Pada awal abad ke-20, kasus rabies di Hindia-Belanda terus mengalami peningkatan. Anjing kampung yang dipelihara penduduk bumiputra dituduh sebagai biang kerok penyebaran virus ini. Pembantaian terhadap anjing-anjing kampung pun menjadi tidak terelakan.
Posisi Anjing dalam Kehidupan Masyarakat Hindia-Belanda
Memasuki abad ke-20, memelihara anjing menjadi trend yang tengah hits di Hindia-Belanda. H.W. Ponder, dalam kunjungannya ke Jawa pada 1930-an, menemukan bahwa jalanan di kota-kota besar Jawa dipenuhi orang-orang Eropa yang mengajak jalan-jalan anjing peliharaannya.
Berbagai jenis anjing, seperti Jepang, Peking, Asaltian, dan King Charles menghiasi jalanan di Jawa. Bagi orang Eropa saat itu, memelihara anjing tidak hanya menunjukkan status sosial, tetapi juga keluarga baru.
Sebagai anggota keluarga, anjing peliharaan ini dirawat dengan penuh perhatian oleh para pembantu keluarga Eropa. Pemandangan ini sering kali diabadikan dalam foto keluarga Eropa di Hindia-Belanda.
Sementara itu, di kalangan penduduk bumiputra, anjing telah lama menjadi hewan peliharaan jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. Namun, posisi anjing bagi keluarga bumiputra berbeda bila dibandingkan dengan orang Eropa. Mereka tidak diperlakukan layaknya anggota keluarga, tetapi sebagai hewan peliharaan sekaligus penjaga yang harus hadir dalam setiap rumah.
Ponder menceritakan bahwa anjing kampung hampir selalu terlihat di setiap sudut perkampungan. Kadang kala mereka menggonggong dan menjadi agresif apabila melihat orang Eropa.
Sayangnya, kondisi anjing orang Eropa dan bumiputra berbanding terbalik. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, perawatan rutin terhadap anjing Eropa membuat mereka tampak sehat dan bersih.
Sebaliknya, anjing kampung, yang kebanyakan berasal dari jenis Paria India atau Mongrels Bali, justru tidak terawat dan kotor. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan mereka sebagai mediator penyebaran rabies.
Kasus Rabies dan Penanganannya
Rabies sebenarnya bukanlah penyakit baru, penyakit ini telah menghantui umat manusia, setidaknya sejak 2000SM. Catatan tertulis pertama tentang penyakit ini dapat ditemukan dalam Mesopotamia Codex of Eshnunna yang ditulis sekitar 1930SM.
Dalam kodeks tersebut, pemilik anjing yang menunjukkan gejala rabies harus mengambil tindakan pencegahan terhadap gigitan. Apabila anjing itu menggigit orang lain hingga meningggal, pemiliknya mendapat denda berat.
Menilik dari kehidupan penduduk bumiputra yang telah menjadikan anjing sebagai hewan peliharaan jauh sebelum era kolonial, maka sulit dipastikan kapan penyakit ini pertama kali muncul di Hindia-Belanda.
Pada masa kolonial, penyakit rabies termasuk penyakit yang sulit ditangani. Selain sulit didiagnosis, penyakit ini juga dianggap mustahil untuk disembuhkan, sehingga tidak jarang orang yang terkena gigitan anjing berakhir dengan tragis.
Anjing yang terjangkit rabies biasanya berubah menjadi agresif, mereka bisa menyerang siapa saja yang ditemuinya dan menggigit dengan sekuat tenaga akibat kejang rahang yang dialaminya. Anjing yang terkena rabies biasanya kesulitan menelan makanan, sehingga hanya bisa mengoyak makanannya hingga berceceran. Lambat laut tubuh anjing tersebut akan lumpuh hingga mati dengan sendirinya. Kondisi inilah yang membuat sebagian orang menggambarkan rabies sebagai “kegilaan yang melumpuhkan”.
Dokter-dokter di Hindia-Belanda kala itu meyakini masa inkubasi virus ini bervariasi mulai 1 minggu hingga satu tahun, tetapi sebagian besar kasus masa inkubasinya antara 3–6 minggu, tergantung ukuran dan lokasi gigitan.
Virus dapat berdampak fatal apabila gigitan berada di sekitar kepala, karena dapat lebih cepat mencapai otak. Di organ ini, virus hanya membutuhkan waktu inokulasi selama 2 pekan untuk menyebabkan serangan kecemasan, hydrophobia hingga gagal jantung.
J. Groneman dalam Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, menuturkan bahwa dirinya mendapati pasien rabies pertamanya pada tahun 1861 saat tengah bertugas di Bandung. Kala itu, seorang anak berusia 10/12 tahun terkena sembilan luka gigitan anjing di sekitar wajahnya.
Awalnya ia kesulitan untuk memastikan anjing yang menggigit tersebut menderita rabies atau tidak, tetapi ia tetap berusaha mengobati anak itu dengan melebarkan luka-luka kecil agar darah keluar dan menutupinya dengan kapas yang direndam larutan kalium hidroksida 10%. Ajaibnya, gadis itu selamat setelah mendapat perawatan intensif selama dua bulan.
Tidak lama berselang, seorang pria digigit anjing yang sama, tetapi karena dirinya tidak mendapatkan perawatan, dalam waktu satu bulan pria ini meninggal karena rabies.
Meskipun demikian, perawatan paling umum sebelum ditemukannya vaksin adalah dengan cara membakar luka atau kauterisasi. Cara ini cenderung menyakitkan dan tidak semanjur vaksin rabies, tetapi tetap dilakukan oleh penduduk waktu itu.
Pada tahun 1880, ilmuwan Prancis, Louis Pasteur, mulai melakukan penelitian terhadap penyakit rabies. Meskipun pada awalnya sempat kesulitan, tetapi Pasteur berhasil menemukan pusat inokulasi rabies, yakni di sekitar otak dan sumsum tulang belakang. Lewat kerja kerasnya ini, vaksin untuk rabies akhirnya berhasil ditemukan; tidak hanya untuk mencegah tetapi juga mengobati bila kondisi belum parah.
Dalam waktu singkat, penemuan Pasteur akhirnya tersiar ke seluruh penjuru dunia. Walaupun sempat diragukan, tetapi akhirnya banyak pujian diberikan kepadanya karena mampu menekan tingkat kematian akibat gigitan anjing. Sayangnya, vaksin rabies tidak bisa langsung diakses masyarakat di seluruh penjuru dunia, termasuk Hindia-Belanda.
Kemiskinan struktural yang terjadi di Hindia-Belanda, membuat banyak anjing kampung hidup tidak terawat. Mereka dibiarkan berkeliaran tanpa adanya perawatan khusus dari majikannya. Alhasil, mayoritas virus rabies yang terjadi di Hindia-Belanda disebarkan oleh mereka. Tidak mengherankan bila Pasteur menyebut virus ini sebagai virus jalanan karena berkembang melalui anjing-anjing yang hidup terlantar di jalan.
Penanganan kasus anjing gila di Hindia-Belanda ditangani langsung oleh polisi hewan. Menurut Winckel (1918), anjing kala itu dianggap tidak memiliki nilai ekonomi penting. Pandangan ini akhirnya berpengaruh terhadap kebijakan penanganan anjing gila.
Polisi hewan biasanya menyusuri perkampungan untuk mencari anjing yang diduga gila. Anjing yang berhasil ditangkap lalu dibawa ke penampungan dan apabila gejala rabies semakin kentara, anjing-anjing itu langsung dibunuh. Celakanya, anjing yang dibantai belum tentu positif rabies.
Dalam menghadapi rabies yang makin merebak pada penghujung abad ke-19, pemerintah kolonial memperioritaskan keamanan dan kesehatan penduduknya. Salah satu upayanya dengan mendirikan Institut Pasteur di Weltevreden pada 1895. Institut ini berfungsi sebagai pusat pengembangan pengobatan dan vaksin di Hindia-Belanda. Pengadaan vaksin rabies dan pengobatan penderitanya menjadi salah satu prioritas utama kala itu.
Vaksin ini tidak diberikan kepada anjing, tetapi kepada manusia yang terkena gigitan. Salah satu alasanya karena tidak semua anjing mendapatkan dampak positif dari vaksin, malahan banyak yang meregang nyawa setelah disuntik vaksin. Ditambah, diagnosis rabies membutuhkan waktu yang lama, sehingga sulit membedakan mana anjing yang sehat dan tidak.
Sementara itu, pendistribusian vaksin juga cukup sulit karena wilayah yang luas dan kepulauan. Tidak semua penduduk dapat memperoleh perawatan intensif apabila menderita gejala rabies, mereka harus pergi ke kota-kota besar atau datang langsung ke Institut Pasteur, yang jelas membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah kolonial berusaha menggratiskan biaya pengobatan untuk rabies.
Kehadiran vaksin tidak bisa serta merta menekan jumlah kasus rabies. Angka kasus rabies 1906–1915, mengalami pertumbuhan yang stabil. Kondisi ini dapat dimaklumi, karena pangkal masalah yakni anjing kampung yang tidak terawat dengan baik belum dapat diatasi.
Meskipun demikian, kehadiran vaksin sangat berpengaruh dalam menekan tingkat kematian. Dari 5200 kasus rabies, hanya 1,3% di Jawa dan 3,1% luar Jawa yang meninggal. Tanpa kehadiran vaksin dan perawatan tersebut jumlah korban meninggal diperkirakaan dapat mencapai sekitar 15%.
Selain menggencarkan vaksinasi, pemerintah kolonial berupaya mencari solusi untuk menekan kasus anjing gila. Salah satunya dengan melakukan langkah preventif dengan mengeluarkan kebijakan pajak anjing. Lewat kebijakan itu, setiap pemilik anjing wajib membayar pajak tahunan sebesar f1 seperti yang termuat dalam Staatsblad 1906 No. 283. Di samping itu, anjing tersebut harus mengenakan medali di lehernya sebagai penanda anjing yang terawat.
Kendati demikian, tidak semua pemilik anjing bersedia mematuhi aturan itu. Untuk menyikapi hal ini pemerintah kolonial memberikan sanksi tegas kepada pemilik yang anjingnya berkeliaran tanpa medali, dengan denda f15 dan penangkapan terhadap anjing tersebut.
Regulasi yang lebih ketat dikeluarkan pada 1915 melalui Hondsdolheid Ordonantie (UU Anjing Gila) yang termuat dalam Staatblad 1915 No. 302. Lewat peraturan ini, anjing, monyet, dan kucing yang menunjukkan gejala rabies wajib untuk dibunuh, dibakar, atau dikubur. Di samping itu, terdapat pelarangan impor anjing, kucing, dan monyet ke beberapa wilayah di luar Jawa.
Peraturan yang melegalkan pembunuhan terhadap hewan-hewan itu sempat memicu perdebatan. Nederlandsch Indische Vereeniging Bescherming van Dieren (Perkumpulan Pemerhati Satwa Hindia Belanda) mengungkapkan keberatannya karena menganggap proses pembunuhan hewan penyebar rabies terlalu sadis dan kejam. Mereka menyarankan polisi hewan menggunakan gas batu bara agar anjing mengalami kematian cepat dan tidak menyakitkan.
Namun, pemerintah kolonial tidak serta merta menerima saran ini, salah satunya karena faktor mahalnya biaya pengadaan. NIVBD sendiri tidak lagi memakai metode ini sejak dekade kedua abad ke-20, lantaran komponen yang sulit didapat dan biaya perawatan yang mahal.
Baca juga: Penyakit Cacar dan Vaksinasi Paling Awal di Hindia-Belanda
Sebagai gantinya, program untuk mendirikan dieren asyl (penampungan satwa) dan dieren hospital (rumah sakit hewan) mulai dibicarakan. Sejak 1926, proyek pendirian dua institusi ini mulai direncanakan di kota-kota besar di Jawa. Tujuannya sebagai tempat karantina, penampungan, dan pembunuhan yang lebih beradab.
Daftar Pustaka
Departement Van Binnenlandsch-Bestuur. (1919). Hondsdolheid-Ordonnantie, Institüut-Pasteur Te Weltevreden Hondenbelasting. Weltevreden: Typ. Indonesische Drukkerij.
Groneman. J. (1887). Naar aanleiding van het artikel “Pasteur’s inentingen tegen rabies,” van A.P.F in het Weekblad van liet Nederlandsch Tijdschrilt voor Geneeskunde van 4 September 1886, Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, Vol. XXVI.
Gustaman, B. (2019). Kesejahteraan anjing dalam pemberantasan wabah rabies di Hindia Belanda. Metahumaniora, 9(3), 357-365.
Ortt, Felix. (1927). De Methode Pasteur Tegen Hondsdolheid. Uitgave Van Den Ned. Bond Tot Bestrijding Der Vivisectie.
Ponder, H.W. 1942. Java Pageant. London: Seeley & Co
Winckel, W.F. (1918). Hondsdolheid in Nederl. Indie. Amsterdam: Instituut Druk van J. H. De Bussy.