Pengendalian kelahiran atau birth control bukanlah konsep yang baru-baru ini muncul. Bahkan pada masa pramodern, upaya-upaya untuk mengendalikan kelahiran sudah diterapkan, meski dengan metode yang berbeda.
Perempuan Indonesia telah lama menyadari adanya berbagai cara dan sarana tradisional untuk membatasi jumlah kelahiran dan mereka bersedia menerapkan metode-metode itu bila diperlukan. Bagi mereka, kesuburan bukanlah sesuatu yang mutlak alamiah, tetapi sesuatu yang bisa dimanipulasi sesuai dengan kebutuhan perempuan.
Namun, kebebasan perempuan ini mulai tergerus seiring dengan masuknya pengaruh Islam dan Kristen ke Indonesia. Secara perlahan, otonomi perempuan terhadap tubuh mereka mulai berkurang, dan dominasi laki-laki, yang umumnya menginginkan memiliki lebih banyak anak daripada perempuan, mulai menggantikan kontrol atas keputusan mengenai kelahiran. Ini terjadi meskipun sebagian besar beban perawatan anak tetap jatuh pada pundak perempuan.
Metode Pengendalian Kelahiran Tradisional
Orang-orang yang hidup pada zaman dulu dikenal memiliki keturunan yang banyak. Fenomena tersebut tidak jarang menggiring kita kepada anggapan bahwa pada zaman dulu belum ada alat kontrasepsi atau metode pengendalian kelahiran.
Kendati demikian, anggapan ini tidak sepenuhnya akurat. Pada masa lalu, setidaknya ada tiga metode populer pengendalian kelahiran yang digunakan, yaitu membatasi hubungan seksual, memanipulasi kesuburan, dan melakukan aborsi.
Pembatasan hubungan seksual sering dikaitkan dengan tugas atau kewajiban dalam sebuah ritual, misalnya ritual siklus pertanian atau berburu. Selama ritual tersebut berlangsung, hubungan seksual antara pasangan dianggap sebuah tabu.
Namun, yang lebih relevan adalah fenomena merantau yang dilakukan oleh para pria. Merantau sudah menjadi ciri khas berbagai masyarakat Indonesia pra-modern. Selama merantau, frekuensi hubungan seksual dengan pasangan resminya menjadi rendah dari biasanya. Penurunan angka kelahiran juga sering kali dipengaruhi penyakit kelamin yang didapat dari prostitusi selama merantau.
Sebelum ditemukannya metode kontrasepsi modern, perempuan zaman dahulu mencoba berbagai cara untuk memanipulasi kesuburan demi mencegah kehamilan yang tidak diinginkan. Tiga metode yang paling umum digunakan pada masa itu adalah penggunaan jamu, retrofleksi uteri, dan amenorea laktasi.
Data mengenai penggunaan jamu untuk mencegah pembuahan sangatlah terbatas sehingga tingkat efektivitasnya sulit diketahui. Meskipun begitu, metode penggunaan jamu sebagai alat kontrasepsi masih digunakan hingga saat ini.
Baca juga: Sekolah Bidan Pertama di Hindia-Belanda
Peter Boomgaard (2003), menyebutkan pembalikan rahim (rahim retrofleksi) sebagai salah satu metode yang banyak digunakan di Nusantara pada abad ke-19 dan 20. Praktik yang dilakukan oleh dukun bayi ini membuat seorang perempuan tidak dapat hamil untuk sementara waktu. Namun, prosedur ini bisa dibatalkan dengan relatif mudah bila sang perempuan ingin hamil.
Sebagian dokter Eropa menganggap metode ini efektif. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus metode ini ternyata menimbulkan rasa sakit saat berhubungan intim atau menstruasi.
Amenorea laktasi menjadi metode pengendalian kelahiran lain yang umum digunakan oleh penduduk Indonesia pada masa lalu. Metode kontrasepsi sementara ini bergantung pada efek alami dari proses menyusui terhadap kesuburan.
Peningkatan hormon prolaktin (hormon pembentukan ASI) setelah persalinan memengaruhi siklus menstruasi sehingga pembuahan tidak terjadi. Kendati caranya sederhana, metode ini dianggap kurang efektif karena minimnya pengetahuan tentang amenorea laktasi pada masa itu.
Praktik Aborsi di Masa Lalu
Tidak semua metode kontrasepsi pramodern efektif dilakukan. Dalam beberapa kasus, metode ini gagal dan pembuahan tetap berlangsung. Kondisi ini akhirnya memaksa perempuan Indonesia pada masa lalu untuk mengambil langkah pengendalian kelahiran terakhir, yakni aborsi.
Meskipun pada masa sekarang, terutama di Indonesia, praktik aborsi masih dianggap sebagai tabu dalam masyarakat, pada masa lalu, praktik ini umum dilakukan oleh penduduk. Bukti-bukti mengenai praktik aborsi tersebar luas hampir di seluruh Nusantara, termasuk dalam relief Karmawibhangga Candi Borobudur dan relief di Prambanan (Potts, 2007; Santiko, 2016).
Tatkala orang-orang Eropa menginjakkan kakinya untuk pertama kali di Nusantara, mereka terkejut mendapati praktik aborsi dilakukan secara luas. Karena praktik ini tidak sejalan dengan ajaran Kristen, mereka mengutuk aborsi sebagai tindakan yang tidak bermoral dan tidak beradab.
Pada 1635, Gubernur Jenderal VOC menulis surat kepada para direktur di Belanda bahwa aborsi umum dipraktikkan di Nusantara. Tidak lama berselang, muncul peraturan yang melarang praktik aborsi di Batavia karena dianggap berbahaya dan berpotensi menyebabkan kematian.
Baca juga: Nasib Kuli Perempuan di Perkebunan Deli
Seiring dengan penyebaran pengaruh Islam dan Kristen di Nusantara, pandangan moral penduduk pribumi menjadi terbagi. Dalam Kidung Sunda, misalnya, melakukan praktik aborsi dianggap sebagai dosa.
Meskipun begitu, praktik aborsi tetap luas dilakukan di masyarakat pada saat itu. Motivasi untuk aborsi sangat bervariasi, tetapi umumnya melibatkan upaya mengakhiri kehamilan di luar pernikahan. Selain itu, alasan ekonomi juga menjadi faktor yang mendorong praktik ini.
Daftar Pustaka
Boomgaard, P. (2003). Bridewealth and birth control: low fertility in the Indonesian archipelago, 1500–1900. Population and Development Review, 29(2), 197-214.
Hull, T. H., & Hull, V. J. (2001). Means, motives, and menses: use of herbal emmenagogues in Indonesia. Regulating menstruation: Beliefs, practices, interpretations, 202-219.
Potts, M., Graff, M., & Taing, J. (2007). Thousand-year-old depictions of massage abortion. The Journal of Family Planning and Reproductive Health Care, 33(4), 233.
Reid, A. J. S. (1983). Low population growth and its causes in pre-colonial Southeast Asia dalam N. C. Owen (ed.), Death and Disease in Southeast Asia: Explorations in Social, Medical and De mographic History Singapore, etc.: Oxford University Press.
Santiko, H. (2016). Identification of Karmawibhangga Reliefs at Candi Borobudur. Amerta, 34(2), 129-138.