Terdapat agama yang menjadi ciri khas agama di Jepang, agama tersebut dikenal dengan nama agama Shinto. Sebagai agama asli bangsa Jepang, agama tersebut memiliki sifat yang cukup unik. Proses terbentuknya, bentuk-bentuk upacara keagamaannya maupun ajaran-ajarannya memperlihatkan perkembangan yang rumit. Banyak istilah-istilah dalam agama Shinto yang sukar dialih bahasakan dengan tepat ke dalam bahasa lainnya. Kata-kata Shinto sendiri sebenarnya berasal dari bahasa China yang berarti “jalan para dewa”, “pemujaan para dewa”, “pengajaran para dewa”, atau “agama para dewa”. Dan nama Shinto itu sendiri baru dipergunakan untuk pertama kalinya untuk menyebut agama asli bangsa Jepang itu ketika agama Buddha dan agama Konfusius (Tiongkok) sudah memasuki Jepang pada abad keenam masehi.
Pertumbuhan dan perkembangan agama serta kebudayaan Jepang memang memperlihatkan kecenderungan yang asimilatif. Sejarah Jepang memperlihatkan bahwa negeri itu telah menerima berbagai macam pengaruh, baik kultural maupun spiritual dari luar. Semua pengaruh itu tidak menghilangkan tradisi asli, dengan pengaruh-pengaruh dari luar tersebut justru memperkaya kehidupan spiritual bangsa Jepang. Antara tradisi-tradisi asli dengan pengaruh-pengaruh dari luar senantiasa dipadukan menjadi suatu bentuk tradisi baru yang jenisnya hampir sama. Dan dalam proses perpaduan itu yang terjadi bukanlah pertentangan atau kekacauan nilai, melainkan suatu kelangsungan dan kelanjutan. Dalam bidang spiritual, pertemuan antara tradisi asli Jepang dengan pengaruh-pengaruh dari luar itu telah membawa kelahiran suatu agama baru yaitu agama Shinto, agama asli Jepang. Oleh karena untuk mengetahui lebih lanjut tentang agama Shinto, dalam makalah kami akan menjelaskan hal-hal berkaitan dengan agama Shinto.
Mengenal Agama Shinto
Shintoisme (agama Shinto) pada mulanya adalah merupakan perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala – gejala alam. Shintoisme dipandang oleh bangsa Jepang sebagai suatu agama tradisional warisan nenek moyang yang telah berabad – abad hidup di Jepang, bahkan faham ini timbul dari mitos-mitos yang berhubungan dengan terjadinya negara Jepang. Latar belakang historis timbulnya Shintoisme adalah sama dengan latar belakang historis tentang asal-usul timbulnya negara dan bangsa Jepang. Karena yang menyebabkan timbulnya faham ini adalah mitologi yang dilandasi kepercayaan animisme.
Shinto berasal dari bahasa Cina yaitu Shen-Tao yang berarti jalan para dewa, pemujaan dewa, pengajaran para dewa atau agama para dewa. Nama Shinto baru dipergunakan untuk pertama kalinya untuk menyebut agama asli bangsa Jepang ketika agama Budha dan Konfusius sudah memasuki jepang pada abad 6 M. Shinto adalah sebuah agama yang memiliki akar faham serba jiwa (animisme). Penggunaan nama Shinto tujuannya untuk membedakan antara kami-no-michi, jalan para dewa bangsa Jepang dengan Butsudo/Buddha-tao, jalan Budha.
Sifat animis yang dianut oleh bangsa Jepang lebih spesifiknya yaitu semua gejala alam dan setiap benda yang dianggap memiliki pengaruh atau spirit. Tiap-tiap suku memiliki dewa-dewa dan legenda sendiri, yang terkadang dianggap sebagai nenekmoyang mereka. Selain itu, pemimpin suku tidak hanya bertindak sebagai pemimpin politik tetapi juga pendeta tertinggi. Dewa-dewa dan legenda tersebut memilik kekuasaan dan sifat yang kabur, memiliki kewujudan yang menimbulkan rasa takut dan segan, sehingga dianggap pula memiliki kekuasaan ilahi. Hal tersebut diberi nama dengan kami.
Maka di saat suku Yamato meraih kemenangan pada abad 3 atau 4 M, legenda dan dewa dianggap lebih unggul dibandingkan dewa-dewa dan legenda suku yang lain. Hal ini menjadikan dewa dan legenda suku Yamato sebagai dasar utama kepercayaan tentang asal-usul kedewaan bangsa Jepang. Dan pada abad 5 M, hal ini disatukan dan diorganisasikan dalam suatu bentuk pemerintahan dengan sistem peribadatan yang dipusatkan pada Dewi Matahari.
Simbol-simbol tradisional kekuasaan suku Yamato terdiri dari tiga macam benda yaitu cermin, permata, dan pedang. Cermin: Instropeksi, Permata: Berharga, serta Pedang: Samurai: Keberanian. Agama Shinto memiliki dua kitab yang menjadi kitab suci para penganutnya, yaitu Kojiki dan Nihongi.
Perkembangan Agama Shinto
Agama Konfusius pada abad 4 M memasuki Jepang. Agama ini bercorak serba duniawi sehingga relatif dapat bercampur dengan agama Shinto atau nilai tradisional orang Jepang. Undang-undang 17 Pasal yang dikeluarkan Pangeran Shotoku penuh dengan konsep Konfusius. Dengan adanya pembaharuan ini pengaruh Konfusius semakin luas pada bahasa, tingkah laku dan kesadaran moral orang Jepang.
Budha masuk ke Jepang pada abad 6 M (538/552) melewati Korea. Pada abad 7/8 M mendapat pengikut yang sangat banyak.dan pemerintah juga memberikan bantuan sangat besar terhadap agama ini. Pemeluk Budha pertama di Jepang yang sungguh-sungguh adalah Pangeran Shotoku. Pengaruh Budha mulai meluas pada masyarakat Jepang pada masa Kamakura (1192-1333), yakni dengan berkembangnya teori Honji Suijaku Setsu. Budha dianggap sebagai Honji yaitu wujud metafisik Budha dan dewa-dewa dalam ajaran Shinto dianggap sebagai reinkarnasi dewa-dewa Budha (Suijaku). Tokoh terkenal agama Budha di Jepang pada masa Kamakura adalah Honen, Shinran, Dogen dan Nichiren.
Pada masa Muromachi (1338-1582) muncul aliran Yoshida Shinto yang mengajarkan kesatuan dari agama Shinto, Konfusius dan Budha, dengan kiasan Budha digambarkan sebagai bunga dan buah dari semua prinsip aturan (sansakerta:dharma), agama Konfusius sebagai cabang dan rantingnya, dan agama Shinto akar dan batangnya. Gejala perpaduan anatara Shinto dan Budha sering disebut Shinbutsu Shugo.
Pada masa Tokugawa (1603-1868) agama Budha ditetapkan sebagai agama negara. Namun pada masanya pula, mulai adanya usaha-usaha untuk kembali menghidupkan kembali agama Shinto. Hal ini ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh pembaharu agama Shinto, diantaranya, Motori Norinaga (1776-1801) dengan karyanya yaitu Kojiki-den yang memuat hasil-hasil telaah dari kitab Kojiki. Karyanya dianggap sebagai bintang penerang agama Shinto. Pengikut Norinaga yaitu Hirata Atsutane (1776-1843) tak hanya melanjutkan usaha Norinaga tapi juga mempraktekan dan menjadikannya sebagai landasan kebangkitan agama Shinto. Ia mengkritik agama Budha, Konfusius dan Kristen. Dan pada tahun 1811, menerbitkan karyanya yang berjudul kodo–taii (pokok-pokok ajaran kuno).
Pada masa restorasi Meiji (1868), gerakan untuk memurnikan agama Shinto mencapai hasil berupa Shinbutsi Bunri, yaitu pemisahan agama Shinto dengan agama Budha dengan poin-poinnya :
- Sejak saat itu dewa-dewa agama Shinto tidak boleh disamakan dengan Bosatsu (Bodhisattva).
- Kitab-kitab suci tidak lagi boleh dibaca oleh orang-orang budha di hadapan para dewa agama Shinto.
- Tidak lagi diperbolehkan berperan serta dalam peribadatan agama Shinto.
- Pemerintah Meiji berusaha keras untuk mendirikan negara yang didasarkan agama asli Jepang.
Bangsa barat menuntut agar sikap pemerintah melarang agama Kristen segera dihapuskan. Pertama kalinya agama Kristen diperkenalkan di Jepang pada tahun 1549 dengan kedatangan Jesuit Francis Xavier di Kagoshima, dan untuk kedua kalinya dilakukan para misionaris Protestan dan Rom Katolik pada tahun 1859. Terjadi benturan dan konflik dengan sistem nilai agama-agama yang dijumpainya di Jepang. Kristen agama asing.
Pada abad 17 M Tokugawa memutuskan melarang agama Kristen. Agama Kristen dianggap semata-mata sebagai usaha asing untuk menaklukkan Jepang. Pemerintah Meiji menuduh agama Kristen telah memperkecil dan meremehkan arti kesetiaan terhadap Kaisar dibandingkan dengan kesetiaan terhadap Tuhan Yesus. Di sisi lain, pendeta Budha bersekutu dengan orang Kristen menuntut adanya pemisahan antara agama dari negara, dan ditetapkannya kemerdekaan beragama bagi seluruh rakyat Jepang.
Pada tahun 1889, pemerintah menetapkan Undang Undang Meiji. Lalu pada tahun 1890, dikeluarkan piagam pemerintah mengenai kependidikan yang mementingkan keselarasan dan kesetiaan sosial terhadap Kaisar. Meskipun UU Meiji tahun 1889 memberikan jaminan adanya kemerdekaan beragama, namun kebijaksanaan pemerintah mengenai pembedaan agama menjadi agama resmi dan tidak resmi tetap dipegang teguh oleh pemerintah. Kelompok pertama adalah Kokka Shinto yang merupakan kelompok agama yang diakui resmi oleh pemerintah. Kelompok kedua disebut Kyoha Shinto, yang sekte agama Shinto.
Dengan berakhirnya Perang Dunia II sikap pemerintah Jepang terhadap agama mengalami perubahan total. Pada bulan Desember 1945 dikeluarkanlah Pedoman Shinto. Tujuan utama pedoman tersebut adalah untuk membasmi semua bentuk faham militerisme dan ultra-nasionalisme, membakukan kemerdekaan beragama dan memisahkan agama dari negara. Sehingga Shinto pun akhirnya sama kedudukannya dengan agama lain.
Sistem Kepercayaan Agama Shinto
Agama Shinto mengajarkan kepercayaan terhadap adanya berbagai macam dewa yang disebut dengan kami. Pemujaan terhadap kami dilakukan melalui berbagai macam bentuk upacara dan perayaan keagamaan yang erat sekali hubungannya dengan tradisi masyarakat Jepang. Sebagaimana telah disebutkan, kami dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu segala bentuk kewujudan yang memiliki keistimewaan dan sifat-sifat yang menimbulkan rasa takut dan segan. Kami pun diyakini ada yang baik dan yang jahat. Obyek pemujaannya adalah segala sesuatu yang dianggap sakral (suci) yang dijumpai manusia di alam sekitar.
Kami jumlahnya tak terbatas, diperkirakan ada 80 juta kami di Jepang tetapi di dalam 100.000 tempat pemujaan atau lebih yang aktif digunakan, hanya beberapa di antaranya yang cukup menonjol. Amaterasu, Dewi Matahari, adalah kami yang utama karena ia penguasa surga. Ia dipuja sebagai leluhur karena dipercayai bahwa ia telah mengirim cucu laki-lakinya, Ninigi, untuk mendirikan silsilah kekaisaran negara. Tenman dipuja sebagai dewa pendidikan dan banyak tempat pemujaan untuknya sangat popular di kalangan pelajar yang berdoa disana supaya lulus ujian. Hachiman semula adalah Dewa Petani, tetapi kemudian pada abad 12, ia menjadi kami perang dan prajurit. Dewa Padi, Inari, dihubungkan dengan kesuburan dan kemakmuran. Patung serigala dari batu, utusannya, biasanya di tempatkannya di pintu masuk tempat pemujaan.
Selain mereka, masih terdapat jenis-jenis dewa lainnya yang dapat dikategorikan sebagai berikut :
- Dewa-dewa Tanah
- Dewa-dewa Gunung
- Dewa-dewa Laut
- Dewa-dewa Air
- Dewa-dewa Api
- Dewa-dewa Pohon
- Dewa-dewa Manusia.
Selain yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi macam dewa yang lainnya seperti Dewa Guntur (raijin), Dewa Hati (kamado-gami), Dewa Pembimbing Perahu (Funa-Dama). Dari ajaran kedewaan yang diajarkan agama Shinto, dapatlah dikatakan bahwa agama Shinto pada dasarnya adalah merupakan faham polytheisme yang benar-benar mulus yang didasarkan atas gejala-gejala alam. Dalam hubungannya dengan dewa-dewa tersebut, mitologi agama Shinto mengemukakan secara panjang lebar riwayat penjadian alam dan para dewa seperti yang tercantum dalam kitab Kojiki dan Nihon Shoki atau Nihongi. Dan meskipun sebenarnya agama Shinto tidak ada yang mendirikan serta tidak memiliki kitab suci tertentu, namun kedua kitab di atas dianggap sebagai buku-buku suci agama Shinto, dan merupakan sumber utama pemikiran keagamaan yang terdapat dalam agama Shinto sejak dahulu hingga sekarang.
Pemikiran tentang kami dalam agama Shinto pada dasarnya sangat berbeda dengan pemikiran Tuhan dalam agama lain. Perbedaan antara Tuhan sebagai pencipta dan manusia sebagai ciptaan Tuhan tidak begitu jelas. Bahkan, hubungan anatara kami dan manusia diumpakan sebagai hubungan antara orang tua dan anak, atau hubungan antara nenekmoyang dengan keturunannya. Hubungan ini diungkapkan dalam istilah oya-ko. Seperti yang diajarkan agama Shinto, bangsa Jepang percaya bahwa mereka adalah keturunan dewa (kami).
Simbol-simbol tradisional kekuasaan suku Yamato terdiri dari tiga macam benda yaitu cermin, permata, dan pedang. Cermin yang memiliki arti Instropeksi, Permata berarti Berharga, serta Pedang/katana yang berarti Keberanian. . Ketiga benda tersebut dianggap sebagai simbol-simbol kekuasaan yang diberikan oleh Amaterasu kepada cucunya, Ninigi-no-mikoto. Ada kemungkinan simbol-simbol tersebut melambangkan matahari, bulan dan kilat. Untuk selanjutnya mite tentang matahari ini diterima oleh suku-suku yang lain, dan kemudian menjadi teori yang terkenal untuk menjelaskan asal-usul bangsa Jepang. Cermin, permata dan pedang juga tetap dijadikan symbol-simbol kekaisaran Jepang.
Agama Shinto memiliki dua kitab yang menjadi kitab suci para penganutnya, yaitu Kojiki dan Nihongi. Kitab Kojiki berisi mite-mite, legenda-legenda, dan uraian-uraian sejarah sekitar keluarga istana Jepang sejak abad para dewa sampai dengan masa pemerintahan kaisar Suiko(hingga 628 M). Sedangkan Kitab Nihongi yang terdiri dari 30 jilid dan isinya berkaitan dengan riwayat Jepang sejak abad para Dewa hingga masa pemerintahan kaisar Jito(hingga tahun 702). Separuh bagian yang pertama berisi tentang mite-mite dan legenda-legenda, dan sisanya banyak yang memuat fakta-fakta sejarah.
DAFTAR PUSTAKA
Djam’anurri, dkk. Agama Jepang. Yogyakarta: UIN Suka Press. 2008.
Djam’anurri. Agama Jepang. Yogyakarta : UIN Suka Press. 1981.
Keene, Michael. Agama-agama Dunia. Yogyakarta: Kanisius. 2006.
Thanks to my friends : Ahmad Labib Majdi and Lena Inge Yunitasari
Incredible post! I will promote this on my social network.
Deference to post author, some excellent information.
Blog yang menarik, semoga maju terus…. Saya kira kita bisa mengerti bahwa di jaman dulu agama Shinto kuno (Koshinto) menyembah alam, yang dikenal sebagai animisme di dunia Barat. Keindahan dan keteduhan tempat ini sangatlah luar biasa hingga mereka menganggap setiap elemen alam ini adalah ilahi.
Saya mencoba menulis blog tentang hal ini, semoga anda suka: http://stenote-berkata.blogspot.com/2020/07/wawancara-dengan-haruki.html