. Jonkers (1946) dalam Handboek van het Nederlandsch-Indische, menyatakan “perbedaan utama antara hukuman penjara (gevangenisstraf) dan penahanan (hechtenis) adalah narapidana dapat dikirim ke luar daerah untuk menjalani hukumannya, sedangkan tahanan tidak harus menjalani hukuman di luar daerah tempat tinggal.”
Narapidana dan Proyek Kolonial
Menjelang abad ke-20, jumlah narapidana terus mengalami kenaikan. Jumlah tenarbeidstelling mengalami peningkatan dari 69.500 pada tahun 1870 menjadi 275.000 pada tahun 1900. Kenaikan juga diikuti oleh narapidana jangka panjang dari 10.000 pada 1870 menjadi 57.000 pada tahun 1920 (“De rottingstraf”, De locomotief, 14 January 1875).
Selain fungsi disipliner, penjara juga memiliki fungsi penting untuk mendukung proyek kolonial. Narapidana dipekerjakan dengan tujuan memaksimalkan penggunaan tenaga kerja dan meminimalkan biaya produksi.
Masih digunakannya pekerja narapidana di abad ke-20, sejalan dengan instruksi kepala kementerian hukum kolonial yang menyatakan “sangat penting untuk memilih pekerjaan yang menghasilkan keuntungan moneter setinggi mungkin untuk mengimbangi biaya perumahan, kontrol, dan makanan para narapidana” (De Sumatra Post, 22 August 1905). Dari perspektif ini, tidak mengherankan apabila para narapidana dipekerjakan di sektor-sektor vital proyek kolonial.
Sistem kerja paksa diatur oleh Kepala Kementerian Hukum. Setiap harinya narapidana diwajibkan bekerja sembilan jam, sedangkan tahanan diwajibkan bekerja delapan jam. Narapidana menerima imbalan uang hanya untuk pekerjaan lembur yang mereka kerjakan di luar jam kerja.
Sebagian besar narapidana bumiputera jangka pendek di tempatkan di kettinggangerskwartieren, tempat narapidana saat tidak bekerja. Sementara untuk narapidana jangka panjang ditempatkan di dwangarbeiderskwartier. Tempat tinggal para narapidana tersebar di seluruh Hindia-Belanda.
Karena cuaca panas, jarang sekali para narapidana dikurung di sel-sel di Hindia-Belanda. Beberapa penjara bahkan terlihat sangat informal, seperti di penjara di Glodok. Para penjaga toko di sekitar penjara sering kali melemparkan makanan ke dinding untuk para narapidana dan penjaga penjara cukup bersahabat (van Till, 2011).
Penempatan narapidana dapat dibedakan berdasarkan durasi hukuman yang dijalani. Narapidana yang menjalani hukuman jangka pendek atau menengah dipekerjakan untuk pembangunan infrastruktur perkotaan, seperti pembangunan jalan dan rel kereta api; dan pemeliharaan saluran air.
Sejak abad ke-19, narapidana jangka lama ditugaskan melakukan kegiatan ekstraktif di lokasi yang lebih terpencil, seperti tambang dan koloni pertanian. Selain itu, mereka juga sering dipekerjakan untuk pekerjaan yang membutuhkan mobilitas tinggi seperti ekspedisi militer (Rossum, 2018).
Dalam ekspedisi militer, narapidana ditugaskan sebagai kuli angkut dan buruh umum. Selama Perang Aceh berlangsung antara tahun 1873 dan 1903, sekitar 500 hingga 1.000 narapidana dipekerjakan setiap tahun. Sedangkan ekspedisi Van Heutsz pada tahun 1898 melibatkan lebih dari 3.800 narapidana (Reid, 1993).
Narapidana juga dikirim pada ekspedisi jenis lain, terutama misi eksplorasi geologi di bawah komando ahli pertambangan dan geologi.
Para narapidana berperan penting dalam proyek eksplorasi tambang batubara di Ombilin pada 1892. Mereka ditugaskan untuk membangun rel kereta yang menghubungkan Ombilin dan Padang.
Tidak hanya itu, saat tambang mulai beroperasi sekitar 300 tenaga narapidana dipekerjakan pada Januari 1893. Jumlah narapidana di Ombilin terus meningkat mencapai 4.747 pada 1922 (Erwiza, 1996).
Meskipun narapidana memiliki peran penting dalam proyek kolonial, siksaan dan perlakuan brutal sering mereka terima di penjara. Di Ombilin, para narapidana yang tidak disiplin sering disiksa menggunakan tongkat rotan. Akibatnya tidak jarang narapidana berusaha melarikan diri dari penjara.
Baca juga: Kehidupan Buruh di Tambang Batu Bara Ombilin Masa Kolonial
Pada abad ke-20, kontrol Kementerian pekerjaan umum/Burgerlijke Openbare Werken (BOW) terhadap pekerja narapidana semakin kuat. Hal ini terlihat dengan semakin masifnya penggunaan tenaga kerja narapidana dalam proyek infrastruktur, seperti di Pulau Panda pada awal 1920an dan Korintji Sumatra Barat (Hamerster, 1926). Peningkatan penggunaan tenaga kerja narapidana ini tidak bisa dilepaskan dari menurunnya penggunaan tenaga kerja rodi pada abad tersebut.
Sistem penjara terus berkembang pada abad ke-20. Pemerintah kolonial yang melihat potensi dari narapidana mulai mengembangkan tempat tinggal narapidana menjadi tempat produksi.
Di penjara Tjipinang di Batavia pada tahun 1930, 2.400 narapidana ditugaskan memproduksi pakaian, sprei, seragam, perabotan, dan barang-barang lain yang dibutuhkan oleh berbagai departemen pemerintah kolonial atau tentara.
Penjara Mlaten di Semarang digunakan sebagai kleermakerij, bengkel untuk produksi pakaian. Sementara penjara Yogyakarta yang menampung lebih dari 1.000 narapidana pada pertengahan 1920-an, difungsikan sebagai bengkel kulit. Tidak hanya itu, narapidana juga diberi insentif untuk meningkatkan produksi.
Di samping pabrik-pabrik penjara ini, pemerintah kolonial menciptakan sebuah koloni pertanian di pulau Nusakambangan. Setelah dibuka pada tahun 1903, koloni itu digunakan sebagai perkebunan karet yang menggunakan tenaga kerja narapidana.
Pada tahun 1922, Nusakambangan menampung lebih dari 3.200 narapidana, sebagian besar bekerja sebagai pengumpul karet dan pekerjaan lain yang berhubungan dengan perkebunan (De Indische Courant, 1922).
Daftar Pustaka
De Indische Courant. Oost-Java Editie, 18 October 1922.
De Locomotief, 14 January 1875.
De Sumatra Post, 22 August 1905
Erwiza, Erman. Miners, Managers and the State: A Socio-political History of the Ombilin Coalmines, West Sumatra, 1892–1996. Disertasi: Universitas Amsterdam, 1996.
Hamerster, M. Bijdrage tot de kennis van de afdeeling Asahan. Amsterdam, 1926.
Jonkers, J.E. Handboek van het Nederlandsch-Indische Strafrecht. Leiden, 1946.
Reid, A. “The Decline of Slavery in Nineteenth-Century Indonesia”, dalam Martin Klein (ed.), Breaking the Chains: Slavery, Bondage, and Emancipation in Modern Africa and Asia. London, University of Wisconsin Press, 1993.
van Rossum, Matthias. “The Carceral Colony: Colonial Exploitation, Coercion, and Control in the Dutch East Indies, 1810s–1940s.” International Review of Social History 63, no. S26, 2018: 65–88. doi:10.1017/S0020859018000226.
__________________. “The Dutch East India Company in Asia, 1595-1811,” dalam C. Anderson (ed.), A Global History of Convicts and Penal Colonies. Bloomsbury, 2018.
Van Till, Margreet. Banditry in West Java 1862-1942. Singapura: National University of Singapore Press, 2011.