Islamisasi di Maluku Utara

Membicarakan islamisasi di Maluku Utara bukanlah perkara mudah. Ketiadaan catatan tertulis atau bukti arkeologis membuat sulit untuk menentukan secara pasti kapan Islam pertama kali masuk ke Maluku.

Pola Islamisasi di Maluku Utara

Melihat pola islamisasi di seluruh Nusantara yang sering dilakukan melalui para pedagang, besar kemungkinan bahwa proses islamisasi di Maluku Utara juga terjadi melalui jalur rempah.

Aktor utama di balik penyebaran Islam ini melibatkan pedagang asing dari Asia, seperti Arab, Gujarat, dan Cina. Selain itu, pedagang dari Jawa dan Melayu juga berperan besar dalam penyebaran Islam di Maluku.

Baca juga: Kesultanan Perlak, Kerajaan Islam Pertama di Nusantara

Contoh konkret dari para pedagang ini adalah Syekh Mansur dari Arab, yang berada di Tidore pada masa pemerintahan Kolano Caliati, dan Datuk Maulana Hussein dari Jawa, yang berdakwah di Ternate pada masa Kolano Marhum. Mereka dapat dilihat sebagai representasi pedagang yang turut mengislamkan Maluku.

Pasar menjadi lokasi utama islamisasi di Maluku Utara
Potret Pasar Ternate diambil oleh Boen Kie & Co. KITLV 1405971

Namun, perdagangan bukanlah satu-satunya jalur penyebaran Islam. Para pedagang dari luar Maluku ini juga bergaul dan membaur dengan penduduk lokal, yang kemudian sering diikuti dengan perkawinan, sehingga mempercepat proses islamisasi di wilayah tersebut.

Kapan Islam Masuk Maluku?

Pertanyaan paling mainstream yang ditemukan dalam kajian tentang islamisasi tentu saja tentang kapan tepatnya Islam masuk ke suatu kawasan.

Sejarawan yang fokus pada Maluku umumnya merujuk pada sumber-sumber Portugis yang menetapkan tahun 1486, ketika Sultan Zainal Abidin dari Ternate diangkat, sebagai awal mula sejarah Islam di Maluku.

Alasannya sangat sederhana karena pada tahun tersebut, untuk pertama kalinya penguasa Maluku mengganti gelar kolano dengan gelar sultan.

Meskipun demikian, ada beberapa catatan penjelajah Eropa terdahulu yang menunjukkan kalau Islam telah berkembang di Maluku sebelum periode Zainal Abidin.

Thome Pires, seorang ahli farmasi Portugis, mengatakan kalau Islam telah masuk ke wilayah Maluku 50 tahun sebelum penaklukkan Malaka. Informasi ini didapat dari wawancaranya dengan pedagang Ambon dan Banda di Malaka pada tahun 1512.

Masjid Sultan Ternate
Masjid Sultan Ternate. KITLV 19840

Jika pendapat ini benar, islamisasi di Maluku terjadi sekitar tahun 1459-1460, dua puluh tahun lebih awal dari masa Zainal Abidin. Mengingat Kaicil Marhum sebelumnya telah diislamkan oleh Datuk Maula Hussein dan dimakamkan sesuai syariat Islam, laporan para pedagang Ambon dan Banda tersebut cukup bisa dipertanggungjawabkan.

Sementara itu, de Clerq melaporkan bahwa antara tahun 1334-1372, terdapat dua kolano Tidore yang bernama Nuruddin dan Hasan Syah. Meskipun mereka belum menggunakan gelar sultan, gelar syah yang digunakan oleh Hasan menunjukkan identitas sebagai raja beragama Islam, mirip dengan gelar kaisar Persia dan raja-raja Aceh. Apabila asumsi ini benar, Islam telah masuk ke Tidore sekitar tahun 1372, bukan pada masa pemerintahan Sultan Jamaluddin (Raja Caliati).

Pigafetta menulis bahwa islamisasi di Maluku dilakukan sekitar lima puluh tahun sebelum kedatangannya, yaitu sekitar tahun 1469. Perlu dicatat, Pigafetta tiba di Maluku pada tahun 1521 dan kembali ke negerinya bersama ekspedisi Spanyol dari Tidore.

Menurut Kern, Islam masuk ke Maluku Utara dibawa oleh para pedagang Jawa. Ia tidak menyebutkan angka pasti, tetapi menyatakan bahwa Islam masuk ke Ternate dan Tidore pada pertengahan abad ke-15.

Dengan demikian, meskipun ada berbagai sumber yang memberikan pandangan berbeda tentang kapan Islam masuk ke Maluku, mayoritas bukti menunjukkan bahwa proses islamisasi sudah berlangsung jauh sebelum pelantikan Sultan Zainal Abidin.

Datu Maula Hussein

Dalam setiap kisah islamisasi di Indonesia, selalu ada tokoh yang menonjol dan mewakili representasi Muslim pada masa itu. Pakem ini juga terlihat dalam penulisan sejarah Islam di Maluku.

Datu Maula Hussein sering dikaitkan dengan penyebaran Islam pada periode awal di Maluku. Ia tiba di Ternate pada tahun 1465. Selain sebagai pedagang, Maula Hussein juga dikenal sebagai pendakwah terkenal pada masanya, dengan pengetahuan agama yang luas serta keahlian dalam tilawah dan kaligrafi.

Baca juga: Kesultanan Ternate

Menurut sebuah sumber, Maula Hussein berasal dari Minangkabau tetapi sempat lama tinggal di Gresik. Setelah tiba di Ternate, kemampuannya membaca al-Quran membuat banyak orang terpukau.

Sebagian orang yang mendengar lantunan tilawahnya merasa tertarik untuk belajar. Maula Hussein bersedia mengajari mereka dengan syarat mereka harus memeluk Islam terlebih dahulu.

Orang-orang Ternate tidak keberatan dengan syarat tersebut dan berbondong-bondong masuk Islam.

Kabar tentang peralihan agama secara massal ini sampai ke istana dan membuat Kolano Marhum penasaran.

Makam Sultan Ternate
Makam Sultan Ternate.
KITLV 10327

Kolano kemudian mengundang Maula Hussein ke istana untuk membaca al-Quran. Singkat cerita, Kolano terkesan dengan bacaan tersebut dan memutuskan untuk memeluk Islam. Langkah Kolano Marhum ini diikuti oleh para bobato dan keluarganya.

Kemunculan Kerajaan Islam di Maluku

Setelah Kolano Marhum wafat, putranya, Zainal Abidin, menggantikannya dan membawa perubahan radikal yang menjadikan Ternate sebagai kerajaan Islam.

Sebelum menjadi raja, Zainal Abidin menerima pendidikan formal dari Datu Maula Hussein. Pada tahun 1495, ia pergi ke Jawa untuk berguru pada Sunan Giri di Gresik..

Istana Sultan Ternate
Istana Ternate. KITLV 82725

Selama di Jawa, Zainal Abidin merekrut beberapa guru agama, salah satunya adalah Tuhubahahul, yang kemudian ikut ke Ternate untuk membantu menyebarkan agama dan budaya Islam.

Para ulama Jawa yang dibawa ke Ternate diberi tugas sebagai guru agama, mubalig, dan imam. Inilah cikal bakal lahirnya lembaga Imam Jawa dalam struktur Bobato Akhirat di Kesultanan Ternate.

Baca juga: Menelusuri Jejak Kesultanan Sulu (1457-2013)

Dari hari pertama pemerintahannya, Zainal Abidin langsung melakukan perubahan struktural, institusional, dan yudisial di kerajaan.

Salah satu perubahan paling kentara adalah pergantian gelar raja dari kolano menjadi sultan, yang menegaskan Ternate sebagai kerajaan Islam..

Perubahan gelar ini diikuti dengan pembentukan lembaga baru bernama Lembaga Jolebe (Bobato Berjubah Putih) dalam struktur pemerintahan Ternate. Lembaga ini bertugas membantu sultan dalam menyelesaikan urusan terkait agama Islam.

Bobato Berjubah Putih berdiri berdampingan dengan Bobato Berjubah Hitam, yang membantu sultan mengurus urusan pemerintahan.

Di dalam lembaga baru itu, Sultan berperan sebagai pembina agama Islam (Amir al-Din) yang membawahi seorang kalem (qadhi), empat orang imam, delapan orang khatib, dan enam belas orang moding. Mereka bersinergi menjalankan fungsi-fungsi keagamaan dan syariat Islam.

Menariknya, meskipun sultan berperan sebagai amir al-din, ia tidak pernah mencampuri urusan hukum Islam. Satu-satunya hak prerogatif sultan dalam hal ini adalah pemberian wali hakim kepada calon perempuan yang tidak mempunyai wali.

Perubahan struktur kelembagaan di Ternate ini memberikan pengaruh besar terhadap kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Kerajaan-kerajaan seperti Tidore dan Bacan kemudian turut menerapkan struktur dan kelembagaan yang mirip dengan yang diperkenalkan di Ternate.

Daftar Pustaka

Amal, M. A. (2016). Kepulauan rempah-rempah. Kepustakaan Populer Gramedia.

Andaya, L. Y. (2015). Dunia Maluku: Dunia Maluku Indonesia Timur pada zaman modern awal. Yogyakarta: Ombak.

de Clerq, F.S.A. (1890). Bijdragen tot de Kennis der Residentie Ternate. Leiden: Brill.

Leirissa, R. Z., & Shalfiyanti, G. (1999). Ternate sebagai bandar jalur sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Widjojo, M. (2008). The revolt of Prince Nuku: Cross-cultural alliance-making in Maluku, c. 1780-1810. In The Revolt of Prince Nuku. Brill.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *