Mengupas Sejarah Pan-Islamisme

Share your love

2000px-Star_and_Crescent.svg

Masuknya pengaruh Barat ke dunia Islam pada abad 19, membuat keadaan umat Islam yang sebelumnya sudah terpuruk akibat adanya ajaran tarekat yang menyimpang, menjadi semakin terpuruk lagi. Melihat hal yang demikian, para pembaharu Islam mencoba menggagas pemikiran-pemikiran yang sekiranya mampu membangkitkan umat Islam dari keterpurukan ini. Banyak ide bermunculan misalnya seperti pemurnian agama, modernisasi di beberapa bidang, memajukan pendidikan, hingga mengubah struktur dalam pemerintahan Islam. Namun di antara beberapa ide pembaharuan tersebut terdapat ide lain yang lebih menarik, yakni Pan-Islamisme.

Paham Pan-Islamisme berkembang sebagai respon atas hegemoni pengaruh Barat di dunia Islam. Paham yang menginginkan bersatunya seluruh umat Islam di bawah satu kepemimpinan khalifah. Meskipun banyak yang mendukung adanya paham ini, tetapi dalam perjalanannya, paham ini tidak terlalu memberi pengaruh yang signifikan bagi dunia Islam. Pan-Islamisme ini semakin menarik untuk dibahas karena upaya realisasinya yang ternyata tidak mudah karena mendapat pertentangan dari beberapa pihak.

Pengertian Pan-Islamisme

Pan-Islamisme (al-Jami’ah al-Islamiyyah) adalah adalah paham politik keagamaan yang dikembangkan oleh para pemimpin muslim pada perempat terakhir abad ke-19. Secara luas, Pan-Islamisme dapat diartikan sebagai rasa solidaritas di antara seluruh umat Islam (ukhuwah islamiyyah) yang telah ditanamkan sejak masa Nabi Muhammad saw. Ini merupakan masalah penting dan selalu diupayakan terwujud dari masa ke masa.

Ada dua hal yang mampu memperkokoh solidaritas umat Islam, yakni ibadah haji dan khilafah. Ibadah haji merupakan salah satu kewajiban umat Islam bagi yang mampu dan sebagai muktamar akbar Pan-Islamisme. Mereka yang datang dari seluruh pelosok dunia membicarakan tentang keadaan negerinya masing-masing untuk dipecahkan secara bersama-sama.

Sementara khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah dulu pernah mengembangkan wilayah Islam ke bekas kekuasaan Romawi Timur, Persia, dan India, lalu berlanjut hingga ke Eropa melalui Spanyol, dan sebelum bangsa Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan menghancurkan pusat pemerintahan Islam di Baghdad tahun 1258. Peranan khilafah kemudian berpindah ke tangan Kerajaan Turki Usmani, meskipun tidak diakui seluruh umat Islam.

Sejarah Kemunculan Pan-Islamisme

Paham Pan-Islamisme muncul sebagai reaksi langsung terhadap pengaruh Barat mengenai ide nasionalisme. Ide nasionalisme dianggap mampu memecah umat Islam yang pada awalnya berada dalam satu kepemimpinan pemerintahan Islam. Pan-Islamisme ditopang oleh adanya ide tentang umat berdasarkan ukhuwah islamiyyah, lembaga keilmuan dan pendidikan yang terbuka, Mekah sebagai pusat pertemuan dan ibadah, serta adanya figur khalifah.

Solidaritas umat Islam ini ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan intelektual dan religio-politis yang menyadarkan umat betapa pentingnya peranan solidaritas umat. Ketegasan memperkuat identitas keislaman telah dibarengi dengan munculnya gerakan tarekat, dan gerakan-gerakan pemurnian agama.

Paham Pan-Islamisme mulai diperjuangkan oleh Wahhabiyah di Arab, dan berpengaruh ke dunia Islam hingga Indonesia. Gerakan ini berusaha untuk mem-bangkitkan Islam dari kebekuan dan memperbaiki dekadensi moral. Kebangkitan itu kemudian berubah menjadi gerakan anti-Barat ketika Barat mulai merebut wilayah-wilayah Islam.

Penguasaan Barat atas wilayah-wilayah Islam sebenarnya telah menyadarkan umat Islam untuk mengusir mereka dari daerah tersebut. Namun kekuatan Islam yang tidak terorganisir dengan baik membuat mereka gagal dalam melakukan perlawanan. Meski demikian tidak menutup kemungkinan ada beberapa perlawanan Islam terhadap penjajah Barat yang membuahkan hasil, misalnya yang terjadi di Afrika Utara melalui gerakan tarekat Sanusiyah yang dipimpin oleh Sayid Muhammad bin Sanusi.[1]

Pengaruh Barat terhadap Islam semakin besar terutama pada abad ke-19. Misalnya saja tahun 1858 sultan Mughal disingkirkan, dan sebagian besar negeri-negeri muslim dikuasai oleh Barat. Hal tersebut mendorong para pemimpin dan pembaharu dalam Islam berpikir bahwa Islam harus bangkit dengan adanya solidaritas umat. Salah satu perkembangannya adalah yang terjadi di Turki, dengan tokoh utamanya adalah Sultan Abdul Hamid II.

Tokoh-Tokoh Pendukung Pan-Islamisme

  1. Sayid Jamaluddin al-Afghani (1839-1897)

    jamaluddin-alafghani

Pemikiran Pan-Islamisme dikembangkan oleh beberapa pembaharu yang salah satunya adalah Jamaluddin al-Afghani. Al-Afghani mengajak umat Islam kembali kepada Alquran dan ajaran-ajaran yang murni. Hal ini dikarenakan ia melihat adanya penafsiran-penafsiran yang menyebabkan terjadinya berbagai mahzab dan dari mahzab inilah timbul golongan-golongan dengan fanatismenya sehingga menimbulkan pertikaian antargolongan.[2]

Oleh karena itu al-Afghani memiliki cita-cita untuk menyatukan umat Islam di bawah kepemimpinan pemerintahan Islam. Ia berkeyakinan bahwa Islam adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa, semua zaman, dan semua keadaan. Tetapi setelah ia melihat bahwa tidak mungkin seluruh dunia Islam itu berada di bawah seorang penguasa tunggal, maka ia menganggap cukup dengan ajakan supaya negara-negara Islam itu memiliki ikatan yang kokoh. Tujuan tunggalnya supaya negeri-negeri Islam diperintah pemerintahan berdasarkan Alquran, keadilan dan musyawarah, dan memilih orang-orang yang paling baik untuk mengurus mereka.[3]

Selain adanya pertikaian intern umat Islam, menurut al-Afghani pengaruh Barat yang mulai menguasai wilayah-wilayah Islam juga menjadikan umat Islam semakin terpuruk. Bagi al-Afghani, ancaman Barat yang riil tersebut harus dihadapi secara serentak dengan cara baru yakni menyatukan umat. Umat juga harus diberi kesempatan politik dan kesempatan memajukan ilmu pengetahuan.

Al-Afghani berhasil menanamkan pengaruhnya di beberapa tempat seperti Mesir, Iran, dan beberapa tempat lainnya. Sementara untuk menjangkau audiens yang lebih luas, Al-Afghani menggunakan media tulis yakni majalah al-Urwat al-Wusqa.[4] Dalam majalah al-Urwat al-Wusqa banyak dibahas mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan persatuan Islam di dunia dengan redaksi yang mampu mengobarkan rasa cinta tanah air dan benci terhadap penjajahan.

Dalam menerbitkan majalah ini, al-Afghani mendapat benturan dari beberapa pihak yang merasa terancam dengan pemikiran-pemikiran yang disampaikan al-Afghani. Salah satu halangan datang dari Inggris yang saat itu menguasai India dan Mesir. Pemerintah Inggris melarang majalah tersebut beredar di India dan Mesir. Hingga akhirnya majalah ini berhenti terbit. Meski demikian hal tersebut tidak menghentikan perjuangan al-Afghani untuk memperjuangkan kebangkitan Islam.[5]

Al-Afghani juga berusaha mendapat dukungan atas pemikirannya dari para penguasa muslim. Sehingga ketika ia mendapat undangan dari sultan Abdul Hamid II untuk berkunjung ke Istambul ia menyanggupi permintaan tersebut. Al-Afghani berharap dengan bantuan Sultan Abdul Hamid II inilah ia dapat memperluas wilayah pembaharuannya. Ia bahkan sudah merencanakan pendirian Jamiah Islamiyyah (Pan-Islamisme) yang menghimpun negeri-negeri Persia, Afghanistan dan Turki.

Sultan mendukung beberapa ide al-Afghani, terutama mengenai Pan-Islamisme dengan tujuan mempertahankan Kerajaan Turki Usmani.[6] Namun keduanya tidak dapat mencapai tujuan bersama mengenai ide tersebut, sebab Sultan Hamid ingin mempertahankan otokrasi tidak sejalan dengan pemikiran al-Afghani yang lebih demokratis. Karena takut pengaruh al-Afghani mengenai demokrasi menyebar, sultan membatasi kebebasan al-Afghani dengan melarangnya keluar dari Istambul hingga akhir hayatnya.[7]

Al-Afghani meninggal tanggal 9 Maret 1897 karena sakit kanker dagu, dan dikuburkan di Istambul yang mana tahun 1945 kuburannya dipindahkan ke Kabul, Afghanistan. Pada saat itu paham Al-Afghani kembali diperjuangkan sebagai upaya membebaskan diri dari pengaruh Barat.

  1. Sultan Abdul Hamid II (1876-1908)abdulhamit

Sebagai salah satu Sultan Turki Usmani, Sultan Abdul Hamid II berusaha mempertahankan eksistensi Kerajaan Turki Usmani. Sultan Abdul Hamid II menuangkan paham Pan-Islamisme dalam upaya modernisasi yang semakin gencar dilakukan oleh Kerajaan Turki Usmani. Menurut Abdul Hamid II, Pan-Islamisme merupakan suatu wadah untuk menyatukan umat Islam di seluruh wilayah Islam tanpa memandang suku, ras, dan bahasa untuk mewujudkan kemerdekaan dan kesejahteraan umat Islam.

Ide Pan-Islamisme ini pada mulanya mendapat sambutan hangat di kalangan dunia Islam, karena mereka menganggap bahwa dengan usaha itu dapat mengusir penjajah Eropa. Persatuan umat Islam sedunia sudah sejak dulu diupayakan untuk di realisasikan dan tidak pernah putus dari generasi ke generasi berikutnya.

Namun dibalik itu semua ternyata sultan memiliki tujuan lain, yakni ingin di kelilingi para ulama dan cendekiawan untuk memperkokoh kedudukannya. Karena itu, ia juga mengundang Sayid Jamaluddin al-Afghani yang juga memiliki pemikiran sama mengenai Pan-Islamisme.

Sultan sangat menghormati al-Afghani. Berbagai fasilitas yang dibutuhkan oleh al-Afghani disediakan dan bahkan ia diberikan kesempatan untuk mengemukakan ide-idenya termasuk mengoreksi keadaan di Kerajaan Turki Usmani saat itu. Tetapi tujuan utama sultan melakukan hal demikian adalah agar al-Afghani tidak melakukan kontak lagi dengan Turki Muda. Al-Afghani pernah bermukim di Paris dan banyak bergaul dengan anggota Turki Muda.[8] Bahkan pada saat di Paris, al-Afghani sempat membentuk sebuah himpunan bernama Himpunan Perbaikan (al-Jam’iyyah as-Salihah) dan mengajukan rencana perbaikan terhadap Kerajaan Turki Usmani.

  1. Rasyid Ridha (1865-1935)rasyid

Pembaharu lain yang juga mendukung adanya ide Pan-Islamisme ini adalah Rasyid Ridha. Ia merupakan murid Muhammad Abduh yang mana banyak terpengaruh oleh pemikiran Jamaluddin al-Afghani. Bahkan Rasyid Ridha juga menerbitkan majalah serupa dengan al-Urwat al-Wusqa dengan nama al-Manar. Sebagaimana Al-Afghani, Ridha juga menganjurkan persatuan umat Islam (Pan-Islamisme). Dasar persatuan ini haruslah agama, bukan bangsa atau bahasa. Semua orang Islam hendaknya bersatu di bawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan, dan tunduk pada satu sistem hukum. Untuk itu ia mengusulkan sistem khilafah dengan khalifah yang tidak boleh berkuasa secara absolut.[9]

Menurut Rasyid Ridha, khilafah mampu menyatukan semua aspek, baik geografi, politik, ekonomi sosial, budaya, dan bahkan agama. Untuk mewujudkan kesatuan umat, pada mulanya meletakkan harapan pada Kerajaan Turki Usmani, namun harapan itu hilang setelah Mustafa Kemal berkuasa di Istambul. Kemudian Ridha meletakkan harapannya pada Kerajaan Saudi Arabia.[10]

  1. Namik Kemal (1840-1888)

    namik kemal

Ide Pan-Islamisme ternyata juga pernah diungkapkan oleh Namik Kemal. Ide ini dikembangkan dari ide cinta tanah air. Tanah air yang ia maksud adalah seluruh wilayah Kerajaan Turki Usmani. Ia juga menghendaki persatuan seluruh umat Islam di bawah pimpinan Kerajaan Turki Usmani sebagai negara Islam terbesar ketika itu. Ide inilah yang kemudian disebut Pan-Islamisme.

Namik Kemal meyakini bahwa selama ini pemerintahan Islam yang kekuasaan tertinggi berada di tangan khalifah bersifat mutlak. Seharusnya khalifah dipilih oleh rakyat dan harus tunduk pada konstitusi atau syariat. Tapi yang terjadi saat itu sebaliknya, khalifah justru dipilih berdasarkan keturunan, sehingga rakyat tidak dapat mengontrol khalifah dalam penerapan hukum.

Pengaruh yang Ditimbulkan oleh Pan-Islamisme

Ide Pan-Islamisme ini mendapat tantangan dari penjajah Barat. Mereka takut diusir dari negeri-negeri Islam jika dunia Islam bersatu. Oleh karena itu mereka membendung pemikiran tersebut dengan berbagai cara, di antaranya dengan membatasi umat Islam untuk pergi haji ke Mekah. Mereka tahu bahwa pertemuan umat Islam di Mekah tidak hanya untuk tujuan ibadah semata, melainkan juga melakukan tukar pikiran untuk menyelesaikan permasalah yang sedang melanda negeri-negeri Islam. Salah satu contohnya adalah yang dilakukan oleh penjajah Belanda yang menerapkan kebijakan untuk menghalangi umat Islam di Indonesia dalam melaksanakan ibadah haji. Belanda menerapkan kebijakan berupa pengenakan biaya yang tinggi untuk jemaah haji, dan mengharuskan mereka untuk memperlihatkan sejumlah uang sebelum pergi.

Namun pada realitasnya kebijakan yang diterapkan Belanda tersebut tidak mengurungkan niat umat Islam Indonesia untuk melakukan ibadah haji ke Mekah. [11]

Sementara Pan-Islamisme yang diupayakan oleh Abdul Hamid II tidak membawa hasil yang diharapkan, kecuali agitasi[12] politik untuk menutupi ketimpangan yang ada dalam Kerajaan Turki Usmani. Perubahan besar terjadi di turki usmani, sebab pemerintahan yang absolute berubah menjadi pemerintahan yang demokratis dengan membatasi kekuasaan sultan yang ingin bertahan dengan sistem sebelumnya.[13]

 Secara konkret, bukti keberhasilan Pan-Islamisme yang diperjuangkan oleh tokoh pada saat itu memang sulit untuk ditunjukkan. Tetapi pengaruhnya yang luas dijadikan sebagai sumber inspirasi dan simbol loyalitas yang mendorong perjuangan bagi terciptanya solidaritas umat ketika terjadinya krisis.[14]

Terbentuknya Liga Dunia Islam (Muslim Word League atau Rabitah al-Alam al-Islam) pada 1962 merupakan bentuk nyata dari gerakan Pan Islamisme. Liga Dunia Islam yang didukung oleh 43 negara kemudian menyelanggarakan konferensi Islam dan berbagai kegiatan lainnya. Raja Faisal dan Shah Iran pada 1965 menyerukan pentingnya menyelenggrakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam bagi para negara muslim di Makkah. Gagasan tersebut sesungguhnya merupakan bagian dari usaha mewujudkan semangat Pan Islamisme.[15]

Sebuah konferensi yang dilaksanakan lima tahun kemudian di Jeddah, dihadiri oleh para menteri luar negeri negara-negara Islam berhasil memebentuk sebuah lembaga permanen yang permanen yang diberi nama Organization of Islamic Conference (OIC) atau Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang berkedudukan di Jeddah. Organisasi tersebut dipandang sebagai upaya maksimal untuk menampung aspirasi pembaharuan dan penyatuan Islam.[16]

Thanks to Surti Nurpita Sari, Mahasiswa SKI UIN Sunan Kalijaga

[1] Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah jilid II (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 255-256.

[2] Muhammad Al-bahiy, Pemikiran Islam Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hlm. 49.

[3]Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1995), hlm. 288.

[4]Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1992), hlm. 757.

[5]Ali, Alam, hlm. 289.

[6] Hidayatullah. Ensiklopedi, hlm. 756-757.

[7] Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm 399.

[8] Abdullah, Ensiklopedi, hlm. 256.

[9] Abdullah, Ensiklopedi, hlm. 401-402.

[10] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran: Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), hlm. 69-70.

[11]Abdullah, Ensiklopedi, hlm. 256.

[12]Agitasi adalah hasutan kepada orang banyak (untuk mengadakan huru-hara, pemberontakan), biasanya dilakukan oleh tokoh atau aktivis partai politik.

[13] Abdullah, Ensiklopedi, hlm. 256.

[14] Hidayatullah. Ensiklopedi, hlm. 757.

[15] Fendy Indra, Berkembangnya Pan Islamisme Sebagai Gerakan Pembaharuan Islam Di Dunia Dan Pengaruhnya Di Indonesia, http://fendyi.blogspot.com/2014/04/berkembangnya-pan-islamisme-sebagai.html diakses tanggal 30 Maret 2015.

[16] Ibid.
Rifai Shodiq Fathoni

Rifai Shodiq Fathoni

I explore disability and medical history as a history buff. I examine how society and medicine have treated and changed for people with disabilities over time.

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *