Perayaan Natal di Hindia-Belanda tidaklah sama dengan Belanda. Malahan, perayaan di wilayah koloni menawarkan pengalaman yang berbeda dibandingkan negara induknya.
Salah satunya adalah pengaruh cuaca yang berbeda, menciptakan nuansa berbeda selama perayaan. Selain itu, adanya tradisi lokal yang dicampurkan dengan elemen Natal juga memberikan pengalaman perayaan yang unik di Hindia-Belanda.
Natal di Tanah Koloni
Sebelum abad ke-20, penduduk Belanda tidak melihat Natal sebagai perayaan yang istimewa atau memiliki ciri khas seperti di Inggris atau Jerman. Menurut seorang penulis di Tegal, Natal tidak memiliki status perayaan nasional yang sama pentingnya.
Seorang wartawan di Jogja pada tahun 1909 menambahkan bahwa sebelumnya, Natal dianggap sebagai perayaan keluarga yang sederhana, dirayakan secara intim di dalam rumah.
Sebelum abad ke-20, perayaan Sinterklaasfeest yang dirayakan setiap tanggal 6 Desember justru lebih ditunggu-tunggu oleh umat Kristen Belanda. Perayaan ini dianggap lebih khas karena nama “Santa Claus” sendiri berasal dari bahasa Belanda, yakni Sinterklaas.
Orang-orang Eropa merasa bahwa Natal tidak cocok untuk dirayakan di tanah koloni yang memiliki iklim tropis. Selain lingkungan yang tidak mendukung, gaya hidup terbuka yang umum di Hindia dianggap tidak sesuai untuk merayakan Natal yang menekankan keintiman keluarga.
Tidak hanya itu, semangat keagamaan di Hindia-Belanda dianggap belum begitu kuat. Kebanyakan orang lebih menyukai perayaan keagamaan di ruang publik, yang sangat berbeda dengan tradisi Natal orang Belanda yang menekankan kebersamaan keluarga di malam Natal. Menurut penilaian Pendeta J. L. Brinkerink di Semarang, merayakan aspek keagamaan di ruang publik dianggap tidak pantas dalam konteks perayaan Natal.
Kritik terbesar terhadap perayaan Natal datang dari orang Eropa “totok” yang bukan berasal dari Hindia-Belanda. Mereka merupakan minoritas di antara komunitas Eropa dan sering mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan budaya di koloni.
Di sisi lain, situasinya berbeda di kalangan orang Indo-Eropa, yang lahir dan dibesarkan di Hindia-Belanda. Mereka jarang menentang budaya Eropa yang tumbuh di wilayah tersebut. Sebaliknya, mereka aktif dalam mengembangkan budaya ini, termasuk dalam perayaan Natal.
Mereka tidak melihat Natal sebagai gambaran dingin dengan salju dan ketenangan seperti dalam tradisi Natal Eropa. Bagi mereka, Natal adalah perayaan di tengah pepohonan yang rindang, di jalanan yang panas, dengan pakaian putih, dan kadang-kadang disertai oleh rintik hujan tropis.
Euforia Menyambut Natal di Hindia-Belanda
Menjelang Natal, persiapan telah dimulai jauh-jauh hari. Para jemaat tampak sangat antusias dalam menghias dekorasi Natal di sekitar gereja Protestan.
Pada waktu ibadah, digunakan dua bahasa yang berbeda. Pagi hari, ibadah dilangsungkan dalam bahasa Belanda, sementara waktu lainnya menggunakan bahasa Melayu. Selama tiga dekade terakhir abad ke-19, paduan suara yang terdiri dari anak-anak sekolah atau yatim piatu sering tampil dalam acara gereja.
Di sisi lain, gereja-gereja Katolik dikenal dengan Misa Tengah Malamnya. Awalnya, Misa ini diadakan pada pukul lima atau enam pagi pada hari Natal, namun mulai tahun 1920-an, Misa Tengah Malam menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan gereja Katolik di Hindia-Belanda. Acara ini sering ditemani dengan musik polifonik yang selalu menarik perhatian masyarakat sekitar.
Pada tahun 1852, pohon Natal mulai diperkenalkan di Jawa setelah organisasi zending memasuki pulau ini. Meskipun dalam laporan perayaan Natal oleh penginjil Belanda pada tahun tersebut belum secara eksplisit menyebutkan pohon Natal, perayaan Natal yang diadakan oleh penginjil Jerman telah menampilkan penggunaan pohon Natal yang menarik perhatian murid-murid.
Pada perayaan yang diselenggarakan oleh persaudaraan kristiani yang dikirim dari Jerman oleh O.G. Heldring, para penginjil tersebut merayakan Natal bersama murid-murid dari komunitas bumiputra dan Tionghoa di sekolah-sekolah Zending. Dalam perayaan tersebut, pohon Natal menjadi pusat perhatian, disertai dengan pembagian hadiah serta nyanyian lagu Jerman dan Melayu yang sering kali diiringi oleh kecapi.
Bagi para penginjil Jerman, pohon Natal memiliki makna sebagai simbol kemuliaan Tuhan, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perayaan di negara asal mereka. Penggunaan pohon Natal kemudian diadopsi di Hindia-Belanda dan menjadi fokus utama kegiatan Natal, mulai dari pembagian hadiah hingga saat pembacaan cerita kepada anak-anak.
Kemudian, kabar tentang penggunaan pohon Natal mulai tersebar di kalangan penginjil. Secara bertahap, mereka mulai mengadopsi tradisi ini. Pada tahun 1857, contohnya, sebuah pohon Natal dipasang di rumah penginjil M. Teffer di Allang, Ambon. Dua tahun setelahnya, penginjil P. Jansz juga menggunakan pohon Natal dalam perayaan Natal di Jepara.
Seperti yang dilakukan oleh penginjil Jerman, kegiatan pembagian hadiah diadakan di sekitar pohon Natal. Murid-murid dari sekolah Kristen dengan penuh antusias berkumpul untuk menerima hadiah. Pada saat acara berlangsung, pidato pendeta tentang makna Natal hampir tidak terdengar karena perhatian mereka sepenuhnya terfokus pada pohon Natal.
Perayaan dengan pohon Natal tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi juga di panti asuhan seperti Panti Asuhan Djatti di Batavia pada tahun 1859. Di sini, pohon Natal dipasang dengan dekorasi lengkap dan bagi anak-anak di panti asuhan, pohon tersebut dianggap sebagai simbol kasih dari Kristus.
Baca juga: Making Useful Citizens: Kehidupan Anak-Anak Panti Asuhan di Batavia
Berkat upaya para pendeta Jerman, penggunaan pohon Natal perlahan menyebar ke seluruh Jawa. Namun, karena kesulitan mendapatkan pohon pinus di Hindia-Belanda, masyarakat mulai menggantinya dengan pohon cemara.
Dalam waktu singkat, pohon cemara muda menjadi sangat populer menjelang Natal. Popularitas ini terlihat dari banyaknya iklan pohon cemara dan hadiah Natal yang muncul di surat kabar Hindia-Belanda pada bulan Desember. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan pohon cemara sebagai simbol Natal menjadi sebuah tradisi yang terus berkembang.
Pemandangan pohon Natal yang terang dan dihias sering kali mengundang kekaguman penduduk bumiputra. Meskipun awalnya mereka mengira acara Natal seperti pesta rakyat dengan gamelan dan pertunjukan wayang, mereka kemudian menyadari bahwa perayaan Natal adalah sesuatu yang baru dan berbeda bagi mereka.
Pada sebuah pertemuan penginjil di Jawa Barat pada tahun 1933, muncul pertanyaan mengenai pandangan orang Sunda dan Tionghoa terhadap pohon Natal. Para hadirin setuju bahwa orang Sunda dan Tionghoa melihat pohon Natal sebagai “berhala umat Kristiani yang disembah setiap tahun”.
Meskipun demikian, pemandangan yang mencolok dari pohon Natal tetap menarik minat penduduk setempat, sehingga keberadaannya juga berperan sebagai alat kristenisasi. Bagi penduduk bumiputra yang baru memeluk agama Kristen, perayaan Natal yang meriah dianggap sebagai pengganti perayaan keagamaan mereka sebelumnya. Pada saat yang sama, ini juga memperkuat persaudaraan antar kelompok di jemaat-jemaat yang masih relatif kecil.
Baca juga: Kiai Sadrach dan Penyebaran Agama Kristen di Jawa
Seiring berjalannya waktu, perayaan Natal berubah dari acara rumahan menjadi acara yang bertujuan membantu anak-anak miskin dan terlantar. Pada abad ke-20, pesta Natal untuk anak-anak terlantar secara rutin diadakan di Batavia, didanai oleh golongan kelas menengah Eropa dan dihadiri oleh ratusan anak. Pembagian hadiah juga menjadi bagian dari acara di bawah pohon Natal yang besar.
Dengan meningkatnya tradisi pembagian hadiah dan pembatasan Sinterklaasfeest pada abad ke-20, Sinterklas juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari Natal. Pada dekade 1920-an, gambar Sinterklas mulai sering digunakan dalam iklan, cerita anak-anak, dan bahkan di toko-toko.
Referensi
De Locomotief 24-12-1929
De Preanger’-Bode 24-12-1919.
Gouda, F. (2008). Dutch culture overseas: Colonial practice in the Netherlands Indies, 1900-1942. Equinox Publishing.
Groeneboer, K. (1993). Weg tot het Westen: het Nederlands voor Indië 1600-1950: een taalpolitieke geschiedenis. Leiden.
Helsloot, J. I. A. (1999). Kerstboom en kerstviering op koloniaal Java (1852-ca. 1941). In De discipline van het dagelijks leven. Themanummer Volkskundig Bulletin (pp. 235-259). Meertens Instituut/Uitgeverij SUN.
Reenders, H. (1991). Alternatieve zending: Ottho Gerhard Heldring (1804-1876) en de verbreiding van het christendom in Nederlands-Indië. Kok.
Soerabaiasch-Handelsblad 24-12-1923.
Soerabaiasch-Handelsblad 28-12-1935.