Perang Salib adalah salah satu konflik terbesar dan terpanjang dalam sejarah, melibatkan pasukan Muslim dan tentara Gereja Eropa. Di tengah kekacauan ini, muncul sebuah fenomena mengerikan yang meneror kedua belah pihak: aksi-aksi pembunuhan rahasia terhadap tokoh-tokoh penting dari kedua kubu. Pelaku di balik teror ini dikenal sebagai kelompok Assassin atau Hasyasyin.
Kelompok ekstremis pecahan Ismailiyah ini bermarkas di Persia Barat, tepatnya di kastil Alamut di Pegunungan Elburz. Melalui benteng-benteng mereka yang terletak di pegunungan, Hasyasyin menyebarkan teror dan ketakutan ke berbagai pihak, termasuk kaum Sunni, Syiah, Khawarij, dan tentara Salib.
Meskipun sepak terjang Hasyasyin dalam Perang Salib sangatlah menarik, masih sedikit artikel sejarah di dunia maya yang membahas kelompok ini secara mendetail. Oleh karena itu, pembahasan kali ini akan mengupas lebih jauh tentang sejarah dan peran kelompok Hasyasyin selama Perang Salib berlangsung.
Story Guide
Awal Munculnya Kelompok Hasyasyin
Kemunculan kelompok Hasyasyin dimulai dari intrik perebutan kekuasaan yang terjadi di istana Kekhalifahan Fatimiyah. Intrik ini melibatkan dua anak dari Khalifah al-Mustansir, yakni Nizar dan Musta’li.
Menjelang wafatnya, al-Mustansir berencana untuk menjadikan putranya, Nizar, sebagai penggantinya. Nizar adalah putra tertua dan dianggap layak menjadi penerus. Namun, calon wazir Afdal ibn Hadr al-Jamali menjalankan siasat untuk menggagalkan proklamasi Nizar sebagai putra mahkota. Sebaliknya, Afdal mengumumkan Musta’li, keponakannya sekaligus saudara Nizar, sebagai pewaris takhta. Pemimpin hakim, pejabat tinggi, dan beberapa anggota keluarga Fatimiyah mendukung Afdal dalam langkah ini.
Merasa dikhianati, Nizar bersama pendukungnya pergi ke Iskandaria. Di sana, dia menerima bantuan militer dari gubernur setempat dan mulai melancarkan pemberontakan untuk merebut kembali haknya. Namun, upayanya gagal dan dia akhirnya terbunuh.
Setelah khalifah al-Mustansir meninggal pada tahun 1094 M, Musta’li diproklamirkan sebagai khalifah. Hasan-i Sabah, seorang propagandis Fatimiyah dari Persia, mendukung Nizar sebagai pewaris yang sah dan mulai menyebarkan propaganda mendukungnya. Hasan pergi ke Persia dan mulai menyebarkan doktrin pahamnya, yang menyebabkan Fatimiyah terpecah menjadi dua aliran: Musta’liyyah dan Nazariyyah.
Kelompok Nazariyyah ini kemudian membentuk organisasi rahasia di bawah pimpinan Hasan-i Sabah. Pada tahun 1090 M, Hasan menguasai kastil Alamut di Pegunungan Elburz, sebuah wilayah yang telah lama menjadi tempat berkembangnya heterodoksi. Dari pangkalan ini, Hasan mengorganisir pembunuhan-pembunuhan rahasia di berbagai wilayah Kekaisaran Seljuq Raya, sekaligus memulai era teror yang dikenal dengan sebutan Assassin.
Perang Salib
Menjelang pecahnya Perang Salib, Hasan-i Sabbah telah mendirikan basis operasi kedua Hasyasyin di Suriah, dikelola oleh bawahan yang kemudian dijuluki Tentara Salib sebagai “Si Tua dari Gunung.” Ketika Perang Salib pertama dimulai pada tahun 1096 M, kelompok Hasyasyin sudah menjadi momok yang dibenci oleh semua pihak, termasuk Syiah, Sunni, Turki Seljuk, Fatimiyah Mesir, Khalifah Abbasiyah, dan Tentara Salib sendiri.
Baca juga: Perang Salib Pertama
Di tengah berkecamuknya Perang Salib, Assassin tetap netral dan tidak berpihak pada satu kubu pun. Menyadari jumlah mereka yang sedikit dan tidak mungkin melakukan peperangan langsung, mereka menciptakan teror dengan membunuh tokoh-tokoh penting baik dari pihak Muslim maupun Kristen. Agen-agen Assassin adalah pembunuh terlatih yang mahir menggunakan senjata khas mereka dan dilandasi motivasi religius.
Keberadaan Assassin memperumit upaya konsolidasi kekuatan umat Islam melawan Tentara Salib. Selama abad pertama invasi Tentara Salib, setiap kali kaum Muslim mulai bergerak ke arah persatuan, Assassin membunuh beberapa tokoh kunci, memicu gejolak baru dan menghambat perlawanan terorganisir. Beberapa tokoh penting yang menjadi korban Assassin antara lain wazir Nizham al-Mulk, Khalifah al-Mustarsyid, dan pemimpin Tentara Salib Conrad dari Montferrat.
Pada tahun 1113 M, Gubernur Mosul mengadakan konferensi para pemimpin Muslim untuk mengatur serangan bersatu melawan Tentara Salib. Namun, sebelum pertemuan dimulai, seorang pengemis yang pura-pura meminta sedekah menikam gubernur dengan pisau, membatalkan rencana serangan tersebut.
Pada tahun 1126 M, Assassin membunuh Al-Borsoki, raja kharismatik di Aleppo dan Mosul yang berusaha menyatukan kedua kota besar tersebut. Meski telah berjaga-jaga dengan mengenakan baju besi di bawah pakaiannya, Al-Borsoki tewas akibat tusukan di leher oleh pembunuh yang menyamar sebagai sufi. Putranya yang mencoba menyelamatkan negara yang baru lahir itu juga dibunuh oleh Assassin, menyebabkan intrik perebutan kekuasaan dan perang saudara di wilayah tersebut.
Kisah yang dituturkan oleh Marco Polo dan lainnya menyebutkan bahwa Assassin menggunakan obat-obatan seperti hasyis untuk menghilangkan keraguan dan menggairahkan semangat dalam membunuh. Namun, pernyataan ini tidak tercatat dalam sumber-sumber Ismailiyah dan kebenarannya masih diragukan hingga sekarang.
Dengan taktik teror dan pembunuhan rahasia, kelompok Assassin berhasil menciptakan ketakutan di kalangan para pemimpin Muslim dan Tentara Salib, menjadikan mereka salah satu kelompok yang paling ditakuti dan dihormati dalam sejarah Perang Salib.
Perubahan dan Kejatuhan Hasyasyin di Abad ke-13
Memasuki abad ke-13, kekerasan dan ekstremisme kelompok Assassin mulai melunak. Khalifah Abbasiyah An-Nashir berhasil mengarahkan kembali pimpinan Assassin, Jalaluddin Hasan III, ke dalam ortodoksi Sunni. Dengan mengikuti kebijaksanaan pro-khalifah, kelompok Ismailiyah di Persia menentang rencana-rencana imperialis Khawarizm-Syah.
Namun, ketika pasukan Mongol mulai menaklukkan wilayah tersebut, Assassin menjadi salah satu target utama mereka. Guru besar terakhir mereka, Ruknuddin Khursyah, tidak mampu menghentikan laju serangan Hulagu Khan. Pada tahun 1256 M, Kastil Alamut jatuh ke tangan Mongol, dan setahun kemudian, Khursyah dibunuh. Penaklukan Mongol di Gunung Elburz juga menghancurkan banyak catatan penting Assassin yang disimpan di Kastil Alamut, sehingga sedikit sekali informasi sejarah yang tersisa tentang mereka.
Kelompok Assassin di Suriah mengalami nasib serupa. Pada awalnya, mereka berhasil menjadi bagian dari dinamika politik lokal dan membayar pajak kepada ksatria-ksatria Kristen Hospitalle. Namun, kondisi ini tidak bertahan lama. Sultan Baybars dari Dinasti Mamluk menganggap keberadaan mereka sebagai ancaman. Pada tahun 1273 M, kubu terakhir Assassin di Suriah, Al-Kahf, dihancurkan oleh Baybars. Dengan jatuhnya Al-Kahf, berakhirlah perjalanan kelompok Assassin di Timur Tengah.
Perubahan ini menunjukkan bagaimana kelompok Assassin, yang awalnya dikenal karena ekstremisme dan taktik pembunuhannya, akhirnya harus beradaptasi dengan dinamika politik yang berubah. Namun, kedatangan pasukan Mongol dan tindakan keras dari penguasa lokal seperti Sultan Baybars membawa kehancuran bagi mereka, mengakhiri dominasi teror mereka di wilayah tersebut.
BIBLIOGRAFI
Ansary, Tamim. 2012. Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi Islam. Terj. Yuliani Liputo. Jakarta: Zaman.
Bosworth, C. E. 1993. Dinasti-Dinasti Islam. Terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan.
Hassan, Hassan Ibrahim. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Terj. Jahdan Humam Saleh. Yogyakarta: Kota Kembang.
Hitti, Phillip K. 2006. History of The Arabs. Terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
apakah ini memang fakta?