Ibnu Taimiyah merupakan seorang teolog Sunni kontroversial yang banyak memusatkan perhatian pada kritik terhadap golongan lain atau sesama muslim yang menurutnya melenceng dari ajaran Islam yang murni (bersumber dari al-Quran dan Hadis). Pemikiran Ibnu Taimiyah mempengaruhi berbagai perkembangan reformis dan puritan di masyarakat Islam berikutnya.
Taqi al-Din Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah lahir di Harran (sekarang di tenggara Turki) pada tanggal 22 Januari 1263. Ia lahir di keluarga penganut mazhab Hanbali yang melarikan diri dari ancaman Mongol.
Keluarga Ibnu Taimiyah kemudian menetap di Damaskus pada 1269. Ia menghabiskan hidupnya di wilayah kesultanan Mamluk – Suriah, Mesir , Palestina, dan Hijaz – dan meninggal di penjara di Damaskus pada tanggal 26 September 1328.
Ibnu Taimiyah telah dianggap memenuhi syarat untuk memberi fatwa pada usia 17 tahun (1279), serta mulai mengajar hadis di Damaskus pada tahun 1284 dan tafsir Alquran satu tahun kemudian di Masjid Umayyah. Ia tetap menjadi guru dan mufti sampai kematiannya.
Pemikiran Ibnu Taimiyah terus dipelajari hingga sekarang. Salah satu pengikut terbesarnya adalah Muhammad ibn Wahhab dengan gerakan Wahabinya yang terus eksis hingga sekarang.
Keilmuwan dan Karya Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah mengabdikan hidupnya untuk mencari ilmu, sehingga membuatnya menjadi seorang ahli hadis. Ia tidak hanya menguasai ilmu agama tradisional – tafsir alquran, yurisprudensi, teologi (kalām), dan heresiografi – tetapi juga menguasai tasawuf, komparasi agama, logika, dan filsafat.
Ibnu Taimiyah merupakan seorang penulis yang produktif, selain fatwa yang tak terhitung banyaknya, berbagai tuntunan akidah dan risalah tentang pertanyaan religius yang sangat beragam di berbagai bidang turut ditulisnya.
Dalam teologi terdapat Dar’ al-Ta’arrud (Menolak kontradiksi antara akal dan tradisi); dalam teologi Syiah, Minhaj al-Sunna (Jalan Sunnah Nabi) yang membantah Minhaj al-Karama (jalan kharisma) oleh teolog Imami Mutahhar al-Hilli (wafat tahun 1325); dalam polemik melawan orang Kristen, al- Jawab al-Sahih (Tanggapan yang benar); dalam filsafat, al-Radd ‘ala al-Mantiqiyyin (sanggahan untuk para ahli logika); di bidang ekonomi, al-Hisba fi al-Islam (Hisba dalam Islam); dan dalam politik, al-Siyasa al-Shar’iyya (Kitab pemerintahan sesuai dengan syariah)
Pemikiran Ibnu Taimiyah terhadap Teologi
Ibnu Taimiyah mengkritik kaum Asy’ariyah atas penolakan mereka terhadap kehendak bebas. Ia menganggap tindakan semacam itu menafikan ketentuan-ketentuan agama dan menyisihkan agama sebagai landasan etika. Baginya, manusia adalah pelaku asli yang memilki kehendak bebas.
Ibnu Taimiyah juga merasa keberatan dengan pandangan Muktazilah yang menyamakan Allah dengan esensi-Nya.
Baginya, Islam pertama-tama adalah sebuah agama kenabian dengan penekanan pada wahyu dalam membimbing manusia. Metode agama dan teologi yang menetapkan nalar manusia sebagai sumber kebenaran, sepenuhnya keliru dalam konteks keagamaan.
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa Allah itu kekal mutlak dan satu-satunya sumber perintah moral bagi manusia. Tidak ada satupun sumber pengetahuan kecuali wahyu Allah. Oleh karena itu, umat Islam harus berfokus kepada tafsir tekstual wahyu Allah.
Kritik Ibnu Taimiyah terhadap Filsafat
Ibnu Taimiyah menganggap para filosof yang menggunakan analisis logika dan sebab-akibat telah salah memperlakukan Allah sebagai sebuah prinsip impersoal, yang tidak menciptakan dunia dan tidak memiliki pengetahuan tentang bagian-bagian terperincinya.
Doktrin-doktrin filsafat seperti ini dianggapnya bertentangan dengan satu-satunya sumber kebenaran yang dimiliki umat Islam yaitu wahyu.
Selain itu, metodologi filsafat karena terbatas pada logika artinya pada penelasan konsep-konsep dan pembentukan argumen-argumen yang sahih tidak dapat diterapkan pada teologi.
Kritik Ibnu Taimiyah terhadap Sufiisme
Ibnu Taimiyah memperluas kritiknya kepada para teoretisi sufi. Misalnya kritik terhadap Ibnu Arabi yang menganjurkan mistisisme monistik.
Bagi Ibnu Taimiyah, para sufi secara khusus bersalah karena mereka menulis sesuatu yang bertentangan dengan transendensi mutlak Allah.
Sebagai contoh Ibnu Arabi memberlakukan universal-universal pada Allah, yang berarti kesempurnaan Allah memerlukan perwujudan universal-universal itu. Dengan demikian, ia serta para teoretisi mistisisme lain yang menekankan pada perwujudan Allah, secara keliru menyamakan Allah dengan makhluk, baik dalam wilayah yang benar-benar alami atau dengan fenomena pengalaman eksistensial manusia yang bersifat disengaja.
Konfrontasi Gerakan Wahhabi dan Turki Utsmani Abad XVIII-XIX
Spiritualisasi terhadap fenomena psikologis ini dianggapnya salah, baik secara logika maupun moral. Penggambaran kesatuan ini melanggar kemandirian mutlak Allah dari alam semesta dan mengorbankan transendensi demi menonjolkan imasensiNya.
Kritik terhadap Syiah dan Kristen
Ibnu Taimiyah meneruskan langkahnya dengn mengkritik kaum Syiah. Ia memandang mereka sama dengan kaum Yahudi dalam mengklaim status khusus untuk diri mereka sendiri, sebab kaum Syiah tenggelam dalam mitos dan keunikan sang imam, kemustahilannya berbuat salah, dan ikatan istimewanya dengan Allah. Sebuah kedudukan yang hanya diberikan oleh Ibnu Taimiyah untuk Nabi Muhammad (Q.S al-Maidah: 20, al-Taubah: 30-31.
Orang-orang Kristen pun tidak luput dari kritik tajam Ibnu Taimiyah. Ia menganggap orang-orang Kristen berada dalam kebodohan serupa dalam kepercayaan mereka kepada Trinitas, pengubahan terhadap Injil dan praktik-praktik antimonoteistik mereka.
BIBLIOGRAFI
Bowering, Gerhard. 2013. The Princeton Encyclopedia of Islamic Political Thought. New Jersey: PrincentonUniversity Press.
Taimiyah, Ibnu. 2008. Kumpulan Fatwa Ibnu Taimiyah. Jakarta: Pustaka Azzam.
Taimiyah, Ibnu. 1977. Aqidah Tengah. Yogyakarta: Sumbangsih.
Hamid, Sha’ib Abdul. 2009. Ibnu Taimiyah: Rekam Jejak Sang Pembaharu. Jakarta: Citra.
Kamal, Zainun. 2006. Ibn Taimiyah Versus Para Filosof Polemik Logika. Jakarta: RajaGrafindo Persada.