Akulturasi Budaya Islam dan Ritual Jawa

Islam telah menjadi salah satu agama dengan pengaruh besar di Indonesia, terutama di kalangan masyarakat Jawa. Masuknya Islam ke Indonesia berlangsung secara damai, sehingga masyarakat menerima agama ini meskipun sebelumnya telah ada berbagai kebudayaan dan ritual lokal yang berkembang pesat.

Masyarakat Jawa sendiri sudah memiliki beragam budaya yang telah tumbuh jauh sebelum kedatangan Islam. Ketika Islam masuk, budaya lokal tidak serta merta tergeser. Para tokoh Islam pada masa awal kedatangan Islam di Indonesia menggunakan pendekatan budaya sebagai sarana dakwah. Pendekatan ini menyebabkan adanya kontak antara kebudayaan dan ritual lokal dengan budaya Islam.

Sebagian besar dari kontak tersebut menghasilkan proses akulturasi, meskipun ada juga kemungkinan terjadinya asimilasi atau sinkretisme. Proses akulturasi antara budaya Islam dan kebudayaan lokal, terutama dalam ritual, menjadi sangat menarik untuk dibahas karena keduanya dapat menyatu dan diterima dengan baik oleh masyarakat.

Proses ini memperlihatkan bagaimana budaya Islam dan budaya lokal dapat berinteraksi secara harmonis, menghasilkan tradisi-tradisi baru yang khas dan memperkaya keragaman budaya di Indonesia. Tradisi seperti Sekaten, Grebeg Maulud, dan lainnya adalah contoh dari hasil akulturasi ini, di mana elemen-elemen Islam diintegrasikan ke dalam ritual dan perayaan yang telah ada sebelumnya. Proses ini menunjukkan fleksibilitas dan adaptabilitas Islam dalam konteks budaya lokal, yang memungkinkan agama ini diterima dan dipraktikkan secara luas di Nusantara.

Pengertian Ritual

Ritual, yang berasal dari kata “rites” (ritus), memiliki dua makna utama. Sebagai kata sifat, ritual mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara keagamaan. Sedangkan sebagai kata benda, ritual mencakup semua bentuk upacara keagamaan itu sendiri.

Ritual merupakan manifestasi dari keyakinan religius dan praktik-praktiknya. Kepercayaan terhadap sesuatu seringkali memerlukan perlakuan khusus, menciptakan tata cara sakral yang tidak selalu dapat dipahami melalui perspektif ekonomi atau rasional.

Tujuan utama dari keberadaan ritual adalah untuk meningkatkan solidaritas komunitas dan mengalihkan perhatian dari kepentingan individu. Ritual membantu memupuk rasa kebersamaan dan kohesi sosial.

Ritual atau ritus dapat dibedakan menjadi dua jenis utama, yaitu ritus krisis hidup dan ritus gangguan. Ritus krisis hidup adalah ritus yang dilakukan untuk menandai peralihan dalam tahapan kehidupan manusia, seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian. Sementara ritus gangguan adalah ritus yang dilakukan untuk menghindarkan gangguan dari roh-roh atau entitas gaib.

Setiap upacara keagamaan dalam ritual memiliki beberapa komponen kunci, yaitu:

  1. Tempat Upacara: Lokasi di mana upacara dilaksanakan, sering kali tempat yang dianggap suci.
  2. Waktu Upacara: Waktu yang ditentukan untuk melaksanakan upacara, yang sering kali berdasarkan kalender religius.
  3. Benda atau Alat Upacara: Alat-alat dan benda-benda yang digunakan dalam upacara, seperti sesaji, dupa, atau alat musik.
  4. Orang-Orang yang Melakukan Upacara: Para peserta dan pemimpin upacara yang berperan penting dalam pelaksanaannya.

Dalam upacara keagamaan, berbagai kegiatan sering dilakukan, mulai dari memberikan sesaji, berkurban, berdoa, makan bersama, menari, hingga bernyanyi. Aktivitas ini bervariasi tergantung pada kepercayaan dan tradisi masing-masing komunitas religius.

Ritual memainkan peran penting dalam memperkuat ikatan sosial dan mempertahankan tradisi keagamaan, sekaligus menjadi sarana ekspresi dan pengalaman spiritual bagi individu dan komunitas.

Pengertian Akulturasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), akulturasi diartikan sebagai percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi.

Akulturasi adalah suatu proses perubahan di mana kebudayaan yang berbeda menyatu, sehingga unsur kebudayaan asing diterima dan diintegrasikan ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kebudayaan asli. Dalam proses ini, kebudayaan asli tetap dipertahankan sementara unsur-unsur kebudayaan asing yang cocok diadaptasi.

Proses akulturasi berlangsung dalam jangka waktu yang lama karena unsur-unsur budaya asing diterima secara selektif. Tidak semua unsur dari kebudayaan asing diterima, beberapa ditolak. Proses perubahan kebudayaan melalui mekanisme akulturasi memperhatikan adanya unsur-unsur komunikasi antara dua kelompok masyarakat yang berbeda kebudayaan. Dengan demikian, akulturasi memungkinkan terciptanya harmoni antara budaya asli dan budaya asing yang masuk, tanpa menghilangkan identitas asli dari kebudayaan setempat.

Ritual Masyarakat Jawa pra-Islam

Kehidupan masyarakat Jawa tidak dapat dipisahkan dari berbagai ritual keagamaan yang telah ada jauh sebelum kedatangan Islam. Mereka mempercayai animisme, keyakinan bahwa roh halus bersemayam di setiap benda.

Orang Jawa meyakini keberadaan roh baik dan jahat di berbagai tempat. Roh jahat dipercaya akan mengganggu manusia kecuali diberi sesaji melalui upacara tertentu. Sesaji dipersembahkan kepada roh yang biasanya bermukim di pohon beringin, sendang, belik, kuburan, atau tempat-tempat lain yang dianggap keramat. Upacara juga dilakukan untuk meminta berkah dari roh baik.

Untuk melestarikan upacara ini, masyarakat membuat patung dari batu sebagai tempat pemujaan nenek moyang dan menyertakan bunyi-bunyian, tari-tarian, serta bayangan nenek moyang sebagai penyempurna jalannya upacara. Ini bertujuan agar roh nenek moyang berkenan menerima permohonan keselamatan yang mereka minta.

Salah satu upacara utama yang dianut oleh masyarakat Jawa adalah slametan, atau wilujengan, yang merupakan upacara pokok dari hampir semua ritus dalam sistem religi orang Jawa. Slametan ini biasanya dilakukan di salah satu rumah yang memiliki hajat tertentu, dengan mengundang keluarga dan tetangga, terutama yang laki-laki, dan sering diadakan pada malam hari. Slametan dilakukan untuk memperingati beberapa hal seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian.

Upacara slametan dalam masyarakat Jawa sangat beragam, antara lain:

  1. Tingkeban (Mitoni): Upacara ini dilakukan saat kandungan berusia tujuh bulan. Dalam upacara ini, biasanya dihidangkan tujuh buah nasi tumpeng dengan tujuh macam lauk-pauk dan tujuh macam juadah dengan warna yang berbeda-beda, yang melambangkan kelahiran yang cepat dan selamat. Upacara ini biasanya diadakan pada hari Setu Wage dalam bulan ketujuh kandungan, karena dianggap sama dengan istilah “metu age” (lekas keluar). Sejak upacara ini, calon ibu harus mematuhi berbagai syarat dan pantangan, seperti mencuci rambutnya seminggu sekali dengan air merang yang sudah diberi kekuatan gaib atau ucapan mantra-mantra.
  2. Upacara Kelahiran: Ketika bayi lahir, dukun bayi akan memotong tali pusar bayi dengan pisau bambu (welat) sambil menggumamkan mantra-mantra. Setelah itu, bayi dimandikan dan diberikan minum ramuan madu, sari sunthi, dan daun kelor. Dukun bayi juga akan menaruh ari-ari dalam bejana tanah liat. Untuk anak laki-laki, ari-ari dalam bejana bisa dibuang ke kali atau dikubur di bagian belakang rumah, sedangkan untuk anak perempuan, ari-ari dikubur di depan rumah bagian kanan. Bejana biasanya juga disertai dengan benda perlambang seperti sehelai kertas bertuliskan aksara Jawa.
  3. Upacara Perkawinan: Dalam upacara ini disediakan sesaji bojawali. Bagi pengantin yang keduanya berstatus bujang, disediakan sesaji yang bermakna tertentu seperti daun sirih, pisang sanggan, dan tumpeng tulung. Untuk pengantin yang sudah berkeluarga (misalnya duda atau janda), digunakan sesaji pancareksajati yang juga berisi sesaji dengan makna tertentu. Upacara perkawinan dalam masyarakat Jawa terdiri dari rangkaian acara seperti lamaran, pasok tukon, liru kalpika, siraman, midodareni, dan panggih.
  4. Upacara Kematian: Pada upacara kematian akan diadakan slametan mulai dari surtanah, telung dinane, pitung dinane, patangpuluh dinane, satus dinane, setahun, rong tahun, hingga nyewu (hari ke-1, ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, satu tahun, dua tahun, dan ke-1000). Dalam upacara slametan kematian ini terdapat sesaji lengkap seperti tumpeng, ingkung, dan sega gulung.

Dengan adanya berbagai upacara dan ritual ini, masyarakat Jawa menjaga hubungan spiritual dengan nenek moyang dan entitas gaib lainnya, serta memelihara solidaritas dan kohesi sosial. Ritual-ritual ini juga mencerminkan kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Jawa, baik sebelum maupun sesudah kedatangan Islam.

Akulturasi Budaya Islam dan Ritual Jawa

gama Islam mengajarkan para pemeluknya untuk melakukan berbagai kegiatan ritualistik, termasuk ibadah-ibadah yang tertuang dalam rukun Islam, seperti syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji.

Shalat dan puasa memiliki pengaruh yang besar dalam berbagai upacara tradisional masyarakat Jawa. Shalat merupakan doa yang ditujukan kepada Allah, sementara puasa adalah bentuk pengendalian diri untuk penyucian rohani. Aspek doa dan puasa ini sangat memengaruhi berbagai upacara tradisional.

Masyarakat Jawa hidup dalam serangkaian upacara atau ritual yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, baik yang terkait dengan siklus hidup manusia, aktivitas sehari-hari, maupun tempat tinggal. Upacara-upacara ini dilakukan untuk menangkal pengaruh buruk dari kekuatan gaib yang tidak diinginkan yang bisa membahayakan kehidupan manusia, dengan harapan agar hidup senantiasa dalam keadaan selamat.

Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara tradisional tersebut, yang dalam tradisi Jawa dikenal sebagai kenduren atau slametan. Dalam upacara slametan, fokus utamanya adalah pembacaan doa yang dipimpin oleh orang yang memiliki pengetahuan tentang Islam.

akulturasi budaya islam dan ritual jawa
upacara kelahiran Jawa

Berbagai jenis upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup masyarakat Jawa juga telah diakulturasi dengan nilai-nilai Islam. Misalnya:

Tingkeban atau Mitoni: Upacara ini dilakukan saat janin berusia tujuh bulan dalam kandungan ibu. Dalam tradisi santri, upacara ini sering dibacakan nyanyian perjanjen yang bersumber dari kitab Barzanji.

Upacara Kelahiran: Upacara ini dilakukan saat anak diberi nama dan pemotongan rambut, pada usia tujuh hari atau sepasar. Upacara ini disebut korban aqiqah, yang melibatkan penyembelihan hewan akikah sebagai bentuk pengukuhan anak sebagai muslim.

Upacara Sunatan: Dilakukan pada anak laki-laki, merupakan perwujudan perintah Islam. Sunatan dianggap sebagai pengukuhan sebagai seorang muslim.

Upacara Perkawinan: Dilakukan saat pasangan memasuki jenjang berumah tangga. Pelaksanaannya melibatkan akad nikah yang dilakukan sesuai syariat Islam.

Upacara Kematian: Meliputi serangkaian upacara setelah kematian yang bertujuan untuk mengingatkan akan kematian dan menyucikan jenazah. Salah satunya adalah upacara nyadran yang dilakukan saat ziarah kubur.

akulturasi budaya islam dan ritual jawa
Tahlilan. Sumber: NU Online

Dewasa ini bacaan tahlilan lebih meluas penggunaannya. Tahlilan tidak saja sebagai upaya mendoakan ahli kubur, tetapi tahlil dibaca juga sebagai pelengkap dari doa slametan sehingga kapan saja diadakan upacara slametan dimungkinkan juga untuk dibacakan tahlilan. Misalnya pada waktu mau pindah runah, syukuran sembuh dari sakit, naik pangkat, mau berangkat dan pulang dari perjalanan jauh seperti naik haji dan lain sebagainya.

Dengan demikian, tradisi-tradisi dan upacara-upacara tradisional masyarakat Jawa telah diislamkan, mencerminkan pengaruh Islam dalam kehidupan sehari-hari dan kepercayaan masyarakat. Ini menjadi wujud dari pengabdian dan ketulusan dalam penyembahan kepada Allah, serta memperkuat jiwa tauhid dalam kehidupan mereka.

Simpulan

Ritual keagamaan telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Jawa sejak zaman animisme. Keyakinan akan adanya roh baik dan roh jahat mendorong mereka untuk melakukan ritual sebagai upaya mengusir gangguan roh jahat dan memohon berkah dari nenek moyang mereka.

Sebelum kedatangan Islam, berbagai ritual seperti tingkeban, upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa. Setiap ritual ini memiliki makna dan simbolis yang khas bagi mereka.

Namun, dengan kedatangan Islam, terjadi proses akulturasi antara budaya Islam dan ritual-ritual lokal Jawa. Islam memberikan warna baru pada ritual-ritual tersebut, sehingga terjadi penyatuan antara nilai-nilai Islam dengan tradisi-tradisi lokal. Proses ini tidak terjadi secara instan, melainkan melalui proses panjang yang akhirnya membuat masyarakat Jawa menerima budaya Islam secara bertahap.

Dalam proses akulturasi ini, ritual-ritual Jawa mulai diwarnai dengan unsur-unsur Islam, seperti pembacaan doa-doa Islam dan penggunaan simbol-simbol agama Islam dalam pelaksanaannya. Meskipun demikian, esensi dan makna asli dari ritual-ritual Jawa tetap dipertahankan, sehingga terjadi penyatuan harmonis antara budaya Islam dan tradisi lokal Jawa.

Dengan demikian, ritual-ritual keagamaan masyarakat Jawa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari identitas budaya mereka, yang mencerminkan proses akulturasi antara budaya Islam dan budaya lokal yang telah berlangsung selama berabad-abad.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, Bustanuddin. Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.

Jamil, Abdul, dkk.. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media, 2002.

Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Islam. tt: Dian Rakyat, 1965.

______________. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

Sholikhin, Muhammad. Ritual dan Tradisi Islam Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2010.

Sutiyono. Poros Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Graha Ilmu,2013.

Winangun, Y. W. Wartaya. Masyarakat Bebas Struktur: Liminitas dan Komunitas Menurut Victor Turner. Yogyakarta: Kanisius, 1990.

[1]Dhukun bayi adalah orang yang membantu kelahiran bayi sebelum adanya bidan.

Thanks to Surti Nurpitasari

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *