Pada akhir abad ke-19, para psikiater dan dokter mulai menggunakan terminologi medis untuk mendeskripsikan hasrat sesama jenis dan mencari metode untuk mengatasinya. Beragam metode “terapi konversi” gay diciptakan yang celakanya tidak ilmiah dan hanya menimbulkan penderitaan.
Story Guide
Mengapa Terapi Konversi Muncul
Pada tahun 1899, seorang psikiater Jerman membuat pernyataan kontroversial di sebuah konferensi tentang hipnosis dengan mengklaim bahwa ia berhasil mengubah seorang gay menjadi heteroseksual.
Dengan menggunakan 45 sesi hipnosis dan beberapa kunjungan ke rumah bordil, Albert von Schrenck-Notzing menyatakan bahwa melalui hipnosis, ia berhasil mengubah dorongan seksual seorang pria dari ketertarikannya pada sesama jenis menjadi hasrat abadi pada lawan jenis.
Meskipun pada saat itu mungkin dianggap sebagai pencapaian, tindakan ini sebenarnya merupakan awal dari apa yang kemudian dikenal sebagai “terapi konversi” – serangkaian teknik yang diakui sebagai pseudosains, dirancang untuk menghilangkan orientasi seksual kelompok LGBTQ dan membuat mereka sesuai dengan ekspektasi masyarakat terkait perilaku seksual.
Kendati terapi konversi saat ini dianggap tidak etis dan tidak diakui secara medis, praktik semacam itu umum dilakukan sepanjang abad ke-20, meninggalkan dampak negatif seperti rasa malu, penderitaan, dan kebencian terhadap diri sendiri.
Homoseksualitas, khususnya hubungan sesama jenis di antara pria, telah dianggap sebagai perilaku menyimpang, berdosa, dan bahkan tindakan kriminal selama berabad-abad. Pada akhir abad ke-19, para psikiater dan dokter mulai menjelajahi konsep homoseksualitas, memberikan label menggunakan terminologi medis, dan mencari cara untuk mengatasi orientasi seksual tersebut.
Pada periode tersebut, muncul berbagai teori tentang penyebab homoseksualitas. Salah satunya dikemukakan oleh Eugen Steinach, seorang pionir dalam bidang endokrinologi dari Austria, yang menyatakan bahwa homoseksualitas berakar pada testis pria.
Teori ini menjadi dasar bagi eksperimen transplantasi testis pada tahun 1920-an, di mana seorang pria gay akan menjalani proses kastrasi dan kemudian diberikan testis “heteroseksual” dalam upaya untuk mengubah orientasi seksualnya.
Di sisi lain, ada juga teori yang menyatakan bahwa homoseksualitas merupakan gangguan psikologis. Sigmund Freud mengemukakan hipotesis bahwa manusia pada dasarnya terlahir sebagai biseksual, dan homoseksualitas berkembang karena pengaruh kondisioning. Meskipun Freud menekankan bahwa homoseksualitas bukan penyakit, beberapa rekan sejawatnya tidak setuju. Hal ini memicu pengembangan intervensi kejiwaan baru dalam upaya “menyembuhkan” individu homoseksual.
Metode Terapi
Abad ke-19 dianggap sebagai periode kelam bagi komunitas LGBTQ. Pada masa ini, para ilmuwan berlomba-lomba menciptakan metode untuk “mengembalikan” orientasi seksual mereka. Beberapa individu LGBTQ menjalani terapi kejut listrik, sementara yang lain menjalani metode yang lebih ekstrem seperti lobotomi.
Terapi lainnya melibatkan pemberian kejut listrik melalui elektroda yang ditanam langsung ke otak. Robert Galbraith Heath, seorang psikiater di New Orleans yang memimpin pengembangan teknik ini, menggunakan stimulasi otak ini bersama dengan penggunaan pekerja seks dan materi pornografi heteroseksual, dengan tujuan “mengubah” orientasi seksual pria gay. Meskipun Heath mengklaim berhasil mengubah orientasi seksual, penelitiannya telah menimbulkan kontroversi dan kritik karena metodologi yang digunakan.
Salah satu metode terapi lain yang digunakan adalah “terapi aversi,” yang didasarkan pada ide bahwa jika individu LGBTQ merasa jijik terhadap homoseksualitas, mereka dapat kehilangan hasrat sesama jenis.
Dalam pengawasan medis, individu tersebut diberikan bahan kimia yang menyebabkan muntah saat mereka, misalnya, melihat gambar pasangan mereka. Beberapa juga diberikan kejutan listrik, kadang-kadang diterapkan pada organ genital mereka, saat mereka terpapar konten pornografi gay atau mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan jenis kelamin mereka.
Meskipun para pendukung terapi aversi mengklaim tingkat “kesembuhan” mencapai 50 persen, namun berdasarkan catatan sejarawan Elise Chenier, klaim ini tidak pernah didokumentasikan secara meyakinkan.
Komunitas LGBTQ sebenarnya tidak tinggal diam melihat praktik terapi ini terjadi. Mereka berusaha melakukan protes terhadap “terapi” yang tidak ilmiah dan kejam tersebut, sayangnya konsep yang mengatakan homoseksualitas merupakan gangguan kejiwaan diterima oleh mayoritas kalangan medis pada masa itu. Bahkan, American Psychiatric Association (APA) juga mengklasifikasikan homoseksualitas sebagai gangguan kejiwaan.
Akhir dari Terapi Konversi?
Pada tahun 1960-an dan 1970-an, terapi konversi mulai kehilangan relevansinya ketika gerakan hak-hak LGBTQ yang vokal menuntut kesetaraan dan mendapatkan dukungan.
Selaras dengan perubahan ini, profesional medis juga meninggalkan ide bahwa orientasi seksual dapat “diubah” menjadi heteroseksual. Pada tahun 1973, American Psychiatric Association (APA) menghapus homoseksualitas dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), panduan gangguan kejiwaan yang sangat berpengaruh, dan praktik-praktik kejam yang pernah digunakan secara signifikan diabaikan oleh para profesional medis.
Meskipun demikian, ini bukan akhir dari upaya untuk mengubah orientasi seksual individu LGBTQ. Ketika visibilitas LGBTQ meningkat, kelompok-kelompok yang mengaku sebagai “ahli” atau berbasis agama mengadopsi praktik-praktik tersebut.
Mereka menyebut teknik mereka sebagai terapi “pertobatan” atau “reparatif”, atau mengidentifikasi diri mereka sebagai pendamping “mantan gay”. Metode yang digunakan bervariasi, mulai dari terapi bicara hingga praktik-praktik yang melibatkan agama, termasuk pengusiran setan.
Di kamp dan konferensi “konversi gay,” individu LGBTQ diisolasi dari keluarga dan teman, dihipnotis, disuruh berdoa hingga mengatasi homoseksualitas, diarahkan untuk memukuli patung orang tua mereka, dihina, diberi pelatihan mengenai peran gender yang dianggap “tepat”, dan diberitahu bahwa seksualitas mereka bukanlah sesuatu yang alami dan berdosa.
Bagi individu yang menjalani terapi konversi, rasa malu dan penderitaan merupakan bagian tak terhindarkan dari proses tersebut. Beberapa mengalami pelecehan psikologis dan bahkan pelecehan seksual. Ada juga yang mengakhiri hidup mereka setelah menjalani “pengobatan”. Meskipun demikian, bukti bahwa teknik-teknik ini efektif tetap tidak terbukti.
Baca juga: Eksperimen Rasis “Bapak Ginekologi Modern”, James Marion Sims
Meskipun konsep terapi konversi masih bertahan hingga saat ini, semakin banyak orang yang menentang praktik ini. Pada tahun 2013, Exodus International, sebuah kelompok payung yang menghubungkan berbagai kelompok terapi konversi dan organisasi pendampingan gay, ditutup setelah hampir 40 tahun beroperasi. Keputusan ini diambil setelah presiden Exodus, Alan Chambers, menyadari bahwa tidak mungkin mengubah orientasi seksual seseorang.
Referensi
Chenier, E. (2004). Aversion Therapy. Glbtq: An Encyclopedia of Gay, Lesbian, Bisexual, Transgender, and Queer Culture, 25.
Drescher, J., Schwartz, A., Casoy, F., McIntosh, C. A., Hurley, B., Ashley, K., … & Tompkins, D. A. (2016). The growing regulation of conversion therapy. Journal of medical regulation, 102(2), 7-12.
Graham, T. C. (2018). Conversion therapy: A brief reflection on the history of the practice and contemporary regulatory efforts. Creighton L. Rev., 52, 419.
Haldeman, D. C. (1994). The practice and ethics of sexual orientation conversion therapy. Journal of consulting and clinical psychology, 62(2), 221.
Haldeman, D. C. (2022). Introduction: A history of conversion therapy, from accepted practice to condemnation.