Sejarah Jamu di Nusantara

Jamu merupakan obat tradisional Indonesia yang terdiri dari racikan tanaman herbal dan dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan Barat. Sepanjang sejarahnya, pengetahuan dan keterampilan dalam pembuatan jamu diwariskan melalui tradisi lisan ke generasi selanjutnya, terutama oleh kaum perempuan.

Jamu dalam Pusaran Sejarah

Jamu boleh dibilang sebagai obat tradisional, tetapi pada kenyataannya jamu memiliki sifat dinamis dan hibrid. Bila ditinjau dari catatan sejarah, jamu berevolusi dengan menggabungkan unsur-unsur dari berbagai tradisi dan sumber medis, sehingga dapat terus berkembang mengikuti perkembangan zaman.

Selama berabad-abad, jamu telah menjadi bagian dari budaya Indonesia. Proses pembuatan obat ini bahkan dapat dilihat pada relief di Borobudur.

Sejak zaman dahulu kaum perempuan berperan penting dalam peracikan jamu. Di samping itu, mereka juga memiliki peran dalam mewariskan pengetahuan ke generasi selanjutnya.

jamu
Para peracik jamu keraton

Para praktisi pembuat jamu menganggap ada hubungan erat antara obat tradisional dan pola makan. Oleh karena itu, sering kali bahan herbal juga digunakan sebagai bumbu masak.

Bahan utama jamu berasal dari keluarga temu-temuan (Zingiberaceae). Kunyit, lengkuas, kencur, temu lawak, lempuyang pahit, dan lempuyang wangi merupakan bahan yang umum digunakan.

Pada perkembangannya bahan jamu tidak hanya berasal dari keluarga temu-temuan yang mudah didapatkan di Indonesia. Pada masa kolonial, rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh mulai banyak digunakan sebagai bahan racikan lain. Selain itu, berbagai macam buah-buahan seperti pepaya, nanas dan pisang turut digunakan.

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan jamu menggambarkan karakternya yang dinamis. Pepaya dan nanas berasal dari Amerika Tengah dan diperkenalkan oleh Portugis pada abad ke-16; ketumbar berasal dari Eropa selatan; daun wortel diperkenalkan oleh orang Belanda. Sementara lengkuas diresepkan oleh dokter di India kuno, Yunani, dan kawasan Arab.

Perkembangan jamu didorong oleh ekosistem nusantara yang sangat beragam. Keanekaragaman ini selalu menyediakan banyak sumber daya untuk perdagangan, sehingga tidak mengherankan bila perdagangan menjadi ciri khas kepulauan ini jauh sebelum kedatangan orang Eropa.

Pada akhirnya pola perdagangan membentuk pola migrasi manusia dan pertukaran ide. Jauh sebelum kedatangan orang Eropa, orang-orang dari sub-benua India dan Cina membawa serta tradisi medis mereka ke Nusantara. Ide-ide itu kemudian diterima dan dikombinasikan hingga melahirkan jamu yang terus berkembang.

Proses perebusan dan penyaringan merupakan dua proses utama dalam pembuatan jamu. Biasanya pedagang mulai menyiapkan jamu pada pagi buta sebelum matahari terbit. Setelah itu, penjual menjajakan dagangannya dengan cara menggendong botoljamu di punggungnya.

foto penjual jamu di Yogyakarta sekitar tahun 1920a
Penjual jamu gendong di Yogyakarta sekitar tahun 1920an. Collectie.wereldculturen.nl

Para penjual jamu gendong ini berjualan dari pintu ke pintu. Sementara mereka yang memiliki modal lebih biasanya membuka lapak di pinggir jalan atau pasar.

Selain penjual biasa, dukun turut mempunyai andil dalam popularitas jamu di Indonesia. Ahli pengobatan tradisional ini mengandalkan racikan tanaman herbal untuk mengobati pasiennya. Sering kali obat tradisional yang disajikan ditambahi dengan rapalan mantra.

Jamu tidak hanya dinikmati oleh penduduk biasa, tetapi juga kalangan bangsawan. Di kerajaan-kerajaan Jawa Tengah-selatan, para raja secara khusus mempekerjakan orang-orang yang memiliki keterampilan meracik obat tradisional.

Para peracik jamu keraton ini terkadang meninggalkan catatan tertulis pengetahuan mereka untuk diwariskan ke generasi selanjutnya. Biasanya resep-resep yang ditulis memiliki bahan yang berbeda daripada jamu konvensional. Tujuannya untuk membuat para bangsawan terkesan dan membedakan diri dengan penjual biasa.

Selama era kolonial, orang Tionghoa mendominasi perdagangan lokal bahan jamu, rempah-rempah, dan hasil olahan. Sebagian besar apotek dijalankan oleh pedagang Tionghoa tidak hanya menstok obat Tionghoa, tetapi juga jamu Jawa.

Industri Jamu Abad Modern

Industri jamu modern dimulai pada awal abad ke-20, tatkala para wirausahawan yang giat dan inovatif di Jawa mulai memproduksi jamu di rumah sebagai industri rumahan kecil.

Tidak banyak catatan mengenai produsen periode awal ini, sehingga jenis jamu yang dihasilkan dan resep yang digunakan tidak dapat dipastikan. Meskipun beberapa produsen berasal dari penduduk bumiputra, tetapi mayoritas pelaku bisnisnya adalah Tionghoa peranakan.

Posisi Tionghoa peranakan yang agak marginal dalam masyarakat Hindia Belanda memungkinkan mereka untuk bertindak sebagai inovator dan mediator antara kelompok budaya yang berbeda.

Jamu Jago (didirikan di Wonogiri oleh Poa Tjong Kwan dan Tjia Kiat Nio alias Mak Jago pada 1918), Jamu Nyonya Meneer (didirikan oleh Lauw Ping Nio di Semarang pada 1919) dan Jamu Iboe (didirikan pada 1910 oleh Tan Swan Nio di Surabaya) merupakan beberapa perusahaan obat tradisional yang didirikan oleh Tionghoa peranakan yang tetap bertahan hingga kini.

Awal abad ke-20 merupakan era inovasi di bidang obat-obatan produksi lokal di Indonesia. Tidak jelas berapa banyak produsen jamu awal ini yang memasarkan produk mereka dengan sebutan ‘jamu’ daripada ‘obat.’ Namun, kemungkinan hingga tahun 1930-an sebagian besar produsen melabeli produk mereka sebagai obat untuk memperkuat daya saing. Hal ini tidak mengejutkan, bahkan saat rokok kretek pertama kali dikenalkan produk ini juga disebut sebagai obat untuk penderita asma dan gangguan pernapasan.

Seiring berjalannya waktu, produsen obat tradisional di nusantara saling berlomba menghadirkan inovasi terhadap produknya. Kehadiran jamu bubuk mendobrak pakem yang sudah ada selama ini. Lewat kemasan ini jamu semakin praktis untuk dikonsumsi. Orang-orang tidak perlu lagi menunggu penjual keliling atau datang ke lapak di pinggir jalan.

Jamu bubuk biasanya dijual eceran dalam kemasan foil yang berisi 7gram bubuk jamu yang sudah ditumbuk halus. Untuk membuatnya konsumen tinggal menuangkan bubuk itu ke dalam gelas, menambahkan air panas, mengaduknya dan jamu sudah siap diminum.

Karena rasa pahitnya, banyak konsumen menambahkan gula atau madu ke dalam jamu, ada juga menambahkan kuning telur. Kedua bahan tersebut diyakini menyehatkan.

Pada masa kemerdekaan, muncul regulasi melalui UU No. 7 tahun 1963 tentang farmasi. Melalui aturan ini jamu dikategorikan sebagai obat asli Indonesia karena didapat langsung dari bahan-bahan alamiah di Indonesia, terolah secara sederhana atas dasar pengalaman dan dipergunakan dalam pengobatan tradisional.

Legalisasi dan regulasi jamu sebagai obat asli Indonesia memberikan fleksibilitas cukup besar bagi industri untuk mengembangkan produk baru dan menjualnya dalam bentuk yang bervariasi.

Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan besar telah memperluas jangkauan produk mereka hingga mencakup tonik, pil dan tablet; losion perawatan tubuh; sampo; kosmetik, semuanya mereka pasarkan sebagai jamu.

Daftar Pustaka

Afdhal, Ahmad Fuad, and Robert L. Welsch. “The rise of the modernjamu industry in Indonesia: a preliminary overview.” The context of medicines in developing countries, 1988.

Fibiona, Indra, and Siska Nurazizah Lestari. “RIVALITASJAMU JAWA DAN OBAT TRADISIONAL CINA ABAD XIX-AWAL ABAD XX.” Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. 16, no. 4, 2015.

Jordaan, Roy E. Folk Medicine in Madura (Indonesia). Ph.D. Thesis, Rijksuniversiteit, Leiden, 1985.

Laplante, Julie. “Becoming-plant: jamuin Java, Indonesia.” In Plants and Health, pp. 17-65. Springer, Cham, 2016.

Pols, Hans. “JamuThe Indigenous Medical Arts of the Indonesian Archipelago.” In The Bright Dark Ages, pp. 161-185. Brill, 2016.

Rademakers, Martijn FL. “Market organization in Indonesia: Javanese and Chinese family business in the jamu industry.” Organization Studies 19, no. 6, 1998.

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *