Petualangan Ibnu Batutah Menjelajahi Dunia

Share your love

Gelar “petualang terbesar di dunia” biasanya disematkan sejarawan Barat pada Marco Polo, musafir Venesia yang mengunjungi Cina dan Nusantara pada abad ke-13. Namun, jika diukur dari jarak dan medan yang ditempuh, Polo masih kalah jika dibandingkan dengan cendekiawan muslim, Ibnu Batutah.

Meskipun petualangannya tidak banyak diketahui di luar dunia Islam, Batutah menghabiskan separuh hidupnya melintasi daerah-daerah luas di belahan Bumi Timur.

Dalam penjelajajahannya, Batutah menggunakan kapal untuk menyeberangi laut dan untuk perjalanan darat ia menggunakan unta atau berjalan kaki. Sepanjang petualangannya, ia menempuh jarak 120.000 km (empat kali jarak Marcopolo) dan telah berkelana ke lebih dari 40 negara (modern).

Tidak jarang perjalanannya itu sering menempatkan dirinya dalam bahaya, seperti serangan bajak laut, badai, hingga wabah pes. Ketika ia akhirnya kembali ke rumah setelah 29 tahun berkelana, ia menceritakan petualangannya dalam sebuah catatan perjalanan besar yang dikenal sebagai Rihla.

Dimulainya Petualangan Ibnu Batutah

ibnu batutah
Ibnu Batutah

Muhammad ibn Abdullah ibn Batutah lahir di Tangier, Maroko pada 25 Februari 1304. Ia tumbuh dewasa di sebuah keluarga hakim Islam. Saat usianya 12 tahun, ia dipercaya telah berhasil menghafal alquran.

Pada tahun 1325, saat usianya menginjak 21 tahun, ia meninggalkan tanah airnya untuk pergi Timur Tengah. Ia bermaksud untuk menunaikan ibadah haji,  tetapi ia juga ingin belajar hukum Islam di sepanjang perjalanannya.

Saat mengawali perjalanannya, Ibnu Batutah berangkat seorang diri. Tidak ada musafir lain yang menyertainya di awal perjalanannya, ia hanya mengandalkan tekad untuk mengunjungi tempat-tempat suci terkenal.

Batutah memulai perjalanannya dengan mengendarai seekor keledai. Di perjalanan, ia bertemu rombongan kafilah peziarah saat melintasi Afrika Utara. Rute itu terkenal terjal dan penuh dengan perampok.

Ketika melewati rute terjal Afrika Utara, pelancong muda itu mengalami demam yang begitu parah sehingga ia terpaksa mengikat dirinya ke pelana untuk menghindari roboh. Meskipun demikian, ia masih melanjutkan perjalanannya. Malahan ia menikahi seorang wanita di persinggahannya. Wanita itu adalah istri pertama dari sekitar 10 istri yang dinikahinya sepanjang perjalanannya. Sayangnya pernikahan itu tidak bertahan lama, karena keduanya memutuskan untuk bercerai di perjalanan.

Setelah menempuh perjalanan sulit, Ibnu Batutah akhirnya sampai di Mesir. Di Mesir, Batutah mempelajari hukum Islam dan berkeliling ke Aleksandria dan kota metropolitan Kairo, yang disebutnya “tak tertandingi dalam keindahan dan kemegahan.”

Ia kemudian melanjutkan ke Makkah untuk beribadah haji.Setibanya di Makkah sebenarnya tujuan awalnya telah tercapai, tetapi setelah menyelesaikan ziarahnya, ia memutuskan untuk terus berkeliling dunia.

Batutah mengaku termotivasi  oleh mimpinya, di mana seekor burung besar membawanya terbang ke arah timur dan meninggalkannya di sana. Seorang pria suci yang menafsirkan mimpinya mengatakan bahwa Batutah akan berkeliling bumi dan pemuda Maroko itu bermaksud untuk memenuhi ramalan itu.

Dari Makkah, Batutah memulai perjalananya mengelilingi dataran Persia dan Irak sebelum akhirnya kembali ke kota itu untuk melanjutkan perjalanan melintasi Yaman hingga Tanduk Afrika (Semenanjung Afrika Timur yang menonjol ke Laut Arabia). Dari Tanduk Afrika, ia lalu mengunjungi kota Somalia Mogadishu sebelum ke bawah khatulistiwa untuk menjelajahi pantai Kenya dan Tanzania.

Perjalanan ke India dan Asia

Setelah meninggalkan Afrika, Batutah merencanakan sebuah perjalanan ke India, di mana ia berharap bisa mendapatkan pekerjaan sebagai qadi (hakim Islam).

Ibnu Batuta
Peta perjalanan Ibnu Batutah

Dalam perjalanannya ke India, ia mengikuti rute yang berliku ke timur, pertama memotong melalui Mesir dan Suriah sebelum berlayar ke Turki. Seperti yang selalu dilakukannya di negeri-negeri muslim, ia mengandalkan statusnya sebagai cendekiawan Islam untuk mendapatkan keramahtamahan dari penduduk setempat. Oleh sebab itu, ia dalam perjalannya sering diberi hadiah berupa pakaian bagus, kuda, budak, dan bahkan selir.

Dari Turki, Batutah menyeberangi Laut Hitam dan memasuki wilayah Golden Horde yang dikenal sebagai Uzbeg. Setibanya di sana, Ia disambut di istana Uzbek dan kemudian menemani salah satu istri Khan ke Konstantinopel.

Batutah tinggal di kota Bizantium selama sebulan, mengunjungi Hagia Sophia dan bahkan menerima audiensi singkat dengan kaisar. Karena tidak pernah pergi ke kota besar non-Muslim, ia tercengang oleh koleksi gereja-gereja Kristen yang “tak terhitung banyaknya” di dalam temboknya.

Batutah selanjutnya melakukan perjalanan ke timur melintasi padang rumput Eurasia sebelum memasuki India melalui Afghanistan dan pegunungan Hindu Kush.

Sesampainya di kota Delhi pada 1334, ia memperoleh pekerjaan sebagai hakim di bawah Muhammad Tughluq, seorang sultan Islam yang kuat di Gujarat. Batutah menekuni pekerjaan ini selama beberapa tahun dan bahkan menikah dan memiliki anak-anak.

Akan tetapi kiprahnya harus terhenti akibat hubungan kurang harmonis dengan penguasa dan ketakutannya terhadap sultan yang tidak segan menyingkirkan orang yang tidak disukainya. Pada tahun 1341, sultan mengutus Batutah ke istana Mongol di Cina, kesempatan itu digunakan Batutah untuk melarikan diri dari Sultan Tughluq.

Meskipun demikiran orang Maroko ini masih haus untuk berpetualang, ia pun memutuskan  melanjutkan petualangannya bersama sebuah kafilah besar yang menuju ke Timur Jauh.

Perjalanan ke Timur Jauh terbukti menjadi pengembaraan Batutah yang paling mengerikan. Dalam perjalanannya, rombongan itu tidak hentinya diganggun oleh pemberontak Hindu sepanjang perjalanan mereka ke pantai India.

Puncaknya Batutah diculik dan dirampok semua barangnya kecuali celananya. Namun musibah tidak berhenti di situ. Saat ia berhasil sampai ke pelabuhan Calicut,  pada malam pelayaran di samudera, kapal-kapalnya meledak di laut karena badai dan tenggelam, serta menewaskan banyak orang di rombongannya. Untungnya Ibnu Batutah masih selamat dari tragedi mengenaskan itu.

Rentetan bencana itu sempat membuat Ibnu Batutah terpukul. Di sisi lain, ia enggan kembali ke Delhi dan menghadap sultan, jadi ia memilih untuk melakukan perjalanan laut ke selatan ke Kepulauan Samudra Hindia di Maladewa.

Di pulau tropis itu, Ibnu Batutah sempat menetap dan menikahi beberapa istri. Selama di Maladewa ia kembali bekerja sebagai hakim Islam.

Namun setelah bertengkar dengan para penguasa, ia melanjutkan perjalanannya ke Tiongkok. Setelah melakukan persinggahan di Sri Lanka, ia naik kapal dagang melalui Asia Tenggara.

Pada tahun 1344, ia tiba di pelabuhan Tiongkok yang ramai di Quanzhou. Ia mendeskripsikan pelabuhan itu sebagai salah satu pelabuhan terbesar, namun dipenuhi oleh sampah.

Meskipun demikian, Batutah menggambarkan Mongol China sebagai “negara teraman dan terbaik bagi pelancong” serta memuji keindahan alamnya, tetapi ia juga menyebut penduduknya sebagai orang-orang kafir.

Tertekan oleh kebiasaan orang asing yang bertentangan dengan ajaran Islam, Ibnu Batutah akhirnya hanya terpaku dengan komunitas muslim di negara itu. Akibatnya catatan di negeri ini pun samar-samar, hanya saja ia menyebut kota Hangzhou sebagai “kota terbesar yang pernah saya lihat di muka bumi.”

Sampai sekarang para sejarawan masih berdebat seberapa jauh ia pergi, tetapi ia mengaku berkelana ke utara hingga Beijing dan menyeberangi kanal agung yang terkenal.

Akhir Petualangan Ibnu Batutah

Tiongkok menandai awal dari akhir perjalanan Batutah. Setelah mencapai tepi dunia, ia akhirnya berbalik dan pulang ke Maroko.

Dalam perjalanan pulang kapalnya diserang bajak laut di dekat pulau Sumatra, hingga akhirnya ia singgah di kota Perlak Sumatra pada 1345-1346. Pada saat itu kota Perlak dikuasai Malik Zahir, Sultan Samudera Pasai.

Ia mendeskripsikan Sultan Malik sebagai sultan yang sederhana, di mana ia selalu berjalan kaki ketika menunaikan sholat Jumat ke masjid. Ia juga mengatakan bahwa Kerajaan Samudera Pasai lebih condong sebagai kerajaan Sunni dibanding kerajaan Syiah.

Dari Sumatra, Ibnu Batutah melanjutkan perjalanan pulangnya. Ia melewati jalur India, Laut Mediterania, Afrika Utara, dan Sahara hingga akhirnya tiba kembali di Tangier, Maroko pada tahun 1349.

Setibanya di kampung halaman, Kedua orangtua Batutah telah meninggal, jadi ia hanya tinggal sebentar sebelum melakukan perjalanan ke Spanyol. Ia kemudian memulai perjalanan bertahun-tahun melintasi Sahara ke Kekaisaran Mali untuk mengunjungi Timbuktu.

Selama petualangannya, Batutah tidak pernah menulis catatan petualangannya, tetapi ketika ia kembali ke Maroko pada tahun 1354, sultan negara itu memerintahkannya untuk menyusun catatan perjalanan.

Ia kemudian menghabiskan tahun berikutnya untuk mendiktekan ceritanya kepada seorang penulis bernama Ibn Juzayy. Hasilnya adalah sejarah lisan yang dikenal sebagai Rihla (perjalanan).

Meskipun tidak terlalu populer pada zamannya, buku ini sekarang berdiri sebagai salah satu catatan perjalanan paling jelas dan luas dari dunia Islam abad ke-14.

Setelah selesainya Rihla, Ibn Batutah seakan lenyap dari catatan sejarah. Namun, ia diyakini bekerja sebagai hakim di Maroko dan meninggal sekitar tahun 1368. Tampaknya setelah menghabiskan seumur hidup di jalan, pengembara besar itu akhirnya memutuskan untuk menetap di satu tempat.

BIBLIOGRAFI

DiMeo, David dan Hassan, Inas. 2016. The Travels of Ibn Battuta: A Guided Arabic Reader. Kairo: The American University in Cairo Press.

Dunn, Ross E. 1995. Petualangan Ibnu Battuta Seorang Musafir Muslim Abad Ke-14. Jakarta: Yayasan Obor.

Waines, David. 2010. The Odyssey of Ibn Battuta: Uncommon Tales of a Medieval Adventurer. London: I.B Tauris.

Rifai Shodiq Fathoni

Rifai Shodiq Fathoni

I explore disability and medical history as a history buff. I examine how society and medicine have treated and changed for people with disabilities over time.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *