Pasca peristiwa G30S, hasil karya seni anggota Lembaga Kebudajaan Rakjat (LEKRA) cenderung diabaikan atau disingkirkan oleh para budayawan Indonesia. Selama ini LEKRA dipercaya merupakan organisasi underbow PKI, sehingga sering dicap sebagai kelompok budaya jahat dan merusak.
Padahal pada kenyataannya banyak anggota LEKRA yang menolak bila lembaga mereka dikatakan menginduk pada PKI. Bahkan, Njoto yang juga menjadi salah satu pendiri LEKRA selalu menentang keinginan D. N. Aidit untuk menjadikan lembaga ini sebagai organ resmi PKI.
Kemunculan LEKRA
Tepat lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, pada 17 Agustus 1950, sekelompok seniman dan politikus berkumpul di Ibu Kota. Mereka adalah A. S. Dharta, M. S. Ashar, Herman Arjuno, Henk Ngantung, Joebaar Ajoeb, Sudharnoto, D. N. Aidit dan Njoto.
Tujuan mereka bukan untuk melakukan pagelaran seni, melainkan untuk mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat.
Pendirian LEKRA tidak bisa dilepaskan dari atmosfer politik kala itu. Pasca Konferensi Meja Bundar pada 1949, para seniman melihat bahwa Indonesia belum merdeka sepenuhnya. Oleh sebab itu, LEKRA didirikan untuk membebaskan diri dari belenggu budaya penjajah.
Bagi mereka revolusi di Tanah Air belum selesai karena pengaruh kebudayaan feodal dan Barat masih mengakar kuat. Karena itu, diperlukan gerakan untuk mendukung upaya rakyat membangun kebudayaannya sendiri.
Menurut Joebaar Ajoeb, lembaga ini pada awalnya diproyeksikan layaknya LP3S tanpa memiliki cabang. Akan tetapi, seiring bertambahnya anggota maka cabang-cabang LEKRA pun didirikan di berbagai daerah.
Pada tahun 1951, cabang LEKRA sudah berdiri di kota-kota besar seperti Yogyakarta, Surabaya, Solo, Bandung, Semarang, Palembang, Manado, dan Balikpapan. Namun, tidak semua cabang itu didirikan oleh lembaga itu sendiri, beberapa cabang juga didirikan oleh Partai Komunis Indonesia.
Di kota-kota besar tersebut anggota LEKRA mendominasi pentas budaya. Balai Pemuda di Surabaya menjadi saksi masa keemasan lembaga ini. Setiap kali seniman LEKRA menggelar pentas budaya seperti wayang; reog; ludruk; dan musik, para penduduk selalu berdesakan untuk menonton.
Hal yang sama juga terjadi di Yogyakarta. Menurut seniman Bumi Tarung, Djoko Pekik, ideologi kiri yang diusung LEKRA menjadi magnet kuat untuk menarik para seniman muda di kota itu untuk bergabung.
Kongres Pertama
Sembilan tahun pasca pendiriannya, LEKRA akhirnya menyelenggarakan Kongres Pertama di Sriwedari, Surakarta pada 23 Januari 1959. Kongres itu menghasilkan revisi mukadimah dan penetapan peraturan dasar.
Di samping itu, lahir pula prinsip 1-5-1 yang menjadi pedoman kerja LEKRA. Di dalam prinsip ini, kerja kebudayaan yang bergariskan politik merupakan panglima yang dikombinasikan dengan: meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan mutu artistik, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individual dan kearifan massa, serta realisme sosial dan romantik revolusioner. Kelimanya lantas diterapkan melalui metode turun ke bawah (turba).
Lewat prinsip 1-5-1, para seniman selama bergabung dengan LEKRA tidak hanya menghasilkan seni kerakyatan, tetapi juga turun ke bawah menemui buruh dan tani.
Sejalan dengan lahirnya prinsip 1-5-1, lembaga melakukan perombakan struktur organisasasi. Setelah kongres, setidaknya enam lembaga kreatif dibentuk: Lembaga Seni Rupa Indonesia, Lembaga Sastra Indonesia, Lembaga Musik Indonesia, Lembaga Seni Tari Indonesia, Lembaga Seni Drama Indonesia, dan Lembaga Film Indonesia.
Walaupun para seniman LEKRA adalah seniman yang akrab bercengkrama dengan rakyat kecil, kemampuan seni mereka dapat diandalkan. Bahkan, Presiden Soekarno acap kali mengandalkan seniman lembaga ini untuk mengerjakan proyek besar.
Hotel-hotel milik negara seperti Hotel Indonesia, Ambarukmo di Yogyakarta, Bali Beach Hotel, dan Samudera Beach Hotel tidak luput dari sentuhan tangan dingin seniman LEKRA. Di Empat hotel itu, seniman LEKRA membuat ukiran relief, patung, taman, dan lukisan.
Selain mengerjakan proyek besar, para seniman LEKRA aktif menyelenggarakan pagelaran untuk acara besar seperti 17 Agustusan, sekatenan, atau pameran seni rupa.
Uniknya, mereka tidak memiliki niatan untuk mengkomersialkan keseniannya, karena dianggap sebagai bagian dari perjuangan. Malahan tak jarang harus menyisihkan pendapatan guna membiayai kegiatan kesenian untuk rakyat
Njoto dan PKI
Membicarakan LEKRA rasanya kurang lengkap tanpa membicarakan sosok Njoto. Mungkin banyak yang menganggap keterlibatan Njoto menjadikan LEKRA bagian resmi dari PKI. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar, karena yang terjadi justru sebaliknya.
Petinggi PKI ini tidak hanya berperan sebagai pendiri LEKRA, tetapi juga memiliki kontribusi besar dalam membesarkan organisasi. Posisinya sebagai Pemimpin Redaksi Harian Rakjat, media resmi PKI, membuat para anggota LEKRA leluasa menerbitkan tulisannya di surat kabar.
Njoto tidak seperti politikus pada umumnya, ia adalah politikus berjiwa seni. Selain pandai berorasi, Njoto dikenal mahir menulis, meniup saksofon, berdansa, paham soal musik. Hal ini yang membedakannya dengan Aidit yang tidak terlibat aktif dalam kegiatan LEKRA.
Pada tahun 1960-an, LEKRA mencapai masa keemasannya. Di berbagai daerah para aktivis lemabaga ini begitu semangat mementaskan wayang wong, ketoprak, dan ludruk dengan tema realisme-sosialis.
Bersamaan dengan itu, kekuasaan Soekarno mulai menunjukkan pelemahan. PKI yang saat itu menjadi mesin politik utama presiden, setelah PNI mulai melempem, mulai memutar otak untuk mencari solusi.
Pertumbuhan LEKRA yang begitu pesat membuat D. N. Aidit berambisi untuk meleburkan lembaga ini dengan PKI. Menurut perkiraannya, peresmian lembaga itu sebagai underbow PKI dapat memperkuat dukungan terhadap presiden. Namun, idenya ini ditentang keras oleh koleganya Njoto yang ingin LEKRA tetap bersifat terbuka.
Penolakan Njoto cukup beralasan karena memang dari awal pendiriannya, lembaga ini beranggotakan seniman dari berbagai latar belakang. Bahkan, dua pendiri LEKRA, A. S. Dharta (anggota Parta Murba) dan M. S. Ashar bukan seniman komunis. Selain itu, ide peleburan dapat berdampak pada hengkangnya seniman berpengaruh seperti Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, dan Affandi Koesoema.
Setelah gagal mem-PKI-kan LEKRA, Aidit terpaksa harus memutar otak untuk mencari solusi lain. PKI akhirnya memutuskan untuk menyelenggarakan Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner.
Konferensi itu sama megahnya dengan Konferensi Pertama LEKRA. Seniman dari berbagai daerah diundang ke acara itu, termasuk tokoh-tokoh LEKRA.
Dalam acara itu, Aidit berulang kali menyanjung LEKRA dan memberikan panggung kepada tokoh-tokoh lembaga tersebut, tetapi mereka yang hadir menegaskan datang secara pribadi bukan mewakili lembaga.
Walaupun selama eksistensinya LEKRA selalu menolak menjadi bagian dari resmi dari PKI, tetapi sulit untuk dipungkiri keberadaan petinggi PKI dalam lembaga ini memfasilitasi perkembangan lembaga.
Aidit memang gagal mem-PKI-kan LEKRA, tetapi Soeharto berhasil. Hubungan erat antara lembaga ini dan PKI dijadikan landasan untuk menghancurkan lembaga tersebut pasca tragedi G30S.
Bersama dengan organisasi lain yang terafiliasi PKI, para anggota LEKRA menjadi bulan-bulanan kala itu. Banyak dari mereka ditangkap, disiksa, dan dijebloskan ke penjara tanpa diadili.
Nasib nahas para anggota LEKRA tidak berhenti pada titik itu. Melalui Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 1381/1965, banyak karya-karya mereka dicekal dan ditarik dari peredarannya.
Selain itu, kebebasan berkarya dan hidup para eks anggota LEKRA juga direngut. Cap sebagai eks-tapol membuat hidup mereka terbelenggu, bahkan sering kali mendorong mereka ke jurang kemiskinan.
Bibliografi
Bodden, Michael. “Dynamics and tensions of LEKRA’s modern national theatre, 1959-1965.” Dalam Heirs to world culture; Being Indonesian 1950-1965. Leiden: KITLV Press, 2012.
Tempo. LEKRAdan Geger 1965. Jakarta: KPG, 2014.
Toer, Pramoedya Ananta. Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Jakarta: Lentera Dipantara, 2003.
Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan. LEKRAtak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat Harian Rakyat 1950-1965. Yogyakarta: Merakesumba, 2008.
Yuliantri, Rhoma Dwi Aria. “LEKRAand ensembles; Tracing the Indonesian musical stage.” Dalam Heirs to world culture; Being Indonesian 1950-1965. Leiden: KITLV Press, 2012.