Kebijakan Sistem Millet Sultan Muhammad Al-Fatih

Selama lebih dari seribu tahun, Konstantinopel menjadi pusat dunia Barat dan benteng pertahanan Kristen terhadap serangan Islam. Kota ini berkali-kali menghadapi ancaman, namun selalu berhasil bertahan dari serangan yang datang hampir setiap empat puluh tahun sekali. Hingga akhirnya, pada tahun 1453 M, Sultan Muhammad al-Fatih berhasil menaklukkan Konstantinopel.

Setelah penaklukan, Konstantinopel diubah namanya menjadi Istanbul dan dijadikan ibu kota Kesultanan Turki Utsmani. Kehidupan sosial di Istanbul sangat beragam, terdiri dari berbagai etnis, agama, dan budaya. Perluasan wilayah Kesultanan Turki Utsmani ke wilayah Eropa juga mengakibatkan banyak masyarakat non-Muslim berada di bawah pemerintahan mereka. Untuk menjaga stabilitas sosial di tengah keragaman ini, diperlukan suatu sistem yang dapat menjamin kehidupan harmonis bagi semua masyarakat.

Menjawab tantangan tersebut, Sultan Muhammad al-Fatih menerapkan sistem millet. Sistem ini memungkinkan penguasa Muslim memberikan kebebasan dalam berbagai bidang kepada masyarakat non-Muslim di bawah kekuasaan mereka. Sistem millet memberikan otonomi yang cukup luas bagi kelompok-kelompok minoritas dalam urusan keagamaan, hukum, dan pendidikan, sehingga mereka dapat menjalankan tradisi dan keyakinan mereka dengan relatif bebas.

Dengan sistem millet, Kesultanan Turki Utsmani berhasil menciptakan lingkungan sosial yang stabil dan harmonis, meskipun di tengah keragaman etnis dan agama yang kompleks. Sistem ini menjadi salah satu kunci keberhasilan Kesultanan dalam mempertahankan keutuhan wilayahnya dan memastikan kesejahteraan masyarakatnya.

Kebijakan Sistem Millet

Segera setelah berhasil menaklukkan Konstantinopel, Sultan Muhammad al-Fatih langsung menerapkan sistem millet untuk mengatur hak-hak non-Muslim. Sistem ini mungkin merupakan perwujudan dari kebijakan awal mengenai non-Muslim, dengan memberikan wilayah tersendiri bagi kelompok-kelompok non-Muslim dan memberikan otoritas kepada pemimpinnya untuk mengatur anggota kelompoknya dengan leluasa.

Kebijakan sistem millet
Muhammad al Fatih. Wikipedia

Pada masa itu, Konstantinopel adalah pusat Gereja Ortodoks, dan terdapat juga kelompok Gereja Gregorian serta komunitas Yahudi. Untuk menjaga stabilitas sosial dan keamanan, Sultan Muhammad al-Fatih menerapkan sistem millet sesuai dengan prinsip syariat Islam mengenai interaksi negara Islam dengan non-Muslim, atau yang disebut ahlu dzimmah dalam Islam.

Sistem millet menegaskan bahwa Kesultanan Turki Utsmani adalah pelindung bangsa-bangsa di bawah pemerintahannya. Sebagai imbalannya, kalangan non-Muslim diwajibkan membayar jizyah dan mematuhi beberapa batasan, yang menempatkan mereka di bawah level kaum Muslim dalam hierarki masyarakat.

Kebijakan sistem millet dapat dirinci sebagai berikut:

  1. Memilih Pemimpin Agama Sendiri: Setiap komunitas non-Muslim memiliki kebebasan memilih pemimpin agama mereka.
  2. Penegakan Aturan Agama: Pemimpin agama diberi wewenang untuk menegakkan aturan agama terhadap anggotanya.
  3. Otonomi Hukum: Hukum Islam tidak diberlakukan atas non-Muslim dalam urusan internal komunitas mereka.
  4. Bahasa dan Budaya: Komunitas non-Muslim diperbolehkan menggunakan bahasa mereka sendiri dan mengembangkan lembaga-lembaga seperti tempat ibadah.
  5. Pengumpulan Pajak: Komunitas non-Muslim mengumpulkan pajak dari anggotanya sendiri.
  6. Penyelesaian Sengketa: Mereka diberi hak untuk menyelesaikan sengketa internal mereka.
  7. Pembebasan dari Wajib Militer: Non-Muslim dibebaskan dari kewajiban militer, sebagai gantinya mereka membayar jizyah.

Hukum Islam hanya diterapkan ketika ada kasus yang melibatkan dua orang dari millet berbeda, seperti antara seorang Kristen dan Muslim atau antara Yahudi dan Kristen. Dalam kasus ini, seorang hakim Muslim akan memimpin dan menyelesaikan kasus tersebut.

Sultan sebagai pemimpin besar setiap millet memiliki kewenangan dalam menyetujui atau memecat pemimpin yang dianggap menyeleweng. Sultan juga melakukan kontrol dan berkonsultasi dengan pemimpin millet terkait masalah-masalah yang ada dalam millet tersebut.

Sistem millet yang diterapkan oleh Sultan Muhammad al-Fatih ini memungkinkan adanya kerukunan dan stabilitas di tengah keberagaman etnis dan agama di Kesultanan Turki Utsmani, memastikan bahwa setiap komunitas dapat menjalankan tradisi dan keyakinan mereka dengan relatif bebas sambil tetap berada di bawah perlindungan negara.

Implikasi Kebijakan Sistem Millet

Kebijakan sistem millet yang diterapkan oleh Kesultanan Turki Utsmani memberikan dampak yang signifikan, baik positif maupun negatif, bagi kedua belah pihak, baik pemerintah maupun millet-millet yang dinaunginya.

Bagi Kesultanan Turki Utsmani, kebijakan ini membawa keuntungan dalam bentuk stabilitas sosial yang kuat. Kerukunan antar umat beragama terjaga dengan baik, dan setiap lapisan masyarakat merasa bertanggung jawab terhadap kehidupan bersama di seluruh kerajaan. Selama masa pemerintahan Sultan Muhammad al-Fatih, stabilitas ini sangat terjaga, tanpa konflik yang berarti yang dapat mengancam keamanan sosial. Ini disebabkan oleh ketergantungan antara kedua belah pihak, yang saling membutuhkan satu sama lain untuk mempertahankan eksistensi mereka.

Sistem Millet Sultan Al-Fatih
Ilustrasi Sultan

Sikap toleransi Sultan al-Fatih terhadap warga non-Muslim, bersama dengan kebijakan pemerintah yang tidak campur tangan dalam urusan-urusan mereka, membuat mereka menghargai dan mengagumi kepemimpinan Sultan tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, sistem millet juga memunculkan gerakan independen dari millet yang berupaya memisahkan diri dari Kesultanan Turki Utsmani.

Bagi millet-millet, dampak positifnya adalah perlindungan yang diberikan oleh Kesultanan Turki Utsmani serta pengetahuan akan tugas administratif kelompok mereka. Namun, ada juga dampak negatifnya, yaitu ketidaksetaraan hak antara warga non-Muslim dan Muslim. Meskipun demikian, pada masa Sultan Muhammad al-Fatih, mereka terlihat puas dengan kebijakan ini karena masih dapat menjalankan ritual keagamaan dan urusan lainnya dengan bebas dan merdeka.

DAFTAR PUSTAKA

Crowley, Roger. 2015. 1453 Detik-detik Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Muslim. Terj. Ridwan Muzir. Jakarta: Pustaka Alvabet.

Freely, John. 2012. Istanbul Kota Kekaisaran. Terj. Fahmy Yamani. Jakarta: Pustaka Alvabet.

_____. 2012. Sultan Mehmet II Sang Penakluk. Terj. Fahmy Yamani. Jakarta: Pustaka Alvabet.

Lapidus, Ira M. 1999. Sejarah Sosial Ummat Islam. Terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: RajaGrafindo.

Al-Munyawi, Syeikh Ramzi. 2012. Muhammad al-Fatih Penakluk Konstantinopel. Terj. Muhammad Ihsan. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *