Di mata Ibnu Sutowo, Pertamina digadang-gadang akan menjadi perusahaan pembangunan nasional yang menggerakkan seluruh perekonomian Indonesia.
Namun, rentetan pengungkapan justru menunjukkan sebaliknya. Pertamina malah menjadi “sapi perah” dan menumpuk utang besar pada periode oil boom.
Story Guide
Pertumbuhan Pertamina
Antara tahun 1950 dan 1965, produksi minyak di Indonesia tumbuh sekitar 7 persen per tahun. Meskipun demikian, masa depan industri ini tengah tidak baik-baik saja.
Sejak 1939, hanya sedikit eksplorasi yang dilakukan. Ditambah lagi, iklim investasi memburuk seiring dengan rumitnya administrasi dan meningkatnya tekanan pada perusahaan-perusahaan minyak asing untuk menjual aset mereka kepada pemerintah Indonesia.
Pada saat itu terdapat tiga perusahaan minyak internasional yang masih beroperasi di Indonesia; Caltex, Stanvac, dan Shell. Namun, Shell memutuskan mundur pada pada akhir 1965, sedangkan Caltex dan Stanvac dengan berat hati bertahan.
Periode ini bisa dikatakan sebagai titik terendah terendah industri minyak. Selama enam bulan pasca peristiwa September 1965, situasi politik dan ekonomi masih bergejolak.
Menanggapi kondisi ini, pada akhir 1966, Soeharto berusaha mengonsolidasikan posisinya untuk menciptakan iklim yang ramah bagi investor asing.
Selama tahun 1967, satu demi satu perusahaan minyak asing mulai masuk ke Indonesia. Permina dan Pertamin, ditugaskan mewakili kepentingan Indonesia dalam menawarkan sewa eksplorasi.
Pada tahun 1968, Pemerintah memutuskan untuk menggabungkan Permina dan Pertamin menjadi satu perusahaan, Pertamina, yang dipimpin oleh Dr Ibnu Sutowo yang kontroversial.
Setelah merjer, terdapat tiga sektor produksi minyak di Indonesia: sektor yang dinasionalisasi yang dioperasikan oleh Pertamina; sektor “kontrak karya” yang dioperasikan oleh Caltex dan Stanvac di bawah perjanjian kontrak kerja era Sukarno; dan sektor “bagi hasil” yang dioperasikan oleh sejumlah pendatang baru yang relatif lebih kecil.
Saat itu, pemerintah Suharto masih mengonsolidasikan posisinya, setelah mengambil alih kekuasaan dengan janji untuk ‘memulihkan stabilitas ekonomi dan mendorong pembangunan’. Inflasi yang sempat mencapai 600 persen pada tahun 1966, berhasil turun ke angka 100-an persen pada 1968.
Baca juga: Industri Minyak Periode Revolusi
Lembaga-lembaga baru seperti Pertamina dan Badan Penanaman Modal Asing (BPMA) ditugaskan untuk bernegosiasi dan mengendalikan investor asing.
Sayangnya, mereka kekurangan staf yang berpengalaman. Ibnu Sutowo dan Mohamad Sadli, yang memimpin kedua lembaga tersebut relatif baru dalam menjalin relasi dengan investor asing. Namun, mereka merasa tidak punya pilihan lain, selain belajar sambil bekerja.
Dalam situasi ini, baik para pejabat Indonesia maupun investor asing merasa bahwa mereka mengambil risiko besar, sikap kedua belah pihak hampir seperti berjudi.
Meskipun demikian, daripada menunggu bertahun-tahun untuk merapikan sistem hukum dan administrasi Indonesia yang rumit, kedua belah pihak siap untuk mengabaikannya untuk mengambil jalan pintas dan melanjutkan pekerjaan.
Dengan latar belakang inilah Ibnu Sutowo terlihat berhasil dengan baik. Dia berhasil meneken kontrak dan mengajak para investor asing untuk turun ke lapangan.
Kontroversi Ibnu Sutowo
Kepiwaian Ibnu Sutowo dalam menggandeng investor mengundang respek sekaligus kecemburuan.
Selama memimpin Pertamina, gaya hidup Ibnu Sutowo selalu menimbulkan kontroversi. Gaya hidupnya yang hedon dianggap tidak selaras dengan gaji resminya.
Para pendukung Ibnu Sutowo berargumen bahwa suka atau tidak suka, gaya tersebut diperlukan ketika berhadapan dengan para investor asing yang kaya.
Namun, banyak orang Indonesia menganggap gaya hidupnya, seperti pernikahan mewah putrinya dan kesukaannya pada mobil-mobil mahal, tidak hanya sebagai sesuatu yang tidak pantas dilakukan di tengah-tengah penderitaan rakyat, tetapi juga merupakan bukti nyata adanya korupsi.
Di samping itu, keuangan perusahaan jauh dari kata transparan. Selain Ibnu Sutowo sendiri, hanya segelintir orang yang mengetahui kondisi keuangan secara keseluruhan.
Ketidakpuasan publik mencapai puncaknya pada akhir tahun 1969 ketika salah satu jurnalis terkemuka di Indonesia, Mochtar Lubis, melontarkan kritik terhadap Pertamina melalui halaman-halaman harian Indonesia Raya.
Mochtar menuduh Pertamina telah berkembang menjadi perusahaan konglomerasi dengan kegiatan-kegiatan seperti asuransi, pariwisata, akomodasi hotel, dan maskapai penerbangan yang tidak ada hubungannya dengan sektor perminyakan. Lebih jauh lagi, ia menginginkan agar kewenangan Ibnu Sutowo dibatasi dan cara operasi perusahaan ditinjau kembali.
Ketidaktransparanan perusahaan juga tidak luput dari kritikan. Mochtar menilai alasan Pertamina merahasiakan data perusahaan dengan dalih komoditas minyak termasuk vital dan strategis, hanyalah dalih untuk menutupi borok perusahaan.
Menanggapi tekanan politik makin meningkat, pada awal Januari 1970, Presiden Suharto membentuk “Komisi Empat” yang terdiri dari para pejabat yang memiliki prestise tinggi untuk melaporkan korupsi di Indonesia.
Melihat perkembangan ini, beberapa surat kabar di Jakarta, terutama Indonesia Raya, menilainya sebagai momentum untuk menambah tekanan.
Salah satu editorial Indonesia Raya, dengan jelas menyatakan bahwa para pejabat tinggi pemerintah dan para menteri mustahil tidak mengetahui kegiatan Pertamina di belakang layar.
Selama paruh pertama tahun 1970, Komisi Empat menyiapkan tujuh laporan, dua di antaranya berkaitan dengan Pertamina. Isi dari laporan-laporan tersebut diketahui publik ketika pada bulan Juli 1970, setelah dibocorkan oleh harian Sinar Harapan di Jakarta.
Komisi Empat mengutip sejumlah contoh penting tentang kegagalan Pertamina dalam memenuhi kewajiban hukumnya, di antaranya kegagalan membayar berbagai pajak dan pembayaran lain yang diwajibkan secara hukum kepada kas negara.
Selain itu, Komisi menyatakan bahwa perusahaan tersebut tidak efisien secara administratif dan tidak sukses secara komersial seperti yang diklaim oleh para pendukungnya.
Salah satu rekomendasi Komisi yang paling penting adalah bahwa kontrol eksternal yang lebih ketat harus dilakukan oleh Pemerintah.
Meskipun penyelewangan terjadi secara nyata, Soeharto sendiri tidak berencana mencopot Ibnu Sutowo. Selain karena berhasil meningkatkan pendapat dari sektor minyak, Pertamina dinilai berkontribusi besar dalam menyediakan “pendapatan non-konvensional” bagi angkatan bersenjata dan untuk tujuan-tujuan lain yang beragam.
Pada akhir tahun 1973, oil boom dimulai. Harga minyak dunia bergerak naik dari harga di bawah $2,00 per barel pada akhir tahun 1970, menjadi $12,00 per barel pada pertengahan 1974.
Kenaikan ini berdampak besar pada pendapatan negara khususnya sektor ekspor. Pada 1974/75, pendapatan minyak yang diterima oleh Pemerintah meningkat 150 persen dan total pendapatan yang berasal dari sektor minyak melonjak dari tiga puluh 30% menjadi 48%.
Paradoksnya, rejeki nomplok dari oil boom ternyata membawa benih-benih masalah yang menyeret Pertamina ke jurang krisis.
Krisis
Salah satu akar masalah Pertamina dapat ditelusuri kembali ke keputusan tahun 1972 ketika Pemerintah, di bawah tekanan IMF, mengeluarkan peraturan yang mewajibkan perusahaan negara mendapatkan persetujuan pemerintah untuk pinjaman luar negeri antara satu hingga lima belas tahun.
Pinjaman jangka pendek kurang dari satu tahun tidak memerlukan persetujuan pemerintah asalkan dana tersebut digunakan untuk keperluan modal kerja dan pinjaman jangka panjang lebih dari lima belas tahun juga dikecualikan.
Bagi Ibnu Sutowo, peraturan tersebut hanyalah upaya untuk membatasi kemandirian Pertamina. Dalam iklim saat itu, ia menduga peraturan tersebut sebagai taktik dari para menteri berhaluan konservatif untuk mengekangnya.
Dugaan tersebut bisa dibenarkan, karena saat itu Kementerian Keuangan sedang melakukan upaya untuk meningkatkan pengawasan terhadap kinerja seluruh BUMN.
Namun, sudah menjadi rahasia umum pula jika Pertamina tidak kooperatif dalam memberikan laporan kepada Kementerian.
Ibnu Sutowo bukanlah orang yang mudah dikekang dan menurutnya Pertamina tidak akan mengalami kesulitan untuk membayar pinjaman jangka pendek dalam jumlah besar dari pasar modal internasional.
Celakanya, beberapa bank internasional justru ikut andil dalam krisis Pertamina, setelah memberikan pinjaman kepada perusahaan tanpa mengharuskan prosedur perbankan yang normal.
Rincian jumlah yang ditransaksikan tidak diketahui, tetapi tampaknya Pertamina mampu mengatasinya hingga pasar modal internasional mulai bergejolak seiring terjadinya resesi besar di negara-negara maju. Ironisnya, faktor utama penyebab resesi adalah kenaikan harga minyak yang sangat tinggi, yang sebelumnya memberikan keuntungan besar bagi Pertamina.
Baca juga: Menggali Jejak Eksploitasi Minyak di Hindia-Belanda
Pada awalnya, Pertamina dapat mengatasi masalah arus kas dengan memperoleh persetujuan pemerintah untuk menunda pembayaran pajak, tetapi pada bulan Maret 1975, perusahaan ini tidak dapat memenuhi pinjaman yang jatuh tempo dari sebuah bank di Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia harus turun tangan.
Saat itu, hanya sedikit orang yang menyadari situasi itu, sedangkan lainnya baru tahu ketika situasi sudah sangat serius.
Utang Pertamina
Dalam pemberitaan awal, utang jangka pendek Pertamina kurang lebih $1,5 miliar dan dianggap masih bisa diatasi tanpa berdampak besar pada perekonomian negara.
Seiring dengan munculnya pemberitaan, pemerintah Indonesia mengumumkan langkah-langkah untuk mengatasi krisis Pertamina,
- Bank Indonesia ditempatkan sebagai penanggung jawab atas situasi keuangan dan menjamin pembayaran utang jangka pendek Pertamina.
- Akuntan internasional dipanggil untuk melakukan audit atas pembukuan Pertamina (audit eksternal pertama yang dilakukan sejak pembentukan perusahaan).
- Seluruh proyek berskala besar Pertamina ditinjuau ulang, termasuk pemberhentian manajer Proyek Krakatau Stell yang menyalahgunakan dana.
- Perubahan sistem manajemen dan administrasi Pertamina yang memisahkan sebagian besar kegiatan non-minyak dari perusahaan dan membatasi wewenang Direktur Utama.
Beberapa bulan setelah perkembangan ini, masalah Pertamina tampaknya sudah menemukan titik terang.
Pada akhir Juni 1975, Kepala Bappenas, Widjojo Nitisastro, melaporkan rincian utang Pertamina kepada DPR, yakni sekitar Rp 47 milyar ($120 juta) utang dalam negeri dan $2,3 milyar utang luar negeri ($1,5 milyar merupakan utang jangka pendek).
Pada bulan September, pejabat-pejabat baru diangkat menjadi anggota Direksi Pertamina dan diumumkan bahwa proyek P.T. Krakatau Steel akan tetap dilanjutkan.
Namun, menjelang akhir tahun, muncul rumor bahwa utang yang sesungguhnya jauh lebih besar. Media luar bahkan menyebutkan bahwa utang Pertamina mencapai $6 miliar, yang kemudian meningkat menjadi $7 miliar pada bulan Januari.
Soeharto tidak berusaha menepis rumor tersebut. Bahkan, pada awal Januari 1976, ia dengan terbuka mengakui di hadapan parlemen tentang “jumlah uang yang sangat besar” yang dikeluarkan untuk menangani krisis Pertamina.
Pemerintah juga tidak melakukan pembelaan ketika Ibnu Sutowo dicopot dari jabatannya sebagai Presiden Direktur pada awal Maret atau ketika Menteri Pertambangan, Mohamad Sadli, menolak mengonfirmasi atau membantah rumor tentang utang sebesar $10 miliar saat ditanya oleh wartawan Indonesia pada bulan April.
Spekulasi itu berakhir pada 20 Mei, setelah Menteri Pertambangan mengungkapkan bahwa Pertamina telah menanggung utang lebih dari $10 miliar dan bahwa utang tersebut sedang dalam proses dipangkas dengan berbagai cara.
Ia memulai pernyataannya dengan merangkum faktor-faktor yang mendorong Pertamina ke ambang krisis, termasuk kegagalan membayar pinjaman jangka pendek.
Sadli menjelaskan bagaimana Pertamina gagal memenuhi komitmen jangka pendeknya meskipun telah menunda pembayaran pajak kepada Kementerian Keuangan.
Pertamina dinilai telah mengambil keputusan sendiri “tanpa persetujuan Pemerintah” untuk memperluas kegiatan bisnisnya, seperti dalam kasus rencana peningkatan kapasitas pabrik Krakatau Steel dari 500.000 ton menjadi dua juta ton.
Sadli menekankan kendati tidak ada batasan jumlah pinjaman modal jangka pendek (kurang dari satu tahun) yang dapat dipinjam oleh Pertamina dari luar negeri, pinjaman tersebut hanya diizinkan untuk “kebutuhan modal kerja”. Namun, pinjaman jangka pendek tersebut ternyata digunakan untuk investasi jangka panjang.
Selain itu, terdapat batas maksimum yang jelas untuk pinjaman jangka menengah dan jangka panjang, yaitu antara tiga sampai lima belas tahun, yang diizinkan untuk dipinjam oleh perusahaan. Akan tetapi, pinjaman Pertamina dalam kategori ini “selalu melebihi batas yang telah ditetapkan, dengan selisih yang cukup besar”.