Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, sempat terjadi perubahan bentuk konstitusi. Perubahan ini terjadi ketika Indonesia masih mengalami pergolakan pasca kemerdekaan. Perubahan ini menjadikan Indonesia yang sebelumnya merupakan negara kesatuan, menjadi negara federal layaknya sistem konstitusi negara Barat. Terdapat berbagai pro dan kontra ketika perubahan bentuk konstitusi ini terjadi, oleh karena itu pembahasan ini akan secara khusus memaparkan sejarah terbentuknya Republik Indonesia Serikat hingga berakhirnya sistem RIS.
Latar Belakang Terbentuknya Republik Indonesia Serikat
Perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia diselesaikan dengan perundingan di Den Haag pada paruh kedua tahun 1949. Perkembangan dalam perundingan-perundingan ini memperlihatkan langkah-langkah lebih progresif dari gagasan-gagasan van Mook sebelumnya, yang telah dipecat dari jabatannya sebagai penguasa tertinggi di Bijeenkomst voor Federaale Overleg (Musyawarah Negara-Negara Federal atau biasa disingkat BFO).
Sebelum melangkah ke forum internasional, wakil-wakil RI berunding dua kali dengan wakil-wakil BFO di Yogyakata (22 Juli 1949), dan Jakarta (1 Agustus 1949). Mereka sepakat mengenai aspek-aspek terpenting dalam usaha menciptakan suatu sistem politik baru. Perundingan itu kemudian dilanjutkan ke Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag,
KMB digelar pada 23 Agustus 1949, ketika itu delegasi Indonesia dipimpin oleh Mohammad Hatta, sementara BFO dipimpin oleh Anak Agung Gde Agung. Pada konferensi tersebut, dibentuk komisi-komisi yang membahas berbagai aspek dalam rangka serah terima dari Belanda pada Republik Indonesia Serikat, serta persiapan pembentukan Uni Indonesia Belanda.
Ketika KMB berlangsung, Konferensi Inter-Indonesia juga dilangsungkan di Belanda untuk merumuskan konstitusi Republik Indonesia Serikat, sebagai tindak lanjut perundingan di Yogyakata, dan Jakarta. Tanggal 29 Oktober 1949, piagam persatuan Republik Indonesia Serikat berhasil ditandatangi di Scheveningen oleh 16 perwakilan masng-masing wakil negara bagian dan daerah otonom.
Akhirnya, setelah perundingan alot selama lebih dari dua bulan, KMB berakhir pada 2 November 1949. Dengan disetujuinya KMB pada tanggal 2 November 1949 di Den Haag, maka terbentuklah negara Republik Indonesia Serikat. Hasil KMB salah satunya menyebutkan kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia yang sepenuhnya kepada RIS dengan tidak bersyarat lagi dengan tidak dapat dicabut, dan karena itu mengakui Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Dari hasil tersebut, banyak kalangan menilai, hasil KMB sangat menyimpang dari gerakan kebangsaan dan semangat proklamasi kemerdekaan Indonesia, yang tidak menginginkan kemerdekaan sebagai hadiah. Yang dituntut sebenarnya adalah pengakuan atas kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia, bukan penyerahan kedaulatan. Hal ini diperparah dengan kewajiban Indonesia membayar hutang Hindia-Belanda sebesar 6, 5 milyar gulden, sebelum akhirnya disepakati menjadi 4, 5 milyar gulden.
Terbentuknya Pemerintahan Republik Indonesia Serikat
Republik Indonesia Serikat terdiri dari 7 negara bagian dan 9 daerah otonom[1] dengan masing-masing mempunyai luas daerah dan jumlah penduduk yang berbeda. Di antara negara-negara bagian yang terpenting, selain Republik Indonesia yang memiliki luas daerah dan jumlah penduduk terbanyak, ialah Negara Sumatra Timur, Negara Sumatra Selatan, Negara Pasundan, dan Negara Indonesia Timur.
Tangggal 14 November 1949, rombongan delegasi Indonesia di bawah pimpinan Mohammad Hatta tiba kembali di Yogyakarta. Hasil dari KMB perlu diratifikasi oleh semua negara dan daerah otonom yang menjadi anggota RIS, dalam hal ini oleh pemerintah Indonesia Indonesia, dan semua negara-negara federal bentukan van Mook.
Pada tanggal 14 November 1949 di Jakarta, wakil dari semua anggota BFO dan pemerintah Indonesia menandatangani konstitusi RIS. Sementara itu, sejak awal Desember 1949 di Yogyakarta KNIP mulai membahas hasil KMB.
Ketika sidang pleno KNIP, banyak anggota yang sadar pembentukan RIS sebenarnya adalah penyelewengan terbesar proklamasi kemerdekaan. Meskipun demikian, KNIP menyadari tidak ada jalan lain, selain menerima segala naskah yang dibuat oleh KMB di Den Haag. Ditambah naskah kontitusi Indonesia, yang tidak dapat dirubah sediki pun. Sehingga mereka hanya harus menerima dan mengesahkan saja. KNIP juga harus memilih seorang wakil bagi setiap 12 anggota KNIP, untuk duduk dalam dewan perwakilan RIS.
Setelah satu minggu bersidang, diambil pemungutan suara untuk pengesahan seluruh hasil KMB dengan hasil, 236 suara menerima, dan 62 suara menolak hasil KMB. Taggal 15 Desember 1949, KNIP meratifikasi hasil-hasil KMB.
Selain menunjuk wakil-wakil untuk duduk di Senat RIS, KNIP juga menunjuk wakil-wakil Indonesia untuk duduk di Dewan Perwakilan Rakyat RIS. Sama halnya dengan negara-negara anggota BFO, yang mengirim wakil untuk duduk di Senat dan DPR RIS.
Pada tanggal 16 Desember 1949 di Yogyakarta, Panitia Pemilihan Nasional RIS memilih Soekarno menjadi presiden Indonesia Serikat pertama, dan peresmiannya dilakukan tanggal 17 Desemer 1949. KNIP kemudian mengangkat Mr. Assaat Datuk Mudo, ketua KNIP, sebagai pemangku jabatan Presiden Indonesia. Dengan demikian, MR. Assaat de facto presiden Indonesia kedua yang memegang jabatan ini hingga dibubarkannya RIS pada tanggal 17 Agustus 1950.
DPR RIS kemudian memilih empat orang menjadi formatur kabinet, yaitu Mohammad Hatta, Anak Agung Gde Agung, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan Sultan Hamid II. Pada 19 Agustus 1949 terbentuk lah kabinet RIS dengan susunan:
Perdana Menteri : Mohammad Hatta
Menteri Luar Negeri : Mohammad Hatta
Menteri Pertahanan : Hamengku Buwono IX
Menter Dalam Negeri : Ide Anak Agung Gde Agung
Menteri Keuangan : Syafruddin Prawiranegara
Menteri Perekonomian : Ir. Juanda
Menteri Perhubungan dan Pekerjaan Umum: Ir. H. Laoh
Menteri Kehakiman : Prof. Dr. Mr. Soepomo
Menteri P dan K : dr. Abu Hanifah
Menteri Kesehatan : dr. Josef Leimena
Menteri Perburuhan : Mr. Wilopo
Menteri Sosial : Mr. Kosasih Purwanegara
Menteri Agama : K. H. Wahid Hasyim
Menteri Penerangan : Arnold Mononutu
Menteri Negara : Sultan Hamid Alkadrie II
Mr. Mohammad Roem
Dr. Suparno
Kabinet ini merupakan Zaken Kabinet(mengutamakan keahlian dari anggota-anggotanya), dan bukan kabinet koalisasi yang bersandar pada kekuatan partai-partai politik.
Upacara penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia Serikat berlangsung bersamaan di dua tempat. Pada 27 Desember 1949 di Paleis op de Dam di Amsterdam, Belanda. Perdana menteri RIS Mohammad Hatta atas nama pemerintah RIS, menerima kedaulatan dari Ratu Juliana, dan di Jakarta, Wakil Perdana Menteri RIS, Hamengku Buwono IX menerima kedaulatan RIS dari wakil tinggi mahkota Belanda, A. H. J. Lovink.
Permasalahan-Permasalahan yang Dihadapi Republik Indonesia Serikat
Pada masa sistem pemerintahan federal ini, kabinet Hatta disibukkan dengan permasalahan-permasalahan yang muncul akibat perang kemerdekaan maupun masalah-masalah yang intern dengan kehidupan suatu negara muda.
Sebagai akibat dari perang kemerdekaan banyak prasarana yang hancur, keadaan ekonomi yang buruk, dan terdapat pula kerusakan mental di masyarakat. Di bidang ekonomi sendiri masalah utama adalah munculnya inflasi dan defisit dalam anggaran belanja.
Untuk mengatasi masalah inflasi, pemerintah menjalankan suatu kebijakan dalam bidang keuangan yaitu mengeluarkan peraturan pemotongan uang pada tanggal 19 Maret 1950, yang dikenal dengan kebijakan gunting Syafruddin. Peraturan ini menentukan bahwa uang yang bernilai 2, 50 gulden atau Rp. 5 ke atas dipotong menjadi dua, sehingga nilainya tinggal setengah.
Meskipun banyak pemilik uang yang terkena dampak peraturan ini, tetapi pemerintah mulai dapat mengendalikan inflasi agar tidak cepat meningkat. Di samping soal keuangan ini, ekonomi juga dapat diperbaiki, karena dengan meletusnya Perang Korea, perdagangan ke luar negeri meningkat, terutama untuk bahan mentah seperti karet. Dengan meningkatnya ekspor, maka pendapatan negara juga ikut meningkat.
Masalah utama lain terdapat di bidang kepegawaian, baik sipil maupun militer. Setelah selesainya perang, jumlah pasukan harus dikurangi karena keuangan negara yang tidak mendukung. Mereka perlu mendapat penampungan bila pemerintah ingin melakukan program rasionalisasi. Untuk itu pemerintah membuka kesempatan utuk melanjutkan pelajarannya dalam pusat latihan yang memberi pendidikan keahlian untuk memberi mereka kesempatan menempuh karier sipil profesional. Selain itu usaha transmigrasi juga dilakukan, meskipun demikian masalah kepegawaian belum dapat diselesaikan pemerintah RIS.
Dalam pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) intinya diambil dari TNI, sedangkan lainnya dari kalangan bekas anggota KNIL. Personil KNL yang akan dilebur ke dalam APRIS meliputi 33.000 orang dengan 30 perwira.
Pembentukan APRIS menimbulkan kegoncangan psikologis bagi TNI. Di satu pihak TNI keberatan untuk bekerjasama dengan bekas musuh. Sebaliknya dari pihak KNIL terdapat tuntutan untuk ditetapkan sebagai aparat negara bagian, dan menolak masuknya TNI di negara tersebut.
Gejala semacam ini tentunya menimbulkan konflik baru di dalam negeri, contohnya di Bandung berupa gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang mengirimkan ultimatum kepada Pemerintah RIS, dan Negara Pasundan serta menuntut diakui sebagai tentara Pasundan dan menolak pembubaran negara tu.
Sementara itu, di Kalimantan Barat Sultan Hamid menolak masuknya TNI serta menolak untuk mengakui menteri pertahahan RIS dan menyatakan bahwa dia yang berkuasa di daerah tersebut. Di Makassar muncul gerakan Andi Aziz di Ambon, dengan nama gerakan Republik Maluku Selatan (RMS).
Keadaan ini sengaja diwariskan oleh kekuatan reaksioner Belanda, dengan tujuan mempertahankan kepentingan dan membuat kondisi RIS kacau. Jika usaha ini berhasil, maka dunia Internasional akan menganggap RIS tidak mampu memelihara keamanan dan ketertiban di wilayahnya. Selain disibukkan dengan suasana nasional yang tidak stabil akibat bom waktu yang sengaja ditinggalkan pihak kolonialis, pemerintah masih harus menghadapi pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo.
Kembali ke Bentuk Negara Kesatuan
Wacana kembali ke dalam bentuk negara kesatuan dimulai oleh keinginan Negara Indonesia Timur (NIT), dan pemerintah Negara Sumatra Timur (NST), yang menyatakan keinginannya untuk bergabung kembali ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada 8 April 1950 diadakan konferensi segitiga antara RIS-NIT-NST. Akhirnya, tanggal 12 Mei 1950 Kedua negara bagian tersebut memberikan mandatnya kepada perdana menteri RIS, Mohammad Hatta, untuk mengadakan pembicaraan mengenai pembentukan negara kesatuan dengan pemerintah RI.
Sementara itu, rakyat di negara-negara bagian umumnya juga menuntut agar wilayahnya dikembalikan kepada Republik Indonesia, seperti yang dilakukan rakyat Jawa Barat pada 8 Maret 1950. Mereka berbondong-bondong melakukan demonstrasi di Bandung menuntut pembubaran Negara Pasundan, dan seluruh wilayahnya dikembalikan ke dalam RI.
Kesepakatan antara RIS dan RI (sebagai negara bagian) untuk membentuk negara kesatuan tercapai pada tanggal 19 Mei 1950. Setelah dua bulan bekerja, Panitia Gabungan RIS dan RI yang bertugas merancang UUD Negara Kesatuan berhasil menyelesaikan tugasnya pada tanggal 19 Mei 1950.
Setelah itu diadakan pembahasan di masing-masing DPR, rancangan UUD negara kesatuan itu pun diterima dengan baik oleh Senat, Parlemen RIS, dan KNIP. Tanggal 17 Agustus 1950, bertepatan dengan momen kemerdekaan, presiden Soekarno menandatangani rancangan UUD tersebut yang kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (UUDS 1950).
UUDS sendiri mengandung unsur-unsur dari UUD 1945 dan undang-undang dari konstitusi RIS. Menurut UUDS 1950, kekuasaan legislatif dipegang oleh presiden, kabinet, dan DPR. Pemerintah mempunyai hak untuk mengeluarkan undang-undang darurat atau peraturan pemerintah, meskipun pada perkembangannya harus disahkan terlebih dahulu oleh DPR. Selain itu kabinet secara keseluruhan atau perseorangan, masih bertanggung jawab kepada DPR, yang mempunyai hak untuk menjatuhkan kabinet atau memberhentikan menteri.
Dengan ditandanganinya rancangan UUDS, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 secara resmi RIS dibubarkan, dan dibentuk kembali negara kesatuan yang diberi nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
BIBLIOGRAFI
Frederick, William H. 1984. Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: LP3ES.
Hutagalung, Batara R. 2010. Serangan Umum 1 Maret 1949: dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta: LKIS.
Poesponegero, Marwati Djoened. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M. C. 1991. A History of Modern Indonesia. Terj. Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
[1] 7 negara bagian itu adalah Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatra Timur, dan Negara Sumatra Selatan. Sementara yang termasuk ke dalam 9 daerah otonom adalah Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur, Bangka, Belitung, dan Riau.