Pembangunan jalur kereta api di Jawa pada paruh kedua abad ke-19 tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi juga merangsang tumbuhnya praktik prostitusi. Praktik prostitusi tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan tenaga kerja di sekitar rel kereta api.
Sayangnya, peningkatan kegiatan ini tidak diimbangi dengan regulasi yang ketat dan pengawasan kesehatan yang efektif. Akibatnya, prostitusi di sepanjang rel kereta api malah menjadi salah satu biang penyebaran penyakit kelamin kala itu.
Proyek Pembangunan Rel Kereta Api
Kehadiran transportasi kereta api di Jawa tidak dapat dipisahkan dari penerapan sistem tanam paksa atau cultuurstelsel pada tahun 1830. Melalui sistem ini, pertanian tanaman ekspor didorong dengan intensitas tinggi hingga mencapai jumlah produksi yang belum pernah tercapai di era sebelumnya.
Seiring dengan peningkatan produksi pertanian yang perlu diangkut ke Semarang, pelabuhan ekspor utama pada waktu itu, kebutuhan akan transportasi yang lebih efisien menjadi semakin mendesak.
Pada tahun 1840-an, muncul ide untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan untuk memperpendek waktu pengangkutan hasil perkebunan dari Jawa Tengah ke Pelabuhan Semarang.
Berbagai usulan diajukan, dan akhirnya, dipilih gagasan untuk membangun rute Tanggung–Semarang, yang menghubungkan wilayah selatan dan utara pulau Jawa. Rute ini dianggap strategis karena memiliki lalu lintas yang tinggi dan dianggap cocok untuk meningkatkan daya angkut jalur perdagangan.
Pembangunan jalur kereta api Semarang–Tanggung dilakukan oleh pihak swasta melalui konsesi. Pada tahun 1862, perusahaan kereta api Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), yang diwakili oleh W. Poolman, A. Fraser, dan E.H. Kol, mengajukan konsesi yang kemudian disahkan melalui Gouvernements Besluit Decrees pada 28 Agustus 1862.
Pembangunan jalur kereta api Semarang–Tanggung secara resmi dimulai pada Juni 1864. J.P. de Bordes ditunjuk sebagai kepala insinyur pembangunan proyek ini, sedangkan para pekerjanya dibayar dengan sistem gaji.
De Bordes sangat puas dengan kinerja para kuli Jawa. Walupun para kuli Jawa ini tidak memiliki pendidikan formal, tetapi mereka mampu menghasilkan pekerjaan berkualitas tinggi.
Selama pembangunan jalur kereta api, perusahaan NISM mengalami defisit anggaran yang signifikan. Pada tahun 1866, NISM mencoba menawarkan sahamnya di pasar modal, tetapi tidak mendapat sambutan positif dari para investor. Akhirnya, pemerintah Belanda terpaksa memberikan pinjaman dana talangan sebesar 4 juta gulden untuk menyelesaikan proyek tersebut.
Pembangunan jalur kereta api pertama di Hindia-Belanda ini memakan waktu tiga tahun, dan pada tanggal 10 Agustus 1867, jalur kereta api Semarang-Tanggung diresmikan. Peresmian ini menjadikan Hindia-Belanda sebagai koloni kedua setelah India yang memiliki jalur kereta api.
Pembangunan rel kereta semakin gencar dilakukan pasca disahkannya Agrarische Wet pada 1870. Peraturan baru ini membuka pintu bagi investasi dari pengusaha Eropa ke sektor perkebunan di Hindia-Belanda.
Dalam waktu singkat, produksi gula meningkat dua kali lipat antara tahun 1870 dan 1885. Bersamaan dengan diperkenalkannya tanaman budidaya baru seperti the kina, dan karet; pendapatan koloni mengalami lonjakan yang fantastis. Sebagian dari keuntungan ini diinvestasikan untuk membangun jaringan rel kereta api.
Pembangunan jalur kereta pada akhirnya tidak hanya dilakukan oleh NISM, tetapi juga oleh negara kolonial melalui Staatsspoorwegen (SS) yang didirikan pada 6 April 1875. Pembangunan infrastruktur kereta yang dilakukan oleh SS jauh lebih masif dibandingkan dengan NISM. Pada tahun 1894, perusahaan ini berhasil menghubungkan pulau jawa dari Batavia hingga Surabaya.
Munculnya Praktik Prostitusi
Seiring dengan gelontoran dana investasi dan gencarnya pembangunan jalur kereta api, jumlah tenaga kerja yang didatangkan menjadi signifikan.
Seperti halnya dengan kuli perkebunan, para pekerja rel kereta api juga membutuhkan kehadiran perempuan penghibur, yang pada waktu itu dianggap sebagai hiburan utama. Menurut laporan Mindere Welvaart, selalu ada keterkaitan antara pembangunan jalur kereta api dengan lonjakan jumlah pekerja seks.
Bagi pemerintah kolonial, kehadiran pekerja seks di seputar proyek infrastruktur justru dipandang menguntungkan. Hubungan antara keduanya bisa diibaratkan sebagai simbiosis mutualisme.
Adanya layanan seksual dianggap dapat menjadi bentuk hiburan atau pelampiasan yang dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis pekerja dan pada gilirannya, berpotensi meningkatkan produktivitas mereka. Dalam pandangan ini, layanan seksual dianggap sebagai bagian dari insentif non-finansial yang dapat memotivasi pekerja. Di sisi lain, uang yang diperoleh para pekerja dapat tersalurkan untuk membayar prostitusi.
Para pekerja seks ini bermigrasi dari berbagai penjuru pulau Jawa dan menjajakan dirinya di sekitar rel kereta api dan stasiun. Umumnya, mereka masih berusia muda, tetapi tidak sedikit di antara mereka yang sudah berkeluarga dan terpaksa menjajakan diri karena kebutuhan ekonomi.
Dalam riset yang dilakukan oleh Minderee Welvaart, terdapat beberapa faktor tambahan yang mendorong peningkatan praktik prostitusi, seperti tingginya jumlah perempuan, pengaruh Barat, aspirasi hidup yang mewah, perantauan suami, dan perceraian dini. Temuan ini didasarkan pada hasil survei di berbagai wilayah, seperti Cianjur, Sumedang, Limbangan, Cirebon, Banyumas, Madiun, Tulungagung, Blitar, dan Malang.
Para germo sangatlah sentral dalam praktik prostitusi. Mereka bahkan terjun hingga ke pedesaan untuk mencari “kembang desa” yang potensial untuk dijadikan pekerja seks. Sesampainya di kota, para kembang desa ini dilatih sedemikian rupa untuk memuaskan konsumennya.
Meskipun pembangunan rel kereta api selesai, praktik prostitusi di sekitar stasiun tidaklah meredup. Sebaliknya, praktik ini malah semakin menjamur, terutama di kota-kota besar yang dilalui jalur kereta.
Prostitusi di sekitar stasiun pada umumnya diramaikan oleh para penumpang hidung belang yang bepergian jauh dari keluarganya dan merasa kesepian. Mereka dipandang sebagai sumber pendapatan yang menjanjikan bagi para pekerja seks. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan untuk mendirikan rumah bordil di sekitar stasiun. Beberapa kompleks pelacuran ini bahkan masih beroperasi hingga sekarang.
Praktik prostitusi di seputar rel kereta identik dengan tarif yang murah, yang pada akhirnya menarik masyarakat kelas bawah sebagai pelanggan utama. Namun, tarif murah ini juga membawa risiko, terutama terkait dengan penyebaran penyakit kelamin.
Pemerintah kolonial saat itu sulit melakukan kontrol penuh terhadap praktik prostitusi di sekitar stasiun. Meskipun upaya pemeriksaan medis dilakukan dengan menerjunkan para dokter Jawa, tetapi banyak pekerja seks yang memilih untuk menghindarinya.
Dengan kondisi kesehatan yang tidak terjamin, banyak dari mereka tanpa sadar ternyata menderita penyakit kelamin. Akibatnya, mereka justru menciptakan lingkungan penyebaran penyakit ini.
Baca juga: Penyebaran Penyakit Kelamin di Hindia-Belanda
Para pekerja seks yang terlanjur terkena penyakit kelamin seringkali tidak memiliki banyak pilihan. Biaya pengobatan penyakit kelamin tidak bisa dibilang murah dan efektif. Sementara banyak rumah sakit yang tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk merawat penderita penyakit kelamin.
Di salah satu rumah sakit di Batavia, terdapat data yang cukup mencengangkan terkait penyakit kelamin. Dari 100 penderita sifilis yang dirawat, sekitar 75 pasien memilih meninggalkan rumah sakit lebih awal. Mereka beralasan pengobatan di rumah sakit lambat dan tidak efektif, sedangkan mereka harus bekerja untuk menghidupi keluarganya.
Bibliografi
Falah, M., Herlina, N., Muhsin, M., & Sofianto, K. (2018). The Position of Railway Lines and Railway Stations in Priangan Urban Spatial Planning in The 19th to 20th Centuries. Paramita: Historical Studies Journal, 28(1), 50-59.
Hull, T. H. (2017). From concubines to prostitutes. a partial history of trade in sexual services in indonesia. Moussons. Recherche en sciences humaines sur l’Asie du Sud-Est, (29), 65-93.
Lim, L. L. (Ed.). (1998). The sex sector: The economic and social bases of prostitution in Southeast Asia. International Labour Organization.
Mindere Welvaart Commissie. “Onderzoek Naar de Mindere Welvaart der Inlandsche Bevolking op Java en Madoera: Residentie Banjoemas”. 7X. Weltevreden: F.B. Smits, 1908.
________________________. “Onderzoek Naar de Mindere Welvaart der Inlandsche Bevolking op Java en Madoera: Verhaffing van de Inlandsche Vrouw”. IX b3. Batavia: Papyrus, 1914.
Rodríguez, D. C. (2023). The Pearl of the East: The Economic Impact of the Colonial Railways in the Age of High Imperialism in Southeast Asia. Springer Nature.
Sulistyani, H. (2022). The evolution of railway station architecture in Java. Journal of Asian Architecture and Building Engineering, 1-9.