Referendum Timor Timur Tahun 1999

Referendum Timor Timur merupakan klimaks dari polemik Timor Timur yang berlangsung selama 22 tahun. Permasalahan jangka panjang mantan provinsi ke-27 itu berulang kali memojokkan Indonesia di forum Internasional. Kondisi ini diperparah dengan konflik yang terjadi di di dalam wilayah Timor Timur sendiri.

Meskipun pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan polemik Timor Timur, namun tidak ada titik temu yang dapat diperoleh untuk mempertahankan wilayah itu. Bahkan desakan terhadap Indonesia di forum internasional justru semakin menguat. Oleh sebab itu referendum akhirnya menjadi satu-satunya jalan untuk menyelesaikan permasalahan Timor Timur.

Latar Belakang Polemik Timor Timur

Sebelum merdeka Timor Timur sempat menjadi wilayah yang dikuasai oleh beberapa negara. Negara pertama yang menduduki Timor Timur adalah Portugis pada 1520, kemudian Spanyol tiba pada 1522.

Pada tahun 1613, Belanda menguasai bagian barat pulau itu. namun kekuasaan direbut Inggris pada1812-1815.

Setelah Inggris pergi, Belanda dan Portugis memperebutkan hegemoni kekuasaan atas pulau Timor. Portugis akhirnya memperoleh kedaulatan atas wilayah bagian timur setelah melakukan perjanjian dengna Belanda pada 1860 dan 1893, perjanjian terakhir hanya bertahan sampai 1914. Selama Perang Dunia II Timor berada dalam kekuasaan Jepang.

Setelah Jepang kalah dari Sekutu, provinsi Timor Timur tetap berada dalam pendudukan Portugis sampai tahun 1975. Selama dalam kontrol Portugis, salah satu partai politik utama Timtim, Frente Revolucionária Timor Leste Independente (Fretilin) mendapat banyak kontrol atas wilayah tersebut dan pada bulan November 1975 mendeklarasikan kemerdekaannya sebagai Republik Demokratik Timor Leste.

Pada 7 Desember 1975 pasukan Indonesia yang didukung Amerika dan Australia menduduki wilayah tersebut. Di tahun berikutnya Indonesia mendeklarasikan Timtim sebagai bagian integral dari negara tersebut sebagai provinsi Timor Timur (Timtim).

Pada tahun-tahun berikutnya muncul konflik antara pendukung kemerdekaan Timor Leste dan pemerintah Indonesia serta pendukung integrasi Timtim. Konflik terus meningkat, pada tahun 1991, tentara Indonesia melepaskan tembakan ke 4.000 pelayat pro-kemerdekaan di sebuah pemakaman yang sedang mengubur seorang siswa muda yang baru-baru ini dibunuh oleh tentara. Seorang jurnalis foto Inggris memfilmkan apa yang kemudian dikenal sebagai pembantaian Santa Cruz, yang menyebabkan lebih dari 200 orang tewas. Rekaman tersebut disiarkan di televisi di negara-negara Barat dan untuk pertama kalinya pemerintah Amerika Serikat mengutuk kekerasan di Indonesia.

referendum timor timur
Insiden Santa Cruz

Bekas provinsi ke-27  itu membuat Indonesia menjadi bulan-bulanan dunia internasional. Banyak pihak yang menggunakan isu Timtim sebagai salah satu sarana memukul dan mempermalukan bangsa Indonesia di percaturan internasional. Padahal di sisi lain Indonesia sedang berjuang keras membuktikan bahwa tuduhan pelanggaran HAM di Timtim tidak seluruhnya benar.

Meskipun begitu, pada masa itu tidak ada keinginan sedikitpun untuk membuat keutuhan dan kesatuan NKRI terkoyak. Namun tekanan dari dunia internasional untuk memberi kemerdekaan kepada Timor Timur semakin menguat, seiring dengan semakin intensifnya pertikaian fisik di Timor TImur.

Persiapan Referendum

Tujuh bulan setelah BJ Habibie memegang tampuk kekuasaan atau tepatnya 19 Desember 1998, Perdana Menteri Australia, John Howard mengirim surat kepada Presiden Habibie.Ia mengusulkan untuk meninjau ulang pelaksaan referendum bagi rakyat Timtim.

Merespon permintaan PM Australia itu, pemerintah NKRI menggelar sidang kabinet di Bina Graha pada 27 Januari 1999. Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengumumkan hasil keputusan sidang yang memakan waktu lebih dari lima jam itu, bahwa Indonesia akan lepas tangan dari Timtim jika mereka menolak opsi penyelesaian konflik, yaitu tawaran otonomi khusus yang diperluas.

Di Timor Timur, kekerasan antara kubu pro-kemerdekaan melawan kubu pro-integrasi (PPI) terus terjadi. Pada 6 April 1999, terjadi kekeraan di Gereja Liquica yang menyebabkan ratusan orang mengungsi. Disusul kerusuhan pada tanggal 17 April di Dili yang antara lain menewaskan putra aktivis pro-kemerdekaan Manuel Viegas Carrascalao dan perusakan kantor Harian Suara Timor Timur.

Pada 21 April 1999 kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan menandatangani kesepakatan damai di kediaman Uskup Dili, Mgr Carlos Filipe Ximenes. Kesepakatan damai ini disaksikan Menhankam/Pangab TNI Jenderal Wiranto, Wakil Ketua Komnas HAM Djoko Soegianto, dan Uskup Baucau Mgr Basilio do Nascimento.

Presiden Habibie membahas lebih dalam tentang nasib Timtim dengan Perdana Menteri Australia, John Howard pada 27 April 1999. Habibie mengungkapkan akan melaksanakan penetuan pendapat untuk mengetahui kemauan sebenarnya rakyat Timimtim, tetap berintegrasi atau memisahkan dairi dari Indonesia. Rencana awal referendum akan dilaksanakan pada tanggal 8 Agustus 1999.

Sebagai implementasi dari pernyataan Habibie, Menteri Luar Negeri (Menlu), Ali Alatas dan Menlu Portugal Jaime Gama, bersama Sekretaris Jendeal PBB Kofi Annan menandatangani kesepakatan pelaksanaan referendum pada 8 Agustus 1999 di Timor Timor. Di sisi lain, Indonesia tetap bertanggung jawab pada keamanan pelaksanaan referendum tersebut. Sidang Umum PBB menerima dengan bulat kesepakatan itu pada 7 Mei 1999.

Presiden Habibie kemudian membentuk tim pengamanan implementasi penetuan pendapat tentang  status Timtim pada 11 Mei. Presiden menunjuk Menko Polhukam Feisal Tanjung sebagai penanggung jawab, dengan anggota Menhankam Jenderal Wiranto, Menlu Ali Alatas, Mensesneg Muladi, Mendagri Syarwan Hamid, dan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara ZA Maulani.

Selanjutnya pada 17 Mei 1999, Presiden Habibie mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 43/1999 tentang Tim Pengamanan Persetujuan RI-Portugal di Timtim. Keppres itu dimantapkan dengan Instruksi Presiden (Inpres) No. 5/1999 tentang Langkah Pemantapan Persetujuan RI-Portugal.

Melalui Mensesneg Muladi, pemerintah Indonesia meminta PBB memajukan penentuan pendapat, dari 8 Agustus menjadi tanggal 7 Agustus 1999. Alasannya karena pada tanggal 8 Agustus 1999 merupakan hari minggu dan banyak umat Katolik melakukan peribadatan.

Sejak 1 Juni 1999, bendera biru PBB mulai berkibar di tanah Timor Timur. PBB meresmikan misinya (UNAMET) di wilayah ini pada 3 Juni 1999. Misi itu diketuai oleh Ian Martin. Sayangnya peresmian misi itu diwarnai kerusuhan yang dilakukan pihak pro integrasi di Dili.

Untuk membuat kondisi Timor Timur kondusif selama masa persiapan referendum, perwakilan kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan mengadakan pertemuan di Jakarta pada 16-18 Juni 1999. Dalam pertemuan ini, mereka sepakat menyerahkan senjata yang dimiliki kelompok bersenjata kedua pihak kepada UNAMET atau pemerintah RI. Setelah kesepakatan penyerahan senjata tercapai, pada 23 Juni 1999 pemerintah Indonesia mengirimkan 4.4452 anggota Polri untuk mengamankan pelaksanaan jajak pendapat di Timtim.

Pada 26  Juni 1999, Sekjen PBB Kofi Annan merespon permintaan perubahan jadwal pelaksanaan yang sebelumnya diajukan Indonesia dan memutuskan menunda pelaksanaan jajak pendapat di Timtim, dua minggu dari tanggal yang ditentukan, sehingga rencana berubah menjadi tanggal 21 Agustus.

Untuk menyukseskan referendum sejak tanggal 16 Juli-8 Agustus mulai diadakan pendaftaran pemilih. Secara umum, hari pertama pendaftaran berlangsung aman, kecuali di Kecamatan Zumalai, Kovalima, terjadi kerusuhan yang mengakibatkan satu korban tewas dan lima luka-luka.

Di tengah-tengah masa pendaftaran referendum, PBB kembali merubah keputusan pelaksanaan referendum yang dirubah menjadi tanggal 30 Agustus 1999.

Masa kampanye untuk refrendum dibuka pada tanggal 14 Agustus 1999. Rencananya masa kampanye ini berlangsung hingga 26 Agustus. Di hari yang sama kelompok pro-otonomi dan pro-kemerdekaan sepakat menciptakan kampanye damai hingga putaran terakhir.

referendum timor timur
Kerusuhan pada masa kampanye

Namun sayangnya kesepakatan itu hanya menjadi sebuah wacana, karena pada kenyataannya kerusuhan tetap terjadi. Pada tanggal 25 Agustus bertepatan dengan putaran terakhir kampanye pro kemerdekaan kerusuhan terjadi dan mengakibatkan dua orang tewas. Kerusuhan juga terjadi pada putaran terakhir kampanye pro-integrasi yang diwarnai dengan kerusahan massal yang memuncak di Bekora dan Kuluhan. Setidaknya empat orang tewas dan dua orang wartawan  tertembak.

Pelaksanaan Referendum

referendum timor timur
Pelaksanaan referendum pada 30 Agustus 1999

Hari referendum pun tiba, pada 30 Agustus 1999 dilaksanakan referendum dengan situasi yang relatif aman dan diikuti hampir seluruh warga Timtim. Namun, satu hari setelah referendum dilaksanakan suasana menjadi tidak menentu, terjadi kerusuhan berbagai tempat.

Kelompok milisi pro-integrasi (PPI) menghadang dan mengepung sekitar 150 staf Uunamet untuk wilayah Ermere yang sedang menuju Dili. Seiring dengan itu, wakil Panglima PPI Eurico Guterres mulai memblokade seluruh akses keluar dari Timtim, baik darat, laut, atau udara.

Memasuki bulan September terjadi eksodus besar-besaran warga Timtim. Meski awalnya berniat memblokade, namun Eurico Guteres dan seluruh pasukan PPI tidak menghalang-halangi warga Timtim yang ingin bereksodus.

Sementara itu, kondisi kota Dili semakin  mencekam. Milisi menyerang markas Unamet di Balide. Tiga anggota milisi memukuli koresponden BBC News untuk Indonesia, Jonanthan Head yang terjebak di kantor UNAMET.

Untuk meredakan ketegangan, pada 2 September 1999 diadakan rapat dengar pendapat antara Komisi Referendum dengan pihak pro-integrasi tentang berbagai penyimpangan dalam pelaksanaan jajak pendapat. Front Bersama untuk Otonomi Timtim (UNIF) memperotes dan menolak hasil referendum. Mereka mengutuk keras gaya dan cara kerja Unamet yang dianggap tidak netral, memihak, dan manipulatif.

Sekjen PBB akhirnya menyampaikan hasil refrendum kepada Dewan Keamanan PBB pada 3 September 1999. Hasilnya 344.580 suara (78,5 %) menolak otonomi, 94.388 (21 %) suara mendukung otonomi, dan 7.985 suara dinyatakan tidak valid. Hasil referendum tersebut kemudian diumumkan secara resmi di Dili pada 4 September 1999.

Akan tetapi seperti yang telah diperkirakan banyak pihak, kerusuhan massal terjadi di Dili. Salah satu pihak yang tidak terima dengan kekalahan mereka langsung meletuskan tembakan yang menandai dimulainya kerusuhan. Kerusuhan selama berhari-hari pun terjadi di Timor Timur. Akibatnya pada 7 September 1999, infrastruktur Timor Timur luluh lantah.

referendum timor timur
Kehancuran di Dili

Sebagai penanggung jawab keamanan Timor Timur, Indonesia merespon kondisi ini dengan menerapkan darurat militer. Mayjen TNI Kiki Syahnakri diangkat sebagai Panglima Penguasa Darurat Militer dan Letkol Laut, Willem Rampangilei sebagai Komandan Satgas Penerangan darurat militer.

Presiden BJ Habibie yang sebelumnya telah menerima hasil referendum, menyampaikan pidato pertanggung jawaban di depan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 14 September 1999.

Untuk membantu TNI menstabilkan situasi di Timtim, PBB mengirim pasukan multinasional ke Timtim yang dinamai International Force for East Timor (Interfet) pada 15 September 1999. Interfet dikomandoi oleh Mayjen Peter Cosgrove dari Australia dengan wakilnya Mayjen Songkitti Jaggabatra dari Thailand.

Setelah pasukan multinasional secara berangsur-angsur mendarat di Timor Timur, pemerintah Indonesia mencabut masa darurat militer pada 23 Septerm 1999 melalui Keppres No. 112/1999. Keputusan pencabutan diambil melalui sidang Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional di Nina Graha.

Pada 25 Oktober 1999 PBB mengesahkan misi untuk membentuk pemerintahan transisi Timor Timur. Sekjen PBB Kofi Annan menunjuk diplomat senior dari Brazil, Sergio Viera de Mello sebagai ketua pemerintahan yang terdiri dari 9.150 tentara pasukan perdamaian PBB yang menggantikan Interfet, 1.640 polisi internasional, 200 pengamat militer dan ratusan pegawai sipil.

Satu hari berselang Presiden baru Indonesia Abdurrahman Wahid menandatangani surat keputusan pembentukan misi PBB untuk pemerintahan transisi.

Segera setelah penandatangan, seluruh personal TNI yang berada di beberapa tempat vital seperti kantor komunikasi, PLN, dan pelabuhan harus segera meninggalkan tempat-tempat tersebut.

Pada 30 Oktober 1999, bendera Merah Putih diturunkan dari bumi Timor Leste dalam upacara yang sangat sederhana dan tanpa adanya liputan. Interfet melarang wartawan untuk meliput acara itu. Upacara dipimpin Ketua Indonesian Task Force in East Timor (IFTET) Brigjen JD Sitorus di Markas Batalion Lintas Udara 700, kawasan Faroul, Dili Barat.upacara senan juga diadakan di Bandara Komor, dipimpin Komandan Lanud Letkol Pnb John Dalas. Upacara penurunan bendera itu sekaligus menandai lepasnya mantan provinsi ke-27 Indonesia, yang selama bertahun-tahun menjadi permasalahan bangsa.

Sementara itu Pemerintahan Transisi PBB bertahan hingga Timor Leste mendeklerasikan kemerdekaannya pada 22 Mei 2002.

BIBLIOGRAFI

Berlie, Jean. A. 2018. East Timor’s Independence, Indonesia and ASEAN. London: palgrave macmillan.

Makarim, Zacky Anwar. 2003. Hari Hari Terakhir Timor Timur : Sebuah Kesaksian. Jakarta: Sportif Media Informasindo .

Kuntari, CM Rien. 2009. Timor Timur Satu Menit Terakhir: Catatan Seorang Wartawan. Bandung: Mizan.

Syahnakri, Kiki. 2013. Timor Timur The Untold Story. Jakarta: Kompas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *