Jalanan Surabaya pada awal abad ke-20 mencerminkan proses modernisasi yang sedang berlangsung di Hindia-Belanda. Berbagai macam kendaraan seperti sepeda, mobil, tram, dan bus berlalu-lalang di jalanan kota itu. Transformasi ini menciptakan landscape perkotaan yang semakin beragam dan modern, menandai dampak modernisasi pada mobilitas dan transportasi di Surabaya.
Story Guide
Mulai Menjamurnya Kendaraan Pribadi
Kemunculan kendaraan pribadi pada awal abad ke-20 erat kaitannya dengan proyek pembangunan jalan raya pada abad sebelumnya. Daendels mengawali proyek ini dengan membangun Grote Postweg (Jalan Raya Pos) yang terkenal.
Pada tahun 1890, jaringan jalan antarkota di Jawa sudah terbentang, menghubungkan berbagai kota besar. Namun, setelah periode ini, proyek pembangunan jalan lebih difokuskan pada perbaikan permukaan jalan daripada perluasan jaringan.
Pembangunan jalan di Jawa, khususnya antar kota, dilakukan oleh penduduk bumiputra, yang diwajibkan secara hukum untuk berpartisipasi dalam pembangunan jalan selama beberapa hari setiap tahun. Pada tahun 1914-1916, sistem kerja paksa ini dihapuskan dan digantikan oleh pembayaran pajak oleh penduduk pribumi.
Kerja paksa ini dapat dikatakan sebagai bentuk diskriminasi ganda: jalan dibangun dengan melibatkan masyarakat bumiputra, sementara masyarakat nonpribumi yang memiliki pendapatan lebih tinggi memiliki lebih banyak akses untuk membeli kendaraan. Pajak kendaraan bermotor baru diperkenalkan pada tahun 1928 dan kemudian digantikan oleh cukai tinggi untuk bahan bakar.
Pertumbuhan jalan raya meroket setelah mobil dan sepeda diperkenalkan. Mobil pertama kali hadir di Jawa pada tahun 1894, dua tahun lebih awal dibandingkan dengan Singapura atau Belanda. Mobil tersebut adalah Benz, yang dimiliki oleh Susuhunan Pakubuwana X.
Mobil tidak membutuhkan lama untuk menghiasi jalanan di Jawa. Pada tahun 1900, terdapat lima belas kendaraan bermotor di Jawa, dan sepuluh tahun kemudian, jumlahnya melonjak menjadi sekitar 1.000 kendaraan.
Walaupun mobil telah diproduksi secara massal pada saat itu, reliabilitasnya masih belum stabil, dan jaringan jalan yang terbatas membuat penggunaannya terutama terkonsentrasi di kota-kota besar. Puncak kepemilikan kendaraan bermotor terjadi pada tahun 1929 dengan 104.000 kendaraan, termasuk 68.000 mobil, 16.000 truk, 15.000 sepeda motor, dan 6.000 bus.
Baca juga: Megaproyek Jalan Raya pada Masa Kolonial
Menurut Howard Dick dalam Surabaya, city of work, mobil pertama kali muncul di Surabaya pada tahun 1890-an dan jumlahnya terus meningkat seiring waktu. Dari 500 mobil pada 1911, angkanya melonjak menjadi 2.000 pada 1920 dan 3.400 pada 1927.
Meskipun krisis ekonomi global memengaruhi kepemilikan mobil di seluruh Jawa dan Hindia Belanda pada 1929, Surabaya tidak merasakan dampak yang sama. Pada akhir tahun 1930-an, dampak Depresi terhadap kepemilikan mobil di Surabaya telah sepenuhnya pulih.
Selain kendaraan bermotor, jumlah sepeda di Surabaya juga menunjukkan peningkatan pesat, meningkat dua kali lipat setiap dekade. Jumlah sepeda meningkat dari 9.000 pada tahun 1917 menjadi 18.000 pada tahun 1925, dan mencapai 36.000 pada tahun 1937. Meskipun masa Depresi, penggunaan sepeda malah meningkat karena impor murah dari Jepang mengimbangi penurunan pendapatan. Bahkan, banyak penumpang kelas ketiga trem juga beralih ke sepeda.
Popularitas sepeda jauh lebih awal daripada kendaraan bermotor. Laporan dari Kantor Statistik setempat menunjukkan bahwa sepeda telah menjadi alat transportasi yang paling populer sebelum masa Depresi.
Kepemilikan berbagai alat transportasi tersebut terbagi secara tidak merata. Sepeda memiliki peran signifikan bagi penduduk pribumi yang mencari pekerjaan di pinggiran kota, terutama di pelabuhan dan pangkalan angkatan laut di utara serta di kawasan industri Ngagel di selatan. Meskipun demikian, penggunaan sepeda juga umum di kalangan orang Belanda, yang sudah familiar dengan kendaraan ini di Eropa.
Analisis lebih lanjut mengenai hubungan antara kepemilikan mobil dan etnisitas menunjukkan bahwa dari kendaraan terdaftar di Jawa, 34 persen dimiliki oleh orang Eropa, 28 persen oleh penduduk asli, 24 persen oleh orang Asia non-pribumi (Vreemde Oosterlingen), dan sisanya dimiliki oleh perusahaan atau pemerintah. Ketidakproporsionalan ini mencerminkan keterwakilan berlebihan orang Eropa dalam kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi.
Di Surabaya, kesenjangan kepemilikan mobil tampak mencolok, dengan orang Eropa memiliki 60 persen mobil pribadi. Dengan asumsi ukuran keluarga rata-rata lima orang, pada tahun 1939, hampir setiap keluarga Eropa memiliki satu mobil, sementara satu mobil hanya tersedia untuk setiap lima keluarga Tionghoa atau Arab, dan satu mobil untuk setiap 30.000 keluarga bumiputra.
Kompetisi Transportasi Umum di Surabaya
Tatkala orang tidak memiliki kemampuan untuk membeli kendaraan pribadi, mereka masih bisa menikmati sarana transportasi modern melalui penggunaan transportasi umum.
Kereta api menjadi salah satu transportasi favorit penduduk. Selain lebih cepat, kereta juga menawarkan jatah bagasi 50 kg yang memungkinkan masyarakat biasa membawa kambing, ayam, pakaian, dan barang-barang lainnya.
Jalur kereta api pertama dari Surabaya menuju Pasuruan dibuka pada tahun 1878, dengan cabang ke Malang diresmikan pada tahun berikutnya. Manajemen jalur kereta api di sekitar Surabaya dipegang oleh dua perusahaan, yaitu Staatsspoorwegen (Kereta Api Negara) dan Nederlands-Indische Spoorwegmaatschappij (NIS, Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda).
Kedua perusahaan ini mengoperasikan stasiun-stasiun yang berbeda dan terpisah, dengan Staatsspoorwegen di stasiun Gubeng dan Kota, serta NIS di Pasar Turi. Meskipun sempat ada wacana untuk menghubungkan jalur-jalur tersebut melalui satu stasiun baru, perdebatan yang terjadi tidak menghasilkan kesepakatan.
Keberadaan dua stasiun yang terpisah ini membuat orang yang ingin berganti kereta harus pindah stasiun. Tentunya situasi ini dipandang sebagai peluang bagi taksi dan dokar, yang berjajar menunggu penumpang yang turun di seputar stasiun.
Dalam konteks kehidupan perkotaan, trem memiliki peran yang sangat signifikan dibandingkan dengan kereta api antar daerah. Trem pertama kali diperkenalkan di Surabaya antara tahun 1889 dan 1891 oleh Oost-Java Stoomtram Maatschappij (OJS), Perusahaan Kereta Api Uap Jawa Timur.
Antara tahun 1913 dan 1916, jalur trem uap baru dibangun melintasi pusat kota di sisi barat. Pada tahun 1923 dan 1924, OJS membuka empat jalur trem listrik baru, membentang dari Wonokromo di selatan ke pelabuhan Tanjung Perak di utara. Keunggulan trem listrik termasuk kemampuan untuk beroperasi lebih sering, dengan kemungkinan satu trem setiap sepuluh menit, dan jalur ganda memungkinkan trem selalu dapat berpapasan, meningkatkan efisiensi.
Baik trem uap maupun trem listrik memiliki peran penting dalam transportasi kota. Pada tahun 1927, 11,4 juta penumpang menggunakan trem listrik, dengan rata-rata 45 perjalanan per penduduk kota setiap tahun, sedangkan trem uap mengangkut 5,2 juta penumpang, dengan rata-rata 21 perjalanan per orang.
Trem listrik dianggap sebagai kemajuan besar karena mengatasi masalah tumpukan kotoran kuda atau asap uap. Meskipun pemandangan kabel listrik di atas kepala mungkin mengganggu bagi beberapa perencana kota, masyarakat umum merasakannya sebagai perkembangan positif.
Rute-rute trem menunjukkan bahwa trem uap lebih cenderung melayani kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, sementara trem listrik lebih berfokus pada masyarakat kelas menengah ke atas.
Persaingan antara berbagai moda transportasi seperti trem uap, trem listrik, bus, dan taksi merupakan fenomena umum yang terjadi di seluruh kota di Asia Tenggara, termasuk Surabaya. Pada tahun 1924, OJS (Oost-Java Stoomtram Maatschappij) juga memulai operasi bus ke daerah-daerah di dalam kota yang tidak memerlukan investasi jalur trem. Namun, layanan ini tidak menguntungkan dan harus dihentikan pada tahun berikutnya.
Pada tahun 1927, perusahaan swasta baru memulai layanan bus yang berjalan sejajar dengan jalur trem uap, dan tahun 1929, perusahaan lain juga memulai rute bus yang menggandakan rute trem listrik. Dalam menghadapi persaingan ini, OJS merasa perlu untuk mengoperasikan bus di jalur yang sama, yang menghasilkan persaingan internal dan perang harga.
Untuk menekan tarif, banyak perusahaan swasta mengabaikan pemeliharaan bus-bus yang dimiliki. Kendati demikian, petelah satu tahun, perusahaan bus swasta mulai menyerah. Pada tahun 1931, dewan kota mengesahkan peraturan yang memberikan hak istimewa kepada OJS untuk mengelola jalur bus.
Landasan dari peraturan daerah tersebut pada dasarnya untuk melindungi profitabilitas trem listrik, dianggap sebagai kepentingan umum, dan juga untuk menghilangkan bus-bus yang tidak terawat dengan baik. Peraturan kota memberikan OJS monopoli penuh atas transportasi bus di Kota Surabaya. Pada tahun 1931, OJS mengoperasikan bus reguler ke enam tujuan di dalam kota.
Persaingan yang ketat juga terjadi dalam bisnis taksi di Surabaya pada tahun 1920-an. Pada tahun 1925, sekitar 400 taksi beroperasi di kota ini, dan jumlahnya meningkat dua kali lipat menjadi 843 taksi terdaftar pada tahun 1929. Dari total tersebut, 56 persen dimiliki oleh orang Tionghoa, 22 persen oleh orang pribumi, 16 persen oleh orang Eropa, dan 7 persen oleh orang Arab. Mayoritas pengemudi taksi (95 persen) adalah penduduk asli.
Taksi-taksi yang beroperasi di Surabaya sebagian besar berasal dari mobil pribadi yang diubah menjadi taksi untuk mengatasi kerugian ekonomi pasca surplus Perang Dunia I. Karena banyak dioperasikan oleh individu, persaingan dalam bisnis taksi menjadi semakin ketat.
Pengemudi taksi menolak usulan pemerintah kota untuk memasang argometer pada tahun 1920 dan lebih suka menawar tarif secara langsung. Namun, kebebasan ini menjadi bumerang bagi operator taksi ketika orang-orang yang mengoperasikan taksi sebagai bisnis paruh waktu menerima tarif yang sangat rendah di pasar konsumen.
Regulasi pertama untuk taksi baru disahkan pada tahun 1925. Peraturan ini mengatur pemeriksaan taksi dan tarif yang dapat mereka kenakan serta pengujian pengemudi. Sayangnya, peraturan hanya hanya untuk perusahaan taksi yang terdaftar. Tentunya peraturan ini merugikan perusahaan taksi resmi dalam persaingan dengan pengemudi taksi liar.
Baca juga: Antara Modernisasi dan Kesenjangan: Sejarah Kota Surakarta (1900-1942)
Pada tahun 1926, peraturan tersebut direvisi sehingga berlaku untuk semua taksi. Tujuannya untuk mengendalikan perilaku berkendara yang ugal-ugalan dan kondisi mobil yang tidak terawat dari banyak taksi liar.
Kecelakaan Lalu Lintas
Kehadiran moda transportasi baru pada awal abad ke-20 memberikan kontribusi pada peningkatan efisiensi dan penghematan waktu perjalanan. Meskipun demikian, fenomena ini juga diimbangi dengan peningkatan jumlah kecelakaan. Dilihat dari perspektif pengetahuan keselamatan lalu lintas saat ini, salah satu penyebab utama kecelakaan adalah variasi kecepatan kendaraan yang berbeda.
Pada masa itu, pemerintah kota menerbitkan laporan tiga bulanan tentang jumlah kecelakaan lalu lintas. Sayangnya, tidak semua data dapat dilacak, tetapi ringkasan laporan untuk tahun 1927 masih tersedia. Jumlah insiden kecelakaan yang dilaporkan meningkat secara signifikan dari 1.384 pada tahun 1927 menjadi 2.048 pada tahun berikutnya, dan 2.349 pada tahun 1929. Angka tersebut kemudian mengalami penurunan menjadi 1.922 pada tahun 1930.
Kantor Statistik Kota mengaitkan penurunan jumlah kecelakaan dengan pemasangan lampu lalu lintas dan pendirian sekolah mengemudi. Namun, dapat disimpulkan bahwa penurunan tersebut juga dipengaruhi oleh menurunnya penggunaan kendaraan bermotor selama masa depresi ekonomi.
Data tersebut menunjukkan bahwa orang Eropa memiliki andil paling besar dalam terjadinya kecelakaan. Ini dapat disebabkan oleh fakta bahwa lebih banyak orang Eropa yang mengemudikan mobil atau mungkin karena perilaku mengemudi yang ceroboh akibat merasa lebih superior.
Kecelakaan lalu lintas memicu kebutuhan akan ambulans, yang merupakan respons terhadap modernisasi kota dan tanda kemajuan. Meskipun tidak diketahui kapan ambulans pertama kali diperkenalkan di Surabaya, jumlahnya mungkin tidak banyak, sehingga ketiadaannya langsung terasa di kota.
Pada awal abad ke-20, kendaraan bermotor dan pedati seringkali terlibat dalam kecelakaan di jalanan Surabaya. Menariknya, meskipun pejalan kaki dan pesepeda membentuk sebagian besar lalu lintas, mereka jarang terlibat dalam kecelakaan.
Salah satu penyebab utama kecelakaan antara mobil dan pedati adalah perbedaan kecepatan di antara keduanya. Banyak laporan kecelakaan mencatat insiden di mana kendaraan dengan kecepatan yang berbeda bertabrakan.
Meskipun dalam banyak kasus, pengemudi mobil sering disalahkan atas kecelakaan tersebut, ada argumen di Surabaiasch Handelsblad (2-3-1920) yang menyatakan bahwa mengemudikan pedati sebenarnya lebih sulit daripada mengemudikan mobil.
Meskipun argumen ini dianggap kurang masuk akal, keengganan untuk bertanggung jawab atas kecelakaan semakin memperumit upaya untuk mendisiplinkan pengguna lalu lintas. Kasus tabrak lari, baik melibatkan pengendara mobil maupun pedati, tidak jarang terjadi, menambah kerumitan penegakan aturan lalu lintas.
Regulasi Lalu Lintas
Perkembangan alat transportasi modern di awal abad ke-20, terutama kendaraan bermotor, menuntut adanya peraturan baru untuk mengatur lalu lintas modern. Pada awalnya, peraturan lalu lintas di kota ini telah ada sejak tahun 1888, dikeluarkan oleh Residen Surabaya. Peraturan tersebut ditujukan untuk menjaga kebersihan jalan dan kelancaran lalu lintas, terutama di jalan-jalan utama dan untuk penggunaan kendaraan atau kuda.
Dengan munculnya kendaraan bermotor dan meningkatnya jumlah kecelakaan, terutama yang dikaitkan dengan kurangnya keterampilan pengemudi dan ketidakpunyaan Surat Izin Mengemudi (SIM), masyarakat dan surat kabar menyerukan adanya perubahan dan regulasi yang lebih modern. Banyak pengemudi mobil pada waktu itu tidak memiliki SIM, dan kebutuhan untuk mengharuskan pengemudi memiliki SIM sebagai tanda kompetensi menjadi perdebatan di surat kabar.
Pada Desember 1920, tanggung jawab untuk mengeluarkan SIM diambil alih dari polisi. Sebuah komisi yang dipimpin oleh dua manajer perusahaan taksi, Cobbe dan De Hoog, menjadi pihak yang berwenang mengeluarkan SIM. Ini dianggap sebagai solusi yang masuk akal karena mereka memiliki kemampuan dan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh polisi biasa.
Baca juga: Mengunjungi Malioboro Tempo Dulu
Selain itu, pada tahun 1920, departemen kepolisian kota mengusulkan penggunaan rambu-rambu sederhana seperti ‘berhenti’ dan ‘jalan’ di setiap persimpangan untuk meringankan pekerjaan polisi lalu lintas. Dewan kota menerima ide tersebut, dan perubahan lainnya termasuk batas kecepatan dan skema untuk mencegah kepadatan di jalan-jalan sempit juga diperkenalkan.
Dengan adanya peraturan baru dan inisiatif ini, Kota Surabaya berusaha mengatasi tantangan yang muncul seiring dengan modernisasi alat transportasi.