Selama hidupnya Nawal el-Saadawi gigih melawan belenggu budaya patriarki. Meskipun suaranya telah berkali-kali dibungkam penguasa, ia tetap lantang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan lewat tulisan-tulisannya. Tidak mengherankan bila dirinya sampai dijuluki “perempuan paling radikal Mesir” dan “Simone de Beauvoir dunia Arab”.
Budaya Patriarki yang Mengakar
Nawal el-Saadawi lahir pada 22 Oktober 1931 di sebuah desa kecil Kafr Tahla, Mesir. Ia berasal dari keluarga kelas menengah.
Ayahnya merupakan pegawai Dinas Pendidikan Mesir, sedangkan ibunya masih keturunan keluarga kaya Turki Utsmani. Ia merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara.
Kondisi Mesir saat itu benar-benar berbeda dengan masa sekarang. Belenggu patriarki benar-benar mengakar kuat di setiap sendi kehidupan. Anak-anak perempuan jarang mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan. Kebanyakan dari mereka dinikahkan pada usia dini.
Kendati demikian, orang tua el-Saadawi tetap memprioritaskan pendidikan anak-anaknya, tanpa memandang gender.
Walaupun 90 persen penduduk Mesir beragama Islam, keluarga Nawal el-Saadawi bukanlah keluarga yang religius. Bahkan, ia menganggap kedua orang tuanya cenderung liberal.
Sewaktu kecil, el-Saadawi sangat dekat dengan neneknya dan menjadi sumber inspirasinya. Ia selalu mengingat pesan neneknya, “Tuhan adalah keadilan dan kita mengenalnya dengan pikiran kita.”
Sejak usia muda, el-Saadawi diajarkan untuk berpikir kreatif dan kritis. Ia diajarkan untuk tidak menerima/memercayai sesuatu begitu saja, tetapi harus mencari kebenarannya sendiri.
Meskipun keluarga el-Saadawi bisa dikatakan relatif progresif, tetap saja ia harus menghadapi budaya patriarki, salah satunya adalah sunat perempuan. Kala itu, sunat perempuan adalah praktik yang diterima oleh hampir semua orang dan dipercaya sebagai bagian dari ajaran Islam.
Hampir setiap anak perempuan di desa disunat. Karena dianggap praktik yang umum dan wajib, orang tua el-Saadawi tidak dapat berbuat banyak selain membiarkan anaknya menjalaninya.
Selain sunat, ia juga hampir dinikahkan pada usia 10 tahun oleh keluarga besarnya. Beruntung ibunya mendukung penolakannya.
Beberapa pengalaman pahit ini membuat el-Saadawi sadar bahwa sunat perempuan dan pernikahan dini adalah produk dari sistem patriarki yang perlu diruntuhkan.
Menjadi Dokter Sosial
Nawal el-Saadawi lahir di tengah-tengah menguatnya gelombang nasionalis dan patriarkis di Mesir. Euforia kemerdekaan turut melahirkan Ikhwanul Muslimin pada 1928.
Ikhwanul Muslimin merupakan organisasi fundamentalis Islam pertama di Mesir. Mereka bercita-cita ingin menerapkan syariat sebagai dasar hukum negara.
Meskipun situasi Mesir saat itu tidak kondusif untuk perempuan, Nawal el-Saadawi beruntung masih dapat mengenyam pendidikan berkat dukungan kedua orang tuanya.
Jiwa feminis el-Saadawi diturunkan dari ibunya. Dalam sebuah kesempatan, ia pernah mengatakan bahwa ibunya mungkin akan menjadi seorang feminis seandainya tidak memilih untuk menjadi seorang istri.
Melihat praktik budaya patriarki setiap hari sempat membuat el-Saadawi enggan untuk menikah. Kendati demikian, sepanjang hidupnya ia menikah tiga kali.
Ia bertemu dengan suami pertamanya saat sedang menjalani kuliah kedokteran jiwa di Universitas Kairo. Kuliahnya selesai pada 1955 dan pada tahun yang sama ia menikah dengan Ahmed Helmi, seorang dokter.
Pernikahan keduanya awalnya berjalan harmonis. Namun, Krisis Terusan Suez merubah segalanya. Suaminya yang ikut terjun ke medan pertempuran ternyata mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD).
Karena tidak mampu mengatasi PTSD, sang suami mencari pelarian ke alkohol dan obat-obatan terlarang. Keadaaan yang semakin memburuk akhirnya memaksa mereka untuk bercerai.
Setelah bercerai, el-Saadawi melanjutkan kiprahnya di dunia medis. Selama melakukan praktik di Kafr Tahla, ia mengamati berbagai permasalahan fisik dan psikologis perempuan pedesaan. Ia menemukan permasalahan yang dihadapi pasiennya kebanyakan berasal dari praktik-praktik budaya yang menindas.
Bertepatan dengan dimulainya praktik sebagai psikiater, ia juga mulai aktif menulis. Cerpen, I Learned Love (1957) dan Novel, Memoirs of a Woman Doctor (1958), merupakan beberapa karya paling awalnya.
Setelah cukup lama melakukan praktik di pedesaan, Saadawi dipanggil kembali ke Kairo untuk menjadi direktur pendidikan di Kementerian Kesehatan Mesir. Di jabatan barunya, ia mendapat kesempatan untuk melanjutkan kuliah magister kesehatan publik di Universitas Columbia dan menyelesaikannya pada 1966.
Bekerja sebagai dokter memengaruhi pandangannya tentang dunia. El-Saadawi merupakan dokter sosial, ia tidak hanya mengobati penyakit pasiennya, tetapi juga ingin tahu mengapa pasien tersebut bisa sakit. Selama menjadi dokter, ia berusaha mencari tahu mengapa mayoritas pasien yang datang berasal dari kalangan masyarakat kelas bawah.
Setiap ada kesempatan, ia selalu berusaha mengedukasi orang-orang tidak mampu, tetapi upayanya dilarang oleh pemerintah. Ia diberitahu bahwa pekerjaannya hanya mengobati pasien, tidak lebih dari itu. Realitas ini membuat dirinya berambisi untuk berbuat lebih banyak untuk memperjuangkan kesetaraan.
Pada 1970, presiden baru Mesir, Anwar Sadat, melakukan banyak perubahan radikal. Meskipun Ikhwanul Muslimin masih dilarang, Sadat membebaskan simpatisan mereka yang dipenjara dan mendorong hubungan akomodatif antara muslim konservatif dan pemerintah. Sadat juga memasukkan hukum syariah ke dalam konstitusi dan mencabut beberapa pembatasan yang diterapkan pada organisasi fundamentalis.
Kebijakan yang diambil Sadat mendorong Saadawi untuk semakin gencar menyerukan perlawanan. Pada tahun 1972, karya non-fiksi pertamanya yang berjudul Women and Sex diterbitkan. Dalam tulisannya, ia menggambarkan ketidakadilan yang ditimbulkan oleh budaya patriarki.
Buku ini membuat sebagian pejabat Mesir meradang dan memutuskan untuk melarang peredarannya selama dua dekade. El-Saadawi sendiri langsung dipecat dari jabatannya sebagai Direktur Pendidikan di Kementerian Kesehatan Mesir dan Editor Majalah Health.
Namun, ia menanggapi santai pemecatannya dan melihatnya sebagai kesempatan untuk memulai perjuangan baru. Antara tahun 1972–1980, el-Saadawi mencurahkan energinya untuk menulis dan mengadvokasi hak-hak perempuan.
Jalan Perjuangan Baru Nawal el-Saadawi
Setelah dipecat, ia bekerja sebagai peneliti di Fakultas Kedokteran Universitas Ain Shams dan penasihat PBB untuk Program Wanita di Afrika dan Timur Tengah. Profesi barunya ini memberi inspirasi untuk menulis beberapa buku fenomenal, seperti Women at Point Zero (1975) dan The Hidden Face of Eve (1977).
Perempuan di Titik Nol mengisahkan seorang perempuan yang mengalami objektifikasi sejak usia muda. Tatkala mencari jalan untuk lepas dari jeratan budaya patriarki, ia justru terperosok jurang prostitusi yang menawarkan kebebasan semu. Kenyataannya, budaya patriarki ternyata juga eksis di dunia prostitusi, hingga membuatnya memutuskan untuk membunuh germo yang berusaha mengendalikannya.
Cerita yang disampaikan oleh el-Saadawi dalam buku itu begitu kuat dan menggugah. Ia sama sekali tidak berusaha menghindari topik-topik sensitif, tetapi malah berusaha mengulasnya dengan berani.
Sementara itu, The Hidden Face of Eve mengulas sejumlah isu sensitif terkait perempuan Arab, seperti kekerasan pada anak perempuan, sunat perempuan, prostitusi, hubungan seksual, pernikahan dan perceraian, dan fundamentalisme Islam.
Sama seperti karyanya sebelumnya, kedua buku ini memantik perdebatan publik. Sebagian mengecam penerbitan buku-buku itu, tetapi sebagian mulai banyak mengapresiasi.
Memasuki tahun 1980-an, el-Saadawi semakin lantang memperjuangkan kebebasan sosial dan intelektual perempuan Mesir. Perjuangan ini membawanya mendekam di jeruji besi; ia dituduh melakukan kejahatan terhadap negara.
“Saya ditangkap karena memercayai Sadat. Ia mengatakan bahwa ada demokrasi dan kami berhak menyampaikan kritik. Jadi saya mulai mengkritik kebijakannya dan saya masuk penjara,” ujarnya.
Meskipun demikian, penjara tidak membuatnya diam. Sebaliknya, penjara justru semakin mengobarkan semangat perjuangannya.
Selama di penjara, pemerintah Mesir berusaha membungkamnya. Bahkan, untuk menghalanginya menulis, ia tidak diberi tisu toilet. Namun, el-Saadawi berhasil menemukan cara untuk memperoleh tisu toilet dan alat rias dari para psk, sehingga bisa kembali menulis. Ia baru dibebaskan pada bulan November, setelah pada bulan sebelumnya Sadat dibunuh oleh pasukan fundamentalis, al-Jihad.
Meskipun harus menghadapi tantangan berat, Nawal el-Saadawi tidak pernah berhenti memperjuangkan hak-hak orang lain. Setelah dipenjara, ia segera kembali menulis dan mendirikan Arab Women’s Solidarity Association (AWSA) pada 1982.
AWSA adalah organisasi feminis pertama yang legal dan independen di Mesir. Organisasi ini eksis hingga tahun 1992, sebelum akhirnya dibubarkan pemerintah karena dianggap terlalu radikal.
Setelah dibebaskan dari penjara, ia terus mendapatkan teror dari kelompok-kelompok yang tidak menyukai karyanya, salah satunya dari Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, tekanan politik yang semakin kuat membuatnya terpaksa meninggalkan Mesir pada tahun 1993.
Untuk sementara waktu ia melanjutkan hidup di Amerika Serikat sebagai dosen di Duke University dan Washington University. Hidup nyaman di AS tidak lantas membuatnya melupakan Mesir. Tiga tahun kemudian, ia memutuskan kembali ke Mesir untuk melanjutkan perjuangannya.
El-Saadawi tidak hanya melontarkan kritik terhadap isu regional Mesir, tetapi juga isu global. Dalam sebuah ceramah tahun 2002 di University of California, Saadawi menggambarkan perang di Afghanistan sebagai “perang untuk mengeksploitasi minyak di wilayah tersebut”. Ia juga mengkritik kebijakan luar negeri AS serta dukungannya kepada Israel sebagai “terorisme yang sebenarnya.”
Pada tahun 2005, ia sempat berniat mencalonkan diri sebagai Presiden Mesir. Namun, ia mengurungkan niatnya lantaran persyaratan yang rumit untuk kandidat baru.
Sementara itu, tekanan politik terhadapnya terus menguat. Ia dianggap sebagai musuh utama kelompok-kelompok fundamentalis Mesir. Pada bulan Mei 2008, ia dituduh murtad dan sesat oleh Universitas al-Azhar, kendati tuduhan itu tidak terbukti.
El-Saadawi termasuk salah satu pengunjuk rasa di Tahrir Square pada tahun 2011. Ia percaya bahwa budaya patriarki yang diselipkan pada pelajaran agama di sekolah adalah ancaman besar bagi kebebasan wanita. Oleh sebab itu, ia menyerukan penghapusan pelajaran agama di sekolah-sekolah Mesir.
Setelah memperjuangkan hak perempuan selama bertahun-tahun, langkah perjuangannya harus terhenti pada 21 Maret 2021. Ia menghembuskan napas terakhirnya Rumah Sakit Kairo pada usia 89 Tahun.
Selama hidupnya, El Saadawi telah dianugerahi gelar kehormatan di tiga benua dan memenangkan berbagai penghargaan termasuk: North-South prize dari Dewan Eropa (2004); Penghargaan Internasional Inana di Belgia (2005) dan Penghargaan Perdamaian Séan MacBride dari International Peace Bureau (2012). Selain itu, ia juga mewariskan fondasi perjuangan bagi perempuan-perempuan Arab.
Daftar Pustaka
“Pioneering Egyptian Feminist Nawal El Saadawi Dies Aged 89”. Egyptian Streets. 21 March 2021.
Amireh, A. (2000). Framing Nawal El Saadawi: Arab feminism in a transnational world. Signs: Journal of Women in Culture and Society, 26(1), 215-249.
El Saadawi, N. (2007). Woman at point zero. Zed Books.
El Saadawi, N., & Saʻdāwī, N. (2007). The hidden face of Eve: Women in the Arab world. Zed Books.
Green, A. (2021). Nawal El Saadawi. The Lancet, 397(10285), 1618.
Hiddleston, J. (2010). Imprisonment, freedom, and literary opacity in the work of Nawal El Saadawi and Assia Djebar. Feminist Theory, 11(2), 171-187.
Malti-Douglas, F. (1995). Men, women, and God (s): Nawal El Saadawi and Arab feminist poetics. Univ of California Press.