Kesultanan Tidore sempat tampil sebagai salah satu dari tiga kesultanan terbesar di Maluku Utara, bersama dengan Ternate dan Bacan. Ketiganya saling bersaing untuk meraih hegemoni di wilayah Maluku Utara. Namun, meski sering bersaing, para penguasa atau sultan di pulau-pulau ini terhubung oleh ikatan kekerabatan.
Story Guide
Kekuasaan Tidore
Pulau Tidore sendiri memiliki luas hanya lima mil persegi dan berada pada ketinggian sekitar 1.770 meter (5.900 kaki) di atas permukaan laut. Dengan garis pantai yang sempit dan tanpa rawa-rawa, pulau ini tidak cocok untuk menanam pohon sagu. Oleh karena itu, bahan makanan pokok harus diimpor dari Halmahera dan tempat lainnya.
Namun, Tidore sangat kaya akan cengkeh, yang menjadi komoditas utama. Mayoritas dari 6.332 penduduknya, termasuk 2.221 budak, adalah pemeluk agama Islam yang masuk ke Maluku Utara sekitar abad ke-15. Sebagian besar budak berasal dari pulau-pulau di Papua, daratan Papua Nugini, atau daerah lain di Maluku.
Kekayaan cengkeh memberikan nilai ekonomi yang signifikan, tetapi secara politis, Tidore menjadi penting karena banyak pulau lain yang mengakui otoritasnya sebagai kesultanan.
Wilayah kekuasaan Kesultanan mencakup beberapa daerah penting, seperti Raja Ampat dan Gamrange. Di Kepulauan Raja Ampat, terdapat empat kerajaan kecil: Salawati, Waigeo, Misool, dan Waigama.
Di Halmahera, kekuasaan Tidore meliputi semenanjung timur laut, bagian tengah, dan semenanjung selatan hingga ke selatan sampai garis yang ditarik antara Dehepodo dan Foya.
Komunikasi antara Tidore dan daerah-daerah sekitarnya pada masa itu dilakukan melalui transportasi laut, dengan pelayaran ke daerah-daerah ‘terluar’ yang bisa memakan waktu lebih dari satu bulan.
Kedatangan Islam
Para sejarawan umumnya menganggap masa pemerintahan Raja Ciriliyati atau Sultan Jalmaluddin (1495-1512) sebagai periode awal islamisasi di Tidore. Namun, ada kemungkinan bahwa Islam telah masuk ke wilayah ini jauh sebelumnya.
De Clerq melaporkan bahwa pada 1334 dan 1372, terdapat dua kolano yang menyandang nama Islami, yaitu Nuruddin dan Hasan Syah. Meskipun keduanya belum menggunakan gelar sultan, gelar syah yang digunakan oleh Hasan berasal dari titel kaisar Persia, mirip dengan para raja-raja di Perlak, Pasar, dan Aceh yang memeluk Islam.
Sayangnya, ada celah dalam mata rantai penguasa antara Hasan Syah dan Sultan Jamaluddin. Namun, jika catatan ini benar, dapat dikatakan bahwa komunitas Muslim di Tidore sudah terbentuk sejak abad ke-14.
Baca juga: Islamisasi di Maluku Utara
Menurut Holger Warnk, islamisasi di Tidore tidak bisa dilepaskan dari peran pedagang Arab, Melayu, dan Jawa yang datang ke wilayah tersebut.
Ketika Antonio Galvao mengunjungi Maluku antara tahun 1536 dan 1539, ia mendapati bahwa bahasa Melayu telah digunakan secara luas di Tidore dan menjadi bahasa kedua setelah bahasa Tidore sendiri. Ia bahkan membandingkan penggunaan bahasa Melayu di pulau ini dengan penggunaan bahasa Latin di Eropa.
Sultan Jamaluddin, Penguasa Muslim Pertama di Tidore
Di Tidore, struktur kepemimpinan negara mirip dengan Ternate, di mana sultan menjadi pimpinan tertinggi yang dibantu oleh dewan negara. Dewan negara terdiri dari tiga puluh satu anggota, termasuk empat pejabat utama (jojau, kapiten laut, hukum sangaji, hukum soa-sio) dan dua puluh tujuh (tiga kali sembilan) bobato.
Meskipun komposisinya sedikit berbeda dengan Ternate, jumlah ini mengikuti prinsip adat yaitu empat dan sembilan yang menjadi dasar pola struktur pemerintahan.
Raja pertama Kerajaan Tidore adalah Sahajati, yang merupakan saudara Masyhur Malamo, raja pertama Kerajaan Ternate. Seperti Masyhur Malamo, tidak ada keterangan yang menyebutkan bahwa Sahajati menganut agama Islam.
Sementara itu, Raja Tidore yang terkonfirmasi memeluk agama Islam adalah Raja Ciriati atau Ciriliyati, yang sebelumnya menganut Shamanisme, yaitu pemujaan roh-roh leluhur nenek moyang mereka.
Konversi ke Islam Raja Ciriati ini tidak dapat dilepaskan dari peran Syekh Mansur yang berasal dari Arab. Setelah masuk Islam, Syekh Mansur memberikan gelar Sultan Jamaluddin kepada Raja Ciriliyati.
Keislaman raja ini mempercepat proses islamisasi di kalangan rakyat Tidore, didukung oleh kebijakan kerajaan yang lebih difokuskan untuk membangun madrasah-madrasah dan masjid-masjid sebagai sarana pendidikan dan ibadah rakyat.
Setelah Sultan Jamaluddin wafat, jabatannya sebagai sultan digantikan oleh putra sulungnya, yaitu Sultan Almansur (1512-1526), yang membuka pintu hubungan dengan bangsa-bangsa Eropa, khususnya Spanyol.
Sultan Amiruddin dan Konflik dengan Portugis
Pada tahun 1526, Sultan Almansur wafat, dan baru pada tahun 1529, putra bungsunya, Amiruddin Iskandar Zulkarnain, dilantik menjadi Sultan Tidore pada usia yang masih muda.
Untuk mendukung pemerintahan Sultan muda itu, Kaicil Rade ditunjuk menjadi Mangkubumi. Kaicil Rade bukanlah sembarang bangsawan; ia dikenal sangat cerdas, seorang negosiator ulung yang mahir berbahasa Spanyol dan Portugis, serta komandan perang yang handal. Gubernur Portugis, Antonio Galvao, memandang tinggi kepribadian dan kemampuan Kaicil Rade, bahkan pada akhirnya menjadi sahabatnya.
Persahabatan keduanya bermula saat Sultan Amiruddin, yang akrab dipanggil King Mir oleh orang-orang Eropa, mengambil keputusan berani dengan melindungi Sultan Deyalo yang dimakzulkan Portugis dari takhta Ternate. Penolakan Sultan Amiruddin untuk menyerahkan Deyalo membuka jalan bagi Portugis untuk menyerang Tidore.
Serangan pertama Portugis pada 1535 masih bisa dibendung aliansi Deyalo dan Amiruddin. Pada 1536, Galvao ditunjuk menjadi Gubernur Portugis, yang langsung dihadapkan pada konflik ini. Namun, berkat kecerdikannya, ia berhasil mendesak pasukan Tidore pada 21 Desember 1536.
Konflik baru mereda setelah Kaicil Rade dan Galvao bertemu dan membuat kesepakatan; 1) seluruh rempah-rempah hanya boleh dijual kepada Portugis, dan 2) Portugis menarik armadanya dari Tidore.
Sultan Saifuddin dan Kerjasama dengan VOC
Setelah meninggalnya Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnain pada tahun 1547, Tidore memasuki masa transisi dengan tiga sultan berturut-turut, yaitu Kie Mansur, Iskandar Sani, dan Gapi Baguna. Namun, ketiganya tidak memiliki pencapaian yang signifikan.
Barulah pada tahun 1657, Sultan Saifuddin dilantik dan berkuasa hingga tahun 1689, yang dikenal sebagai salah satu sultan yang berhasil membawa kemajuan dan kehormatan bagi Tidore.
Gaya kepemimpinan Saifuddin yang toleran banyak disamakan dengan Sultan Khairun dari Ternate. Selama 32 tahun memimpin, Saifuddin tidak pernah menghunus pedang atau mengerahkan tentara untuk menyelesaikan masalah.
Sebagai seorang pasifis, ia penuh dengan ide-ide brilian yang kadang sukar diwujudkan. Salah satu gagasannya yang diperjuangkan secara konsisten adalah membangun kembali Maluku yang bertopang pada empat pilar: Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo.
Saifuddin juga sukses membangun hubungan kerja sama dengan VOC. Sebagai politikus ulung, ia tidak mengambil sikap non-kooperatif kepada Belanda seperti sultan-sultan sebelumnya, melainkan memilih bernegosiasi untuk membuat Tidore semakin disegani.
Pada 28 Maret 1667, ia mencapai kesepakatan dengan VOC yang berisi: 1) Pengakuan VOC terhadap kedaulatan Kesultanan atas Raja Ampat dan Papua daratan, dan 2) Kesultanan Tidore memberikan hak monopoli perdagangan rempah-rempah kepada Kompeni. Menariknya, kompensasi yang diterima dari VOC tidak dipakai untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk meningkatkan kemakmuran rakyatnya.
Sayangnya, kehidupan Sultan bijak ini berakhir tragis. Ia menderita penyakit lepra, sebuah penyakit yang sangat ditakuti dan belum ditemukan obatnya saat itu. Kendati dalam kondisi sakit, ia tetap menjalankan tugasnya seperti biasa meski harus mengisolasi diri dalam sebuah kamar kerja.
Karena penyakitnya semakin memburuk, rakyat mengangkat putranya, Kaicil Seram, untuk menggantikannya. Pada 2 Oktober 1687, Saifuddin wafat di istana kesultanan. Beberapa hari kemudian, Kaicil Seram dilantik menjadi sultan dengan gelar Sultan Hamzah Fahruddin.
Perlawanan Sultan Nuku
Mangkatnya Sultan Saifuddin pada tahun 1687 membawa dampak besar bagi Kesultanan Tidore. Dalam waktu satu abad setelah kematiannya, Tidore tidak memiliki sultan sekaliber Saifuddin.
Pergolakan demi pergolakan terjadi tanpa henti, terutama di daerah-daerah seberang laut. Pada 1716, wilayah Kesultanan di Halmahera Timur bergejolak. Rakyat Weda, Patani, Maba, Gebe, dan Bicoli memberontak karena beban upeti yang terlalu berat.
Untuk memadamkan pemberontakan itu, Tidore untuk pertama kalinya dalam sejarah menerima tawaran VOC untuk membantu. Langkah ini ternyata menjadi blunder bagi Kesultanan, karena sejak saat itu VOC selalu mengintervensi urusan internal kerajaan. Puncaknya, Sultan Jamaluddin, ayah dari Pangeran Nuku, dicopot dari jabatannya dan diasingkan pada 1780.
Di tengah situasi menyedihkan ini, muncul seorang pemimpin kharismatik dengan kemampuan militer yang disejajarkan dengan Sultan Baabullah dari Ternate. Sosok itu adalah Kaicil Nuku. Ia sangat membenci intervensi yang dilakukan Kompeni dalam urusan dalam negeri Tidore.
Saat Patra Alam dinobatkan menjadi sultan menggantikan Jamaluddin, Nuku memilih keluar dari Tidore dan mendirikan markas besar perlawanan di antara Patani dan Weda. Ia mengirim pengikutnya ke Maba, Seram Timur, Raja Ampat, dan Papua untuk mencari dukungan. Nuku berusaha merekrut orang-orang Mindanao yang ada di pantai, orang-orang Galela, Loloda, dan Tobelo di Halmahera Timur dan Seram Pasir.
Nuku juga berusaha menghubungi orang-orang Inggris untuk membantunya mengakhiri kekuasaan Kompeni.
Kepentingan Inggris di Maluku selama paruh kedua abad ke-18 tidak terlepas dari meningkatnya kebutuhan atas produk-produk Asia Tenggara sebagai alat pembayaran alternatif di Kanton.
Pada saat itu, East India Company (EIC) tengah kesulitan mendapatkan uang untuk membiayai ekspor sutera dan teh dari Kanton. Oleh sebab itu, EIC berusaha mencari cara untuk membantu kapal-kapal Inggris yang mengarah ke Cina menemukan sumber rempah-rempah. Sebaliknya, EIC juga berniat membuka pasar-pasar baru untuk menjual tekstil India dan opium.
Pada 1780, Nuku memproklamasikan diri sebagai Sultan Tidore dan menegaskan keinginannya untuk menjadikan Tidore negara merdeka yang lepas dari pengaruh Kompeni.
Kesultanan Tidore yang dimaksud meliputi seluruh wilayah Tidore yang utuh, termasuk Makian dan Kayoa, Raja Ampat, Papua daratan, seluruh Seram Timur, Keffing, Geser, Seram Laut, pulau-pulau Garang, Watubela, dan Tor. Selama bertahun-tahun Nuku berjuang melawan Kompeni hingga akhirnya memperoleh kemenangan besar. Ia berhasil membebaskan kesultanannya dari kekuasaan Belanda dan mengembalikan pamornya.
Saat menjadi penguasa, Nuku mendapat gelar kehormatan “Sri Maha Tuan Sultan Syaidul Jihad Amiruddin Syaifuddin Syah Muhammad El Mabus Kaicil Paparangan Jou Barakati.”
Selama masa pemerintahannya, Sultan Kaicil Nuku berusaha mewujudkan empat cita-cita politiknya, yaitu: pertama, mempersatukan seluruh Kesultanan Tidore sebagai suatu kesatuan yang utuh; kedua, memulihkan kembali empat pilar kekuasaan Kesultanan Maluku; ketiga, mengupayakan persekutuan antara keempat kesultanan Maluku; dan keempat, mengenyahkan kekuasaan dan penjajahan asing dari Maluku.
Bagi Tidore, keempat gagasan politik Nuku itu hampir semuanya dapat diwujudkan. Nuku berhasil menghidupkan kembali kebesaran Kesultanan dengan kembali menguasai wilayah seutuhnya. Ia juga berhasil menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo, sehingga empat pilar Maluku dapat kembali utuh.
Selain itu, ia dapat mengusir Belanda untuk sementara waktu. Hanya gagasan ketiganya saja yang terkendala karena keengganan Ternate untuk bersekutu.
Sayangnya, kepemimpinan luar biasa ini harus terhenti pada usianya yang ke-67 tahun. Setelah Nuku wafat, sejarah lama Tidore berulang kembali. Perebutan kekuasaan oleh pengganti-pengganti Nuku dan campur tangan Belanda kembali menyeret Kesultanan ke masa kemunduran.