Perang Salib Pertama adalah serangkaian operasi militer yang didorong oleh keinginan kaum Kristen Eropa untuk menjadikan tempat-tempat suci umat Kristen, khususnya Yerusalem masuk ke wilayah perlindungan mereka. Seruan Paus Urbanus pada tahun 1095, membuat penguasa-penguasa Kristen Eropa bersatu untuk melakukan serangan ke wilayah-wilayah muslim di Timur Dekat.
Sejak awal, Perang Salib membentuk babak penting dalam dua sejarah yang berbeda namun saling terkait, yaitu Barat dan Timur. Bagi Barat, Perang Salib adalah bagian penting dari evolusi Eropa Barat abad pertengahan. Sementara bagi muslim di Timur, Perang Salib memainkan peran sementara tetapi tidak terlupakan, karena perang ini mempengaruhi kesadaran umat Islam hingga kini.
Story Guide
Latar Belakang Perang Salib Pertama
Pertemuan bangsa Barat dan Timur (Islam) pertama kali terjadi setelah adanya kebijakan-kebijakan ekspansi negara muslim baru, yang dibentuk pasca wafanya Nabi Muhammad saw, tahun 632 M. Satu abad kemudian, muslim telah menyeberangi barisan pegunungan di antara Prancis dan Spanyol, sekaligus menaklukan wilayah-wilayah yang membentang dari India Utara hingga Prancis Selatan.
Dua abad berikutnya, peradaban dunia Islam masih lebih superior dari peradaban Eropa. Mereka menikmati pertumbuhan ekonomi, dan peradaban yang luar biasa. Namun, pada akhir abad ke-10 dan awal abad ke-11, perpecahan politik menimpa Dinasti Abbasiyah (pusat peradaban dan pemerintahan Islam). Kondisi tersebut membantu munculnya kembali bangsa-bangsa Eropa di Mediterania Timur, dan menjadi awal kebangkitan kekuatan Kristen di Spanyol.
Kebangkitan ini ditandai dengan keberhasilan bangsa Norman merebut kembali Sisilia dari tangan tangan kaum muslim, dan kaum Kristen di utara Spanyol berhasil merebut kembali Toledo. Sementara itu, Bizantium berhasil melakukan invasi ke utara Suriah pada abad ke-10, dan dalam waktu yang singkat dapat menguasai kota-kota negeri itu.
Pada abad ke-11, Paus dan penguasa-penguasa kerajaan Eropa mendapat kabar tentang kemunduran dan desentralisasi kekuasaan militer dan politik umat Islam. Namun, kabar tentang reputasi buruk khalifah keenam dinasti Fatimiyah, al-Hakim, juga sampai ke Eropa melalui berita yang dibawa pendeta Prancis Peter Amiens. Al-Hakim melakukan penyiksaan terhadap orang Kristen di kerajaannya, yang membentang dari Suriah hingga Palestina, selain itu ia juga melakukan penghancuran Gereja Makam Suci di Yerusalem pada 1009-1010.
Paruh kedua abad ke-11, dunia timur didominasi oleh perseteruan dua kekuatan besar muslim saat itu, yaitu dinasti Seljuk dan Fatimiyah. Mereka saling memperebutkan wilayah yang membentang dari Suriah hingga Palestina. Dinasti Seljuk saat itu masih mengandalkan dukungan militer dari kerabat mereka yang hidup mengembara, Turki Nomaden.
Turki Seljuk tidak hanya berperang melawan daulah Fatimiyah, mereka juga menyerang wilayah Bizantium bagian timur, Anatolia, yang dulunya merupakan daerah kekuasaan Armenia. Pasukan Turki di bawah pimpinan Sultan Alp Arslan berhasil mengalahkan pasukan Bizantium di Manzikert pada tahun 1071. Pasca direbutnya wilayah itu, reputasi imperium Bizantium mengalami pukulan hebat.
Setelah itu, gelombang Turki Nomaden yangb bergerak ke timur semakin terlepas dari kontrol kekaisaran Seljuk, mereka bergerak masuk dan menduduki wilayah Armenia, dan Bizantium. Salah satu kelompok Turki Nomaden di bawah pimpinan Sulayman ibn Qutlumush, mendirikan negara kecil pertama di Nicaea (Iznik), dan kemudian di Iconium (Konya), yang kemudian berkembang menjadi kerajaan Seljuk Rum.
Dekade terakhir abad ke-11, merupakan perpecahan politik terbesar umat Islam yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kematian beruntun menteri utama Seljuk, Wazir Nizham al-Mulk, dan Sultan Seljuk Malik Shah di tahun 1092, disusul oleh khalifah Abbasiyah al-Muqtadhi, dan khalifah Fatimiyah al-Mustanshir pada 1094 menimbulkan kekosongan kekuasaan yang sangat besar.
Kekosongan tersebut menimbulkan pertikaian internal dan perebutan kekuasaan di dunia Islam. Selain itu kekuatan Seljuk yang sebelumnya ditakuti kerajaan-kerajaan Eropa, juga mengalami perpecahan pasca wafatnya Sultan Malik Shah. Kondisi yang sedemikian rupa membuat dunia Islam tidak siap menghalau serangan yang sama sekali tidak diduga dari kaum Eropa.
Seruan Paus Urbanus II
Melihat kesempatan untuk mendapatkan kembali beberapa wilayah yang pernah ditaklukan di Asia Kecil, kaisar Byzantium, Alexius Comnenus mengirim sebuah pesan lain ke barat, untuk mencari bantuan bagi Byzantium. Pada awalnya Alexius berpikir untuk meminta bantuan Henry IV, raja Jerman sekaligus kaisar Romawi Suci, akan tetapi kekuatan Henry IV sudah jauh menurun lantaran konflik berkepanjangan dengan Paus.
Sebagai gantinya, Alexius mengirim utusannya ke Paus Urbanus II. Mereka meminta paus mengirimkan prajurit Italia ke timur untuk membantu Alexius mengusir kembali invasi Turki Rum. Momentum ini dimanfaatkan Paus Urbanus II untuk menunjukkan kekuasaan paus, yang dulunya terpecah, sekarang ia bisa menunjukkan kekuasaan Santo Petrus di seluruh dunia.
Pada 17 November 1095, di Clermont Francia Barat, Paus Urbanus II mengumumkan bahwa Perang Salib bukan hanya untuk membantu Byzantium melawan orang Turki, tetapi juga saatnya mengambil kembali Yerusalem dari tangan muslim. Berikut isi pidato dari Paus Urbanus II
“Seperti yang sudah kamu dengar, orang Turki dan orang Arab sudah menduduki semakin banyak wilayah orang Kristen, dan sudah mengalahkan mereka dalam pertempuan. Mereka sudah membunuh dan menangkap banyak orang, dan sudah menghancurkan gereja, dan merusak kekaisaran. Kalau kamu sekalian membiarkan mereka meneruskan hal demikian tanpa mendapatkan hukuman, orang beriman Tuhan akan jauh lebih lagi diserang oleh mereka.
Dengan keadaan seperti ini saya, atau terlebih Tuhan, meminta kamu sebagai pewarta Kristus untuk mempublikasikan ke semua orang, dan mengajak semua orang dari tingkatan apa pun, prajurit berjalan kaki, dan ksatria, miskin atau kaya, untuk memberikan bantuan dengan segera kepada warga Kristen, dan menghancurkan suku yang keji dari wilayah sahabat kita. Saya mengatakan kepada siapa pun yang hadir di sini, ini juga dimaksudkan untuk siapa yang tidak hadir. Selanjutnya Kristus akan memerintahkannya.”
Semua bangsawan Frank yang sudah bosan di bawah turan-aturan damai dan genjatan senjata Tuhan sekarang memperoleh sesuatu yang berguna terkait dengan nafsu berperang mereka. “Sekarang biar lah mereka yang sudah terbiasa melakukan perang pribadi secara tidak adil terhadap saudara seiman pergi berperang melawan orang kafir.”
Urbanus II mengatakan kepada pendengarnya. “Biarkan mereka yang sudah lama menjadi perampok, sekarang menjadi ksatria. Biarkan mereka yang berperang melawan saudaranya dan keluarganya sekarang berperang melawan orang-orang barbar. Biarkan mereka yang akan pergi tidak menunda perjalanannya. Segera sesudah musim dingin selesai, dan musim semi tiba, biarkan mereka dengan sigap berangkat, dengan Tuhan sebagai penunjuk jalannya.”
Mereka akan menerima hadiah terbesar yang paling mungkin mereka dapatkan. “Semua yang mati di jalan baik di darat maupun di laut, atau dalam perang melawan orang kafir, akan mendapatkan pengurangan dosa dengan segera. Urbanus memberikan janjinya..
Pasukan Salib Berkumpul di Konstantinopel
Pasca seruan dari Paus Urbanus II, tepatnya di bulan-bulan dingin pada akhir 1095, dan 1096, para bangsawan yang tadinya bermusuhan mulai mempersiapkan perjalanan ke timur. Banyak orang terinspirasi dengan harapan untuk memperoleh surga, sedangkan sebagian lainnya termotivasi akan kemasyhuran.
Bangsawan yang pertama kali menjual tanahnya dan memulai perjalanan ke timur adalah Godfrey, seorang bangsawan Jerman sekaligus Duke Lorraine bawah. Dalam Perang Salib dia ditemani oleh adik laki-lakinya, Baldwin dari Eustace.
Kelompok kedua yang melakukan perjalanan ke timur adalah anak dari Robert Guisscard (penguasa Norman yang pernah menyerang Byzantium), yang bernama Bohemund. Bohemund meninggalkan wilayah Norman Italia, untuk menjawab panggilan dari Urbanus II. Ia melakukan perjalanan ke timur dengan memobilisasi pasukan yang jumlahnya lebih kecil dari Godfrey.
Pasukan Bohemund, disusul oleh pasukan Raymond, duke dari Touluse, yang memimpin sepuluh ribu pasukan. Kemudian, diikuti oleh pasukan Robert, seorang adipati Normandia yang juga merupakan anak tertua dari Wiliam si Penakluk.
Berpuluh-puluh kelompok lain berjalan menuju Konstantinopel, kelompok orang bersenjata dari berbagai penjuru Eropa menyatu di satu titik. Dua kelompok yang pertama tiba di Konstantinopel adalah kelompok Walter Si Msikin, dan Peter Amien atau Peter si Kecil.
Dua kelompok pasukan ini disambut oleh Kaisar Alexius di Konstantinopel. Kaisar kemudian menyarankan mereka untuk bergerak menyeberang Selat Bosphorus, dan mendirikan perkemahan di dekat perbatasan Byzantium sambil menunggu kedatangan pasukan Perang Salib lainnya. Pada dasarnya kaisar mengambil kebijakan ini untuk menghindari kerusuhan di Konstantinopel, karena pada dasarnya Pasukan Salib berasal dari berbagai macam kriminal, yang sewaktu-waktu dapat berulah.
Dua pasukan tersebut menunggu di tempat tinggal sementara sekitar dua puluh lima mil dari kota Nicaea yang dikuasai oleh orang Turki Rum, para prajurit salib yang bosan menunggu, mulai menjarah pedesaan Turki, dan suasana perkemahan berubah menjadi semacam agresi. Tidak lama setelah itu, mereka bergerak maju menuju Nicaea.
Sultan Rum, Kilij Arslan, mengirim sebuah detasemen pasukan untuk memukul para pasukan konyol tersebut. Dari dua puluh lima ribu infanteri, dan lima ratus ksatria yang sudah bergerak maju dari perkemahan, hampir tidak ada satu pun yang tersisa. Wiliam si Miskin terbunuh, sementara Peter Si Kecil dan 3000 pasukan melarikan diri menyeberangi selat.
Alexius sempat pesimis bahwa pasukan salib tidak akan bisa berbuat banyak pasca serangan Kilij Arslan. Akan tetapi kedatangan Godfrey, Raymond, dan Bohemund mengembalikan kepercayaan dirinya. Ketiga orang tersebut kemudian menjadi pemimpin tertinggi pasukan salib, mekipun tidak ada keputusan tentang siapa yang akan dijadikan panglima tertinggi, derajat mereka bertiga sama.
Pengepungan Kota Antiokhia
Setelah angkatan Perang Salib Pertama diorganisir, mereka berangkat untuk memulai serangan ke daerah muslim di tahun 1097. Sebelumnya Kaisar Alexius menghimbau pasukan Salib/Kaum Frank untuk mengembalikan wilayah Byzantium yang dikuasai Turki Saljuk, untuk kemaslahatan Byzantium.
Pasukan Salib mencapai keberhasilan militer yang bernilai penting ketika mereka dalam perjalanan melalui Anatolia. Kaum Frank berhasil menaklukkan ibu kota Seljuk di Iznik pada Juni 1097, dan membuat pasukan Seljuk yang berada di bawah pimpinan Sultan Qilij Arslan mengalami kekalahan total di pertempuran Dorylaeum pada Juli di tahun yang sama.
Setibanya di Antiokhia, Suriah Utara, Tentara Salib mengepung kota ini pada 27 Oktober 1097. Antiokhia merupakan kota terkuat di Suriah: tembok kota tertuanya bersentuhan dengan sungai Orontes. Dengan demikian pasukan yang berada di dalam kota mendapatkan pasokan pangan dan senjata secara terus menerus dengan mudah.
Sementara itu di luar kota Antiokhia, kaum Frank yang telah melakukan pengepungan selama berbulan-bulan mulai mengalami kekurangan pasokan makanan, tenda-tenda mereka juga mulai rusak. Menjelang Januari, hanya tersisa 2000 kuda, yang pada awalnya berjumlah 70.000 kuda. Kondisi ini diperparah dengan wabah penyakit sampar, yang memakan banyak korban.
Di tengah situasi yang sama sekali tidak mendukung, banyak dari pasukan Salib patah semangat dan memilih untuk bergerak sendiri ke tempat lain. Salah satunya adalah sekelompok Tentara Salib pimpinan Baldwin memisahkan diri untuk menyeberang ke kota Edessa yang dikuasai kaum Kristen Armenia. Kota itu takluk pada 10 Maret 1098. Selanjutnya, mereka mendirikan negara Tentara Salib Pertama di wilayah tersebut.
Januari 1098, menteri Daulah Fatimiyah, al-Afhdal bin Badrul Jamali, mengirim utusan diplomasi untuk melakukan pertemuan bersama para pemimpin Tentara Salib. Inti dari pesan tersebut adalah mengajak Tentara Salib untuk bekerjasama melawan orang-orang Turki Seljuk. Akan tetapi utusan tersebut tidak membawa hasil yang diinginkan, pemimpin Pasukan Salib menolak ajakan kerjasama tersebut, karena mereka paham perselisihan antara Turki Seljuk dan Fatimiyah.
Kaum Frank terus melanjutkan pengepungan, saat semangat juang kaum Frank hampir padam, muncul harapan baru. 4 Maret 1098, armada kapal Inggris di bawah komando Edgar Atheling berlabuh di Laut Tengah, dengan membawa bantuan perbekalan, dan senjata. Para prajurit salib kemudian membangun benteng-benteng tambahan untuk memblokir kapal agar tidak dapat memberi pasokan baru ke kota Antiokhia.
Akibat dari pemblokiran tersebut, kota Antiokhia semakin melemah. Bohemund yang terkenal akan kelicikannya, berhasil membujuk salah satu dari penjaga Turki di dalam kota untuk membelot. Pada malam tanggal 2 Juni, penjaga tersebut membukakan gerbang bagian belakang, dan Bohemund memimpin pasukannya masuk kota, dan membuka seluruh gerbang Antiokhia.
Pasukan Salib kemudian masuk ke dalam kota, mereka yang telah melakukan pengepungan selama berbulan-bulan dikuasai oleh nafsu, dan kerakusan. Mereka tidak memandang jenis kelamin atau umur, lebih dari sepuluh ribu penduduk dibantai di hari itu, mayat orang yang dibantai pun dibiarkan tanpa dikubur.
Pesta kemenangan Pasukan Salib tidak lah berlangsung lama, tiga hari berselang sebuah pasukan muslim besar, di bawah komando Kerbogha, seorang jederal Turki, yang dikirim oleh Sultan Akbar dari Turki, di Baghdad bergerak menuju gerbang Anatokhia.
Para prajurit balib segera menutup seluruh gerbang Anatokhia, awalnya mereka bersyukur tidak berada di luar kota itu lagi. Akan tetapi kondisi yang sama mengenaskan terjadi di dalam kota itu, mereka kekurangan makanan, dan masih ditambah bau menyengat dari orang-orang yang mereka bantai. Kondisi baru ini memaksa mereka menggali binatang yang sudah dikubur berhari-hari, sehingga mereka bisa makan dari daging yang sudah mulai membusuk.
Di dalam kota Uskup Petrus Bartolomeus, mengaku menemukan sebuah tombak di sebuah lubang geraja Santo Petrus. Tombak ini dikabarkan sebagai tombak suci yang dulu digunakan untuk menembus tubuh Yesus, sehingga pada 28 Juni 1098, para prajurit salib, yang disemangati oleh keberadaan tombak suci ada di antara mereka, memukul bala tentara muslim mundur.
Setelah berhasil mengusir bala tentara muslim, salah satu dari panglima tentara salib yakni Bohemund, ingin tetap tinggal di Antiokhia karena ia merasa mempunyai kontribusi terbesar dalam penaklukan kota tersebut. Raymond yang mendengar hal tersebut, tidak setuju dengannya, dan kedua pemimpin tersebut bertikai.
Raymond memutuskan untuk tidak mempertahankan kota dan meninggalkan kota tersebut. Ia membayar dalam bentuk emas kepada Robert dari Normandia, dan keponakan perempuan Bohemund, yang bernama Tancred untuk mengikutinya. Godfrey dan pasukannya juga mengikuti Raymond pergi dari Antiokhia, sementara Bohemund menetap di sana, dan mengibarkan benderanya sendiri di atas tembok-tembok kota itu, tanpa pernah menyerahkan kota tersebut ke kaisar Byzantium.
Puncak Perang Salib Pertama
Para prajurit perang salib yang masih tersisa, dipimpin oleh Raymond dari Touluse bergerak menuju ke Yerusalem. Pasukan tersebut hanya tersisa 14.000 dari 50.000 orang yang menyeberang selat Bosphorus di awal perang salib. Barisan pasukan itu diikuti sekumpulan peziarah yang berharap dapat mencapai Yerusalem.
Dalam perjalanannya Raymond berhasil menduduki Ma’arrat al-Nu’man, kota itu kemudian ditinggalkan pada 13 Januari 1099, setelah membunuh sekitar 100.000 penduduknya, dan membumihanguskan kota. Pasukan Frank kemudian menduduki benteng Akrad, memerintahkan untuk membuat parit di antara daratan Orontes, dan Laut Tengah.
Kemudian pasukan tersebut bergerak kembali menyerbu Arqah, di lereng barat Lebanon Utara, dan menduduki Antartus. Umat Kristen Maronit Lebanon, membantu Raymond dengan menyediakan pemandu, dan sejumlah prajurit baru.
Meskipun demikian, Raymond dan pasukan salib tidak menetap lama di kota tersebut. Atas permitaan Godfrey, Raymond bergabung dengan tentara Godfrey dalam barisannya menuju Yerusalem, sasaran utama operasi mereka.
Dalam perjalanan ke selatan, mereka melewati kota Ramalah yang ditinggalkan tanpa penguasa. Pada Juni 1099, sekitar 40.000 Tentara Salib telah berdiri di luar gerbang Yerusalem. Sementara itu di dalam kota Yerusalem diperkirakan terdapat 1000 orang pasukan Turki. Di luar gerbang, pasukan salib menemukan pemandangan yang sama kerasnya seperti di Antiokhia. Cuaca yang menyengat, dan kesulitan memperoleh air.
Namun, Yerusalem tidak mempunyai pertahanan sekokoh Antiokhia. Tentara Salib berbaris rapat mengelilingi kota, sambil terus meniup terompet perang mereka. Penyerangan Yerusalem dimulai pada 13 Juni. Selama tiga minggu, para Tentara Salib mendobrak tembok-tembok dengan alat pendobrak yang dibuat dari pohon-pohon kecil, tentu saja cara ini tidak efektif.
Pada saat yang bersamaan, sebuah detasemen Pasukan Salib baru tiba di laut, Raymond memberikan perintah agar kapal-kapal tersebut ditarik ke darat, dan dihancurkan untuk diambil kayunya. Menara pengepungan dibuat dari kayu-kayu tersebut, kemudian ditempatkan ke tembok Yerusalem untuk menutup parit bagian utara.
Para penyerang menurunkan jembatan dari kayu persis di atas tembok dan menerjang masuk ke dalam kota. Setelah 30 hari berusaha menerobos masuk pertahanan Yerusalem, usaha Tentara Salib akhirnya membuahkan hasil.
Setelah pasukan tersebut berhasil masuk ke dalam kota, peristiwa yang sebelumnya menimpa Antiokhia terulang kembali. Pasukan Salib membantai semua pendduk tanpa mengenal ampun, sehingga tumpukan kepala, tangan, dan kaki bisa disaksikan di seluruh jalan dan alun-alun kota. Mereka yang masih hidup ditarik dari gang-gang, dari lemari dinding, dari loteng, dan dibunuh dengan pedang atau dilemparkan dari tembok.
Tidak lama berselang, kaum Frank mendengar kabar bahwa tentara Fatimiyah sedang bergerak dalam perjalanan dari Mesir. Orang Fatimiyah, yang sebelumnya diusir oleh bangsa Turki Seljuk dari Yerusalem sejak tahun 1073, sedang melancarkan operasi untuk mengambil kembali Yerusalem.
Ketika pasukan Fatimiyah sampai di tembok Yerusalem pada 12 Agustus 1099, kota tersebut telah berada dalam kendali Tentara Salib. Godfrey memimpin pasukan tersebut keluar dari tembok kota, dan mengusir tentara Mesir tanpa banyak kesulitan. Pasukan Mesir mundur tanpa berusaha melakukan penyerangan kedua.
Yerusalem telah berhasil dikuasai, sasaran dari Perang Salib Pertama pun sudah tercapai. Tiga negara Kristen, yang diperintah oeh para bangsawan Perang Salib, sekarang tersebar di Kadipaten Edessa, Principalitas Antiokhia, dan Kerajaan Yerusalem.
Raymond adalah orang pertama yang ditawari untuk memerintah kota Yerusalem sebagai raja. Berbeda dengan Antiokhia, tidak ada kewajiban untuk menyerahkan kota Yerusalem ke tangan Byzantium. Namun, Raymond menolak untuk menerima gelar raja: pembantaian telah menyebabkan rasa tidak nyaman untuk menyebut kata itu. Selain itu ia beralasan Yesus tidak pernah menggunakan mahkota emas, melainkan mahkota dari daun.
Godfrey, seorang pemimpin yang jujur dan gigih, akhirnya ditawari posisi tersebut. Ia menerima posisi itu, akhirnya Godfrey memperoleh gelar Baron, dan Penjaga Makam Suci. Setelah sumpah mereka terpenuhi, sebagian Tentara Salib dan sejumlah perziarah berlayar pulang kembali ke Eropa.
Perang Salib Pertama memang dimenangkan oleh Tentara Salib, namun, perlu dicatat Tentara Salib tidak mampu menaklukkan salah satu dari dua kota utama di kawasan Suriah, yakni Aleppo, dan Damaskus. Dari wilayah ini akan muncul pelopor perlawanan muslim selanjutnya yakni Imaduddin Zengi, yang akan dibahas di pembahasan Perang Salib Kedua.
BIBLIOGRAFI
Bauer, Susan Wise. 2016. Sejarah Dunia Abad Pertengahan: Dari Pertobatan Konstantinus Sampai Perang Salib Pertama. Terj. Aloysius Prasetya. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Bosworth, C. E. 1993. Dinasti-Dinasti Islam. Terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan.
Hamka. 2016. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Hillendbrand, Carole. 2015. Perang Salib Sudut Pandang Islam. Terj. Heryadi. Jakarta: Serambi.
Hitti, Phillip K. 2006. History of The Arabs. Terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta
Thaqqusy, Muhammad Suhail. 2015. Bangkit dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah. Terj. Masturi Irham dan M. Abidun Zuhri. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.