Dinasti Umayyah: Periode Awal (41-64H)

dinasti Umayyah
Masjid Umayyah

Sejak akhir pemerintahan Utsman ibn Affan, umat Islam menghadapi cobaan berat dalam bidang politik kekuasaan. Perebutan kekuasaan yang terjadi di antara umat Islam pada waktu itu, disebabkan hampir setiap kelompok masyarakat muslim  merasa berhak memperoleh tampuk kepemimpinan sebagai khalifah. Perebutan kekuasaan mengakibatkan melemahnya persatuan dan pertumpahan darah antara sesama umat, situasi yang demikian pelik ini terjadi hingga masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib, yang dapat dikatakan tidak dapat dilepaskan dari intrik perebutan kekuasaan. Baru ketika memasuki pemerintahan Muawiyah ibn Abu Sufyan (dinasti Umayyah), umat Islam perlahan-lahan dapat bangkit, dan berkonsolidasi kembali membentuk suatu pemerintahan muslim yang kuat.

Dalam perkembangannya dinasti Umayyah memberikan kontribusi besar dalam kemajuan peradaban Islam. Meskipun demikian, banyak sejarawan yang menganut fanatisme kelompok, mencoba memutar balikkan mengenai sejarah dinasti Umayyah. Beberapa diantara mereka mengatakan bahwa periode dinasti Umayyah merupakan masa kegelapan umat Islam dan mengeluarkan statement-statement yang menjatuhkan, tanpa memperhatikan kontribusi yang diberikan dinasti tersebut. Untuk itu pada pembahasan penulis ingin mengulas lebih jauh mengenai sejarah dinasti Umayyah periode awal, tanpa adanya unsur fanatisme untuk menyerang dinasti tersebut.

Hubungan Bani Umayyah dan Bani Haysim

dinasti Umayyah
Silsilah Umayyah

Jika diruntut berdasarkan nasabnya, dinasti Umayyah berasal dari Umayyah bin Abdu Syams. Umayyah mempunyai hubungan darah dengan Bani Hasyim, karena sama-sama berasal dari keturunan Abdu Manaf.  Umayyah merupakan seorang hartawan, sehingga ia memaksa diri untuk mengikuti kebiasaan Hasyim bin Abdu Manaf  (Nasab Rasulullah) memberi makanan kaum Quraisy, dan memberi minum terhadap jamaah haji. Akibatnya timbul rivalitas antara keduanya untuk memperoleh kehormatan, dan kedudukan tertinggi di komunitas Quraisy yang pada waktu itu sangat mementingkan hal semacam itu.

Rivalitas untuk menyediakan air minum, dan konsumsi bagi para jamaah haji, hampir meletuskan perang terbuka antara keduanya. Persaingan antara mereka dapat diselesaikan, setelah Ummayah menantang Hasyim untuk menyediakan 50 unta untuk disembelih di Mekkah, dan yang kalah harus meninggalkan Mekkah selama sepuluh tahun. Keduanya bersepakat untuk menyelesaikan permasalah tersebut di hadapan seorang dukun dari Bani al-Khuza’i (berdasar tradisi Mekkah saat itu).  Persaingan tersebut akhirnya dimenangkan oleh Hasyim setelah sang dukun memutuskan kemenangannya, dan mengakibatkan Ummayah pergi ke negeri Syam, dan menetap di sana selama sepuluh tahun.

Inilah kenyataan hubungan yang dibuktikan dengan kronologi sejarah antara Hasyim, dan Ummayah bin Abdu Syams. Persaingan antara paman, dan keponakan untuk memperoleh kehormatan tertinggi di kalangan Quraisy. Mereka melakukan persaingan secara terhormat, dan saling menghargai, bukan berdasarkan kedengkian, dan saling memusuhi. Tidak ada dendam yang mendarah daging antara Bani Ummayah, dan Bani Hasyim seperti yang diungkapkan sejarawan anti dinasti Umayyah. Justru pada perang Al-Fujjar, perang terakhir suku Quraisy beserta suku Kinanah melawan Suku Qais Ghailan. Pada pertempuran itu bani Ummayah, dan bani Hasyim dapat bersatu melawan suku Qais. Rasulullah sendiri terlibat dalam peperangan tersebut ketika berusia dua puluh tahun, dan berperang dibawah komando Harb bin Ummayah.

Berdirinya Pemerintahan Dinasti Umayyah

Pasca meninggalnya Ali bin Abi Thalib, sempat terjadi dualisme kekhalifahan dalam umat Islam. Muawiyah yang dinobatkan sebagai khalifah di Iliya’(Yerusallem) pada 40 H/660 M. Sementara itu, jabatan khalifah juga dipegang oleh Al-Hasan bin Ali (cucu Rasulullah), yang dibaiat oleh penduduk Irak. Al-Hasan menjabat sebagai khalifah umat Islam, menggantikan ayahnya yang terbunuh karena pemberontakan kaum Irak. Dualisme kekhalifahan menyebabkan perpecahan antara umat Islam, dan menyebabkan sulitnya mencapai persatuan.

Ketika menjabat sebagai khalifah, Al-Hasan menunjukkan kepribadian yang lembut, dan tidak menyukai pertumpahan darah. Meskipun begitu, Al-Hasan berbeda pandangan pengikutnya yang berasal dari Irak. Orang-orang Irak mempunyai keinginan untuk memerangi Muawiyah penguasa Syam, yang memang sejak zaman Ali bin Abu Thalib tidak mau tunduk. Pada dasarnya Al-Hasan mempunyai niatan untuk mengakhiri konflik berkepanjangan dengan Muawiyah, dan mengedepankan persatuan umat. Namun, upaya tersebut tersebut terbentur dengan keinginan warga Irak, Al-Hasan kemudian memanfaatkan situasi ini untuk menguji kesetiaan warga Irak kepadanya.

Akhirnya, Al-Hasan menuruti permintaan  orang-orang Irak untuk berangkat memerangi Muawiyah. Dia sengaja menyusahkan pasukannya. Dia menugaskan Qais bin Sa’ad untuk maju terlebih dahulu dengan membawahi dua belas ribu pasukan, sementara AL-Hasan berjalan di belakang pasukan itu. setibanya Al-Hasan di Mada’in, seorang penduduk Irak mengabarkan Qais telah terbunuh. Ketika kekacauan terjadi di tengah pasukan, penduduk Irak kembali ke tabiat asli mereka (tidak mempunyai pendirian yang teguh). Mereka justru menyerbu tenda Al-Hasan serta menjarah barang-barangnya, sampai karpet yang dipergunakan untuk alas pun mereka ambil. Tidak cukup dengan menjarah, salah satu dari mereka bahkan menusuk Al-Hasan hingga terluka.

Melihat pembangkangan pasukannya, Al-Hasan meyakini bahwa mereka tidak bisa diharapkan untuk memperoleh kemenangan. Sejak peristiwa tersebut semakin kuat lah keinginan Al-Hasan untuk berdamai dengan Muawiyah, dia mulai berkomunikasi dengan Muawiyah untuk merundingkan perdamaian. Melihat niatan ini, Muawiyah sangat senang dan segera mengutus Abdullah bin Amir, dan Abdurrahma bin Samurah untuk menemui Al-Hasan. Kedua utusan itu menemuinya di Mada’in, dan memberinya apa saja yang diinginkannya. Al-Hasan bersedia berdamai dengan syarat menerima lima ribu dirham dari Baitul Mal Kufah di samping syarat-syarat lainnya. Salah satu isi perjanjian tersebut, menjadikan Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai khalifah menggantikan Al-Hasan.

Melalui langkah beraninya itu, Al-Hasan perlahan-lahan berhasil menyatukan umat Islam kembali. Dia tidak memperdulikan kritik, dan cemohan dari orang-orang Irak yang telah mengkhianatinya.  Muawiyah tiba di Kufah pada 25 Rabiul Awwal 41 H/661 M dengan disambut oleh Al-Hasan, dan Al-Husain. Mereka berdua membaiatnya, dan kemudian diikuti umat Islam lainnya.umat Islam merayakan peristiwa besar ini, dan menyebutnya sebagai amul-Jama’ah (tahun persatuan). Dengan pembaiatan ini, maka negara Bani Umayyah resmi memegang kekuasaan. Pada perjalanannnya, Dinasti Umayyah berkuasa selama 92 tahun, dan kekhalifahannya dijabat empat belas orang khalifah.

Peralihan Kekuasaan kepada Muawiyah

Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah. Nama panggilannya Abu Abdur Rahman Al-Umawi. Dia, dan ayahnya masuk Islam pada saat penaklukkan kota Mekah, sehingga termasuk golongan akhir yang masuk Islam. Setelah memeluk Islam, dia ikut perang Hunain, dan meriwayatkan Hadis sebanyak 163 riwayat. Menurut Imam As-Suyuti,  Muawiyah merupakan pribadi yang memiliki kepintaran, dan kesabaran.

Muawiyah menjabat sebagai khalifah dengan segudang pengalaman panjang dalam memerintah, dan mengelola pemerintah. Kekuasaannya sebagai gubernur Syam selama lebih dari dua puluh tahun memberinya banyak pengalaman untuk menjalankan roda kekhalifahan.  Ketika di Syam, ia banyak melakukan inovasi-inovasi dalam bidang pemerintahan, hal itu juga terjadi ketika ia menjabat sebagai khalifah.

Muawiyah melakukan perubahan-perubahan di dalam administrasi pemerintahan, dan membentuk pasukan pengawal raja. Pada masa pemerintahannya dibangun bagian khusus di dalam masjid, sebagai upaya pengamanan khalifah selama menjalankan Sholat. Tentu saja, ia berkaca pada kasus terbunuhnya Ali ketika akan menjalankan sholat.

Selain itu, Muawiyah memperkenalkan materai resmi untuk pengiriman memorandum yang berasal dari khalifah. Ia pula yang pertama kali menggunakan pos untuk mengumumkan kejadian-kejadian penting dengan cepat. Kuda-kuda yang terlatih ditempatkan di pos pemberhentian tertentu, sehingga petugas yang tiba di tempat itu dapa menggantikan kudanya yang kelelahan, dan dapat meneriskan perjalanannya sampai ke pos berikutnya.

Muawiyah, dan Rencana Penaklukkan Konstantinopel

Saat masih menjabat sebagai gubernur Syam, Muawiyah telah membangun angkatan laut yang kuat, dan sebagai bukti kehebatan pasukan angkatan laut tersebut yaitu mengalahkan pasukan yang dipimpin langsung kaisar Constance II dalam pertempuran  Dzatush Shawari. Pada pertempuran tersebut, angkatan laut Byzantium kalah telak, dan Kaisar Byzantium hampir terbunuh. Karena itu, tidak mengherankan Muawiyah mempunyai strategi, dan kebijakan yang terukur untuk menguasai ibu kota Byzantium, Konstantinopel. Pengalaman yang dimiliki Muawiyah  dalam tata kelola pemerintahan Syam, menjadikan ia jeli dalam melihat ancaman terhadap Islam. Ketika itu, ia melihat imperium Byzantium sebagai ancaman terbesar umat Islam.

Pada periode awal pemerintahannya sebagai khalifah, ia merumuskan sebuah tujuan yang jelas dalam pemerintahannya, yaitu menekan pemerintahan Byzantium dengan cara mengepung Konstantinopel, sekaligus sebagai upaya untuk menguasainya. Dalam mewujudkan tujuannya, Muawiyah menerapkan beberapa kebijakan penting, antara lain:

  1. Memperhatikan peran industri kapal di Mesir, dan Syam, dengan memilih tenaga kompeten untuk mengerjakan pembuatan kapal. Tentu saja hal ini bertujuan untuk memperkuat angkatan laut Islam dan mampu mengarungi Laut Mediterania dengan cepat.
  2. Memperkuat benteng-benteng pertahanan daerah pesisir Mesir, dan Syam. Hal ini dilakukan agar daerah-daerah itu mampu menghadapi serangan angkatan laut Byzantium sekaligus menjadi pangkalan militer angkatan laut Islam.
  3. Menguasai pulau-pulau yang terletak di sebelah Timur Laut Mediterania. Rencana ini dimulai dengan menguasai pulau Siprus, dan Rhodes. Pengembangan kekuasaan ini sebagai langkah awal untuk mencapai Konstantinopel

Pengepungan Pertama Konstantinopel

Setelah Muawiyah merampungkan segala persiapannya, mulailah pasukannya menggempur Konstantinopel.untuk itu, ia mengirimkan pasukan pengintai yang dipimpin Faddhalah bin Ubaid al-Anshar, untuk mengukur kekuatan pertahan kota tersebut. Pasukan pengintai itu berhasil menguasai semua benteng Byzantium dalam perjalanannya hingga ke kota Chalcedon (salah satu distrik Konstantinopel). Faddlah pun membangun pangkalan militer di sana, pada musim dingin tahun 668-669. Di kota tersebut, ia mempersiapkan pasukan sekaligus menunggu pasukan tambahan dari Damaskus.

Setelah bantuan pasukan tiba, Serangan besar dilancarkan guna mengepung Konstantinopel untuk pertama kalinya. Pada pengepungan ini, kepemimpinan diambil aloh oleh Sufyan bin Auf. Muawiyah juga menugasi, Yazin bin Muawiyah, sebagai pengawas pasukan itu. Pertempuran besar ini terjadi pada tahun 49 H, namun sangat disayangkan perjuangan penaklukkan Konstantinopel ini harus berakhir dengan kegagalan. Kampanye militer ini harus kembali pulang, tanpa membawa hasil karena kekohan kota tersebut.

Meskipun serangan tersebut tidak berhasil menguasai Konstantinopel, tetapi mempunyai dampak politik yang luar biasa. Sebab, setelah pertempuran tersebut, kaisar Byzantium fokus mempertahankan ibu kota mereka, karena mereka khawatir akan serangan kembali umat Islam.

Pengepungan Kedua Konstantinopel

dinasti umayyah
Ilustrasi pengepungan Konstantinopel

Kegagalan dalam usaha pertama menaklukkan Konstantinopel, tidak mematahkan semangat pasukan Muawiyah untuk menguasainya. Sekembalinya mereka dari pengepungan, mereka berhasil menguasai Pulau Rhodes, dan Arwad. Penguasaan ini memiliki arti penting karena dekat dengan Konstantinopel, sehingga pulau-pulau tersebut dijadikan sebagai pangkalan militer angkatan laut muslim untuk mengepung kembali Konstantinopel.

Pada usaha kedua ini, Muawiyah bin Abu Sufyan mempersiapkan, dan mengerahkan armada besar untuk mengepung Konstantinopel.  Pengepungan yang kedua ini dikenal dengan nama Perang Tujuh Tahun. Ketika peperangan berlangsung armada laut Islam senantiasa di hadapan tembok Konstantinopel dari tahun 54-60H. Angkatan laut Islam melengkapi pengepungannya dengan menyiapkan kapal-kapalnya di antara Hebdomon, dan Cyclobion.

Selama itu pula terjadi beberapa kali bentrokan antara armada pasukan muslim dan armada Byzantium. Pada saat yang bersamaan, angkatan darat umat Islam bentrok dengna angkatan darat Byzantium, yang berjaga di sepanjang tembok Konstantinopel dengan melontarkan panah, dan ketapel raksasa. Situasi, dan kondisi ini terus berlanjut selama tujuh tahun. Hal ini disebabkan, aktivitas perang hanya terjadi pada dua musim, yaitu musim gugur, dan panas, karena sulitnya perang pada musim dingin.

Meskipun pasukan umat Islam telah berusaha semaksimal mungkin, tetapi kota ini tetap kokoh di depan mereka. Setidaknya terdapat beberapa faktor yang menhambat keberhasilan misi ini:

  1. Hambatan alam sekitar Konstantinopel
  2. Kekokohan bentengnya. Pasca pengepungan pertama, kaisar Constantine IV telah memperbaiki tembok-tembok Byzantium, dan memperkuat sistem pengamanannya.
  3. Senjata Api Yunani Byzantium, menghancurkan banyak kapal pasukan muslim. senjata ini berupa persenyawaan kimia yang terdiri atas minyak, belerang, dan aspal. Persenyawaan ini jika disulut dengan api, kemudian disiram dengan air justru apinya membesar. Senjata ini ditemukan oleh insinyur Suriah bernama Kalinkos, seorang pembelot dari pasukan muslim.
  4. Ombak laut hitam yang sangat besar.

Akhirnya, pada tahun 60 H akibat situasi politik dalam negeri, kedua negara mengakhiri pertempuran. Mereka melakukan perundingan genjatan senjata, dan dengan disetujuinya perjanjian damai, pasukan dan armada Islam pun harus kembali ke Syam, sekaligus menandai berakhirnya pengepungan selama tujuh tahun di Konstantinopel. Pada tahun yang sama, Muawiyah meninggal dunia ketika berumur 60 tahun. Kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya, Yazid bin Muawiyah. Sebelumnya, Muawiyah telah mengeluarkan program penerimaan baiat bagi putranya, Yazid bin Muawiyah, sekaligus menandai berakhirnya bentuk pemerintahan demokratis. Kekhalifahan menjadi sistem monarki herideti (turun temurun), yang diperoleh dengan pedang, dan diplomasi, tidak dengan pengambilan suara terbanyak.

Kebijakan Muawiyah ini dimulai dengan mewajibkan seluruh rakyatnya untuk berbaiat kepada Yazid sebagai penggantinya kelak. Pergantian secara turun temurun yang berdasarkan politik pun dimulai. Muwaiyah bermaksud untuk mencontoh model pemerintahan Monarki di Persia, dan Byzantium. Dalam perkara ini dia mengatakan “Saya adalah raja pertama dari pada raja-raja.” Seperti layaknya sebuah kebijakan, pasti menimbulkan pro dan kontra, hal ini juga berlaku pada deklarasi Muawiyah yang menyebabkan pergerakan oposisi dari rakyat.

Dinasti Umayyah Periode Yazid bin Muawiyah

Pembaiatan Yazid Sebagai Khalifah

Yazid bin Muawiyah, merupakan khalifah kedua dinasti Ummayah. Ia memerintah menggantikan ayahnya, yang meninggal pasca pengepungan kedua Konstantinopel. Yazid bin Muawiyah, lahir pada tahun 25 H atau 26 H. Dia bertubuh gemik, dan berbulu. Ibunya yang berasal dari suku Badui bernama Maysun binti Bahdal Al-Kalbiyah.  Muawiyah mendidik Yazid dengan pendidikan Arab, dan Islam, dengan cara mengirimnya ke pedalaman di bawah pengasuhan paman-pamannya dari pihak ibunya, yaitu Bani Kalb, tujuannya agar ia tumbuh besar di lingkungan khas pedalaman yang keras, jantan, dan ksatria. Selain itu, agar ia belajar bahasa Arab yang murni.Pendidikan di pedalaman membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Yazid tumbuh menjadi ahli syair yang fasih, tokoh sastra yang cerdas, dan pandai mengambil sikap.

 Ayah Yazid, Muawiyah bin Abu Sufyan, meninggal pada pertengahan Rajab 60 H. Tampuk kekhalifahan pun dilimpahkan kepada Yazid bin Muawiyah pada hari itu juga. Pada saat itu Yazid sedang tidak berada di Damaskus. Maka, Adh-Dhahhak bin Qais mewakilinya untuk menerima baiat. Ketika Yazid datang, ia disambut delegasi berbagai negeri, para jenderal, dan tokoh-tokoh terkemukan Arab. Semuanya berbela sungkawa atas kematian Ayahnya, sekaligus mengucapkan selamat atas pengangkatannya sebagai khalifah.

Berdasarkan deklarasi sebelumnya umat Islam saat itu telah sepakat membaiat Yazid. Hanya terdapat dua tokoh yang menolak untuk berbaiat kepadanya, mereka adalah Al-Husain bin Ali, dan Abdullah bin Az-Zubair. Pemerintahan Yazid bertahan selama tiga setengah tahun. Selama masa pemerintahannya, tiga peristiwa penting terjadi. Pada tahun pertama, Tragedi Karbala yang menyebabkan Al-Husain terbunuh, pada tahun kedua, penyerbuan ke Madinah, dan pada tahun ketiga peperangan dengan Abdullah Az-Zubair di Mekkah.

Meskipun pemerintahannya tidak terlepas dari intrik politik kekuasaan, perluasan wilayah justru tidak pernah berhenti pada masanya. Pada tahun 63 H, Yazid mengirimkan pasukannya yang dipimpin Uqbah bin Nafi’ ke Afrika Utara yang berhasil mencapai pesisir Samudera Atlantik. Selanjutnya, ia mengirimkan pasukannya untuk menyerbu kawasan Transoxiana, sehingga pasukan Islam menyeberangi sungai Jihun (Oxus) di bawah komando Salm bin Ziyad, ekspansi ini menyebabkan penduduk Khawarizm, Samarkad, dan Khajandah meminta perundingan damai.

Tragedi Karbala 10 Muharam, 61 H

Ketika Muawiyah memegang tampuk kekhalifahan, kelompok Syi’ah tidak pernah melakukan pemberontakan terbuka terhadap Muawiyah bin Abu Sufyan. Begitu pula Al-Husain bin Ali yang dianggap kelompok Syiah sebagai imam, dan pemimpin mereka. Bahkan Al-Husain juga tidak menggubris ajakan penduduk Irak untuk memberontak terhadap Muawiyah.

Muawiyah secara umum memperlakukan Al-Husain dengan sebaik-baiknya. Meskipun demikian, pasca meninggalnya Muawiyah pada tahun 60 H, kondisi berubah. Dari sanalah meletus perlawanan Al-Husain terhadap Yazid bin Muawiyah. Saat Muawiyah meninggal, Al-Husain sedang berada di kota Madinah. Yazid kemudian mengutus wali kota Madinah, Al-Walid bin Utbah. Melalui walikota, Yazid memberi kabar kematian Muawiyah, dan memerintahkan agar Walid menerima baiat Al-Husain, dan Abdullah bin Az-Zubair. Ketika Walid memanggil, dan meminta baiat dari mereka untuk Yazid bin Muawiyah. Mereka meminta waktu tenggang, tetapi tidak pernah memberikan baiat.

Pada malam yang sama, Al-Husain dan Ibnu Az-Zubair pergi ke Mekkah. Ketika dalam perjalanan ke Mekkah, mereka bertemu dengan Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar. Ketika bertemu, Ibnu Abbas, dan Ibnu Ummar memberikan nasehat kepada mereka berdua, supaya bertakwa kepada Allah dan jangan pecah belah kaum muslim.

Sesampainya di Mekkah, utusan-utusan, dan surat-surat berdatangan dari Kufah yang bernada penuh emosi. Mereka berkata kepada Al-Husain, “Kami telah menahan diri kami demi engkau. Kami tidak Sholat Jumat bersama penguasa. Maka, datangilah kami.” Karena mereka terus memaksa, Al-Husain memerintahkan saudara sepupunya, Muslim bin Uqail, untuk pergi ke Kufah dalam rangka membuktian kebenarannya.

Muslim berangkat dari Mekkah pada pertengahan Ramadhan, dan tiba di Kufah pada tanggal 5 Syawal 60 H. Mengetahui kedatangan Muslim, penduduk Kufah datang menemuinya. 12 ribu orang berjanjuisetia padanya. Ada yang berpendapat 18 ribu. Kecerobohan gubernur Kufah, An-Nu’man bin Basyir al-Anshari, membuat orang-orang Kufah leluasa berhubungan dengna Muslim. Mendengar penuturan penduduk Kufah, Muslim kemudian mengirim utusan kepada Al-Husain tentang janji setia penduduk Kufah, dan bahwa keadaan baik-baik saja. Muslim juga meminta Al-Husain untuk datang ke Kufah.

Pada saat Muslim bin Uqail menunggu kedatangan Al-Husain, salah seorang pendukung Yazid di Kufah, melaporkan hal itu kepada khalifah Yazid. Yazid pun memecat An-Nu’man, dan menggantinya dengan Ubaidillah bin Ziyad gubernur Bashrah. Yazid kemudian memerintahkan Ubaidillah bin Ziyad agar membunuh Muslim. Ubaidillah segera ke Kufah dan mencari Muslim. Saat itu Muslim bersembunyi di rumah salah seorang tokoh Kufah, Hani bin Urwah Al-Muaradi. Ketika Ubaidillah mengetahui persembunyiannya, ia menangkap mereka berdua, dan langsung membunuhnya.

Sifat asli penduduk Kufah mulai nampak, ketika Ubaidillah mengeksekusi Muslim, dan Hani. Mereka layaknya patung yang diam melihat Hani, dan Muslim dibunuh di depan mereka. Mereka mengingkari janji mereka kepada Al-Husain. Sehingga Muslm bin Uqail menjadi korban atas sikap tergesa-gesanya sendiri. ia tidak menyelidiki loyalitas, dan ketulusan penduduk Kufah terlebih dahulu.

Ketika surat Muslim bin Uqail tentang janji setia penduduk Kufah, dan kepatuhan sampai kepada Al-Husain, dia telah siap berangkat ke sana. Beberapa sahabat sempat melarangnya berangkat, namun hal tersebut tidak mengurungkan niat Al-Husain untuk ke Kuffah. Dia berangkat bersama keluarganya, dan sekitar 70 pasukannya. Sesampai mereka di Al-Qadisiyah, Al-Hurr bin Yazid At-Tamimi memberitahukan kabar, bahwa Muslim bin Uqail telah terbunuh, dan meminta Al-Husain untuk kembali.

Mendengar kabar tersebut, Al-Husain sempat mempunyai pikiran untuk kembali, tetapi saudara-saudara Musli berkata “Demi Allah, kami tidak kembali sebelum kami membalas dendam atau kami semua terbunuh.” Nafsu untuk balas dendam telah menguasai saudara-saudara Muslim, mereka tetap memaksakan untuk membalas dendam meskipun itu sama saja misi bunuh diri.

Al-Husain pun terus melakukan perjalanan sampai Karbala. Sementara itu, Ubaidillah bin Ziyad yang mengetahui keberangkatan Al-Husain ke Karbala, telah mempersiapkan pasukan untuk memeranginya. Panglima pasukan itu adalah pura seorang sahabat, yakni Umar bin Sa’ad bin Abu Waqqash. Pasukan tersebut berkekuatan 3000 pasukan.

Ketika di sampai di Karbala, kelompok Al-Husain bertemu dengan Umar bin Sa’ad. Kamp kedua kelompok tersebut berdekatan, dan orang-orang dari kedua kelompok ini bercampur baur. Bahkan, ketika waktu sholat tiba, sebagian pasukan Umar bin Sa’ad ikut sholat menjadi makmum Al-Husain. Pada waktu itu Al-Husain memberikan tawaran kepada Umar bin Sa’ad sebagaimana berikut: “Pilihlah antara engkau membiarkanku pulang ke tempat asalku, engkau membiarkanku menemui Yazid, atau engkau membiarkanku pergi ke daerah-daerah perbatasan.”

Umar bin Sa’ad senang mendengar tawaran Al-Husain, karena  saat ia berangkat untuk menghadang Al-Husain pun dengan berat hati. Umar bin Sa’ad kemudian menulis surat kepada Ubaidillah, perihal tawaran tersebut. Ibnu Ziyad menolak tawaran tersebut, dan hanya mau jika Al-Husain menjadi tawanan. Al-Husain tentu saja menolak menjadi tawanan, dengan mengatakan “Demi Allah, hal itu tidak akan terjadi selamanya.”

Dengan penolakan Al-Husain untuk menyerahkan diri kepada Ibnu Ziyad, terjadilah perang yang tidak seimbang. Al-Husain dan kelompoknya habis dibunuh. Diantara mereka ada tujuh belas pemuda Ahlu Bait. Sebelum terbunuh Al-Husain sempat mengatakan “Ya Allah putuskanlah hukum antara kami dan kaum yang mengundang kami untuk menolong kami lantas malah membunuh kami.”

Al-Husain terbunuh pada hari Asyura 10 Muharram, 61 H/ 10 Oktober, 680 M. Setelah itu kepala jasadnya dipenggal oleh Shimr bin Dhiljawshan dan dikirimkan kepada Yazid beserta dan istri-istrinya dan saudara-saudara perempuannya. Anak laki-laikinya yang tersisa hanyalah Ali Zainal Abidin. Sesampainya di Damaskus, Yazid memasukkan mereka ke rumahnya, memuliakan mereka, dan mengasihani Ali bin Al-Husain. Kemudian Yazid menyiapkan mereka untuk dipulangkan ke Madinah, dan mengembalikan bagian kepala Al-Husain untuk dikuburkan.

Pada dasarnya Yazid sama sekali memerintahkan Ibnu Ziyad untuk membunuh Al-Husain, dan tidak merasa senang dengan peristiwa tersebut. Ketika Al-Husain meninggal ia menangisinya, dan sedih karena pembunuhan itu. Bahkan sebelum Al-Husain berangkat ke Kufah, Yazid sempat mengirimkan surat kepada Abdullah bin Abbas untuk mencegah keberangkatan Al-Husain.  Namun, sebagai pemimpin sikap kurang tegasnya dalam memberikan komando terhadap Ibnu Ziyad, juga menjadi penyebab tragedi tersebut terjadi. Seharusnya ia memberikan perintah jelas kepada Ibnu Ziyad, agar tidak membunuh Al-Husain, dan menyikapinya dengan bijaksana dan penuh pertimbangan. Apalagi, Muawiyah telah berwasiat sebelumnya agar ia memaafkan Al-Husain jika penduduk Irak memancingnya untuk bergerak.

Pemberontakan Warga Madinah, dan Pertempuran Al-Harrah (63H)

Pada tahun 63 H, warga Madinah memberontak terhadap Yazid bin Muawiyah. Pemberontakan ini diawali dengan pengiriman utusan dari Madinah, yang dikirimkan oleh walikota baru Madinah Utsman bin Muhammad. Utusan ini dipimpin oleh Abdullah bin Hazhalah Al-Anshari. Ketika sampai di Syam, Yazid memuliakan mereka, dan melimpahi mereka dengan hadiah.

Meskipun telah memuliakan mereka, sebelum rombongan utusan Madinah ini pulang, mereka sudah mengumumkan pemberontakan terhadap Yazid, dan tidak mau mematuhinya lagi. Ketika ditanya tentang alasan pemberontakan, mereka menjawab, “Yazid minum Khamar. Alat musik dimainkan untuknya. Ia juga meninggalkan sholat, dan melanggar hukum Al-Qur’an.”

Ketika pemberontak itu menemui Muhammad bin Ali (Ibnul Hanafiyah), untuk mengajaknyya bergabung.  Ibnul Hanafiyah berkata, “menurutku apa yang kalian tuduhkan itu tidak dilakukan Yazid. Aku pernah tinggal di kediamannya. Aku melihat sendiri Yazid rutin mendirikan sholat, gemar berderma, bertanya tentang masalah Fikih, dan melazimkan amasl sesuai As-Sunnah.” Setelah berdialog cukup lama, Ibnul Hanafiyah tetap teguh pada pendiriannya, dan tidak mau ikut berperang.

Gagal mengajak Ibnul Hanafiyah bergabung, kaum pemberontak ini kemudian mengangkat dua orang pemimpin. Abdullah bin Hazhalah Al-Anshari mereka nobatkan sebagai pemimpin kaum Anshar. Sementara Abdullah bin Muthi’ Al-Adawi mereka nobatkan sebagai pemimpin kaum Quraisy. Jika kita melihat dari pola gerakan pemberontakan ini, tujuan dari pemberontakan ini sama sekai tidak jelas, dan gerakan mereka tidak solid.

Yazid berharap dapat mengatasi pergolakan warga Madinah dengan cara yang bijak. Ia mengutus An-Nu’man bin Basyir Al-Anshari untuk mengajak kaum pemberontak agar kembali taat padanya, bersatu, dan tidak menyulut perpecahan umat. Usaha tersebut tidak membuahkan hasil, mereka menolaknya. Bahkan mereka mengusir walikota Madinah beserta seluruh Bani Umayyah dari Madinah.

Tindakan yang dilakukan para pemberontak, menyebabkan Yazid tidak mempunyai pilihan selain menghadapi pemberontak dengan cara militer. Akhirnya, ia mengirimkan pasukan besar di bawah komando Muslim bin Uqbah. Sebelum pasukan tersebut berangkat Yazid berpesan untuk menghimbau pemberontak itu sebanyak tiga kali, jika mereka tidak mau menerimanya maka perangilah.

Kaum pemberontak Madinah yakin bahwa Yazid tidak akan tinggal diam melihat perbuatan mereka, dan pasti segera mengirimkan pasukan. Mereka mengambil langkah-langkah untuk mengalahkan pasukan yang akan datang tersebut, yaitu merusak sumber-sumber air yang ada di antara Madinah, dan Syam, supaya pasukan yang dikirim Yazid mati kehausan. Selain itu, pemberontak juga membuat parit untuk menghalangi serangan. Namun, usaha tersebut sia-sia karena pada saat yang bersamaan daerah sekitar Madinah hujan lebat, sehingga pasukan tidak kekurangan air.

Setibanya pasukan Muslim bin Uqbah di Madinah, ia mengimbau pemberontak Madinah sebanyak tiga kali. Namun, mereka tidak menerimanya. Perang terbukan pun tidak terhindarkan. Kaum pemberontak Madinah, dalam pertempuran Al-Harrah ini, akhirnya dapat ditumpas. Abdullah bin Hanzhalah serta tokoh-tokoh pemberontak lain dapat dibunuh. Peristiwa ini terjadi pada 27 Dzuhhijjah, 63 H.

Setelah perang Harrah usai, Muslim bin Uqbah mengeluarkan perintah Ibahatul-Madinah (memperbolehkan pasukannya melakukan apa saja di Madinah) selama tiga hari. Ini adalah kesalahan tersebar yang mencoreng pemerintahan Yazid, karena selama waktu tiga hari itu pasukan-pasukan Muslim melakukan perampasan dan pengrusakan di Madinah. Tentu saja perbuatan tersebut tidak dapat dibenarkan, dan perbuatan tersebut dijadikan sebagai bahan untuk menyerang sejarah mengenai dinasti Umayyah, dan pemerintahan Yazid.

Konflik Abdullah bin Az-Zubair dan Yazid bin Muawiyah

Abdullah bin Az-Zubair memiliki nama lengkap Abdullah bin Az-Zubair bin AL-Awwam bin Khuwailid Al-Asadi. Dia merupakan anak dari Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Abdullah pada tahun 1 H, dia merupakan bayi muslim pertama yang dilahirkan di Madinah sejak kaum muslim hijrah ke kota itu. Abdullah tumbuh besar secara Islami murni di lingkungan Rasul dan sahabatnya. Dia merupakan sosok yang cerdas, tajam analisisnya, pemberani, dan mempunyai kecakapan dalam berperang.

Ketika Muawiyah dibaiat menjadi khalifah, ia mempunyai hubungan baik dengan Abdullah bin Az-Zubair. Muawiyah sering mengunjungi Abdullah, dan memujinya. Dari sinilah, Abdullah bin Az-Zubair turut serta dalam berbagai perang, dan jihad di era Muawiyah. Mulai dari pertempuran Ifriqiyyah, sampai pengepungan Konstantinopel.

Hubungan baik antara Abdullah dan Muawiyah terus berlangsung sampai Muawiyah mendeklarasikan pembaiatan terhadap putranya, sebagai pengganti. Abdullah bin Az-Zubair termasuk kelompok yang kontra dengan kebijakan tersebut. Setelah Muawiyah meninggal, hal yang diperhatikan Khalifah Yazid bin Muawiyah adalah menerima baiat dari Abdullah bin Az-Zubair, dan Al-Husain bin Ali. Khalifah mengirim utusan untuk menemui wali kota Madinah, Al-Walid bin Utbah, dan memerintahkannya menerima baiat dari kedua tokoh tersebut.

Ketika Abdullah, dan Al-Husain diundang Al-Walid, mereka meminta waktu kepada walikota untuk memberikan jawaban. Pada akhirnya mereka sama-sama tidak memberikan baiat, kemudian keduanya pergi menuju Mekkah.  Sesampainya di Mekah, Husain mendapatkan surat dari Kufah bahwa puluhan ribu orang Kufah telah menunggu untuk membaiat Al-Husain.

Ketika Al-Husain datang menemui Abdullah bin  Az-Zubair untuk memberitahukan permasalahan tersebut, Abdullah melarang Al-Husain untuk pergi ke Kufah “Sudikah engkau pergi menemui kaum yang telah membunuh Ayahmu, dan mengusir kakakmu?”. Perkataan Abdullah merupakan peringatan agar Al-Husain mengurungkan niatnya, namun nasehat Abdullah tersebut tidak dituruti Al-Husain, dan tetap berangkat ke Kufah.

Pasca meninggalnya Al-Husain, Ibnu Az-Zubair tetap memilih menjadi oposisi Yazid bin Muawiyah. Masyarakat berkumpul memihak Ibnu Az-Zubair karena mereka membenci Yazid atas terbunuhnya Al-Husain. Sementara itu, Yazid tidak menemukan celah untuk menumpas Ibnu Zubair, karena Ibnu Zubair berlindung di Masjidil Haram.

Yazid bin Muawiyha sangat marah dengan sikap Abdullah bin Az-Zubair, dan bersumpah hanya mau menerima baiat Abdullah jika ia sendiri yang datang ke Masjid Jami’ di Syam. Yazid pun memerintahkan wali kota Madinah untuk mengirim orang guna menjemput paksa Ibnu Az-Zubair ke negeri Syam. Walikota Madinah lantas mengirimkan Amr bin Az-Zubair, adik kandung Ibnu Zubair. Ketika pasukan Ibnu Zubair bertemu pasukan adiknya, dia berhasil menghancurkan pasukan tersebut, Amr sendiri terbunuh pada pertempuran itu.

Sejak pertempuran antara saudara itu,, Abdullah bin Az-Zubair tidak terjangkau oleh Khalifah Yazid, sampai akhirnya Muslim bin Uqbah Al-Murri menyerang Ibnu Zubair atas perintah Yazid, setelah menumpas pemberontakan Madinah pada akhir 63H. Namun, ditengah perjalanan ke Mekkah, Muslim bin Uqbah meninggal, dan komando pasukan diambil alih oleh Al-Hushain bin Numair As-Sakuni.

Pasukan Al-Hushain tiba di Mekkah pada tanggal 26 Muharram 64 H, tahun ketiga pemerintahan Yazid, dan mengepung Mekkah selama enam puluh empat hari. Selama itu, terjadi saling serang antara pasukan Ibnu Az-Zubair dan pasukan Syam yang menggunakan Manjaniq (ketapel raksasa) dari Gunung Qubais. Penyerangan tersebut menyebabkan kebakaran di Majidil Haram.

Ketika peperangan masih berlangsung, Khalifah Yazid meninggal dunia pada 14 April Rabi’ul Awaal 64 H. Mendengar kabar kematian Yazid, Ibnu Az-Zubair berteriak kepada pasukan Syam, “Untuk siapa kalian berperang? Pemimpin kalian yang durhaka telah meninggal!.” Teriakan Ibnu Az-Zubair memperlemah mental pasukan Syam, bahkan panglima pasukan Syam, Al-Hushain bin Numari, sempat ingin membaiat Ibnu Az-Zubair sebagai khalifah dan membawanya ke Syam. Tetapi, tawaran tersebut ditolak oleh Ibnu Az-Zubair, dan dia memilih bertahan di Mekkah.

Dengan keputusan Abdullah nim Az-Zubair bertahan di Mekkah,  pada tahun yang sama dia dibaiat orang-orang Mekkah, Madinah, dan Irak sebagai khalifah yang baru. Baiat tersebut terjadi pada 7 Rajab 64 H. Sayangnya, Ibnu Az-Zubair tidak tahu bagaimana mempertahankan kekhalifahan yang legal ini. dia sudah puas dengan kedatangan utusan dari beberapa daerah yang suka rela membaiatnya, sambil tetap berada di Mekkah. Bahkan dia sama sekali tidak berusaha memperkokoh, dan melindungi baiat ini, Ibnu Az-Zubair justru memberi waktu Bani Ummayah untuk membangun kembali pilar-pilar pemerintahannya, dengan mengusir keluar Bani Ummayah dari Madinah.

Dengan berakhirnya pemerintahan Yazid, Dinasti Umayyah mengalami masa kekacauan. Dinasti Umayyah baru dapat bangkit pada masa Abdul Malik yang insyaallah akan kita bahas pada pembahasan periode Kejayaan Dinasti Umayyah.

BIBLIOGRAFI

Abdul Latif, Muhammad Abdussyafi. 2014. Bangkit, dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

As-Suyuthi, Imam. 2015. Tarikh Khulafa. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Hak, Nurul. 2012. Sejarah Peradaban Islam: Rekayasa Sejarah Islam Daulah Bani Umayyah. Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Hasan, Hasan Ibrahim. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang.

Hitti, K. Philip. 2006. History of The Arabs. Jakarta: Serambil Ilmu Semesta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *