Berbagai peristiwa penting pernah terjadi di Tanjung Priok. Seiring kapal-kapal yang datang dan pergi di pelabuhannya, berbagai kisah hidup manusia pun bergulir di tempat ini. Salah satu peristiwa besar yang terjadi di Priok adalah peristiwa berdarah yang terjadi pada 12 September 1984. Sebuah peristiwa yang sampai kini masih menorehkan luka menganga dalam lembaran sejarah bangsa Indonesia.
Banyak orang mungkin telah lupa pada apa yang terjadi di Tanjung Priok pada bulan September tahun 1984. Jangankan sebuah peristiwa yang terjadi 34 tahun yang lalu, untuk peristiwa yang baru terjadi beberapa hari yang lalu pun, kita barangkali sudah melupakannya.
Tidak sedikit pula tragedi kemanusiaan lain yang dilupakan dan tidak dipedulikan masyarakat Indonesia, namun pertanyaannya mengapa kita sebagai makhluk sosial bisa tidak peduli pada tragedi kemanusiaan semacam peristiwa Tanjung Priok?.
Pertama, kita bisa tidak peduli karena kita takut. Kedua, kita tak peduli karena tak tahu bagaimana cara untuk peduli. Ketiga, kita tidak peduli karena kita telah menjadi manusia tanpa hati nurani.
Bila kita tidak peduli karena sebab pertama, mungkin karena kita telah ditempa menjadi manusia-manusia penakut selama puluhan tahun tanpa kita sadari. Bila kita tak peduli karena sebab kedua, berarti kita masih selamat dari wabah ketakutan yang membelenggu hidup kita dan mungkin kita baru terjangkit gejalanya saja. Sementara bila kita tak peduli karena sebab ketiga, berarti wabah itu telah meracuni seluruh jiwa-raga kita.
Kabar yang Memicu Kemarahan: Latar Belakang Tragedi Berdarah Tanjung Priok
Tanggal 10 September 1984, sebuah kabar berhembus kencang di lingkungan gang 4 Koja. Kabar tersebut menyatakan bahwa pada 8 September 1984 babinsa setempat bernama Sertu Hermanu, dikabarkan telah memasuki mushola (yang dianggap tempat suci/bersih oleh umat Islam) tanpa melepas sepatu.
Kabar itu semakin menyulut kemarahan setelah terdengar info tambahan, bahwa babinsa tersebut juga turut menggunakan air kotor dari selokan untuk menghapus pamflet berisi protes penolakan penerapan asas tunggal pancasila dan kebijakan pemerintah lainnya yang tertempel di papan pengumuman mushola.
Beberapa pemuda yang terpancing amarahnya, mencari babinsa tersebut. Mereka adalah Saripudin Rambe, Ahmad Sahi, Sofwan Sulaiman, dan Nur Muhamad.
Setelah bertemu, mereka mencoba untuk menyerang babinsa itu yang sedang mengobrol dengan teman-temannya. Tidak hanya melakukan penyerangan, mereka juga membakar motor Sertu Hermanu. Akibat penyerangan itu, empat pemuda yang terlibat penyerangan diamankan di kodim Jakarta Utara (Kontras, 2004: 38).
Setelah peristiwa penangkapan empat pemuda musholla itu, salah seorang tokoh masyarakat setempat bernama Amir Biki berinisiatif mengumpulkan tokoh masyarakat untuk memberikan arahan agar masalah ini tidak dibesar-besarkan. Ia juga berjanji mengupayakan pembebasan keempat pemuda tersebut. Namun usaha yang dilakukan Amir Biki untuk membebaskan empat pemuda yang ditahan tidak membuahkan hasil.
Sebelum kejadian penangkapan itu, situasi daerah Jakarta Utara khususnya Tanjung Priok memang sudah cukup panas. Beberapa sebabnya, karena aktivitas kajian agama yang banyak berisi penolakan terhadap pemberlakuan Azas Tunggal Pancasila, kebijakan pilih kasih terhadap etnis Cina dan kebijakan pemerintah lainnya Karena itu, emosi masyarakat pun meluap dan muncul semangat untuk menentang pemerintah.
Masalah penghapusan Piagam Jakarta dan penerapan Azas Tunggal Pancasila memang telah menjadi salah satu isu panas sejak awal dekade 1980an (Bourchier, 2003: 14). Para ulama dan da’i yang bermusyawarah menghasilkan sebuah keputusan untuk mengadakan serangkaian Tabligh Akbar di Jakarta dan sekitarnya.
Dalam Tabligh Akbar itu, isi pengajian bertujuan memberikan pemahaman tentang Akidah Islamiah dan menerangkan terhapusnya Piagam Jakarta diganti dengan azas tungal Pancasila. Para penceramah menganggap penghapusan Piagam Jakarta sama saja dengan menghilangkan azas Islam dari GBHN. Para da’i juga menerangkan bahwa tidak ada lagi azas Islam di dalam azas tunggal Pancasila.
Sementara untuk isu keberpihakan pemerintah terhadap ekonomi etnis Cina memang tidak dapat sepenuhnya dianggap salah.
Akan tetapi, negara pimpinan Soeharto juga menindas kebudayaan Tionghoa, menutup sekolah-sekolah Tionghoa, melarang penerbitan-penerbitan berbahasa Tionghoa, tidak memberikan porsi mencukupi di politik dan yang paling penting meresmikan istilah “Cina” yang berbau penghinaan rasialis, sebagai pengganti istilah “Tionghoa” yang netral dan telah lazim.
Dengan kata lain, keturunan Cina mendapat kedudukan istimewa dalam perekonomian, tetapi dikucilkan dari kancah politik dan budaya (Anderson, 1983: 491).
Tabligh Akbar
Karena keempat pemuda itu tidak kunjung dibebaskan, pada 12 September 1984 beberapa tokoh agama menggelar tabligh akbar di Jalan Sindang, Tanjung Priok untuk memprotes aparat dan pemerintah yang dipimpin oleh Amir Biki.
Pada awal pengajian, Amir Biki naik mimbar untuk mengobarkan semangat jamaah dan menyerukan ultimatum bahwa apabila jam 23:00 keempat pemuda belum dibebaskan, maka jamaah bergerak ke kodim (Bourchier, 2003: 154).
Dalam takbligh akbar itu setidaknya ada beberapa point penting yang disampaikan para penceramah:
- Perlakuan tidak adil pemerintah terhadap kebijakan pembangunan tempat ibadah,
- Adanya kebijakan pemerintah tentang Keluarga Berencana yang dianggap haram oleh mereka,
- Keberpihakan pemerintah terhadap keturunan Cina yang mengakibatkan rakyat menderita,
- Penerapan asas tunggal Pancasila dan tidak diakuinya Piagam Jakarta,
- Kasus babinsa masuk musholla tanpa melepas sepatu serta penangkapan empat pemuda.
Akibat dari ceramah-ceramah provokatif yang disampaikan, emosi peserta tabligh yang kebanyakan berasal dari kelas bawah terdiri dari berbagai suku, dan tinggal di daerah padat menjadi semakin tidak stabil.
Baca juga: Kisruh Pembangunan Waduk Kedung Ombo
Menjelang pengajian berakhir tepatnya pukul 22:30, Amir Biki naik mimbar. Ia berbicara masalah pemuda yang ditahan di Kodim. Kemudian menerangkan bahwa ia telah ke Kodim untuk memohon keempat orang tersebut dibebaskan, namun tidak berhasil. Oleh sebab itu, Amir Biki mengajak jamaah untuk beramai-ramai datang ke Kodim 0502 Jakarta Utara untuk meminta pembebasan keempat pemuda tersebut.
Amir Biki berkata, “Kita tunggu sampai jam 23.00 WIB, apabila keempat orang ini tidak dibebaskan juga, maka kita semua ke Kodim! Malam ini akan ada banjir darah. Karena saya tahu moncong senjata TNI telah diarahkan ke kepala saya! Apabila saya meninggal malam ini, saya minta kepada jamaah untuk mengusung jenazah saya keliling Jakarta!” (Kontras, 2004: 8; Bourchie: 153).
Setelah pengajian berakhir dan keempat pemuda tersebut tidak kunjung dibebaskan, Amir Biki memerintahkan jamaah tabligh untuk berjalan menuju kodim untuk meminta keempat tahanan itu dibebaskan . Massa yang sudah kalap emosinya pun bergerak sebagian menuju Koja dan sebagian lagi menuju Kodim seperti yang diperintahkan Amir Biki.
Tabglih yang Berakhir Tragis
Saat massa yang sudah terpancing emosinya itu bergerak menuju Kodim, dari kejauhan nampak aparat yang dipimpin oleh Danru Serda Sutrisno Mascung dan Kasi II Kodim Jakarta Utara Kapten Sriyanto telah bersiaga untuk menghadang massa. Meskipun demikian, massa tetap ngotot bergerak maju.
Karena semangatnya, massa tidak menghiraukan ajakan Kapten Sriyanto agar pimpinan massa sabar dan bersedia berunding. Bahkan, senjata Prada Muhson direbut massa dan terjadilah kericuhan. Kapten Sriyanto terdesak ke belakang akibat massa yang brutal.
Melihat kondisi ini, tanpa adanya perintah Prada Prayogi menembak ke atas sebagai tanda peringatan, namun massa tetap maju, untuk kedua kalinya Prada Prayogi menembak ke arah bawah. Tembakan Prada Prayogi, tanpa komando diikuti oleh tembakan anggota regu yang lain ke arah massa sehingga menimbulkan korban (Hadiz, 2003).
Suara tembakan tiba-tiba terdengar dari arah aparat yang menghadang, massa pun panik karena tembakan tersebut langsung diarahkan ke arah mereka. Lama bunyi tembakkan kira-kira 5 sampai 10 menit. Entah apa yang ada di pikiran tentara saat itu, sehingga mereka tiba-tiba memberondong tembakan ke massa.
Menurut keterangan Husain Safe yang tergabung dalam massa saat itu, banyak kawan-kawannya roboh akibat tembakan tersebut, ada yang terluka dan ada yang meninggal di tempat.
Setelah beberapa saat rombongan Amir Biki datang, TNI yang melihatnya langsung bersiap untuk kembali melepaskan tembakan. Amir Biki memang menjadi tokoh sentral dalam memobilisasi massa, karena itu saat Amir Biki telah terlihat beberapa pasukan berteriak “habisi saja”.
Senapan-senapan TNI pun akhirnya ditembakan ke arah rombongan Amir yang datang belakangan. Tembakan itu menyebakan ia dan beberapa orang rombongannya roboh, sementara sisa rombongan yang berusaha melarikan diri terus dikejar tentara.
Kumpulan orang yang beberapa menit sebelumnya penuh dengan kemarahan, kini tergeletak di jalan dan hanya bisa merintih kesakitan bagi yang masih hidup.
Tidak berselang lama kemudian pasukan TNI lain bersama truk pengangkut datang datang. Para korban penembakan kemudian diseret dan dilemparkan ke dalam truck satu persatu. Kondisi saat itu sangat menakutkan, karena orang-orang itu ditumpuk baik yang masih hidup atau pun yang sudah mati.
Setelah selesai dinaikkan semua, mobil mulai melaju. T ujuan pertama mobil ini adalah Kodim 0502, setelah itu mobil terus bergerak menuju Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo, namun setibanya di sana sebelum para korban diturunkan ada perintah untuk membawa truck ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD).
Setibanya di rumah sakit itu, para korban mulai diturunkan satu persatu. Di rumah sakit tersebut, TriSutrisno dan LB. Moerdani, dua orang yang paling bertanggung jawab atas peristiwa tersebut menampakkan diri dan bergerak menuju ruang mayat (Salim: 571; Kontras, 2004: 14).
Setelah peristiwa berdarah itu, sempat muncul informasi yang simpang-siur mengenai jumlah korban. Beberapa saksi korban menyatakan bahwa korban meninggal dan luka-luka mencapai ratusan orang.
Pengakuan ini didukung oleh surat dari seseorang bernama Bejo Sumawinata yang mengaku telah menerbangkan/mengangkut korban meninggal sebanyak 329 orang ditambah 16 orang sehingga berjumlah 345 orang dengan pesawat heli jenis BO dalam empat kali penerbangan pulang-pergi.
Jumlah tersebut sangatlah banyak apabila benar. Namun, berdasarkan laporan Komnas Perempuan para saksi yang menyatakan jumlah korban sampai ratusan orang, ternyata mereka tidak pernah menghitung langsung, tetapi keterangan tersebut berdasarkan kesan dan perkiraanbelaka.
Sementara itu, informasi bahwa ratusan jenazah yang diangkut menggunakan helikopter ternyata hanya hoax belaka, karena tidak mungkin helikopter itu dapat mengangkut ratusan jenazah dalam empat kali perjalanan (kapasitas helikopter hanya enam jenazah sekali perjalanan).
Menurut Panglima ABRI saat itu, L.B. Moerdani, terdapat 18 orang tewas dan 53 orang luka-luka, sementara menurut Laporan Investigasi Komnas Perempuan, terungkap bahwa jumlah korban yang meninggal sebanyak 23 orang, luka dirawat 36 orang dan luka tidak dirawat sebanyak 19 orang, sehingga total 78 orang korban (Hadiz, 2003).
Meskipun demikian jumlah korban bukanlah masalah sebenarnya, namun provokasi terhadap massa dan penembakan yang dilakukan oleh aparat adalah permasalahan utama.
Tanpa adanya provokasi yang dilakukan oleh para tokoh masyarakat saat itu, kecil kemungkinan jamaah akan terpancing emosinya yang pada akhirnya nekat bergerak ke kodim.
Celakanya, sikap-sikap provokatif mengatasnamakan agama ini masih sering dipakai, bahkan hingga sekarang. Mobilisasi massa menggunakan semangat agama memang sangat efektif diterapkan di negara-negara berkembang, oleh sebab itu model mobilisasi seperti ini masih laris digunakan.
Di lain pihak, keputusan yang dibuat oleh tentara yang berjaga saat itu juga tidak dapat dibenarkan. Tanpa adanya sebuah pembicaraan, tentara langsung memberondong orang-orang tersebut. Akibatnya, banyak korban berjatuhan.
Kondisi ini diperparah dengan kenyataan bahwa aparat tidak melakukan upaya mencari keluarga korban meninggal maupun luka, sehingga keluarga korban mendapat informasi keberadaan dan kondisi korban. Mereka hanya mengumumkan agar keluarga yang merasa kehilangan anggota keluarganya supaya datang ke Kodim Jakarta Utara.
Hal tersebut dirasa semakin menambah penderitaan korban maupun keluarga yang merasa anggota keluarganya (korban) tidak kunjung pulang. Ini merupakan kejahatan kemanusiaan serius yang tidak dapat dibenarkan.
Daftar Pustaka
Anderson, Benedict R. O’G. 1983. “Old State, New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective”. The Journal of Asian Studies, Vol. 42, No. 3.
Bourchier, David dan Vedi R. Hadiz. 2003. Indonesian Politics and Society: A Reader. London: RoutledgeCurzon.
Hadiz, Liza dkk. 2003. Laporan Investigasi Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur, Maluku, Tanjung Priok, dan Papua. Jakarta: Komnas Perempuan.
Said, Salim. 2013. Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian. Bandung: Mizan.
S.D., Subhan & Gunawan, FX Rudy (ed.). 2004. Mereka Bilang di Sini Tidak Ada Tuhan: Suara
Korban Tragedi Priok. Jakarta: GagasMedia