Perbudakan, mendengar istilah itu kita yang hidup pada masa sekarang mungkin akan mengerutkan dahi, apalagi saat melihat praktek perbudakan yang dilakukan oleh ISIS terhadap perempuan Yazidi beberapa waktu lalu. Bagaimana bisa seorang manusia memiliki hak untuk menjadikan orang lain sebagai properti. Akan tetapi jangan heran, apabila praktek tersebut lazim dilakukan pada masa lalu, meskipun dalam prakteknya terdapat perbedaan yang cukup tajam.
Praktek perbudakan merupakan salah satu institusi tertua dalam sejarah manusia (Philips, 1993: 157; Toledano, 1997: 3; Malekian, 2011: 225). Tidak hanya sebagai salah satu yang tertua tetapi juga terluas. Budak eksis di hampir seluruh peradaban kuno mulai Sumeria, Babilonia hingga Mesir.
Meskipun memiliki sejarah panjang, perbudakan masih menjadi topik minor yang jarang dikaji. Ada pun kajian mengenai perbudakan biasanya didominasi oleh perbudakan perkebunan di Dunia Baru, terutama Karibia, Brasil dan Amerika Serikat.
Di Timur Tengah atau dunia Islam, studi mengenai perbudakan juga masih sangatlah sedikit. Bahkan isu ini seringkali dianggap sebagai isu yang sensitif bagi sejarawan muslim. Akibatnya perbudakan tidak pernah menjadi bagian dalam tradisi historiografi Islam yang penuh glorifikasi.
Perbudakan Masa Islam
Di Timur Tengah kuno, perbudakan telah lama hadir sama halnya dengan di tempat lain. Hal ini dibuktikan dengan catatan-catatan tertulis kuno dari bangsa Sumeria, Babilonia, Mesir, dan bangsa kuno lainnya.
Pada zaman kuno ini, sebagian besar budak menjadi milik raja, pemuka agama, dan tokoh besar lainnya, sementara hanya sebagian kecil yang dimiliki secara pribadi. Biasanya mereka berasal dari tawanan perang yang kemudian dipekerjakan untuk mengolah ladang dan merawat kawanan ternak kerajaan.
Menariknya, perbudakan tetap eksis meski telah muncul agama-agama samawi di Timur Tengah. Ketiga agama samawi (Yahudi, Nasrani, Islam), menerima dan mengakui eksistensi perbudakan (Lewis, 1990).
Saat Nabi Muhammad mulai menyiarkan agama Islam pada abad ke-7, perbudakan sudah menjadi institusi yang mengakar dan diterima secara luas di Arab. Bahkan, Arab dan Mesir pada masa itu adalah titik akhir dari jalur perdagangan budak yang berasal dari Sudan dan Somalia.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila Muhammad menerima dan memandang perbudakan sebagai bagian tak terpisahkan dari struktur sosial kompleks yang ada (Hamel, 2013: 18).
Dalam melihat perbudakan, nabi menggunakan pendekatan reformis dan bukan revolusioner. Ia tidak berencana untuk menghapuskan perbudakan secara penuh dalam waktu singkat. Sebaliknya, ia memiliki tujuan untuk memperbaiki kehidupan para budak, dengan cara memperlakukan mereka secara manusiawi.
Sikap nabi terhadap perbudakan kembali ditekankan pada saat haji wada’, ia berpesan agar memberi para budak makanan dan pakaian sesuai yang dimakan dan dikenakan majikannya. Apabila para majikan tidak dapat merawat para budaknya, maka hendaklah mereka membebaskannya (Gordon, 1989: 19).
Tidak adanya pendekatan lebih radikal untuk menghapus perbudakan pada masa itu dapat dimaklumi, mengingat perbudakan telah mengakar lama di Timur Tengah. Di Arab sendiri, budak adalah salah satu mesin utama dari perekonomian Arab dan telah menjadi bagian dari kehidupan sosial. Penghapusan budak tentu memberikan dampak besar bagi masyarakat dan bukan tidak mungkin menimbulkan kekacauan.
Tanpa adanya gerakan yang bertujuan menghapus perbudakan, akhirnya mengakibatkan institusi ini terus berkembang pada masa Islam.
Di bawah hukum Islam, ada dua cara untuk memperbudak orang lain. Pertama melalui jihad atau perang suci dan yang kedua berasal dari keturunan dari orang tua budak. Jadi apabila pasangan budak melahirkan anak, maka otomatis anak tersebut juga menjadi budak. Dua metode ini digunakan untuk memastikan hanya non-muslim yang diperbudak (Ibid: 24).
Jihad menjadi salah satu filosofi utama pada periode ekspansi besar agama pada abad pertama Islam. Banyak wilayah yang ditundukkan dalamperiode ini, namun di sisi lain juga muncul pertanyaan terbuka, dari sekian ekspansi tersebut apa tujuan suci jihad masih menjadi motivasi utama atau justru motivasi untuk mengumpulkan harta rampasan dan budak lebih dominan? Pertanyaan ini menjadi landasan untuk melakukan penelitian yang lebih komprehensif, khususnya dalam periode ekspansi Islam setelah wafatnya Nabi.
Perkembangan Sistem Budak
Pada perkembangannya, budak tidak hanya diperoleh melalui dua metode itu, tetapi budak juga diperoleh melalui praktek jual beli. Kegiatan ini tidak menentang hukum al-Quran dan mulai diperkenalkan oleh Muawiyah, Khalifah pertama Dinasti Umayyah. Sejak saat itu pun kegiatan jual beli budak semakin berkembang di dunia Islam.
Dalam kegiatan jual beli ini, terdapat tingkatan harga budak yang ditentukan berdasarkan aspek seksual. Laki-laki yang dikebiri memiliki harga termahal, diikuti oleh wanita muda dan berkulit putih.
Islam memang melarang para majikan untuk mengeksploitasi para budak wanita dan memaksanya untuk menjadi pelacur. Ini adalah reformasi yang cukup besar, karena praktek menjual budak untuk prostitusi merupakan praktek umum di Timur Tengah pra-Islam. Kendati demikian, Islam masih memberikan kelonggaran terhadap para majikan, dengan memperbolehkannya menyetubuhi para budaknya (Milk al- yamin) (Ali, 2010: 164).
Sebagai selir, mereka tentu menerima hak istimewa tambahan berupa makanan dan pakaian dengan kualitas lebih baik. Mereka juga dibebaskan dari tugas rumah tangga, sehingga secara eksklusif mereka hanya memiliki tugas melayani tuannya (Ali, 2006: 40).
Tidak hanya dijadikan sebagai selir, akan tetapi pada perkembangannya para budak perempuan ini juga dijadikan sebagai hadiahi penguasa-penguasa dinasti Islam masa itu, sebagai bagian dari proses diplomasi.
Contoh penggunaan budak sebagai hadiah diplomasi dapat dilihat pada praktek yang dilakukan oleh Musa ibn Nusayr, Gubernur Ifriqiya. Saat menaklukkan sisa-sisa suku Berber di Afrika Utara, ia juga turut menawan sekitar 300 ribu orang-orang Berber. Dari jumlah tawanan yang fantastis ini, sebagian tawanan direkrut untuk menjadi tentara, sebagian budak perempuan dijadikan sebagai hadiah untuk para penguasa di Mesir dan Damaskus, dan sisanya dijual (Hamel, 2013: 115).
Nampaknya perbudakan sulit dilepaskan dari perkembangan peradaban Islam, karena saat Islam memasuki puncak kejayaan yakni pada masa Daulah Abbasiyah, institusi perbudakan masih menjadi salah satu element penting dalam kehidupan masyarakat.
Selama periode ini muncul kategorisasi budak, yaitu budak kulit hitam (abd) dan budak kulit putih (mamluk dan kuls). Munculnya kategorisasi berdasarkan warna kulit ini juga memunculkan perbedaan tugas dari masing-masing budak (Lewis, 1990).
Apabila budak kulit hitam biasanya ditugaskan sebagai petani dan urusan domestik, maka budak Mamluk dan kuls ditempatkan di posisi militer dan administrasi. Orang-orang Turki sangat disukai sebagai budak militer karena mereka cakap menggunakan busur panah, pandai berkuda, dan memiliki loyalitas kepada tuannya.
Selain loyal, budak-budak militer juga memiliki fungsi lain, menurut para ahli penggunaan tentara budak memungkinkan para penguasa untuk menguatkan kontrol mereka atas suatu wilayah dan melemahkan basis kekuasaan elit lokal yang dapat mengancam kekuasaan pusat (Chaney, 2012: 366).
Dengan munculnya kategori budak berdasarkan warna kulit ini, muncul pula perbedaan perlakuan terhadap mereka. Dalam prakteknya budak kulit putih memiliki kebebasan lebih besar dibandingkan budak kulilt hitam. Mereka dapat mencapai status sosial yang lebih tinggi jika kinerjanya baik, sedangkan budak kulit hitam mendapat kesempatan lebih terbatas. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila setelah masa Ummayah jarang sekali ditemukan catatan sejarah yang menceritakan budak kulit hitam dengan posisi strategis di lingkungan istana (Lewis, 1990).
Kategorisasi ini pula yang akhirnya melahirkan beberapa dinasti budak salah satunya Mamluk di Mesir. Dinasti ini dipimpin oleh para budak yang sebelumnya bertugas di bidang militer dan administrasi.
Daftar Pustaka
Ali, Kecia. Sexual Ethics and Islam Feminist Reflections on Qur’an, Hadith, and Jurisprudence. Oxford: One World, 2006.
Ali, Kecia. Marriage and Slavery in Early Islam. Cambridge: Harvard University Press, 2010.
Chaney, Eric; George A. Akerlof; dan Lisa Blaydes. “Democratic Change in the Arab World, Past and Present”. Brookings Papers on Economic Activity, 2012.
Gordon, Murray. Slavery in The Arab World. New York: New Amsterdam Books, 1989.
Hamel, Chouki El. Black Morocco: A History of Slavery, Race, and Islam. Cambridge: Cambridge University Press, 2013.
Lewis, Bernard. Race and Slavery in the Middle East: an Historical Enquiry. Oxford: Oxford University Press, 1990.
Malekian, Farhad. Principles of Islamic International Criminal Law. Leiden: Brill, 2011.
Philips, John Edward. “Some Recent Thinking on Slavery in Islamic Africa and the Middle East”. Middle East Studies Association Bulletin, Vol. 27, No. 2, 1993.
Toledano, Ehud R. Slavery and Abolition in the Ottoman Middle East. Seattle: University of Washington Press, 1998.