Tragedi Bintaro merupakan peristiwa kecelakaan kereta api yang terjadi di Bintaro, Tangerang pada tanggal 19 Oktober 1987. Kecelakaan tragis ini melibatkan kereta api (KA) 220 Patas Merak dan KA 225 di Pondok Betung, Bintaro. Peristiwa ini menjadi salah satu tragedi terburuk dalam sejarah perkeretaapian Indonesia.
Story Guide
Pemicu Tragedi Bintaro
Tragedi Bintaro bermula dari kabar bahwa KA 220 Jurusan Tanah Abang – Merak yang ditarik lokomotif BB303 berangkat dari stasiun Kebayoran menuju stasiun Sudimara. Kabar ini mengejutkan petugas di stasiun Sudimara karena ketiga lajur kereta atau sepur di stasiun Sudimara terisi oleh kereta, salah satunya KA 225 Rangkas Bitung – Jakarta Kota yang ditarik lokomotif BB306.
Karena keterbatasan ruang di Sudimara untuk melakukan persilangan antarkereta, KA 225 harus melanjutkan perjalanan ke stasiun berikutnya, Kebayoran, di jalur tunggal tanpa ada perhentian di antara keduanya.
Sesuai prosedur, petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) Sudimara harus menghubungi PPKA Kebayoran untuk meminta izin memindahkan tempat persilangan dan mengirimkan Surat Pemindahan Tempat Persilangan (PTP) kepada masinis dan kondektur KA 225.
Sayangnya, Surat PTP itu disampaikan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada PPKA Kebayoran. Bahkan, prosedur pengiriman surat itu juga tidak terpenuhi karena diserahkan melalui petugas pelayanan kereta api (PLKA) sebelum sampai kepada masinis dan kondektur KA 225.
Baru setelah itu, Pemimpin Perjalanan Kereta Api (PPKA) Stasiun Sudimara, Djamhari, meminta agar persilangan dilakukan di Stasiun Kebayoran. Tidak berselang lama, terjadi pergantian shift petugas PPKA di stasiun Kebayoran. Petugas PPKA baru tidak mengetahui rencana ini karena komunikasi yang kurang jelas. Akibatnya, KA 220 diberangkatkan dengan asumsi bahwa persilangan akan dilakukan di Sudimara.
Setelah akhirnya tahu dari PPKA Kebayoran bahwa KA 220 telah berangkat menuju Sudimara, Djamhari yang kebingungan berupaya mengosongkan salah satu sepur di Sudimara untuk KA 220. Caranya dengan memindahkan rangkaian KA 225 yang sudah dipadati penumpang di sepur 3 ke sepur 1 yang sebenarnya sudah ada rangkaian tujuh gerbong. KAA 225 direncanakan berhenti di Sudimara dahulu sampai kereta api dari Jakarta lewat.
Sayangnya, kabar rencana pemindahan ini naasnya tidak sampai kepada masinis KA 225 Slamet Suradyo. Akibatnya, Slamet tetap mengemudikan kereta dari stasiun Sudimara ke Kebayoran sesuai dengan rencana awal.
Berdasarkan kesaksian Djamhari, ia sudah memerintahkan seorang petugas harian stasiun untuk melangsir kereta. Petugas itu segera mengambil bendera merah dan selompret. Namun, saat akan dilangsir, masinis tidak dapat melihat semboyan karena pandangan terhalang oleh penumpang. Sebelum petugas mencapai kereta, tiba-tiba KA 225 mulai bergerak tanpa perintah selompret. Petugas stasiun berusaha menghentikan KA 225 dengan selompret, tetapi usahanya sia-sia.
Petugas stasiun tersebut melaporkan kejadian tersebut kepada Djamhari bahwa KA 225 sudah berangkat tanpa izin. Djamhari segera menggerakkan tuas sinyal masuk ke arah Kebayoran, tetapi upaya untuk menghentikan kereta gagal. Djamhari kemudian berlari di tengah rel sambil mengibar bendera merah ke arah KA 225, tapi usahanya tidak berhasil. Akibatnya, Djamhari kembali ke Stasiun Sudimara dalam keadaan pingsan.
Masinis KA 225 yang tidak menyadari bahaya yang mendekat seketika terkejut begitu melihat KA 220 telah berada di depan mata. Meski sudah menarik tuas rem bahaya, benturan head to head tak dapat dihindari. Insiden tragis itu terjadi pada tikungan S, km 17+252, sekitar pukul 07.00 WIB.
Tabrakan tersebut menyebabkan kerusakan parah pada lokomotif dan gerbong pertama di kedua kereta, menyebabkan banyak penumpang mengalami luka serius bahkan ada yang meninggal dunia.
KA 225 Rangkas Bitung – Jakarta Kota membawa lebih dari 1.887 penumpang, melebihi kapasitasnya hingga 200 persen. Saat itu, penumpang masih leluasa menaiki atap kereta atau memadati gerbong kereta hingga penuh. Sementara itu, KA 220 Tanah Abang – Merak membawa 478 penumpang dalam kapasitas yang masih normal sehingga penumpang dapat duduk di kursi masing-masing.
Dampak Tragedi Bintaro
Tragedi Bintaro merenggut nyawa 139 orang, dengan 72 korban meninggal di lokasi kejadian dan 254 lainnya mengalami luka-luka (170 dirawat di rumah sakit dan 84 mengalami luka ringan). Kecelakaan yang tragis ini tercatat sebagai salah satu peristiwa terburuk dalam sejarah perkeretaapian Indonesia.
Slamet Suradio, masinis KA 225, dihukum penjara selama 5 tahun dan kehilangan pekerjaannya. Setelah menghabiskan 3,5 tahun di Lapas Cipinang, ia dibebaskan. Namun, saat kembali, ia hanya melakukan apel di kantornya karena sudah dibebastugaskan dari pekerjaannya. Pada tahun 1996, ia dipecat secara tidak hormat oleh Departemen Perhubungan Indonesia melalui Surat Keputusan No. 4/KP.602/Pnb-96 dan tidak mendapatkan uang pensiun. Akhirnya, ia mencari nafkah sebagai pedagang rokok.
Slamet merasa hanya dijadikan kambing hitam atas kejadian tersebut, mengingat ia telah mengikuti prosedur dengan menggunakan PTP yang diterimanya sebelum memberangkatkan kereta. Ia juga sempat dituduh melompat dari kereta oleh koran Pembaruan, padahal ia juga menjadi korban tabrakan dan mengalami luka cukup serius.
Nasib serupa juga menimpa Adung Syafei, kondektur KA 225, yang harus mendekam di penjara selama 2,5 tahun. Sementara itu, PPKA Djamhari dan Umriyadi dihukum 10 bulan penjara.
Setelah tragedi ini, PT Kereta Api Indonesia (KAI) melakukan berbagai upaya untuk mencegah kejadian serupa di masa depan. Salah satunya adalah dengan melakukan pengecekan rutin pada jalur kereta api dan melakukan pembaruan pada sistem sinyal. Selain itu, KAI juga melakukan peningkatan pada sistem pelatihan bagi para masinis dan petugas kereta api lainnya.
Baca juga: Geliat Prostitusi di Seputar Jalur Kereta Api Kolonial
Tragedi Bintaro tidak hanya berdampak pada korban dan keluarganya, tetapi juga pada masyarakat luas. Peristiwa ini menjadi peringatan keras bagi masyarakat tentang pentingnya keselamatan dalam bertransportasi. Selain itu, tragedi ini juga menjadi momentum bagi pemerintah dan PT KAI untuk terus meningkatkan layanan dan keselamatan transportasi kereta api di Indonesia.