Mahalnya mahar pernikahan sempat dituding sebagai biang keladi rendahnya angka kelahiran di Hindia-Belanda pramodern. Pejabat kolonial terkait dibantu oleh pemuka agama berupaya merubah tradisi mahar mewah untuk memudahkan pernikahan dan meningkatkan angka kelahiran.
Antara Mahar dan Kepentingan Kolonial
Pada awal abad ke-19, pemerintah kolonial sempat dipusingkan dengan rendahnya pertumbuhan penduduk. Padahal saat itu tenaga kerja dalam jumlah banyak sedang dibutuhkan untuk menggenjot produksi tanaman ekspor.
Menariknya, pemerintah kolonial mengaitkan masalah ini dengan tingginya mahar pernikahan yang pada akhirnya menyulitkan penduduk yang ingin menikah. Dalam pernikahan, mahar atau yang sering disebut orang zaman dulu “harga pengantin” merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh calon pengantin pria. Akan tetapi, besaran mahar bervariasi di tiap daerah. Pejabat Hindia-Belanda menuding mahalnya mahar pernikahan sebagai penyebab utama pernikahan yang telat atau banyaknya jumlah perempuan yang tidak menikah.
Peter Boomgaard (2003) berpendapat bahwa tradisi mahar atau “uang jujur” dengan nilai tinggi sebagian besar ditemukan di daerah-daerah yang menganut sistem kekerabatan patrilineal dan dalam tingkat yang lebih kecil di kelompok masyarakat yang menerapkan sistem bilateral. Pada abad ke-19, beberapa daerah yang dikenal dengan tradisi mahar ini meliputi Maluku, Sumatra Selatan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian kecil Jawa.
Masyarakat yang hidup pada masa itu menganggap uang jujur sebagai sebuah penghormatan kepada perempuan dan keluarganya. Posisi perempuan pada masa lalu begitu sentral dan mereka aktif terlibat dalam kegiatan ekonomi, terutama di sektor pertanian dan pasar (Reid, 1988). Di samping itu, mereka juga memiliki pengetahuan tentang pengobatan tradisional yang sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, menurut Barbara Watson Andaya (2018), tradisi uang jujur juga mendorong masyarakat di sistem kekerabatan untuk menganggap kelahiran anak perempuan sebagai aset yang berharga. Dalam sebuah laporan abad ke-18, di wilayah Timor, seorang ayah yang memiliki banyak anak perempuan dianggap kaya raya karena mendapatkan kerbau dan emas saat anaknya menikah. Janet Hoskins Professor (2006) menyebut fenomena ini sebagai “komodifikasi manusia”.
British East India Company yang hadir di Bengkulu sejak akhir abad ke-17 sempat dipusingkan akibat adanya tradisi ini. Mereka kesulitan mendapatkan sumber tenaga kerja karena tingkat kelahiran yang rendah di daerah tersebut.
William Marsden (2012) mencatat bahwa British East India Company sampai berusaha untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi mahar yang tinggi agar lebih terjangkau oleh masyarakat umum.
Langkah serupa juga diadopsi oleh Belanda. Namun, kali ini tidak hanya dilakukan di seputar wilayah Sumatra, melainkan juga di daerah lain yang menerapkan tradisi mahar yang tinggi.
Upaya ini juga menegaskan arah kebijakan pemerintah kolonial yang mengubah peran perempuan, yang sebelumnya aktif dalam kegiatan ekonomi, menjadi mesin reproduksi untuk mendukung proses industrialisasi. Ini juga mungkin menjadi awal munculnya stigma negatif terhadap perempuan yang menunda pernikahan.
Akan tetapi, upaya yang dilakukan oleh orang-orang Eropa ini tidak sepenuhnya berhasil. Keberhasilah dari upaya ini hanya terlihat jelas di wilayah Jawa Melalui kerjasama antara pemerintah kolonial dan ulama lokal, mereka mampu mengurangi mahar pernikahan dan mendorong tren pernikahan yang lebih dini. Kendati demikian, usaha ini tidak terlalu efektif di wilayah luar Jawa.
Baca juga: Kala Gelombang Pengangguran Menghantui Jawa
Hingga akhir abad ke-19, tradisi mahar yang tinggi masih diterapkan di berbagai wilayah di luar Jawa. Penurunan nominal mahar pernikahan baru mulai terlihat setidaknya pada abad ke-20, seiring dengan menurunnya daya beli penduduk akibat berbagai wabah dan krisis yang melanda.
Anomali Pernikahan Era Kolonial
Nampaknya mahar tinggi tidak hanya disoroti oleh pemerintah kolonial, tetapi juga menjadi permasalahan bagi penduduk setempat. Terkadang, calon pengantin yang ingin menikah terhalang keinginannya lantaran adanya tradisi ini.
Tidak semua calon pengantin mampu memenuhi standar mahar yang diminta. Di sisi lain, banyak orang tua yang bersikukuh meminta mahar yang tinggi.
Akibatnya, seringkali muncul kasus kehamilan di luar nikah yang pada akhirnya memaksa orang tua untuk menyetujui pernikahan tersebut. Namun, anak yang lahir dari hubungan di luar nikah seringkali menjadi kambing hitam dan menerima stigma sebagai anak yang tidak diinginkan.
Boomgaard menyimpulkan bahwa mahar tinggi sangat erat kaitannya dengan gengsi dan status sosial, sehingga tidak selalu diterapkan di semua lapisan masyarakat. Bagi masyarakat kelas bawah, mahar yang tinggi merupakan sesuatu yang sulit dipenuhi. Oleh karena itu, muncul berbagai cara untuk mengatasi masalah ini.
Dalam beberapa kasus, untuk membayar mahar yang tinggi, calon pengantin pria harus bekerja untuk ayah mertuanya. Namun, solusi ini kurang populer di kalangan masyarakat yang sangat memperhatikan status sosial.
Sementara di kasus-kasus tertentu, orang tua yang tidak memiliki anak laki-laki akhirnya mengambil jalan pintas dengan mengadopsi seorang pemuda dari kalangan yang kurang mampu yang ingin menikahi anak perempuan mereka.
Setelah diadopsi atau diambil sebagai anak angkat, pria tersebut kemudian dinikahkan dengan anak tersebut tanpa perlu membayar mahar, dan ia menjadi bagian dari garis keturunan orang tua angkatnya. Namun, langkah ini dianggap sebagai solusi yang kurang terhormat di masyarakat patrilineal.
Bava juga: Bagaimana Penduduk Indonesia Pramodern Membatasi Angka Kelahiran
Di daerah pesisir dan perkotaan yang berdekatan dengan masyarakat patrilineal, lebih umum diterima bentuk pernikahan ketiga yang disebut “semendo mardika” atau “semendo malayu.” Dalam semendo mardika, kedua keluarga mempelai dianggap setara, sehingga gagasan garis keturunan tidak begitu penting. Selain itu, mahar yang dibebankan juga lebih rendah.
Daftar Pustaka
Andaya, B. W. (2018). Gender legacies and modern transitions. In Routledge Handbook of Contemporary Indonesia (pp. 31-42). Routledge.Top of Form
Boomgaard, P. (2003). Bridewealth and birth control: low fertility in the Indonesian archipelago, 1500–1900. Population and Development Review, 29(2), 197-214.
Hoskins, J. (2004). Slaves, brides and other ‘gifts’: resistance, marriage and rank in Eastern Indonesia. Slavery & Abolition, 25(2), 90-107.
Marsden, W. (2012). The history of Sumatra: Containing an account of the government, laws, customs, and manners of the native inhabitants. Cambridge University Press.
Reid, A. (1988). Female roles in pre-colonial Southeast Asia. Modern Asian Studies, 22(3), 629-645.
Reid, A. (1988). Female roles in pre-colonial Southeast Asia. Modern Asian Studies, 22(3), 629-645.