Resolusi Jihad Laskar Hizbullah Yogyakarta dalam Mempertahankan Kemerdekaan

 ketua masyumi

Umat Islam banyak memberikan kontribusi dalam berbagai hal untuk bangsa ini. Salah satunya adalah dengan melakukan usaha-usaha untuk melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan. Berbagai organisasi Islam tumbuh dan berkembang dengan subur. Organisasi-organisasi Islam yang ada terhimpun dalam Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi) sebagai lembaga resmi persaudaraan permusyawaratan persatuan Umat Islam yang memiliki cita-cita bersama untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, yang di dalamnya terdapat kumpulan berbagai tokoh dan organisasi Islam, seperti Muhammadiyah, Nahdlotul Ulama (NU), Persis, Al Wasliyah, dan sebagainya. Salah satu upaya yang dilakukan umat Islam untuk mencapai kemerdekaan Indonesia tidak hanya melalui organisasi. Salah satunya dengan membentuk pasukan khusus yang terdiri dari para pemuda dari berbagai Indonesia untuk ambil bagian dalam memperjuangkan kemerdekaan.

masyumiMuhammadiyah_Logo.svgLogo-Nahdlatul-Ulama-Lilitan-Tambang-99-buahlambang-pemudi-persis-1

Para ulama berperan aktif membantu Indonesia untuk merdeka, salah satu siasat para ulama yang tergabung dalam organisasi Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi) adalah membentuk pasukan khusus atau angkatan perang yang terlatih. Para ulama meminta pada pemerintahan Jepang untuk membentuk pasukan yang diberi nama Hizbullah. Pada waktu itu, Jepang sedang dalam kondisi terdesak karena banyak mengalami kekalahan di front perang. Para ulama memanfaatkan kondisi tersebut dan memberi penawaran kepada Jepang bahwa dibentuknya pasukan Hizbullah untuk membantu Jepang melawan pihak sekutu. Jepang pun menerima tawaran tersebut. Maka secara resmi terbentuklah Hizbullah pada tanggal 14 September 1944 di Jakarta. Tujuan didirikan Hizbullah pada hakikatnya adalah untuk membantu memenangkan perang Asia Timur Raya sebagai cadangan PETA, dan usaha membentuk masyarakat baru sebagai hamba Allah yang berbakti dan taat kepada nusa dan bangsa.[1]

Pasukan Hizbullah biasa dikenal dengan sebutan Laskar Hizbullah. Pasukan ini terdiri dari para pemuda Islam yang berasal dari seluruh Indonesia mewakili beberapa daerah. Para pemuda tersebut dilatih secara militer di Cibarusa dan kemudian diberi tugas untuk membentuk Laskar Hizbullah di daerahnya masing-masing. Laskar Hizbullah kemudian berkembang pesat, dan menjadi kekuatan bersenjata umat Islam bangsa Indonesia untuk kemerdekaan dan mempertahankan NKRI.

Proses Berdirinya Hizbullah di Yogyakarta

603400_364523186953482_1976119170_n

Eksistensi Laskar Hizbullah di Jakarta banyak memberikan inspirasi pada umat Islam diberbagai daerah untuk mengikuti jejaknya. Salah satunya adalah Yogyakarta, Umat Islam Yogyakarta menyambut baik berdirinya Hizbullah sehingga pada tanggal 3 Oktober 1944 dibentuklah Hizbullah Daerah Yogyakarta yang diketuai oleh H. Wasir Nuri. Rekruitmen anggota Hizbullah sedikit berbeda dengan Hizbullah yang ada di Jakarta. Rekruitmen anggota baru dilakukan melalui perantara tokoh-tokoh Muhammadiyah, NU, lembaga pendidikan yang ada, seperti Madrasan Mu’alimin, sekolah-sekolah Muhammadiyah dan juga dari pondok pesantren di sekitar Yogjakarta, melalui guru agama dan para muballigh dari Bantul, Sleman, Kulon Progo, dan Gunung Kidul.

Para pemuda yang mendaftar sebagai anggota Hizbullah Yogyakarta berasal dari berbagai organisasi Islam, antara lain dari Muhammadiyah dan Nahdlotul Ulama (NU) sebagai berikut:

1). Pemuda yang berasal dari Muhammadiyah antara lain; Bakri Syahid, Muhammad Nazar, Rustam, Hajun, Hartono, Waston Sujak, Bachron Edrees, Syaifullah Asmuni, dan para pelajar Mu’alimin Muhammadiyah Patangpuluhan serta Mu’alimin Muhammadiyah Wal Fajri Karanganyar Yogyakarta.

2). Pemuda dari kalangan NU antara lain; Mujab, Badawi dan Mardiono.

Motivasi mereka bergabung dengan Hizbullah, pada umumnya untuk berjihad karena Allah SWT dalam rangka membebaskan tanah air dari penjajahan, dengan semangat khubbul wathon minal Iman (cinta tanah air itu sebagian dari Iman).

Rekruitmen anggota Hizbullah di Yogyakarta berlangsung secara ketat dan melalui berbagai tes pengetahuan dan pengamalan Agama Islam, kesehatan dan keterampilan fisik. Adapun hasil dari seleksi tersebut sebagai berikut:

 Angkatan pertama

No

Asal

Jumlah

1.

Yogyakarta

10

2.

Sleman

3

3.

Gunung Kidul

2

4.

Kulon Progo

2

5.

Bantul

3

6.

Pakualaman

3

7.

Adikerta

2

Sebelum adanya peraturan yang melebur laskar-laskar dan barisan bersenjata ke dalam TNI, Hizbullah proaktif bekerja sama dengan BKR-TKR untuk mempertahankan kedaulatan RI. Berikut ini kisah pasukan Hizbullah Divisi Sultan Agung Yogyakarta dalam kancah perjuangan melawan Belanda.

a). Pertempuran Ambarawa ( Palagan Ambarawa )

Pada tangal 21 November 1945, pukul 09.00 atas desakan dan serangan pasukan yang dipimpin oleh Jendral Sudirman, Sekutu mundur menuju ke Semarang. Mundurnya Sekutu juga membuat onar di Ambarawa, yang kemudian meletus perang besar, Palagan Ambarawa. Perang itu memancing hadirnya solidaritas dari berbagai tempat, termasuk dari Yogyakarta. Pasukan TKR, Hizbullah, dan laskar lainnya berduyun-duyun menuju Ambarawa, dan mengepung kota itu. Hizbullah Yogyakarta mengirim Batalyon Bachron Edrees, yang ditempatkan di bagian barat Ambarawa, tepatnya di desa Jambu dan Banyubiru. Meskipun daerah basis Hizbullah Daerah Yogyakarta di Jambu dan Banyubiru, namun siasat dan gerakan perang gerilyanya selalu berpindah-pindah.

ambarawa

Dikisahkan pengepungan Ambarawa, dari arah selatan ditempatkan pasukan gabungan dari Surakarta dan Salatiga; dari utara pasukan dari Kedu dan Ambarawa sendiri; dari timur dari devisi IV BKR Salatiga. Adapun pihak sekutu dan Belanda bermarkas di Hotel Van Rheeden, dan mendirikan pos di kompleks Gereja jalan Margo Agung, serta pos-pos militer di perkebunan-perkebunan, untuk menahan serangan gerilya dari barat dan selatan. Akan tetapi pos-pos itu berhasil direbut para gerilyawan Indonesia, sehingga hubungan komunikasi pihak sekutu hanya dapat lewat udara. Pasukan Hizbullah pimpinan Bachron Edrees setelah sebulan di front Ambarawa, kemudian ditarik mundur, digantikan oleh pasukan yang dipimpin oleh Khudhori. Dalam pertempuran Palagan Ambarawa, meskipun pihak Indonesia berhasil mendesak Sekutu dan Belanda hingga mundur ke Semarang, namun dalam perang itu banyak menelan korban. Khudhori komandan pasukan Hizbullah menderita luka-luka, sedangkan yang gugur di pihak Hizbullah dari Yogyakarta sebanyak 2 orang, yaitu Muchammad Asief dan Muchammad Djirhas, keduanya dimakamkan di makam Syuhada’ Kauman Yogyakarta.

b). Pertempuran Mranggen ( Timur Semarang )

Gerakan selanjutnya diarahkan untuk mengepung kota Semarang, sebagai front perjuangan melawan kolonial dalam rangka mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan RI. Dalam pengepungan Semarang, dari Yogyakarta dikirim pasukan Hizbullah batalyon Basuni, untuk membatu TRI yang ditempatkan di daerah Mranggen sebelah timur Semarang. Pasukan lainnya ditempatkan di Srondol selatan Semarang, dan Kaliwungu di barat Semarang. Komandang Kompi Hizbullah yang ditempatkan di Mranggen adalah Bachron Edrees, dan sebagai komandan-komandan regunya antara lain Mohammad Diponegoro (seniman); Masduqi, Badawi dan Rebo.

seamrang

Alasan mengapa Semarang dikepung, dan selalu diadakan serangan gerilya ke dalam kota, karena Sekutu tidak beriktiqat baik terhadap bangsa Indonesia, dan jelas-jelas cenderung membatu Belanda untuk menguasai Indonesia kembali. Sebagai bukti antara lain: Pertama, Pasukan KNIL Belanda difasilitasi masuk Semarang dengan membawa persenjataan yang lengkap, pada bulan Mei 1946 seluruh Brigade tentara NICA mendarat dan mengambil posisi menguasai Semarang. Kedua, selanjutnya pada tangal 17 Mei 1946 telah dilangsungkan upacara serah terima komando pendudukan dari Brigade Darling (Inggris) kepada Kolonel Van Langen Komandan Brigade T KNIL (Belanda), sehingga resmilah Semarang dikuasai oleh Belanda. Dengan berkuasanya NICA di Semarang akan melancarkan jalan untuk menghancurkan Republik Indonesia. Kejadian ini semakin meningkatkan semangat bangsa Indonesia untuk mengadakan gerakan ofensif menyerang kanthong-kanthong Belanda di Semarang. Perang gerilya semakin meningkat, pada tanggal 25 Mei 1946 di sektor Jatingaleh selatan Semarang para gerilyawan gencar menembakkan mortir. Para pejuang Indonesia juga menyerbu sektor barat Semarang, hingga berhasil menduduki Lapangan Terbang Kalibanteng. Pasukan Hizbullah dari daerah Yogyakarta, yang dipimpin oleh Bachron Edrees juga berhasil mengacaukan dan menahan kedudukan Belanda di Front Timur Semarang, sehingga tidak mngembangkan kekuasaannya. Kompi Hizbullah Jogjkarta yang dipimpin oleh Bachron Edrees ini tugas di Mranggen selama 2 bulan, kemudian digantikan oleh kompi Hizbullah dari Jogjakarta juga yang dipimpin oleh Khudhori yang tiba pada tanggal 2 September 1946.

Rupanya pihak NICA setelah kuat, kemudian ingin mengembangkan kekuasaannya, dan menembus kepungan para gerilyawan dari RI. Pada tangal 11 Oktober 1946, pukul 16.00 pihak Nica Belanda mengadakan serbuan ke front Timur Semarang. Serbuan ini dilawan oleh pasukan Hizbullah kompi Khudhori, terjadilah perang frontal. Kekuatan pasukan Belanda lebih banyak, dan memang dikerahkan untuk menembus Timur Semarang, maka kompi Hizbullah Yogyakarta ini terpaksa mundur. Dalam pertempuran itu 17 anggota Hizbullah gugur, sedangkan komandannya yaitu Khudhori luka parah tertembak dan ditusuk bayonet. Jenazah yang gugur itu dimakamkan di makam Syuhada’ Kauman (di lingkungan Masjid Gedhe Yogyakarta ). Selain itu pasukan Hizbullah yang pulang dari Mranggen juga ada yang sakit terkena Malaria Tropika, diantaranya Muhammad Adnan, yang sesampainya di Yogyakarta kemudian wafat, dan dimakamkan di tempat yang sama.[1]

c). Pertempuran Srondol

Hizbullah Yogyakarta juga mengirim sebagian dari kompi Rebo, untuk membantu menahan serbuan Nica Belanda yang akan meluaskan wilayahnya ke selatan. Pada tanggal 4 Juli 1946 terjadi pertempuran, dalam pertempuran itu pihak Nica Belanda mengerahkan pasukan ateleri dan dibantu oleh pesawat tempur udara. Pihak RI yang di dalamnya terdapat kompi Hizbullah Yogyakarta terpaksa mundur ke Banyumanik. Dalam pertempuran Srondol ini anggota Hizbullah yang gugur 2 orang, yaitu Ahmad Dahlan bin Hilal (cucu KHA Dahlan) dan Hajid bin Jalil, keduanya juga dimakamkan di makam Syuhada’ Kauman Yogyakarta.

Adanya Perundingan Lingga Jati, maka untuk sementara waktu perang dihentikan, maka pasukan Hizbullah Yogyakarta ditarik kembali ke Yogyakarta. Penetapan pemerintah yang diputuskan tanggal 3 Juni 1947 tentang berdirinya TNI, maka sebagian barisan Hizbullah dan sabililah di Yogyakarta meleburkan diri kedalam TNI cabang Yogyakarta yang bernama Resimen 42 Ontowiryo. [2]

528112_364524060286728_1140132395_n

Pada tanggal 21 Juli 1947 terjadi Agresi Belanda pertama, yang menyebabkan beberapa daerah di Jawa Tengah diduduki Belanda. Keadaan ini mengakibatkan munculnya keprihatinan pada diri para ulama di DIY yang memprakasai berdirinya APS (Askar Perang Sabil) dan MUAPS (Markas Ulama Askar Perang Sabil). Keprihatinan para ulama Yogyakarta itu menyadarkan diri mereka untuk ikut berpartisipasi dalam mempertahankan Negara RI. Hal ini mendorong empat puluh ulama Yogyakarta untuk menjalankan ibadah I’tikaf di Masjid Taqwa yang terletak dikampung Suronatan Yogyakarta. Keputusan yang diambil oleh para ulama setelah mengadakan musyawarah dalam masjid itu pada tanggal 23 Juli 1947 ialah membuat wadah bagi pemuda-pemuda Islam di DIY, baik yang berasal dari kalangan masyarakat maupun pemuda-pemuda Islam bekas laskar Hizbullah dan Sabilillah. Wadah itu diberi nama Markas Ulama Askar Perang Sabil (MUAPS) dan pasukkan bersenjatanya diberi nama Askar Perang Sabil (APS). [1]

Untuk merealisasikan keputusan itu, diutus beberapa ulama menghadap Sri Sultan Hamengku Buwana IX (sebagai Mentri Pertahanan) dan Panglima Besar Sudirman(pimpinan TNI), untuk minta dispensasi agar diizinkan mendirikan laskar Angkatan Perang Sabil (APS). Mengingat Wilayah RI semakin terdesak, dan Yogyakarta sebagai ibukota RI semakin terancam agresi Belanda, serta dapat memahami iktikat baik umat Islam Yogyakarta, maka Sri Sultan Hamengku Buwana IX, dengan persetujuan Panglima Besar Sudirman, mengabulkan permohonan para ulama Yogyakarta yang disampaikan oleh H. Ki Bagus Hadikusuma.

Sri-Sultan-HB-IX-bw-253x300

Peranan Ulama dalam Memobilisasikan Kekuatan

Seorang pemimpin agama dalam masyarakat Indonesia, khususnya Yogyakarta, sejak pendudukkan Jepang memiliki kebebasan dalam memobilisasi massa. Ketrampilan dalam memobilisasikan massa diperoleh dari pendidikan militer yang diberikan Jepang yang sebenarnya disiapkan guna menambah kekuatan perang didalam usaha untuk memenangkan perang melawan sekutu. Namun, ternyata justru pendidikan militer yang diberikan Jepang digunakan sebagai sarana untuk memenangkan perang, baik terhadap Jepang sendiri maupun Belanda yang datang hendak mengambil alih kekuasaan di Indonesia.

Adanya pemimpin kharismatik yang terdiri atas para ulama Yogyakarta yang memegang peranan penting dan memiliki pengaruh serta wibawa yang kuat terhadap masa rakyat menyebabkan mudahnya tersusunya kekuatan. Para ulama dengan menyebarkan ideologi nasional berusaha membangkitkan semangat juang rakyat agar menjadi lebih kuat dalam menghadapi Belanda. Strategi yang ditempuh para ulama dalam membangkitkan semangat juang adalah menumbuhkan kemauan yang keras untuk melawan Belanda dengan didasarkan pada al-quran dan al-hadis. Strategi ini dilakukan para ulama dengan harapan agar kalangan rakyat muncul keberanian yang memungkinkan orang rela mengorbankan jiwa dan raga guna mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Para ulama mulai memobilisasikan massa sehari setelah pembentukan MUAPS dan APS di Yogyakarta disahkan. Massa rakyat yang terdiri atas berbagai kelompok sosial, yaitu pemuda pedagang, pemuda petani, pemuda bekas pasukkan Hizbullah dan Sabililah, pemuda dari kelompok pesantren, para wanita Aisyiah dikumpulkan di masjid besar Kauman Yogyakarta untuk diberi khotbah para kyai tentang semangat kemerdekaan yang berkaitan dengan semangat jihad fi sabililah untuk mempertahankan Negara dari kesatuan Belanda.

Khotbah-khotbah yang berisikan semangat jihad fisabililah dan semangat kemerdekaan itu ternyata dapat menambah keberania rakyat melawan Belanda dan dapat memperkuat masyarakat, hal ini memudahkan para ulama untuk menyusun kekuatan. Pada awal mulanya mobilisasi anggota APS disekitar DIY yang mengambil tempat dipondok pesantren, dimasjid, dan disekolahan dilakukan oleh kyai Badawi, Abdul Aziz, R. Hadjid. Di kabupaten Bantul mobilisasi anggota APS diadakan dilanggar atau mushola Al-Huda, masjid Jami’, masjid Bedekan di kecamatan Bantul, pesantren Krapyak, pesantren Ngrukem, dan pesantren Kauman Gresikan dikecamatan Pandak. Adapun di kabupaten Kulon Progo mobilisasi anggota APS diadakan di langgar Kedundang, Bendungan, masjid Giri Peni, masjid Klayonan, sedangkan di Sleman langgar yang digunakan untuk memobilisasikan anggota APS yaitu milik Khariz di Kedungbanteng. Dalam perkembangaya mobilisasi anggota APS dilakukan dengan perantara para kyai, guru-guru agama, dan okoh-tokoh Muhammadiyah di DIY.[1]

Daftar Pustaka

 Sihabuddin Ade, Peranan Askar Perang Sabil dalam Usaha Mempertahankan     Kemerdekaan Indonesia di Yogyakarta ( 1947-1949 ). “ Skripsi Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, 2008.

http://adabydarban.blogspot.com/2012/04/santri melawan kolonial diakes pada tanggal 07/11/2014.

Tashadi. Sejarah Perjuangan Hizbullah Sabillilah Divisi Sunan Bonang. Surakarta: Yayasan Bhakti Utama, 1997.

Yarid Qasim Koko, Himpunan Hadis-hadis Dlo’if. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1979.

[1] Tashadi, Sejarah Perjuangan Hizbullah Sabillilah Divisi Sunan Bonang, ( Surakarta: Yayasan Bhakti Utama, 1997 ). Hlm. 29

[2] Ade Sihabuddin, Peranan Askar Perang Sabil dalam Usaha Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Yogyakarta 1947-1949. ( Skripsi Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, 2008 ), hlm. 31

[3]A. Yarid Qasim Koko, Himpunan Hadis-hadis Dlo’if ( Surabaya: PT Bina Ilmu, 1979 ), hlm. 347

[4] http://adabydarban.blogspot.com/2012/04/santri melawan kolonial diakes pada tanggal 07/11/2014

[5] Ade Sihabuddin, Peranan Askar Perang Sabil dalam Usaha Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Yogyakarta 1947-1949, ( Skripsi Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, 2008 ), hlm. 22.

[6] . Ade Sihabuddin, Peranan Askar Perang Sabil dalam Usaha Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Yogyakarta 1947-1949. ( Skripsi Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, 2008 ), hlm. 23

[7]Ibid, hlm. 33-37

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *