Sikap Kasultanan Yogyakarta Pasca Proklamasi Kemerdekaan 1945

Share your love

Proklamasi Kemerdekaan adalah momen bersejarah bagi bangsa Indonesia, proklamasi kemerdekaan disambut dengan suka cita oleh seluruh rakyat Indonesia. Euforia proklamasi diekspresikan dalam berbagai bentuk gerakan. Antusiasme terhadap proklamasi juga datang dari Kasultanan Yogykakarta, yang sejak masa perjuangan memberikan sumbangan penting terhadap bangsa. Selain itu, sikap Kasultanan Yogyakarta pasca proklamasi kemerdekaan turut mengobarkan semangat nasionalisme rakyat Yogyakarta saat itu, sikap ini lah yang akan dipaparkan penulis di pembahasan kali ini.

Tersiarnya Kabar Proklamasi Kemerdekaan

Sebelum teks proklamasi diproklamirkan, pada malam hari tanggal 16 Agustus 1945 Soekarno dan Hatta telah menginstruksikan para pemuda yang bergelut di bidang pers, untuk menyebarkan berita proklamasi Indonesia ke pelosok tanah air dan dunia.

Para pemuda juga ditugaskan mengirim kurir ke berbagai tempat untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa Indonesia telah merdeka.

Pagi hari tanggal 17 Agustus 1945, teks proklamasi telah sampai ke tangan Waidan B. Palenewen. Ia adalah kepala bagian radio di kantor Domei (sekarang kantor Antara). Ia menerima teks tersebut dari Syahruddin, seorang wartawan Domei. Atas perintah Palenewen, teks proklamasi dibacakan oleh F. Wuz.

Meskipun sempat dihentikan oleh seorang tentara Jepang, berita proklamasi tetap disiarkan setiap setengah jam hingga pukul 16.00 saat siaran radio itu berhenti. Akibat dari penyiaran itu, stasiun radio tersebut ditutup oleh Jepang. Tetapi para pemuda tetap berusaha menyiarkan berita ini, mereka membuat pemancar baru di Menteng 31 dengan kode DJK I.

Selain itu, mereka juga membuat selebaran, bahkan semua harian di Jawa memuat berita proklamasi ini. Dengan demikian berita proklamasi dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Respon Keraton Kasultanan Yogyakarta Pasca Tersiarnya Berita Proklamasi Kemerdekaan

kasultanan yogyakarta pasca proklamasi
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII

Tokoh kerajaan pertama yang mengucapkan selamat atas proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah Sri Sultan Hamengu Buwono IX, dan Sri Paku Alam VIII dari Keraton Yogyakarta. Ucapan selamat ini disampaikan kepada Soekarno dan Hatta pada tanggal 18 Agustus 1945.

Tanggal 19 Agustus 1945, Sri Sultan dan Sri Paku Alam mengadakan sidang istimewa di gedung Sono Budoyo. Salah satu keputusan penting yang diperoleh dari sidang tersebut adalah dukungan penuh terhadap proklamasi kemerdekaan Indonesia, dan tunduk pada perintah dari Jakarta, sebagai pusat pemerintahan.

Pada tanggal 20 Agustus 1945, Sri Sultan dan Sri Paku Alam mengirim surat ucapan selamat atas terpilihnya Soekarno dan Moh. Hatta sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Sri Sultan dan Sri Paku Alam juga menyatakan berdiri di belakang kepemimpinan mereka berdua.

Tanggal 5 September 1945, Sri Sultan dan Sri Paku Alam mengeluarkan amanat secara terpisah yang berisi penegasan terhadap sikap mereka terhadap proklamasi kemerdekaan. Berikut bunyi amanat dari Sri Sultan:

“Kami Hamengku Buwono IX, Sultan negeri Ngayogyakarta Hadiningrat menyatakan, bahwa negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia. Bahwa kami sebagai kepala daerah memegang segala kekuasaan dalam negeri Ngayogyakarta Hadingrat. Oleh karena itu berhubungan dengan keadaan dewasa ini, segala urusan dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya. Bahwa hubungan antara negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah pusat Republik Indonesia bersifat langsung, dan kami bertanggung jawab atas negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam negeri Ngayogyakarta Hadingrat mengindahkan amanat kami ini.” (Amanat terpisah ini kemudian diikuti oleh amanat bersama yang dikeluarkan pada tanggal 30 Oktober 1945)

Menanggapi amanat Sri Sultan dan Sri Paku Alam ini, presiden mengirim utusan khusus yang terdiri dari Menteri Negara Mr. Sartono, dan Menteri Keuangan Mr. Maramis. Melalui utusannya presiden mengucapkan terimakasih atas dukungan penguasa Yogyakarta. Para utusan juga memberikan piagam atas penyatuan Yogyakarta dengan pemerintah pusat. Selain itu, utusan tersebut memberi kepercayaan dan tanggung jawab pemerintah pusat kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII atas Yogyakarta.

Kebijakan penguasa Yogyakarta pasca kemerdekaan telah membawa banyak perubahan yang menyentuh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan sendi kehidupan di lingkungan keraton Yogyakarta yang sebelumnya berdasarkan sistem pemerintahan tradisional yang feodalistik, di bawah pengawasan penguasa kolonial atau pun Jepang, berubah menjadi bagian dari kekuasaan Republik Indonesia (bahkan pernah menjadi ibukota RI).

Apabila Keraton semula berfungsi sebagai pusat kekuasaan yang menduduki posisi penting pada generasi Mataram dan seterusnya, maka di masa Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII telah berubah menjadi daerah istimewa sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Reaksi Masyarakat Yogyakarta terhadap Amanat Sultan

Amanat Sri Sultan dan Sri Paku Alam diikuti dengan berbagai aksi masyarakat, yang dimulai sejak 26 September 1945. Sejak pukul 10 pagi, semua pegawai instansi pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh Jepang melakukan pemogokan. Mereka memaksa orang-orang Jepang agar menyerahkan semua kantor mereka kepada orang Indonesia.

Pada tanggal 27 September 1945, Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Yogyakarta mengumumkan bahwa kekuasaan daerah itu telah berada di bawah pemerintah pusat. Di hari itu juga Yogyakarta terbit surat kabar Kedaulatan Rakyat.

Para pemuda Yogykarta yang tergabung dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) berusaha untuk memperoleh senjata tentara Jepang. Awalnya  usaha melucuti senjata sempat diusahakan melalui jalan perundingan, namun tidak membuahkan hasil. Akhirnya, pada tanggal 7 Oktober malam para pemuda BKR bersama dengan pemuda Polisi Istimewa (Tokubetsu Keisatsu Tai) bergabung menuju Kota Baru.

Mereka menyerbu tangsi Otsuka Butai. Di hari itu juga Otsuka Butai diserang, 18 orang pemuda gugur dalam penyerbuan ini. Nama-nama pemuda yang gugur antara lain Suroto, Sabirin, Sunaryo, Atmo Sukarto, Ahmad Jajuli, dll yag namanya diabadikan sebagai nama jalan di daerah Kotabaru, Yogyakarta.

Penutup

Sikap Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat pasca kemerdekaan merupakan bagian dari sejarah survivalitas Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Hal ini bukan saja menyangkut kontribusi Keraton dalam mendirikan dan menjaga eksistensi Negara Republik Indonesia (NKRI), tetapi juga secara simbolik dan aktual mengisi visi Nasionalisme Indonesia. Status keistimewaan Yogykarata merupakan piihan politik yang diambil penguasa Yogyakarta saat itu, dan bukan pemberian dari entitas politik nasional. Amanat yang dikeluarkan oleh Sri Sultan dan Sri Paku Alam merupakan penegasan bahwa Kasultanan Yogyakarta mendukung penuh kemerdekaan Indonesia.

BIBLIOGRAFI

Kustiniyati Mochtar. “Pak Sultan dari Masa ke Masa”. Dalam Atmakusumah (ed.). 1982. Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. Jakarta: Gramedia.

Margantoro. Y. B. 1999. Sri Sultan Hamengku Buwono X: Meneguhkan Tahta untuk Rakyat. Jakarta: Grasindo.

Ricklefs, M. C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta Gadjah Mada University Press.

Poesponegoro, Marwati Djoened. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.

Wiharyanto, A. Kardiyat. 2011. Sejarah Indonesia dari Proklamasi sampai Pemilu 2009. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Rifai Shodiq Fathoni

Rifai Shodiq Fathoni

I explore disability and medical history as a history buff. I examine how society and medicine have treated and changed for people with disabilities over time.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *