Ambisi Alexander Agung Menaklukkan Dunia (356-323 SM)

Alexander Agung merupakan salah satu penguasa dan penakluk terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah umat manusia. Dibesarkan dalam lingkungan penguasa Makedonia tidak menjadikannya menjadi pribadi yang lemah, justru sejak dia kecil dia telah menunjukan kepandaiannya dalam strategi peperangan. Setelah dia menjadi penguasa menggantikan ayahnya, Filipus, dia memulai rencana penaklukan ke daerah-daerah  kekuasaan imperium Persia. Setelah berhasil menaklukan Persia dia tidak mau berhenti, dia terus bergerak menuju anak benua India.

Kehebatan dan keberaniannya dalam mengorganisir pasukannya hampir membuatnya menyatukan seluruh dunia menjadi satu kekaisaran, sebelum akhirnya terhenti di anak benua India. Tentunya Alexander Agung sangat lah layak mendapatkan porsi tersendiri dalam pembahasan sejarah, karena terdapat banyak hal yang menarik dari sosok Alexander mulai dari kehidupan awalnya hingga kesuksesannya dalam melakukan berbagai penaklukan.

Siapa Alexander Agung

Alexander Agung lahir pada tahun 356 SM, dia merupakan putra dari Raja Makedonia Filipus II, dan Olympias, putri raja Epirus (seorang Yunani). Pada saat kelahiran Alexander, Raja Filipus tengah melakukan usaha penaklukan wilayah-wilayah Yunani untuk diserap ke dalam wilayah kekuasaanya. Ketika itu bangsa Yunani tidak memberikan perlawanan berarti (kecuali Athena), sehingga proses penaklukan tersebut bisa dikatakan berlangsung cepat dan efektif.

alexander agung
Filipus II

Sejak kecil Alexander telah dikenal sebagai anak cerdas dan berbakat. Salah satu kisah terkenalnya adalah ketika menaklukan kuda jantan yang bernama Bucephalus.  Kuda tersebut merupakan kuda jantan dari Tessaly, Yunani, yang dibeli Filipus dengan harga mahal. Akan tetapi kuda tersebut sangat liar, bahkan jenderal-jenderal terbaiknya tidak dapat menjinakkannya.

Setelah melihat kuda tersebut tidak dapat dijinakkan, Filipus memutuskan untuk mengembalikan kuda tersebut. Saat kuda tersebut akan dibawa, Alexander yang baru berusia dua belas tahun memprotes tindakan ayahnya, Filipus kemudian menyuruh Alexander untuk membuktikan protesnya dengan menunjukkan kalau dia mampu mengendarai kuda tersebut.

alexander agung
Alexander Agung kecil menjinakkan Bucephalus

Ketika mendengar tantangan dari ayahnya itu, Alexander segera berlari ke arah kuda itu, mengambil kendali dan membalikkan wajahnya ke arah matahari. Ternyata dia telah memperhatikan bbahwa kuda itu beringas karena melihat bayangannya sendiri yang memanjang dan terhentak-hentak di depannya akibat terkena sinar mataharo. Alexander akhirnya mampu untuk menjinakkan kuda itu dan menjadikan kuda tersebut sebagai kuda kesayangannya.

Alexander Agung dan Perang Chaeronea

Alexander muda telah dikenal dalam kepandaiannya dalam strategi peperangan. Perang pertama yang membuktikan kepiwaian dan keberanian Alexander dalam berperang adalah perang Chaeronea tahun 338 SM. Perang ini dipicu oleh gerakan pasukan Filipus yang terus merangsek dari Utara menguasai kota-kota penting Yunani, hingga akhirnya mendekat ke Athena.

Athena meminta bantua Sparta untuk membantuk melawan invasi ini, tetapi Sparta menolak untuk berurusan dengan musuh lamanya. Akhirnya Athena hanya berhasil mengajak sedikit pasukan sekutu dari Thebes dan kota-kota di Boeotia.

Pasukan Filipus bertemu pasukan aliansi Athena pada musim panas tahun 338 SM, di daratan Chaerone. Diodory Siculus menceritakan dalam pertempuran itu Raja Filipus memerintahkan putranya Alexander, untuk memimpin satu sayap bersama beberapa jenderal terbaik. Filipus sendiri dengan korps pilihan memimpin sayap lain, dan mengatur bermacam-macam brigade menempati pos-pos yang telah ditentukan.

Pertempuran tersebut berjalan sengit, darah bertumpahan. Perang itu telah berlangsung, namun kemenangan tetap belum dapat ditentukan, sampai akhirnya Alexander muda bersama beberapa pasukan dengan berani mengambil keputusan penuh resiko, yaitu menerobos langsung ke dalam jantung pertahanan musuh. Alexander bersama pasukannya berhasil menebas banyak pasukan musuh yang berada di depan mereka.

Berkat inisiatif yang dilakukan Alexander, pasukan Makedonia mampu mendesak lebih dekat, memotong-motong garis pertahanan musuh, dan setelah tanah dipenuhi tumpukan mayat, sayap musuh yang melawan akhirnya melarikan diri.  Perang Chaeronea, yang relatif memakan banyak korban (1000 orang Athena mati), menandai berakhirnya sebuah era, dan dimulainya era baru kekaisaran Makedonia.

Pasca perang berakhir Filipus memperlakukan Athena dengan penuh hormat, bahkan dia mengirimkan pengawal untuk mengiringi korban yang gugur kembali ke kotanya. Tujuan Filipus adalah ingin memberikan kesan positif terhadap rakyat Yunani, sehingga dia dapat diterima sebagai penguasa baru. Orang Athena pun terpaksa memilih jalan terbaik dari situasi terburuk, dengan memilih berpura-pura memperlakukan Filipus sebagai teman orang-orang Athena.

Setahun kemudian, Filipus membuat pidato di Korintus, mengusulkan bahwa penyerahan Yunani kepada kerajaannya akan memberikan dampak positif bagi Yunani. Hampir semua kota-kota di Yunani setuju untuk bergabung bersama dalam Liga Korintus (337 SM), hanya Sparta yang menolak berurusan dengan Filipus. Liga Korintus mempunya tujuan sama dengan Liga Delia yang sebelumnya sempat dibentuk Athena, yaitu menyerang Persia.

Alexander Menjadi Raja Makedonia

Ketika Filipus sedang merencanakan untuk melakukan invasi ke Persia, dia juga terjebak dalam intrik istana yang melibatkan Jenderal Attalus dan mantan kekasihnya yang bernama Pausanias. Peristiwa ini dimulai ketika Filipus mengambil kekasih seorang laki-laki muda teman Attalus (Sama seperti orang Yunani, orang Makedonia cenderung untuk lebih memperhatikan mekanisme seks daripada jenis kelamin dari pasangan yang terlibat).

Keputusan Filipus ini justru menjadi bumerang baginya, Pausanias yang tidak terima dengan perbuatan Filipus merancang skenario pembunuhan terhadapnya. Tahun 336 SM, setelah memendam dendam cukup lama terhadap Filipus, akhirnya Pausanias memperoleh kesempatan untuk membunuh Filipus dalam suatu acara pembukaan festival akbar. Pausanias menusuk Filipus saat ia akan memberikan pidato sambutan, setelah melakukan pembunuhan Pausanias sendiri tertangkap (tersandung ketika berlari ke kudanya) dan langsung dieksekusi di tempat.

Pasca peristiwa itu Alexander Agung sempat dikaitkan sebagai dalang di balik peristiwa itu, namun tidak ada bukti yang mampu memberatkannya, sehingga tuduhan tersebut tidak beralasan. Keesokan harinya Alexander dinobatkan sebagai raja baru Makedonia dengan dukungan dari mayoritas pasukannya.

Kebijakan Alexander Agung pada Awal Pemerintahannya

alexander agung
Alexander Agung. Wikimedia

Setelah kematian Filipus dari Makedonia, Alexander menggantikan tempat ayahnya sebagai Raja Makedonia dan pemimpin Liga Korintus. Tidak lama setelah Alexander diproklamirkan sebagai raja baru, dia sudah dihadapkan dengan masalah baru.

Berbagai kota Yunani menyatakan menarik diri dari liga, Thebes dan Athena termasuk di antara mereka. Athena bahkan memberikan mahkota emas anumerta pada Pausanias sebagai penghargaan atas keberhasilannya membunuh Filipus.

Alexander bergerak langung untuk menumpas para pemberontak ini, dengan pasukan Makedonia, menaklukan kembali Yunani. Ketika dia tiba di Thebes, dia menawarkan untuk mendirikan kembali kota ini jika penduduk Thebes memberikan dua orang bangsawan yang bertanggung jawab terhadap penarikan dari liga.

Penduduk Thebes yang baru saja tertimpa bencana badai menolak permintaan Alexander, akibatnya Alexander memerintahkan pasukannya untuk mendobrak gerbang Thebes. Setelah berhasil masuk, dia memerintahkan untuk merampok dan meratakan kota itu dengan tanah. Menurut Plutarkhos, tindakan Alexander itu bertujuan untuk memberikan contoh bagi kota-kota lain yang memberontak supaya takut dan bergabung kembali ke liga.

Dari Thebes, Alexander menuju Athena, di sana dia menawarkan hal yang sama. Berbeda dengan penduduk Thebes, penduduk Athena menyetujui permintaannya. Alexander pun memaafkan semua pelanggaran yang telah mereka lakukan. Orang-orang Athena membalas kebaikan Alexander itu dengan mengirimkan semua orang yang memberontak ke pengasingan.

Setelah berhasil menaklukan Thebes dan Athena, sisa Liga Korintus yang lain menjadi satu barisan kembali dalam waktu dua bulan. Alexander bergerak turun ke Isthmus dari Korintus, dan di sana mengadakan pertemuan liga di mana delegasi liga memilihnya sebagai pemimpin liga menggantikan ayahnya.

Peristiwa di atas menunjukkan ciri demokrasi pemerintahan Alexander, yaitu demokrasi yang ditunjang kekuatan militer. Hampir semua yang dia lakukan didukung oleh kekuatan militer, namun dia memiliki perasaan ingin diakui dengan tulus oleh mereka yang dia taklukkan.

Alexander Agung Memulai Peperangan Melawan Persia

Alexander Agung sekarang adalah Raja Yunani, sesuatu yang belum pernah berhasil dicapai oleh pahlawan Sparta atau Athena. Di belakangnya berdiri petarung-petarung Makedonia, ditambah dengan 40.000 pasukan Yunani, dia siap bergerak untuk menaklukan Persia.

Jauh di Persia, Bagoas masih memegang kendali pemerintahan Persia dengan mengangkat pemimpin-pemimpin boneka. Pasca meninggalnya pangeran Arses, Bagoas memilih boneka selanjutnya yaitu kerabat jauh Artaxerxes II bernama Kodomanos.

Bagoas pada awalnya mengira dapat dengan mudah mengendalikan Kodomanos. Begitu Kodomanos diberikan mahkota dengan gelar Darius III, Bagoas baru sadar akan kesalahannya. Ketika Bagoas diundang Darius III untuk meminum secangkir anggur, dia mengira bahwa Darius akan meracuninya. Dia kemudian menolaknya dengan alasan sedang sakit, Darius kemudian memintanya meminum obat. Satu jam kemudian Bagoas mati, dan Darius III menjadi penguasa tunggal di Persia.

Tahun 334, Alexander bergerak menuju kerajaan Darius dengan 32.000 orang pasukan, 14.000 orang Makedoni dan sisanya ditarik dari wilayah jajahan. Dia dan pasukannya begerak lebih cepat daripada yang diperkirakan pihak Persia, dan tentara Persia tidak dapat mencapainya tepat waktu untuk mencegah pasukan ini menyeberangi Hellespont.

Setelah kehilangan kesempatan pertama para komandan Persia merundingkan strategi baru. Jenderal Persia Memnon, menyarakankan untuk menghindari perang darat bersama. Sebaliknya, orang Persia harus mundur sambil membakar persediaan dan menggiring pasukan Alexander menyeberangi daratan tandus, dan sementara mereka mengirim kapal untuk menyerang tanah Makedonia.

Ide brilian dari Memnon sayangnya ditolak sebagain besar komandan Persia . Sebaliknya pasukan Persia  bergerak ke tepi sungai Granicus, dekat tempat Troya yang lama, dan membuat pangkalan di sana.

Sementara itu di pihak lain, Alexander menolak nasihat Parmento komandannya, yang menyarankan untuk tidak menyerang dengan menyeberangi sugai. Alexander justru menarik pasukannya dan menyerang dengan menyeberangi sungai ke garis Persia.

alexander agung
Pertempuran Granicus

Orang-orang Makedonia pertama yang keluar dari air memang dibantai, tetapi besarnya serangan Alexander Agung segera memukul mundur kubu Persia. Sekali lagi pengalamannya dalam memimpin pasukan dan keuntungan senjata tombak kayu kornel memainkan peran penting dalam keberhasilan strategi itu.

Berbeda dengan Darius, dalam peperangan tersebut Akexander memimpin langsung pertempuran di garis depan sampai akhir. Alexander selain sebagai raja, juga sebagai komandan yang berani, tidak peduli pertempuran tersebut membahayakan nyawanya dia tetap memimpin pasukannya hingga akhir peperangan.

Ketika perang pertama berakhir. Makedonia kehilangan sekitar 200 orang, sedangkan kubu Persia kehilangan sekitar 4000 pasukan, termasuk putra Darius, menantunya, dan kakak iparnya gugur dalam perang itu. Pasukan Persia yang masih hidup melarikan diri, dan Alexander menyatakan kota-kota Ionia merdeka di bawah kekuasaannya. Dia kemudian bergerak ke Sardis, sebelum dia sampai ke kota itu Gubernur kota keluar untuk menyerah. Kesuksesan besar itu membawa Alexander menguasai Asia Kecil.

Sementara itu, Darius semakin takut akan ancaman yang di depan mata akhirnya melakukan perjalanan ke Babilonia bersama keluarga dan orang-orag kepercayaannya. Di Babilonia, ia berencana menjadikan wilayah itu sebagai basis utama operasinya melawan Alexander Agung.

Di sini ia mengumpulkan pasukan yang sangat besar, lebih dari  juta orang Persia, Midia, dan petarung bayaran dari berbagai bagian dari kekaisarannya. Dengan pasukan yang besar ini, ia bergerak dari Babilonia ke daerah pedesaan yang terbuka di pusat tanah Asiria lama di mana kekuatan Persia dapat menyebar dan menghancurkan Makedonia.

Di tempat lain, Alexander tengah menderita demam tinggi memutuskan menunda perjalanannya di Tarsus sampai panasnya mereda. Darius yang tidak sabar pada musuhnya yang tidak kunjung muncul, memutuskan untuk langsung menuju ke Asia Kecil. Akhirnya, pasukan itu bertemu di Sungai Issus, Suriah. Jumlah pasukan besar Persia justru tidak mengutungkan karena tidak dapat masuk ke medan yang kecil.

alexander agung
Pertempuran Issus

Sekali lagi, angkatan Makedonia berhasil mendesak melewati front Persia. Darius yang melihat perang berbalik melawannya, memilih untuk melarikan diri. Ketika Alexander Agung tiba di pusat perkemahan Persia dalam kemenangan, keluarga Darius di sana, ditawan oleh orang Makedonia dalam kemah raja.

Alexander Agung yang biasanya ramah terhadap tawanan (sepanjang bukan bagian dari pasukan musuh) membiarkan mereka hidup. Darius sendiri sudah lari cukup jauh untuk berkemah dengan aman, dan kemudian mengirimkan sepucuk surat kepada Alexander, menawarkan untuk menjadi sekutu Alexander, dan juga meminta untuk membebaskan istri dan anak-anaknya.

Dalam balasan suratnya, Alexander Agung menolak untuk membuat perjanjian apa pun kecuali Darius datang sendiri dan menyebutnya sebagai penguasa dari benua Asia. Setelah pembicaraan mengenai perjanjian berakhir, Darius tetap berada di Timur Sungai Efrat, Alexander memberi kerabat Darius memberi kerabat Darius kehidupan yang menyenangkan.

Pasca berakhirnya peperangan besar melawan Persia, Alexander Agung melanjutkan penaklukan melalui Suriah. Tahun 332 SM, dia mencapai kota Tyrus, yang menolak untuk menyerah dan tertahan di sana selama tujuh bulan. Ketika penyerangan itu akhirnya berakhir, dia sangat marah karena penundaan tersebut sehingga dia mengizinkan orang-orangnya untuk melakukan pembunuhan massal terhadap 33.000 orang di kota itu.

Selanjutnya, dia bergerak turun ke Mesir, dan diproklamasikan sebagai Pharaoh menggantikan Darius III. Tahun 331 SM, dia kembali berurusan dengan Darius. Darius membuat percobaan lain untuk menghindari perang, ia menawarkan untuk membeli keluarganya kembali, dan juga menjanjikan kepada Alexander semua tanah di sebelah Barat sungai Efrat, dan juga seorang putri sebagai istrinya, dengan syarat Alexander setuju untuk membuat perjanjian persahabatan.

Jenderal Alexander, Parmenio, mengira ini adalah ide yang sempurna untuk membuat semua orang bisa pulang, dan menasehati Alexander untuk menerima tawaran itu. Akan tetapi Alexander justru marah, dan sekali lagi menyatakan perang melawan Darius.

Kedua pasukan bertemu lagi dalam peperangan, kali ini di Gaugemela, jauh ke arah Utara Tigris. Sama seperti sebelumnya, Persia lagi-lagi mengalami kekalahan, dan sekali lagi Darius melarikan diri. Orang-orang Makedonia melakukan pawai kemenangan pertama ke Susa, dan kemudian Persepolis.

Di Persepolis, Alexander menemukan sekelompok tawanan Yunani, beberapa dari mereka sudah ditawan selama puluhan tahun dalam perang-perang terdahulu, semua tawanan tersebut sudah dijadikan budak. Bahkan, untuk mencegah mereka melarikan diri, majikan Persianya mengamputasi bagian tubuh yang digunakan untuk bekerja.

Sekali lagi, Alexander terbakar oleh amarah, dia memerintahkan orang-orangnya merampok kota itu, pasukannya diperbolehkan membakar, membunuh, memperbudak, tetapi melarang mereka memperkosa para wanita. Kota tersebut akhirnya porak poranda, dan istana-istana Darius hangus terbakar.

Darius sendiri lari ke arah Ekbatana. Alexander mengejarnya dengan pasukan kecil yang cepat, tetapi sebelum dia dapat mengejar raja Persia yang sedang dalam pelarian itu, orang-orang Darius berbalik menyerang Darius. Pemimpin pasukan berkudanya dan satu dari satrap menusuknya, dan meninggalkannya dalam sebuah kereta sampai mati di bawah terik matahari bulan Juli.

Melanjutkan Penaklukan

alexander agung
Wilayah Kekaisaran Alexander Agung

Alexander sekarang merupakan Raja Agung, dan orang-orangnya berharap perjalanan tugasnya berakhir. Tetapi Alexander tidak bisa meninggalkan suatu wilayah tanpa ditaklukan, dan kerajaan-kerajaan di sebelah Timur Laut, antara lain, Baktria dan Sogdiana, belum ditaklukan olehnya.

Dia mulai bergerak lebih jauh dan lebih ke atas, di atas jajaran gunung-gunung yang memisahkan anak benua India dari pusat daratan Asia. Medan yang harus dilewati sangat lah berat, dan setelah lebih dari tiga tahun berperang, kesetiaan orang-orangnya mulai berkurang.

Pertama, putra Jenderal Parmenio dihukum karena berkomplot untuk membunuh Raja, Alexander memerintahkan untuk menyiksanya sampai mati, kemudian Parmento juga dibunuh. Kedua, adalah jenderal Cleitus yang melemparkan tuduhan ke Raja, bahwa dia mendapat pampasan untuk kemenangan-kemenangan yang dimenangkan dengan darah orang-orang Makedonia. Bahkan Cleitus mencoba menyerang Alexander, akan tetapi Alexander membunuhnya terlebih dahulu menggunakan tombak.

Walaupun kesetiaan orang-orangnya mulai melemah tidak menghentikannya untuk meneruskan penaklukannya lebih jauh ke Timur. Dia tidak peduli pasukannya mengikutinya dengan setia atau tidak, dia tetap bermaksud menguasai India.

Sebelum melanjutkan perjalanannya, Alexander memutuskan menikah dengan seorang putri dari Sogdiana, si cantik Roxanne. Ini adalah perkawinan pertama, yang bisa dikatakan terlambat untuk orang seumurannya. Sekarang yang akan menjadi ratunya adalah seorang gadis dari suku yang menurut orang Makedonia dari golongan budak dan barbar.

Di sisi lain sungai Indus, terdapat penguasa yang menjadi penakluk terbesar wilayah India, penguasa itu bernama Raja Mahapadma Nanda Raja Kerajaan Magadha. Dia banyak menaklukkan wilayah India, dan masih bertempur pada usia ke-88 tahun. Ia meninggalkan kerajaannya kepada keturunanya, ketika Alexander memasuki India melalui Celah Khayber, salah satu keturunan Mahapadma Nanda yaitu Dhana Nanda, menjadi raja Magadha.

Sebelum dia mendapat kesempatan untk memperoleh kerajaan India yang paling kaya, dan paling kuat ini, Alexander harus melewati daratan-daratan yang terletak di antaranya. Tetapi dia tidak pernah sampai cukup jauh untuk menghadapi Dhana Nanda dalam pertempuran terbuka.

Pada awal kedatangannya di India, Alexander memperoleh tawaran untuk membantu raja Taxila melawan kerajaan di seberangnya Hydaspe, yang terletak di sungai Jhelum dan dikuasi oleh Raja Porus. Alexander menerima tawaran itu, dan setuju untuk membantu Taxiles melawan musuhnya.

Kekuatan gabungan pasukan Makedonia dan bangsa India berbaris menuju sungai Jhelum, di sana mereka bertemu Porus dan angkatan perang bergajahnya di seberang. Alexander bersama empat ajudannya, Ptolemeus, Perdiccas, Lysimachus, dan Seleucus, memimpin angkatan perangnya menyeberangi sungai dan memulai penyerangan.

Pasukan Alexander menyerang pasukan bergajah Porus, meskipun sempat merasa ngeri ketika menyerang pasukan itu, mereka tetap maju berperang dan mendesak angkatan perang Porus hingga terkepung, dan akhirnya menyerah. Alexander yang terkesan dengan keberanian Porus, memutuskan tidak membunuhnya.

Perang melawan kerajaan Hydaspes menyebabkan angkatan perang Alexander menderita banyak kerugian, ketika mereka mengetahui Alexander berniat untuk memimpin mereka melewati sungai Gangga yang lebih lebar dari Indus, dan memiliki pasukan bergajah yang lebih ganas, mereka menolak untuk terus maju.

Mendapati penolakan dari pasukannya, Alexander sempat kecewa dan merenung di tendanya selama dua hari. Dia akhirnya menyadari kalau pasukannya tidak mampu meneruskan penaklukannya di India, dia muncul pada hari ketiga dan setuju untuk kembali ke Asia kecil. Keputusannya ini mengakhiri perjalanan penaklukannya yang tidak terkalahkan.

Akhir Hidup Alexander Agung

Alexander telah memutuskan untuk bergerak pulang, namun jalur yang dipilihnya tidak melalui Celah Khayber seperti awal kedatangannya, dia justru memimpin pasukannya melewati sepanjang sungai Indus ke arah Selatan menuju laut, dan kemudian ke Barat. Ini menjadi suatu perjalanan pulang yang sangat buruk, memakan waktu tujuh tahun dan membunuh tubuh dan jiwa.

Alexander dan pasukannya harus berusaha mencari jalan melalui kota-kota pinggiran sungai yang bersikap memusuhi mereka dalam perjalanan ke pantai. Dalam salah satu penyerangan di kota Malians, Alexander tertusuk dadanya oleh sebuah anak panah, dan untuk beberapa jam kehilangan kesadaran. Ketika mereka bergerak kembali, dia hampir tidak dapat duduk di atas kuda, dan lukanya tidak pernah sembuh.

Setibanya di pantai, mereka melanjutkan perjalanan ke arah barat dan mengharuskan mereka melalui padang gurun bergaram. Medan yang berat untuk dilalui menyebabkan banyak di antara mereka mulai mati kelaparan, kehausan, dan terkena penyakit. Dari 120.000 infantri, dan 15.000 kavaleri, hanya sekitar 30.000 yang berhasil kembali pulang. Itu merupakan akhir yang mengerikan untuk suatu operasi yang berhasil gemilang.

Sekembalinya ke Susa, Alexander mencoba melupakan sepak terjangnya di India, dan memilih berkonsentrasi pada tugas-tugasnya sebagai raja daripada sebagai penakluk. Dia juga memutuskan untuk menikah kembali, dengan salah satu putri Darius III, putri Stateira. Kemudian, dia menjadi tuan rumah bagi perkawinan massal yang melibatkan bangsawan Makedonia dengan wanita-wanita bangsawan Persia.

Perayaan perkawinan itu adalah usaha Alexander untuk mengatasi permusuhan antara orang Persia yang berpendapat orang Makedonia tidak mengenal adat, dan orang Makedonia yang berpendapat orang Persia bersikap Feminim.

Di bidang militer, dia mengumpulkan ribuan pemuda Persia dan menaruh mereka di bawah pimpinan panglima-panglima Makedonia untuk dilatih cara berkelahi gaya Makedonia. Tetapi usahanya ini tidak berjalan dengan mulus, sempat timbul konflik antara serdadu-serdadu kecil Makedonia dengan pemuda Persia.

Sementara itu, pemikiran akan bersatunya identitas Yunani yang akan menyatukan rakyat Alexander telah hampir hilang, meskipun tidak seluruhnya. Untuk itu Alexander membuat himbauan emosional kepada orang Persia dan Makedonia, bahwa mereka hidup di bawah raja yang sama maka harus menikmati hak yang sama. Mereka juga tidak perlu malu meniru kebiasaan masing-masing.

Ketika dia berhasil meyakinkan orang-orang Makedonia atau Persia untuk Persia untuk hidup berdampingan, dia melakukan perjalanan dari Susa ke Ectabana, di mana dia berniat untuk mengadakan festival besar bergaya Yunani.

Di Ectabana salah satu jenderal andalannya sekaligus teman setianya, Hephaestion, jatuh sakit, dan akhirnya meninggal. Alexander meninggalkan Ectabana dan pergi ke Babilonia dalam keadaan berkabung. Di Babilonia, dia menderita demam parah, sepuluh hari kemudian dia meninggal. Alexander meninggal pada tahun 323 SM, ketika berumur 33 tahun.

Tubuh Alexander disemayamkan di tempat tidurnya selama beberap hari, sementara panglima-panglimanya berdebat mengenai siapa yang akan memimpin kekaisaran itu. Alexander semasa hidup tidak pernah menyebutkan penggantinya, dan ketika tahu bahwa Roxane istri pertamanya sedang hamil dia tidak merasa perlu untuk menunjuk seorang pewaris.

Disintegrasi Kekaisaran Pasca Meninggalnya Alexander Agung

Penaklukan luar biasa yang dilakukan Alexander, telah menghasilkan kekaisaran tanpa administrasi, birokrasi, dan sistem perpajakan, tanpa sistem komunikasi yang sama, tanpa identitas nasional, dan tanpa ibu kota. Kekaisaran ini diciptakan dengan kecepatan luar biasa, dan  dengan kecepatan yang luar biasa pula kekaisaran ini mulai pecah.

Disintegrasi ini dimulai dari Roxanne, yang sedang hamil lima bulan. Ia merasa cemas akan ancaman yang akan dihadapi putranya yang berada dalam kandungan. Ia merasa khawatir putranya tidak dapat menjadi raja, setelah mendengar kabar Staeira juga hamil. Roxane kemudian menyurati Staeira dan mengundangnya ke Babilonia. Ketika Staeira datang bersama adiknya, Roxane menawarkan secangkir anggur beracun kepada mereka. Keduanya meninggal sebelum malam tiba.

Satu-satunya pewaris Alexander adalah anak Roxanne yang belum lahir. Tetapi seorang anak yang belum lahir tidak dapat memerintah, bahkan melalui seorang wali. Kekaisaran itu memerlukan seorang raja sebelum berita tentang kematian Alexander menyebar, dan menyebabkan kegaduhan di wilayah-wilayah lain.

Petinggi angkatan perang Makedonia mulai mendiskusikan nama yang akan memimpin kerajaan. Nama Filipus pun muncul ke permukaan, ia merupakan adik tiri Alexander bernama Filipus Arrhidaeus, putra selir Filipus yang berpikiran lembek. Pemuda ini baru beranjak ke usianya ke-30 tahun, mudah ditipu, mudah dibujuk.

Filipus tidak sendiri, muncul nama-nama orang dekat Alexander yang juga mengincar kekuasaan. Mereka adalah Prolemeus, seorang Makedonia yang digosipkan sebagai anak di luar perkawinan Filipus tua; Antigonous, salah satu jenderal kepercayaan Alexander; Lysimachus, salah satu temannya yang ikut dalam operasi militer ke India; dan Perdicccas, yang merupakan pimpinan kedua.

Angkatan bersenjata tidak mau menerima salah satu dari keempat orang itu untuk menggantikan Alexander sebagai raja, sehingga mereka mau berkompromi. Filipus si lembek akan tetap ditunjuk menjadi raja, dan jika bayi Roxane seorang laki-laki, si bayi akan menjadi rekan pemimpin. Sementara Perdiccas menjadi wali keduanya.

Kekuasaan akhirnya dibagi, Filipus akan tinggal di Babilonia, yang akan menjadi pusat pemerintahan. Ketiga orang lainnya setuju untuk menjabat sebagai satrap, dengan mengikuti sistem Persia. Ptolemeus akan memerintah Mesir; Antigonous akan memerintah sebagai besar Asia Kecil; Lysimachus mendapat Thracia; Antipater, seorang palnglima terpercaya yang menjadi wali Alexander di Makedonia selama penaklukan, akan terus di Makedonia dan juga mengawasi Yunani; Cassender, pura Antipater, mendapatkan Caria (bagian selatan pantai Asia Kecil).

Pembagian kekuasaan Alexander menjadi satrap-satrap adalah jalan langsung menuju peperangan suksesi. Walaupun mereka termasuk dalam satu golongan ras yang sama dan sama-sama setia kepada Alexander, mereka tidak dapat mengelak peristiwa yang akan terjadi. Perang Suksesi atau Diadochi pecah tak lama setelah itu.

Sementara itu keturunan satu-satunya dari Alexander, akhirnya lahir dan dinamakan Alexander IV. Sayangnya dia tidak pernah kesempatan menjadi pemimpin, karena pada usia 12 tahun, dia bersama ibunya mati diracun. Demikian lah akhir tragis bagi kekaisaran besar Alexander Agung.

BIBLIOGRAFI

Bauer, Susan Wise. 2010. Sejarah Dunia Kuno: Dari Cerita-Cerita Tertua sampai Jatuhnya Roma. Terj. Aloysius Prasetya. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Black, Jonathan. 2015. Sejarah Dunia yang Disembunyikan. Terj. Isma B. Soekato dan Adi Toha. Jakarta: Pustaka Alvabet.

Adams, Simon. 2007. Sejarah Dunia: Dari Mesir Kuno hingga Tsunami Asia. Jakarta: Erlangga.

Korovkin, F. 1985. History of The Ancient World. Moscow: Progress Publ.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *