Konflik Utsmani dan Safawiyah Abad XVI-XVIII

Kekaisaran Utsmani dan Safawiyah merupakan dua kekuatan besar Islam yang muncul pada abad pertengahan. Sayangnya, kedua kekaisaran ini terjebak dalam konflik jangka panjang.

Konflik Utsmani dan Safawiyah didasarkan pada perbedaan teritorial dan aliran agama. Sebagai penganut Sunni, kekaisaran Utsmani menentang keras eksistensi Kekaisaran Safawiyah yang menganut doktrin Syiah. Konflik ini kurang lebih mirip dengan perselisihan antara berbagai kekuatan Katholik dan Protestan di Eropa.

Latar Belakang Konflik Utsmani dan Safawiyah

Abad pertengahan Islam tidak dapat dilepaskan dari munculnya Utsmani sebagai kekuatan baru dunia Islam. Imperium baru ini dengan cepat dapat melebarkan kekuasaannya. Kehebatan pasukan dan kecepatan ekspansi sekaligus menjadi penghalang utama bagi imperialisme Eropa.

Sementara itu, dinasti Safawiyah yang sebelumnya adalah gerakan tarekat, mulai menebarkan pengaruh politiknya di bawah kepemimpinan Junayd (1447-1460), kakek dari Syah Ismail. Ia membentuk pasukan dari pengikutnya yang mayoritas adalah orang-orang Turkmen yang mendiami wilayah luas yang mencakup Anatolia dan Suriah.

safawiyah
Ilustrasi konflik dua imperium Islam abad pertengahan

Kefanatikan mereka kemudian dieksploitasi oleh Junayd dan penerusnya untuk memperoleh kekuasaan politik di Persia.

Setelah memperoleh kekuasaan, cucu Junayd, Syah Ismail mengadopsi doktrin Itsna Asyari’ah sebagai agama resmi negara Iran.

Imperium Safawiyah kemudian menjadi kerajaan Syi’ah yang dikelilingi penguasa-penguasa Sunni, seperti Uzbeks di Transoxiania, Utsmani di Anatolia, dan Mamluk di Suriah dan Mesir.

Dari ketiga negara itu, Uzbek dan Utsmani menjadi ancaman serius bagi eksistensi Safawiyah.

Pada paruh pertama abad ke-16, sejarah Iran didominasi oleh konflik antara penguasa Safawiyah dan Utsmani di satu sisi, dan persaingan dengan Uzbek di sisi lain.

Namun, konflik dengan Utsmani lebih dari persaingan teritorial. Kemampuan Safawiyah untuk memanipulasi pasukan Syi’ah dalam jumlah besar di sepanjang perbatasan  Anatolia telah menjadi ancaman besar bagi Utsmani.

Konflik Berkepanjangan

Ancaman dari Safawiyah yang semakin nyata, memaksa Utsmani untuk bergerak. Pada 1514, Sultan Utsmani Selim I mengumumkan perang suci melawan Safawiyah yang dianggapnya sebagai penyebar bid’ah. Perang itu dikenal dengan sebutan Perang Chaldiran.

konflik utsmani dan safawiyah
Selim I

Dengan menggunakan meriam, tentara Utsmani berhasil mengalahkan Syah Isma’il, pendiri dinasti Safawiyah, dan menduduki sebagian besar Persia utara (sekarang Iran). Kekalahan itu menyebabkan shock keagamaan yang berat terhadap masyarakat Safawiyah, karena menurut kepercayaan mereka, pemimpin mereka tidak bisa dikalahkan.

Putra Selim I, Sulaiman melanjutkan perang melawan Syah Tahmasp I (memerintah 1524-76), tetapi Tahmasp membalas dengan strategi “bumi hangus,” sehingga mustahil bagi pasukan Utsmani untuk hidup di tanah jajahan. Tahmasp juga menjalin aliansi dengan Habsburg, musuh utama Utsmani.

Pada masa Sulaiman, Utsmani berhasil mengambil alih Tabriz di Persia utara. Namun Utsmani telah mencapai batas ekspansinya, sehingga Sulaiman dengan terpaksa menandatangani perjanjian damai dengan Safawi pada tahun 1555. Berkat kesepakatan itu, Safawiyah berhasil mempertahankan kendali atas Persia bagian utara dan wilayah di sepanjang Laut Kaspia tetapi kehilangan wilayah Irak.

Setelah kematian Sulaiman, Syah Abbas berhasil mendapatkan kembali kendali sementara atas Baghdad dan Basra di Irak. Keberhasilan Syah Abbas tidak lepas dari pengkhianatan pasukan khusus Jannisari. Selama lima belas tahun Irak tetap menjadi provinsi kerajaan Safawiyah.

Akan tetapi setelah Syah Abbas meninggal, Utsmani merebut kembali wilayah tersebut. Perjanjian Zuhab tahun 1639, menjadi perjanjian yang mempengaruhi konflik kedua kekaisaran. Perjanjian itu menetapkan perbatasan yang hampir identik dengan yang dimiliki oleh Irak dan Iran saat ini. Hingga abad ke-18, dua kekuatan besar tetap menjadi musuh tetapi tidak ada peperangan lebih lanjut yang pecah.

Selama periode konflik itu, kedua kekaisaran mencapai kemenangan militer besar dan mengalami kekalahan militer. Meskipun demikian mereka tidak mampu mengalahkan yang lain secara meyakinkan. Perang sia-sia mereka merusak kekuatan ekonomi dan militer keduanya dan merupakan faktor utama dalam kemunduran panjang mereka.

BIBLIOGRAFI

Allouche, Adel. 1983. The Origins and Development of the Ottoman – Safavid Conflict. Berlin: Klaus Schwarz Verlag.

Bosworth, C. E. 1993. Dinasti-Dinasti Islam. Terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan.

Hamka. 2016. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Gema Insani.

Hitti, Phillip K. 2006. History of The Arabs. Terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Lapidus, Ira M. 2000. Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian I dan II. Terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *