Sebelum nama Liem Sioe Liong berkibar di belantika bisnis Indonesia, Oei Tiong Ham lebih dulu mengukir namanya sebagai konglomerat Tionghoa yang disegani. Melalui perusahaan konglomerasi Oei Tiong Ham Concern (OTHC), ia sukses mengembangkan jaringan bisnis gula di wilayah Asia Tenggara. Kisah bisnisnya begitu melegenda. Namun, di balik semua itu Oei Tiong Ham tidak merengkuh kesuksesan secara instan, tetapi melalui profesionalitas dan keuletan dalam mengelola bisnisnya.
Bagaimana Oei Tiong Ham Merintis Bisnisnya?
Kisah bisnis Oei Tiong Ham berawal dari kota Semarang. Sebuah kota pelabuhan yang pada abad ke-19 dianggap sebagai kota perdagangan terbesar di Jawa.
Di kota ini roda perekonomian berputar begitu cepat. Lewat pelabuhan Semarang, komoditas ekspor dipersiapkan untuk dikirim ke luar negeri, sedangkan produk luar negeri juga masuk untuk didistribusikan ke wilayah Jawa.
Kala itu, Semarang menjelma sebagai magnet yang menarik para pendatang Tionghoa untuk mengadu nasibnya. Salah satu pendatang Tionghoa itu adalah Oei Tjie Sien (Ayah Oei Tiong Ham), yang datang dari Tong-an, Distrik Quanzhou, Provinsi Fukien.
Sekitar tahun 1858, ia memutuskan untuk mencari peruntungan di kota tersebut, sebagai pedagang kecil-kecilan. Dengan menggunakan sebatang bambu, dirinya menjajakan piring dan mangkuk porselen murah dari pintu ke pintu.
Upayanya ini tidaklah sia-sia, pelan tapi pasti Tjie Sien mampu mengumpulkan modal mengembangkan usahanya. Pada 1863, ia mendirikan perusahaan dagang Kian Gwan.
Keberuntungan menyertai langkahnya dalam merintis Kian Gwan, karena tidak lama berselang, pemerintah kolonial mengesahkan Hukum Agraria 1870 yang menandai dibukanya pintu investasi swasta ke koloni.
Dampaknya, perdagangan di Jawa mengalami transformasi yang dramatis, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang muncul sebagai pusat produksi gula dunia.
Tjie Sien berhasil mengambil keuntungan dari kebijakan ini dan dalam beberapa dekade berikutnya, Kian Gwan menjelma sebagai sebuah perusahaan perdagangan yang disegani.
Namun, ayahnya tidak serta merta mewariskan perusahaannya kepada Tiong Ham. Ia baru mengelola Kian Gwan secara penuh setelah ayahnya meninggal pada 1900, sebelum itu Tiong Ham harus bersusah payah merintis bisnisnya.
Meskipun memiliki hubungan darah, keduanya memiliki pandangan hidup dan metode bisnis yang bertentangan. Tjie Sien dikenal masih menganut nilai bisnis tradisional Tionghoa, sedangkan Tiong Ham lebih menyukai manajemen bisnis modern.
Menurut keturunannya, modal Tiong Ham didapatkan dari sumbangan pensiunan konsul Jerman yang menyewa rumah Tjie Sien. Pria itu terkesan dengan kemampuannya dan menawarkan 300.000 gulden untuk modal bisnis. Uang itu lalu digunakan untuk membeli pabrik gula pada pertengahan 1890-an.
Kendati demikian, Howard Dick (1993) menyebutkan kalau modal Tiong Ham sebenarnya diperoleh dari perdagangan opium yang dikelolanya. Lewat perdagangan opium yang dilakukan antara 1893–1908, dirinya mendapat keuntungan sebanyak 18 juta gulden. Uang itu kemudian digunakan untuk membeli pabrik gula dan memulai bisnis modern yang legal secara hukum.
Mendobrak Pakem Bisnis Tionghoa
Oei Tiong Ham muncul di panggung bisnis Hindia-Belanda bukan sebagai pebisnis biasa. Metode bisnis yang berani membedakannya dengan pebisnis Tionghoa pada umumnya.
Ia membangun bisnisnya sangat mirip dengan pebisnis Barat, yang mengandalkan manajemen profesional dan diversifikasi ke berbagai bidang.
Pada masa ini, sebenarnya ada Lim Peng Siang yang menciptakan kerajaan bisnis di Malaya, tetapi manajemen perusahaannya tidak semasif dan semodern konglomerasi Oei Tiong Ham.
Pada puncak kejayaannya, OTHC memiliki beberapa lini bisnis, N.V. Handel Maatschappij Kian Gwan menjadi perusahaan perdagangan gula internasional yang memiliki banyak kantor di luar negeri (London, Malaya, Singapura, dan India). Sementara N.V. Algemeene Maatschappij tot Exploitatie der Oei Tiong Ham Suikerfabrieken mengendalikan lima perkebunan gula dan pabrik gula di Jawa.
Di samping dua anak usaha itu, masih ada perusahaan pergudangan N.V. Midden Java Veem, perusahaan pelayaran regional N.V. Heap Eng Moh Steamship Co, dan bank N.V. Bank Vereeniging Oei Tiong Ham.
Dalam melakukan rekrutmen, Tiong Ham tidak hanya merekrut orang Tionghoa yang kompeten dari luar keluarganya, tetapi juga merekrut sejumlah tenaga profesional Belanda (manajer dan insinyur). Pada akhir tahun 1930-an, beberapa pekerja Eropa tercatat bekerja di pabrik gulanya Krebet, sedangkan di empat pabrik lainnya masing-masing dipimpin oleh orang Belanda.
Oei Tiong Ham membutuhkan kemampuan mereka untuk menutupi kekurangan keterampilan dan pengetahuan yang belum dikuasai oleh orang Tionghoa kala itu.
Tentu saja, OTHC bukanlah satu-satunya perusahaan Tionghoa yang mempekerjakan tenaga profesional Barat, tetapi tidak ada perusahaan yang lebih sistematis mempekerjakan begitu banyak profesional Barat seperti dirinya.
Langkah berani Oei Tiong Ham sekaligus mendobrak pakem bisnis Tionghoa kala itu yang konservatif, nepotis, dan lemah dalam kemampuan finansial dan manajemen modern.
Walaupun masalah pengetahuan dapat diatasi seiring dengan perluasan pendidikan, tetapi dua masalah pertama tetap menjadi penghalang modernisasi bisnis Tionghoa, khususnya menjelang abad ke-20.
Dari sudut pandang pebisnis tradisional Tionghoa, teknik bisnis modern seperti pelimpahan wewenang kepada orang luar dianggap terlalu berisiko. Pandangan ini tidak sepenuhnya salah, dalam beberapa kasus orang luar yang dipercaya memegang kuasa besar justru malah merugikan perusahaan.
Kendati demikian, Oei Tiong Ham terus melanjutkan inovasinya untuk mempekerjakan orang luar yang kompeten dan dapat dipercaya. Dalam melakukan penilaian terhadap pegawainya tentunya ia beberapa kali membuat kesalahan, tetapi lebih banyak penilaian yang benar dan menguntungkan daripada yang keliru.
Oei Tiong Ham tidak pernah mengangkat lulusan universitas top untuk menduduk jabatan tinggi perusahannya. Menurutnya, seorang daring gambler lebih cocok mengisi jabatan tersebut daripada lulusan universitas yang sudah kehilangan naluri bertaruh akibat pendidikan rasional. Pandangan ini terbentuk dari pengalamannya selama menggeluti bisnis gula, yang cukup spekulatif karena fluktuasi harga yang besar.
Cara pandang tersebut tidak pernah berubah meski bisnisnya semakin besar. Sebelum ia memutuskan pergi ke Singapura, Oei Tiong Ham mempromosikan seorang ahli pembukuan, Tan Tek Peng, yang tidak mengenyam bangku kuliah untuk menduduki jabatan tertinggi Kian Gwan.
Tan Tek Peng mungkin seorang daring gambler dan pandai menghasilkan keuntungan untuk Kian Gwan. Akan tetapi, ia tidak mengerti pentingnya membangun organisasi bisnis yang rasional.
Setelah Oei Tiong Ham tiada, Tan Tek Peng mencoba untuk mendominasi lulusan perguruan tinggi dengan menekankan “intuisi” dalam berbisnis dan meremehkan pentingnya pendidikan yang mutakhir dalam pengambilan keputusan. Kebijakan ini secara perlahan menyeret Kian Gwan ke fase kemunduran.
Masalah Suksesi dan Berakhirnya Kerajaan Bisnis Oei Tiong Ham
Oei Tiong Ham sebetulnya sadar kalau masalah suksesi sering kali menjadi bumerang bagi bisnis orang Tionghoa kala itu. Salah satu masalah utama dalam pewarisan bisnis Tionghoa adalah semua anak laki-laki memiliki hak yang sama.
Sering kali mereka memilih membagi usaha ayahnya, ketimbang meneruskan usaha tersebut. Untuk memastikan suksesi berjalan lancar, sang ayah biasanya membuat banyak lini usaha sesuai jumlah anak, ketimbang fokus mengembangkan bisnis utama.
Meskipun Tiong Ham telah berusaha mengantisipasinya, tetapi masalah ini ternyata lebih pelik dari yang diperkirakan.
Selama hidupnya, ia memilik 13 anak laki-laki dan 13 anak perempuan. Seperti pengusaha Tionghoa pada umumnya saat itu, ia tidak ingin mewariskan usahanya kepada anak-anak perempuannya, sehingga setengah dari anaknya disisihkan sebagai ahli waris.
Salah satu upayanya mengeliminasi anak-anak perempuannya sebagai ahli waris adalah dengan pindah ke Singapura, supaya dapat menghindari hukum Belanda yang egaliter.
Namun, tidak semua anak lelakinya kompeten meneruskan usahanya. Tatkala Tiong Ham meninggal akibat serangan jantung pada 1924 di usianya yang ke 57, hanya Oei Tjong Swan dan Oei Tjong Hauw yang mampu meneruskan kepemimpan sang ayah.
Selepas Tjong Hauw meninggal akibat serangan jantung pada 1950, perusahaan menjadi makin tidak terorganisasi. Konflik antar saudara juga bertambah parah hingga membuat manajemen keuangan menjadi kacau.
Yoshihara Kunio (1989) berpendapat, konflik internal ini sebenarnya bisa dihindari apabila Tjong Hauw, selama menjadi presiden direktur, mau mengadopsi sistem zaibatsu Jepang, dengan membentuk perusahaan holding dan membagikan dividen ke saudaranya yang lain. Namun, hal ini tidak pernah dilakukan. Untuk mendapatkan pendapat yang stabil, saudara-saudaranya yang lain terpaksa harus terlibat dalam manajemen perusahaan.
Di samping masalah internal, perubahan kebijakan dan intervensi pemerintah turut mempengaruhi operasional perusahaan. Ujian pertama perusahaan muncul saat depresi ekonomi melanda pada dekade 1930-an. Selama periode depresi, OTHC terkena dampak yang serius. Kerugian besar dialami perusahaan akibat runtuhnya industri gula.
Memasuki periode kemerdekaan, intervensi pemerintah bertambah kuat. Bersamaan dengan menguatnya semangat anti-kapitalisme, institusi kapitalis dipaksa menderita, termasuk OTHC yang kesuksesannya dipandang sebagai hasil persekongkolan dengan Belanda.
Para petinggi perusahaan sempat berusaha mencari perlindungan dari tokoh-tokoh nasional, tetapi pada penghujung 1950-an situasi politik bertambah radikal. OTHC harus menghadapi kenyataan bahwa sudah tidak ada tokoh yang cukup kuat untuk melindungi kepentingan bisnis mereka.
Menyadari ancaman ini, manajemen konglomerasi mencoba menarik dana dari Bank Indonesia di Amsterdam. Dana tersebut pada awalnya disimpan di Javasche Bank, tetapi setelah bank dinasionalisasi, dana itu menjadi simpanan Bank Indonesia.
Baca juga: Kala Gelombang Pengangguran Menghantui Jawa
Bank Indonesia sendiri menolak permintaan penarikan itu. Buntutnya, OTHC menggugat Bank Indonesia di pengadilan Belanda dan memenangkan kasus ini. Dana itu pun kembali kepada perusahaan.
Namun, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam menerima keputusan ini. Melalui keputusan Pengadilan Ekonomi di Semarang, pada 10 Juli 1961, keluar perintah penyitaan terhadap aset OTHC di Indonesia yang sekaligus mengakhiri kisah dramatis perjalanan perusahaan di Indonesia. Para petinggi perusahaan menilai gugatan di Semarang merupakan balasan dari Pemerintah Indonesia.
Bibliografi
Ching-hwang, Y. (2010). Tan Kah Kee and Oei Tiong Ham: A comparative study of overseas Chinese entrepreneurs. Chinese Heritage Centre: Tan Kah Lee Foundation: National Library Board.
Dick, H. (1993). Oei Tiong Ham. In The Rise and Fall of Revenue Farming: Business Elites and the Emergence of the Modern State in Southeast Asia (pp. 272-280). London: Palgrave Macmillan UK.
Kunio, Y. (Ed.). (1989). Oei Tiong Ham Concern: The First Business Empire of Southeast Asia. Southeast Asian Studies, Vol. 27 No 2.
Post, P. (2011). Chapter Eight. The Oei Tiong Ham Concern And The Change Of Regimes In Indonesia, 1931-1950. In Chinese Indonesians and regime change (pp. 169-199). Brill.
Post, P. (2011). Chapter Eight. The Oei Tiong Ham Concern And The Change Of Regimes In Indonesia, 1931-1950. In Chinese Indonesians and regime change (pp. 169-199). Brill.
Post, P. (2019). Bringing China to Java: The Oei Tiong Ham Concern and Chen Kung-po during the Nanjing Decade. Journal of Chinese Overseas, 15(1), 33-61.