Sejarah Pemikiran Syah Waliyullah Dehlawi (1703-1762)

Syah Waliyullah, hidup pada masa kemunduran imperium Mughal, terkenal sebagai seorang reformis Islam yang peduli akan kelangsungan umat Muslim di anak benua India. Fokus utamanya adalah menangani penyelewengan moral dalam masyarakat India serta menentang sinkretisme berlebihan dalam aliran sufisme, sembari mendorong pemurnian ajaran Islam.

Berbeda dengan Muhammad Abdul Wahab dan Gerakan Wahabinya di Jazirah Arab, Syah Waliyullah tidak mengadopsi sikap radikal yang terdapat dalam pendekatan Abdul Wahab. Dia tidak menolak sepenuhnya kondisi pada zamannya, melainkan berusaha untuk memperbaiki dan menyempurnakan ajaran serta keyakinan yang ada, sesuai dengan prinsip-prinsip awal Islam.

Dia tidak bertujuan untuk mengadopsi sikap konfrontatif terhadap aliran sufisme, melainkan lebih mengutamakan upaya untuk memberikan pembaruan dan penyucian terhadap praktik-praktik tersebut. Pemikiran-pemikiran Syah Waliyullah akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan berikutnya.

India Masa Syah Waliyullah

Pemikiran Syah Waliyullah
Aurangzeb. Wikimedia.

Pada awal abad ke-18, Imperium Mughal memasuki periode kemunduran yang signifikan, yang dimulai setelah kematian Aurangzeb pada tahun 1707 M. Lingkungan istana Mughal dipenuhi intrik politik untuk merebut kekuasaan, yang mencapai puncaknya setelah meninggalnya Bahadur Shah, putra Aurangzeb. Persaingan yang mempertaruhkan tahta antara anak-anak Bahadur Shah secara dramatis melemahkan struktur internal kerajaan.

Syah Waliyullah merupakan tokoh yang memainkan peran penting dalam pembaharuan Islam di India pada abad ke-18. Lahir pada 21 Februari 1703 di Moza Phalat, Delhi, India, ia memiliki nama lengkap Syed Qutb ad-Din Ahmad Wali Allah ibn ‘Abd ar-Rahim al-‘Umari ad-Dihlawi, yang lebih dikenal sebagai Syah Waliyullah Dehlawi.

Syah Waliyullah memiliki garis keturunan yang terhormat, berasal dari keluarga ulama dan sufi. Nasabnya menghubungkannya dengan tokoh-tokoh agung Islam, seperti Umar ibn al-Khattab dan Ali ibn Abi Thalib. Ayahnya, Syah Abd al-Rahim, adalah seorang sufi yang berpengaruh dan mendirikan sebuah madrasah di mana Syah Waliyullah menerima pendidikan awalnya.

Setelah dewasa, Syah Waliyullah menjadi seorang pengajar di madrasah tersebut. Pada tahun 1732, ia melakukan perjalanan haji dan belajar di Mekah dan Madinah selama satu tahun, memperdalam pengetahuannya tentang agama dan ilmu pengetahuan Islam. Setelah kembali ke Delhi, ia melanjutkan karir pengajarannya sambil terus mengembangkan pemikirannya.

Selain sebagai pengajar, Syah Waliyullah juga seorang penulis yang produktif. Salah satu karyanya yang terkenal adalah buku “Hujjatullah al-Balighah” (Bukti Kebenaran yang Jelas), yang merupakan karya monumental dalam bidang tafsir al-Qur’an dan merupakan kontribusi pentingnya dalam bidang teologi dan ilmu pengetahuan Islam.

Pemikiran Syah Waliyullah

Dalam konteks India yang sedang menghadapi berbagai tantangan politik, sosial, dan agama, pemikiran dan karya-karya Syah Waliyullah memberikan pandangan yang penting tentang cara memperkuat dan memurnikan ajaran Islam, serta menegaskan kembali identitas dan nilai-nilai Islam di tengah perubahan zaman.

Pemikiran di Bidang Pemerintahan

Syah Waliyullah mengidentifikasi perubahan sistem pemerintahan dari kekhalifahan menjadi sistem kerajaan sebagai salah satu penyebab kemunduran umat Islam. Menurutnya, sistem kerajaan cenderung otokratis dan tidak demokratis, berbeda dengan sistem kekhalifahan yang lebih demokratis.

Syeh Waliyullah 1
Ilustrasi Syeh Waliyullah

Dalam sistem kerajaan, raja-raja Islam sering memiliki kekuasaan absolut dan bebas menetapkan pajak tanpa mempertimbangkan kesejahteraan rakyat. Pajak yang tinggi dan tidak adil ini menyebabkan kelemahan umat, karena sebagian besar hasilnya tidak digunakan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kehidupan mewah kaum bangsawan.

Pemungutan pajak yang tidak adil ini menciptakan kesenjangan sosial dan ketidakpuasan di kalangan rakyat, yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Waliyullah mengusulkan penggantian sistem pemerintahan absolut dengan sistem pemerintahan demokratis, seperti sistem kekhalifahan yang diterapkan pada zaman dahulu.

Baginya, khalifah adalah pemimpin agama yang paling dekat dengan sunnah Nabi, yang berjuang untuk keadilan dan menggunakan teknik administratif dan yudisial untuk memimpin masyarakat menuju kebajikan religius. Khalifah juga dianggap sebagai perwujudan kehendak Tuhan yang memperhatikan perasaan dan pikiran rakyatnya.

Dalam pandangan Syah Waliyullah, khalifah tidak hanya bertanggung jawab atas urusan spiritual, tetapi juga menjaga pertahanan politik dan menerapkan organisasi hukum yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, pengembalian kepada sistem kekhalifahan diharapkan dapat memperbaiki keadaan umat Islam dan memastikan kesejahteraan serta keadilan bagi seluruh masyarakat.

Pemikiran di Bidang Keagamaan

Menurut Syah Waliyullah, perpecahan di bidang keagamaan menjadi salah satu penyebab lemahnya umat Islam. Perpecahan ini terjadi akibat pertentangan antara berbagai aliran dalam Islam, seperti antara Sunni dan Syiah, serta antara aliran-aliran filsafat seperti Mu’tazilah, Asy’iriah, dan Maturidiah. Ia berusaha menyatukan perbedaan mazhab hukum dan meredam perselisihan di kalangan umat Islam.

Konflik yang paling kuat pada masa itu adalah konflik antara Sunni dan Syiah. Meskipun ia seorang Sunni, Syah Waliyullah menolak pandangan bahwa Syiah dianggap keluar dari Islam. Baginya, kaum Syiah tetap merupakan umat Islam meskipun memiliki perbedaan dalam ajaran mereka.

Selain itu, Syah Waliyullah mengidentifikasi adanya pengaruh ajaran Hindu yang masuk ke dalam Islam di India. Hal ini menyebabkan kemunduran umat Islam karena ajaran mereka tercemar oleh adat istiadat Hindu. Untuk memperbaiki keadaan ini, Syah Waliyullah memandang pentingnya membersihkan keyakinan umat Islam dari pengaruh tersebut dan mengembalikan mereka kepada ajaran yang murni sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadis.

Syah Waliyullah menentang praktik taklid, yaitu mengikuti pendapat ulama-ulama masa lampau tanpa melakukan ijtihad. Baginya, ijtihad harus terus dilakukan untuk menyelaraskan ajaran Islam dengan perkembangan zaman. Ia menganggap bahwa taklid adalah salah satu faktor penyebab kemunduran umat Islam karena mencegah perkembangan dan adaptasi ajaran Islam terhadap perubahan zaman.

Dalam memahami Islam, Syah Waliyullah membedakan antara Islam universal yang mengandung ajaran dasar yang konkrit, dengan Islam lokal yang mencerminkan corak tempat dan zaman tertentu. Baginya, Islam universal memungkinkan ajaran agama untuk bersifat dinamis sesuai dengan kebutuhan manusia dan perubahan zaman. Oleh karena itu, manusia harus mengikuti ajaran universal yang membuat Islam bersifat dinamis dan relevan dalam setiap konteks kultural.

Penerjemahan Al-Qur’an ke Bahasa Persia

Pada zamannya, Syah Waliyullah menyadari bahwa banyak muslim di India yang membaca al-Qur’an tanpa memahami maknanya. Bagi Syah Waliyullah, membaca tanpa memahami adalah sia-sia, karena hal tersebut tidak memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan mereka. Oleh karena itu, ia merasa penting untuk menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa yang dapat dipahami oleh orang awam.

Syah Waliyullah memilih bahasa Persia sebagai bahasa untuk menerjemahkan al-Qur’an karena saat itu bahasa Persia banyak digunakan di kalangan terpelajar Muslim di India. Penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Persia selesai dilakukan oleh Syah Waliyullah pada tahun 1758. Awalnya, terjemahan ini dihadapi dengan tentangan dari beberapa pihak, tetapi lambat laun masyarakat mulai menerimanya. Seiring dengan diterimanya terjemahan tersebut oleh masyarakat, putra Syah Waliyullah kemudian menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Urdu, bahasa yang lebih umum digunakan oleh muslim di India.

BIBLIOGRAFI

Abdul A’la. 2003. Dari Modernisme Ke Islam Liberal. Jakarta: Paramadina.

Esposito, John L. 1990. Islam and Politics. Terj. Hjoesoef Sou’yb. Jakarta: Bulan Bintang.

Karim, M Abdul. 2003. Sejarah Islam di India. Yogyakarta: Bunga Grafies Production.

Lapidus, Ira M. 2000. Sejarah Sosial Umat Islam I dan II. Terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Nasution, Harun. 1988. Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.

2 Comments

  1. Wonderful article! We will be linking to this great content on our website. Keep up the good writing.
    I really like your points >>Syah Waliyullah merupakan salah satu pembaharu Islam yang hidup pada masa kemunduran imperium Mughal. Pada periode kemunduruan imperium Mughal, Syah Waliyullah memberikan perhatian untuk menyelematkan kelangsungan muslim di anak benua ini. Fokus dari pembaharuan Syah Waliyullah adalah menolak penyelewengan moral masyarakat India, dan menolak sinkretisme yang berlebihan dalam paham sufi umum, dan menyerukan pemurnian Islam.

    • Subhanaallah terjemahan AlQuraan ke bahasa Persia dan urdu..moga tuan shah dikumpulkan Allah bersama orang-orang mukmin yang diredhaiNYA.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *