Malcolm X atau juga dikenal sebagai el-Hajj Malik el-Shabazz adalah pemimpin muslim Afrika-Amerika, penyuara hak-hak sipil dan hak asasi manusia bagi kulit hitam, serta pendukung gagasan Pan-Afrika dan Pan-Islamisme. Setelah kematiannya, penyebaran autobiografinya membuat Malcolm menjadi pahlawan ideologis, terutama di kalangan pemuda kulit hitam.
Kehidupan Kelam Malcolm X
Malcolm X bernama asli Malcolm Little. Ia dilahirkan pada 19 Mei 1925 di Omaha, Nebraska dari orang tua yang tidak berpendidikan, miskin, Kristen dan pendukung nasionalis kulit hitam.
Ia berkeyakinan bahwa orang kulit putih telah membunuh ayahnya dan secara tidak adil menempatkan ibunya di rumah sakit jiwa, serta menempatkan dirinya sendiri serta saudara-saudaranya di panti asuhan yang berbeda.
Pada usia lima belas tahun, ketika Malcolm menyelesaikan kelas delapan, ia menyadari bahwa ia membenci pendidikan formal dan pendidikan agama yang sudah mapan. Latar belakang kelam tersebut menggiringnya ke dunia hitam.
Pada masa-masa suram ini ia tidak lebih dari seorang atheis yang pemalas. Ia menjadi seorang pecandu narkoba dan ikut serta dalam perdagangan gelap, perjudian, dan perampokan ketika membutuhkan uang.
Pertobatan Malcolm X
Pada tahun 1946 Malcolm dijebloskan ke penjara karena kasus pencurian. Peristiwa itu menandai awal peralihan intelektual dan sosialnya. Berkat dorongan John Bembry, temannya di penjara, ia mulai belajar menulis dan membaca buku.
Penjara adalah tempatnya membaca buku-buku filsafat dan literatur Barat dan Timur, karya-karya mengenai agama Kristen, genetika, dan perbudakan Amerika. Cakupan bacaannya melebihi bacaan rata-rata orang Amerika tingkat prasarjana. Dari pendidikan informalnya ini pula ia mengenal ajaran Islam dan sejarah kepahlawanan muslim.
Melalui dorongan saudaranya Reginald serta rekan-rekannya di penjara, pada tahun 1948 Malcolm beralih kepada doktrin Elijah Muhammad, pemimpin Nation of Islam. Ia tertarik dengan doktrin utama Elijah bahwa Tuhan berkulit hitam yang akan membebaskan orang-orang Arika-Amerika dan membinasakan setan kulit penindas mereka.
Semangat yang dibawa Elijah dianggap sesuai dengan kondisi yang dihadapi orang-orang kulit hitam Amerika, di mana diskriminasi rasial pada masa itu sangatlah kuat.
Setelah bergabung dengan Nation, Malcolm berhenti merokok dan berjudi dan menolak makan daging babi. Ia juga mengganti nama belakangnya dari Little menjadi X, sebuah kebiasaan di kalangan pengikut Nation of Islam yang menganggap nama keluarga mereka berasal dari budak kulit putih.
Setelah dibebaskan dari penjara, Malcolm membantu memimpin Nation of Islam selama masa pertumbuhan dan pengaruhnya yang terbesar. Ia bertemu dengan Elijah Muhammad di Chicago pada tahun 1952 dan kemudian mulai mengatur masjid untuk Nation di New York, Philadelphia, dan Boston dan di kota-kota di Selatan.
Malcolm kemudian mendirikan surat kabar Nation, Muhammad Speaks, yang dia cetak di ruang bawah tanah rumahnya. Kemudian memprakarsai praktik yang mengharuskan setiap anggota laki-laki Negara untuk menjual sejumlah surat kabar di jalan sebagai teknik perekrutan dan penggalangan dana. Ia juga mengartikulasikan doktrin rasial Nation tentang kejahatan yang melekat pada orang kulit putih dan keunggulan alami orang kulit hitam.
Pengalaman sosial Malcolm, kecapakan intelektualnya, serta dedikasinya kepada pemimpin mengantarkannya pada kedudukan tinggi di Nation of Islam.
Pada awalnya Malcolm ditunjuk sebagai pemimpin Masjid Nomor 11 di Boston, kemudian pada pertengahan 1954, Malcolm ditunjuk oleh Elijah sebagai pemimpin Masjid Nomor 7 di Distrik Harlem, New York. Masjid ini merupakan merupakan masjid terbesar kedua di Nation setelah Masjid di Chicago.
Pada tahun 1958, Malcolm menikah dengan Betty Sanders dan dari pernikahan ini ia dikaruniai enam anak.
Seiring dengan terus berkembangnya kegiatan politik Dunia Ketiga dan AS pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, Malcolm semakin berani mengeluarkan statement-statement anti-rasisme. Ia secara terang-terangan mendukung kebebasan orang-orang Afrika-Amerika, Afrika, dan muslim.
Bahkan Malcolm juga tidak segan-segan mengkritisi kebijakan protektif Elijah dan penghindaran kontak yang tidak perlu dengan muslim Sunni.
Konflik antara Malcolm X dan Elijah Muhammad
Sejak 1959 dan seterusnya, upaya Malcolm untuk memodifikasi kebijakan Elijah menjadikan loyalitasnya dipertanyakan.
Kunjungan singkatnya ke Arab Saudi dan negara-negara Afrika, sebagai utusan Elijah, serta siaran nasional “The hate That Hate Produced”, semakin memperkuat popularitasnya. Namun di sisi lain popularitas yang terus naik menyebabkan banyak anggota Nation yang iri kepadanya.
Malcolm kecewa bahwa kunjungan Elijah Muhammad ke negara-negara muslim pada 1959, serta umrah yang dilakukannya, tidak banyak memberikan perubahan politik yang signifikan di Nation.
Malcolm secara bertahap mengubah administrasi di Masjid Nomor Tujuh Elijah. Meskipun selalu merespon dengan tajam kecaman muslim Sunni terhadap teologi Nation, ia tetap mengadakan pengajaran bahasa Arab dan mempertahankan hubungan baik dengan diplomat-diplomat muslim lain.
Lebih jauh, Malcolm mulai mengecilkan doktrin Nation tentang “sifat setan dalam diri kulit putih dan keunggulan alamiah kulit hitam.” Ia mengajari para asistennya dengan kebudayaan Afrika dan Asia, serta permasalahan-permasalahan hangat pada masa itu. Perubahan ini menunjukan peran aktivis sosial politis tanpa batasan yang ingin dijalaninya.
Pada tahun 1963 terjadi ketegangan kuat antara Malcolm dan Elijah Muhammad mengenai arah politik organisasi. Malcolm mendesak agar Nation menjadi lebih aktif dalam demonstrasi hak-hak sipil yang meluas dan bukan hanya menjadi kritikus pinggiran.
Pelanggaran Muhammad terhadap kode etik Nation semakin memperburuk hubungannya dengan Malcolm, yang sangat terpukul saat mengetahui bahwa Muhammad merupakan ayah dari anak-anak enam sekretaris pribadinya. Bahkan dua di antaranya mengajukan tuntutan paternal dan membuat masalah ini diketahui publik.
Malcolm membawa publisitas buruk kepada Nation ketika ia mengumumkan secara terbuka bahwa pembunuhan John F. Kennedy adalah contoh “chickens coming home to roost” (sebuah masyarakat keras yang menderita akibat kekerasan). Sebagai tanggapan atas pernyataan provokatif ini, Elijah Muhammad menskorsing Malcolm selama 90 hari dan keretakan antara kedua pemimpin tersebut menjadi permanen.
Malcolm akhirnya meninggalkan Nation pada bulan Maret 1964 dan pada bulan berikutnya mendirikan Muslim Mosque, Inc. Selama berziarah ke Mekkah pada tahun yang sama, ia menjalani pertobatan kedua dan memeluk Islam Sunni, mengadopsi nama muslim, el-Hajj Malik el-Shabazz.
Setelah meninggalkan teologi Nation, ia mengklaim bahwa solusi terbaik untuk masalah rasial di Amerika Serikat adalah kembali ke Islam yang bersumber pada al-Quran dan Hadis.
Pada kunjungan keduanya ke Afrika pada tahun 1964, ia berbicara untuk Organisasi Persatuan Afrika (dikenal sebagai Uni Afrika sejak tahun 2002), sebuah kelompok antar pemerintah yang dibentuk untuk mempromosikan persatuan, kerjasama internasional, dan pembangunan ekonomi Afrika.
Pada tahun 1965 ia mendirikan Organisasi Persatuan Afro-Amerika sebagai kendaraan sekuler untuk menginternasionalisasi kondisi buruk orang kulit hitam Amerika , serta untuk beralih dari perjuangan hak sipil ke hak asasi manusia.
Permusuhan yang berkembang antara Malcolm dan Nation menyebabkan ancaman pembunuhan dan kekerasan terhadapnya. Pada tanggal 21 Februari 1965, Malcolm terbunuh saat memberikan ceramah di Audubon Ballroom di Harlem; tiga anggota Nation of Islam dihukum karena pembunuhan tersebut.
Perjuangan, gagasan, dan ceramahnya berkontribusi pada pengembangan ideologi nasionalis kulit hitam dan geraka organisasi kulit Hitam. Malcolm juga membantu mempopulerkan nilai-nilai otonomi dan kemerdekaan di antara orang Afro-Amerika pada tahun 1960an dan 70an.
BIBLIOGRAFI
Breitman, George (ed.). 1994. Malcolm X Speaks: Selected Speeches and Statements. New York: Grove Press.
Esposito, John L. 2001. Dunia Islam Modern: Ensiklopedi Oxford. Bandung: Mizan.
Haley Alex. 2012. Otobiografi Malcolm X: Sang Negro Yang Merevolusi Dunia Islam Dan Kemanusiaan. Jakarta: Ufuk Publishing House
Marable, Manning. 2011. Malcolm X: A Life of Reinvention. London: Penguin Group.