Kedekatan atau konflik antarnegara dapat berdampak besar bagi individu yang tinggal di negara lain. Deklarasi perang Jepang dalam Perang Dunia II menunjukkan betapa besar dampak perubahan hubungan bilateral terhadap kehidupan warga Jepang di luar negeri, begitu pula sebaliknya. Mau tidak mau, mereka harus mengalami penderitaan dalam kamp-kamp interniran sebagai konsekuensi langsung dari perang tersebut.
Story Guide
Keputusan yang Menentukan
Kisah ini dimulai pada 8 Desember 1941, kala Jepang mendeklarasikan perang terhadap Sekutu. Warga Jepang yang berada di negara-negara anggota Sekutu, termasuk di koloni, secara instan diidentifikasi sebagai warga negara musuh
Sekitar 560.000 penduduk atau keturunan Jepang tersebar di 27 negara yang terlibat dalam Perang Pasifik. Di AS, sekitar 126.000 orang Jepang dipenjarakan di pusat-pusat interniran di daratan AS, sementara orang Jepang lainnya juga diinternir di wilayah koloni Asia.
Di Jepang, orang asing juga dianggap “musuh” dan Kementerian Dalam Negeri bertanggung jawab atas penanganannya. Mereka telah menyiapkan Rencana Khusus Pengaturan Waktu Perang sebelum perang pecah, termasuk panduan penanganan orang asing selama keadaan darurat.
Dokumen ini mencakup petunjuk pendirian pusat interniran dan instruksi khusus terkait orang asing, terutama dari negara ‘musuh’. Mereka yang dicurigai sebagai mata-mata ditahan.
Interniran menargetkan personel militer dari negara musuh, pria di atas 18 tahun, individu dengan keahlian teknis, dan ‘tersangka mata-mata’. Tahanan diklasifikasikan sebagai interniran dari negara ‘musuh’ dan ketiga, kemudian dibagi berdasarkan jenis kelamin, diisolasi dari dunia luar.
Jepang juga menegaskan misi ‘membebaskan’ koloni-koloni Asia, yang berpengaruh pada perlakuan terhadap penduduk asli koloni tersebut, berbeda dari perlakuan terhadap warga negara musuh.
Kebijakan untuk Interniran
Para tahanan ditangani oleh tiga kementerian yang berbeda di Jepang: Kementerian Dalam Negeri untuk yang di dalam negeri, Kementerian Koloni untuk wilayah luar seperti Taiwan, Korea, dan Sakhalin, serta Angkatan Darat dan Angkatan Laut untuk wilayah pendudukan.
Namun, terdapat kekhawatiran bahwa pemerintah Jepang kurang serius dalam memperlakukan tahanan perang. Kebijakan mengenai perlakuan terhadap warga sipil musuh di wilayah pendudukan belum jelas saat perang dimulai. Ditambah Jepang belum meratifikasi hasil Konvensi Jenewa yang berisi standar perlakuan untuk tahanan perang.
Konvensi Jenewa yang berlaku untuk tahanan perang sipil merinci hak-hak dasar para tahanan, termasuk makanan, pakaian, sanitasi, larangan hukuman kolektif, pekerjaan manusiawi, hak atas upah bagi tahanan yang bekerja, dan lainnya. (97 pasal yang menjelaskan hak-hak dasar para tahanan).
Meskipun Jepang belum meratifikasi perjanjian internasional, Palang Merah Internasional dan AS berharap Jepang berkenan menerapkan standar perlakuan manusiawi.
Menteri Luar Negeri Jepang mempertimbangkan dampak penerapan konvensi ini terhadap warga sipil Jepang yang ditahan di negara-negara musuh. Meskipun Jepang setuju ‘menerapkan’ Konvensi Jenewa, pihak militer membatasi komitmen mereka.
Akan tetapi, negara-negara Sekutu gegabah menganggap langkah ini sebagai ‘ratifikasi’ Konvensi oleh Jepang, sehingga menilai Jepang terikat pada ketentuan Konvensi tersebut. Kesalahpahaman inilah yang akhirnya memunculkan protes tatkala Jepang memperlakukan interniran perang secara tidak manusiawi.
Baca juga: Kehidupan Buruh di Tambang Batu Bara Ombilin Masa Kolonial
Perbedaan dalam penafsiran Konvensi tentang perlakuan terhadap tahanan dan interniran sudah terlihat sejak awal. Meskipun demikian, Kementerian Luar Negeri Jepang tampak kurang memedulikan masalah ini. Akibatnya, para internirab perang yang berada di wilayah pendudukan Jepang pun harus merasakan penderitaan yang luar biasa.
Kehidupan di Kamp Interniran
Tatkala Perang Dunia II berlangsung, terdapat banyak warga negara musuh yang tinggal di wilayah Asia Tenggara yang diduduki Jepang. Sayangnya, pada awal pendudukan, belum ada peraturan khusus yang mengatur interniran, sebagian besar dari mereka masih diizinkan tinggal di rumah mereka sendiri atau di tempat kenalan mereka.
Akan tetapi, kebijakan ini dianggap tidak aman, sehingga pada Februari 1942, Angkatan Darat Jepang merubahnya. Dalam perubahan tersebut, jatah makanan disamaratakan untuk tawanan kombatan atau non-kombatan. Meskipun demikian, mereka yang ditahan tidak dilarang untuk mendapatkan tambahan jatah makanan dari sumber lain untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Perubahan arah kebijakan juga memuat rencana pendirian pusat-pusat interniran di berbagai wilayah yang diduduki Jepang. Di pusat interniran, semua tahanan diselidiki dan yang dianggap tidak membahayakan dibebaskan setelah mengucapkan sumpah.
Meskipun para interniran dihadapkan pada tantangan dalam menyesuaikan diri dengan gaya hidup terbatas dan kondisi yang diatur, sampai saat itu, perlakuan terhadap interniran oleh otoritas Jepang masih dianggap toleran.
Di beberapa wilayah, seperti Hong Kong, Singapura, Kalimantan, Sumatra, Jawa, Manila, Filipina, penginterniran dimulai pada tahun 1942. Jumlah internir terbanyak berada di Jawa mencapai 70.000 orang.
Menurut pengalaman seorang wanita Inggris dan putrinya yang ditahan di kamp interniran Saint Thomas di Manila, absen pagi dilakukan pada pukul 6 pagi, absen malam pada pukul 21.00, dan lampu padam pada pukul 22.00. Ironisnya, privasi sama sekali tidak ada di dalam kamp.
Permasalahan makin pelik, karena iklim panas yang menyiksa para interniran Eropa. Mereka sering kali butuh mandi empat kali sehari untuk mendinginkan badan, tetapi pasokan air yang sangat terbatas membuatnya sulit dilakukan.
Ketersediaan makanan di kamp interniran sangatlah terbatas. Meskipun Menteri Perang mengizinkan penambah porsi makanan dari tabungan pribadi, tidak semua tahanan memiliki tabungan yang cukup. Mereka yang tidak memiliki uang dapat meminta pekerjaan, tetapi dengan kondisi serba kekurangan fisik mereka terkadang tidak mampu bekerja berat. Pada akhirnya, masalah kelaparan makin meningkat seiring berjalannya waktu.
Kondisi makanan yang buruk, terkontaminasi oleh kotoran tikus, dengan pola makan yang didominasi nasi dan bubur, menyebabkan masalah kesehatan yang serius. Kerusakan gigi karena kekurangan kalsium, masalah mata karena kekurangan vitamin B, serta penyakit seperti disentri dan bisul menjadi umum di antara tahanan. Kekurangan gizi yang signifikan membuat sulit bagi beberapa tahanan untuk mencerna protein hewani yang disediakan bagi mereka.
Protes berulang atas perlakuan yang tidak manusiawi terhadap para interniran, yang seharusnya diurus dengan layak, terus dilontarkan oleh Amerika dan negara-negara Sekutu lainnya.
Baca juga: Jugun Ianfu, Nasib Tragis Pelacur pada Masa Jepang
Upaya dilakukan untuk memberikan bantuan makanan yang memadai kepada para interniran, namun Jepang tidak mampu memenuhi permintaan pertukaran kapal untuk mengangkut bantuan tersebut.
Pemerintah Jepang menyadari bahwa penelantaran lebih lanjut terhadap interniran dapat menjadi masalah internasional yang serius, terutama dalam situasi perang yang semakin memburuk. Sebagai tanggapan, mereka mulai mendirikan pusat tahanan untuk ‘membatasi aktivitas’ dan ‘melindungi’ warga negara musuh.
Pada 7 November 1943, Menteri Perang Togo mengeluarkan ‘Instruksi Asia 7391’, berisi ‘Peraturan Perlakuan terhadap Tawanan Perang’, yang dikirim ke semua divisi militer. Instruksi ini mengalihkan pengelolaan warga negara musuh dari pemerintahan militer ke komando militer utama.
Bersamaan dengan itu, pusat-pusat interniran militer didirikan di wilayah pendudukan di Jawa, Sumatra, Filipina, Malaya, Thailand, Burma, dan Kalimantan. Upaya ini dilakukan untuk mengatur dan mengawasi interniran dengan lebih terstruktur.
Walaupun begitu, upaya yang dilakukan tidak terlalu membuahkan hasil. Kehidupan para interniran masih serba kekurangan. Bahkan, kondisi bertambah parah mendekati akhir perang karena sumber daya Jepang makin tidak memadai untuk mencukupi kebutuhan interniran.
Referensi
Aiko, U. Japanese Army Internment Policies for Enemy Civilians during the Asia-Pacific War. Multicultural Japan: Paleolithic to Postmodern.
Archer, B. (2004). The internment of Western civilians under the Japanese, 1941-1945: a patchwork of internment (Vol. 24). Psychology Press.
Blackburn, K., & Hack, K. (Eds.). (2007). Forgotten captives in Japanese-occupied Asia (Vol. 10). Routledge.
Chu, C. Y. Y. (2005). Stanley Civilian Internment Camp during Japanese Occupation. In Foreign Communities in Hong Kong, 1840s–1950s (pp. 133-154). New York: Palgrave Macmillan US.
van Velden, D. (1970). The Japanese Civilian Internment Camps During the Second World War. In Acta Historiae Neerlandicae (pp. 234-275). Brill.
Yap, F. (2012). Prisoners of war and civilian internees of the Japanese in British Asia: the similarities and contrasts of experience. Journal of Contemporary History, 47(2), 317-346.