Tidak dapat dipungkiri pandemi Covid-19 yang terjadi dewasa ini membawa dampak besar bagi kehidupan manusia. Seluruh lini kehidupan menjadi lumpuh seketika hanya dalam waktu singkat. Namun, wabah penyakit bukanlah hal yang baru dalam sejarah manusia. Dari berbagai periodesasi sejarah, wabah penyakit seolah tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia itu sendiri. Demikan juga wabah pada periode klasik Islam, yang turut mengiringi perkembangan peradaban Islam saat itu.
Beberapa wabah besar yang terjadi pada periode klasik Islam masih merupakan kelanjutan dari pandemi Yustinian, yang melanda wilayah Mediterania lebih dari dua abad sebelumnya. Banyak teori yang mengatakan bahwa wabah ini turut memudahkan tumbuhnya peradaban Islam, seiring dengan melemahnya kekuatan Bizantium akibat wabah. Namun di sisi lain, umat Islam juga dihantui wabah ini, terbukti dengan banyaknya kematian massal yang terjadi pada periode klasik Islam.Pada periode ini setidaknya ada lima wabah besar yang melanda dunia Islam.
Story Guide
Kemunculan Wabah Besar di Timur Tengah
Menurut sejarawan Yunani Procopius, pada musim panas tahun 541 M, penyakit menular yang mematikan muncul di kota pelabuhan Pelusium, Mesir. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Yersinia Pestis Bacilus ini menyebar dengan cepat ke arah timur melewati sepanjang pantai menyebar masuk ke Gaza dan ke barat ke arah Alexandria (Procopius, 1914: 453).
Memasuki musim panas tahun 542 M, ternyata penyakit ini telah sampai Konstantinopel, Ibukota Kekaisaran Romawi (Procopius, 1914: 455). Ketika seseorang terkena penyakit ini gejala awal yang mereka rasakan hanya sebatas demam. Beberapa hari kemudian gejala bertambah parah dengan mulai membengkaknya bagian tubuh. Bagian yang membengkak itu lalu melepuh, berubah menjadi berwarnah hitam dan dipenuhi nanah. Saat penderita menyadari gejala lanjutan ini, berarti mereka telah terlambat.. bakteri telah menyebar ke seluruh tubuh dan dalam waktu singkat penderita akan mati.
Di Konstantinopel, wabah pes mengamuk, menyebabkan sekitar 300.000 orang meninggal dalam waktu satu tahun. Bahkan, kaisar Bizantium, Justinianus ikut terkena wabah, meskipun pada akhirnya pulih.
Meskipun demikian, ambisi militernya tidak dapat pulih seperti sedia kala. Kematian massal yang disebabkan wabah menganggalkan ambisinya untuk merebut provinsi-provinsi barat dan memulihkan kekaisaran Romawi seperti sedia kala (Khon, 2008: 216).
Selama hampir dua abad penyakit ini tidak pernah benar-benar hilang dari wilayah Timur Tengah. Saat orang-orang mengira penyakit ini telah lenyap, wabah muncul kembali dan menyebabkan kematian massal. Salah satu wilayah yang turut tekena dampak cukup parah adalah wilayah Arab. Saat peradaban Islam mulai tumbuh di tanah Arab, setidaknya lima wabah besar terjadi.
Wabah Shirawayh
Wabah ini dianggap sebagai wabah pertama pada periode klasik Islam. Epicentrum wabah yang terjadi pada 6AH / 627-628 M terletak di Ctesiphon (al-Mada’in), ibu kota di Persia. Oleh sebab itu, nama wabah ini diambil dari nama Raja Persia, Siroes, yang juga meninggal karena wabah ini pada 629M (Dolls, 1977: 20).
Al-Tabari menyebutkan bahwa begitu banyak orang Persia meninggal selama epidemi ini. Kesaksian mengenai wabah yang terjadi pada awal kemunculan Islam tidak ditulis pada abad ke-7. Masih minimnya tradisi penulisan pada abad itu menyebabkan catatan mengenai wabah baru di tulis abad-abad berikutnya. Akibatnya, data yang diperoleh pun seadanya, tidak ada kepastian jumlah korban dan bagaiman wabah dimulai..
Wabah Amwas
Wabah paling terkenal pada periode klasik ini mulai menjangkiti kamp pasukan muslim yang berada di Amwas, Palestina pada bulan Januari dan Februari 638M, kemudian gelombang kedua muncul pada tahun berikutnya yang jangkauannya hingga ke seluruh wilayah Suriah.
Wabah ini muncul bersamaan dengan kelaparan parah yang melanda wilayah Suriah dan Palestina, sehingga disebut sebagai tahun al-Ramadah (al-Tabarai, 1989: 151). Kelaparan itu menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh manusia dan menarik tikus yang terinfeksi wabah ke wilayah pemukiman untuk mencari makan. Akibatnya, manusia menjadi banyak bersentuhan dengan tikus yang membawa bakteri. Akhirnya wabah menyebar dengan cepat keseluruh wilayah Suriah.
Berdasarkan catatan sejarah, wabah ini menyebabkan sekitar 25.000 tentara muslim meninggal. Banyak sahabat nabi meninggal akibat wabah Amwas, di antaranya Abu Ubaydah, Yazid ibn abi Sufyan, Muadh ibn Jabal dan putranya, Shurahbil ibn Hasanah, al-Fadl ibn al-Abbas, Abu Malik al-Ashari, al-Hareth bin Hisham, dan Abu Jandal,
Dampak wabah itu sangat parah dan mengakibatkan kepanikan menyebar di antara pasukan muslim. Meskipun demikian tidak banyak yang mereka lakukan saat wabah terjadi. Untuk menghadapi wabah ini mereka hanya mengandalkan tiga prinsip yang diajarkan nabi dalam menghadapi wabah
- Wabah adalah bentuk rahmad dan kesyahidan bagi muslim yang taat; dan hukuman bagi orang kafir.
- Seorang muslim tidak boleh masuk atau lari dari wilayah yang dilanda wabah.
- Tidak ada penularan wabah, karena penyakit itu berasal dari Allah.
Saat wabah mulai melanda Amwas, Abu Ubaydah dan pasukan meyakini bahwa wabah ini adalah rahmat dari Allah yang sudah ditetapkan bagi mereka, oleh sebab itu pasukan muslim di Amwas tetap bertahan tanpa banyak melakukan tindakan (Dolls, 1974: 377).
Khalifah Umar yang mendengar kabar ini segera bergegas menuju wilayah Suriah untuk melihat keadaan. Setibanya di kota Sargh, ia mendengar kabar bahwa wabah telah meyebar di wilayah Suriah-Palestina dan menyebabkan kematian massal.
Umar lalu memanggil dewan Muhajirin (termasuk Abu Ubaydah) dan Ansar untuk berdiskusi mengenai masalah tersebut. Abdurrahman ibn Auf mengingatkan Umar bahwa Rasulullah melarang untuk memasuki wilayah yang terkena wabah.
Setelah mendengar berbagai masukan, Umar akhirnya memutuskan untuk kembali ke Madinah bersama orang-orang yang menemaninya. Abu Ubaydah memprotes keputusan itu dan menganggap sebagai upaya untuk melarikan diri dari ketetapan Allah. Umar menjawab bahwa ia lari dari ketetapan Allah untuk ketetapan Allah yang lain (al-Tabari, 1989: 93).
Dalam perjalanannya kembali ke Madinah, Umar masih memikirkan cara untuk mengatasi wabah ini. Prioritas pertamanya adalah mencegah wabah dan menenangkan umat Islam yang tengah dilanda kepanikan. Untuk itu, ia menyempatkan diri bertemu kepala desa pemukiman muslim untuk memberikan instruksi tata cara penguburan jenazah korban wabah dan memberikan informasi mengenai wabah ini (Dols, 1974: 378).
Saat gelombang kedua wabah melanda Suriah pada 639M. Umar kembali meminta Abu Ubaydah untuk kembali ke Madinah untuk mencegah kematiannya. Namun sekali lagi Abu Ubaydah menolaknya dan memilih tetap bersama pasukannya di Suriah.
Umar pun akhirnya memerintahkan Abu Ubaydah untuk memindahkan tentara dari daerah yang terinfeksi di Yordania ke daerah yang lebih aman di dataran tinggi “al-Jabiah”, Hauran. Namun dalam perjalanan, Abu Ubaydah sendiri meninggal akibat penyakit ini (al-Tabari, 1989: 99).
Wabah al-Jarif
Wabah al-Jarif menyapu wilayah Basrah di Irak Selatan layaknya sebuah banjir pada tahun 688-689 M. Puncak wabah al-Jarif terjadi pada bulan Syawal 69H/April 689, Di Shawwal 69 / April 689. Dalam tiga hari berturut-turut 70000, 71000, dan 73000 meninggal di kota. Kebanyakan dari korban wabah ini meninggal dalam waktu singkat (kebanyakan pada hari keempat setelah terjangkit).
Karena banyaknya korban yang meninggal, muncul kesulitan untuk menguburkan jenazah. Sementara kematian massal terjadi, ancaman penjarahan dan hewan buas juga muncul, untuk itu muncul upaya untuk mengunci rumah yang penhuninya telah meninggal.
Epidemi wabah juga terjadi di Suriah dan menyebar ke Mesir. Ibn Kathir menyatakan bahwa selama epidemi berlangsung, Gubernur Mesir Abd al-Aziz ibn marwan (65-85 / 685-704) melarikan diri ke provinsi ash-Sharqiyah untuk menyelamatkan diri (Dols, 1974: 379).
Wabah al-Fatayat dan Wabah al-Ashraf
Wabah al-Fatayat melanda wilayah Basrah pada 87H/706M. Disebut sebagai wabah al-Fatayat karena mayoritas korban yang meninggal adalah apra wanita muda. Banyak penduduk kota Basrah melarikan diri akibat wabah ini.
Sementara wabah besar kelima adalah wabah al-Ashraf. Wabah ini melanda Irak dan Suriah pada tahun 716-717 saat masa pada 19 / 716-717 di Irak dan Suriah. Epidemi wabah itu terjadi bersamaan dengan penindasan yang dilakukan Gubernur Umayyah di Irak al-Hajjaj ibn Yusuf. Banyak tokoh penting meninggal akibat wabah ini. Salah satunya adalah putra mahkota, Ayyub ibn Sulaiman ibn ‘Abdul al-Malik yang meninggal akibat wabah ini. Sementara itu, ayah Ayyub, Khalifah Sulaiman berusaha melarikan diri dari wabah ini. Namun ia meninggal (kemungkinan akibat wabah) di wilayah Dabiq pada Oktober 717 (Dols, 1974: 379).
Dampak Wabah terhadap Peradaban Islam Periode Klasik
Sulit untuk dipungkiri bahwa salah satu dampak nyata dari wabah yang terus berulang ini adalah melemahnya kekuatan Bizantium dan Sasaniyah di Timur Tengah. Josiah Russell memperkirakan wabah yang terjadi antara 541-700M, mengurangi jumlah populasi Eropa-Mediterania sebanyak 50-60% (Russell, 1968: 180) . Tingkat kematian yang lebih tinggi dibandingkan orang-orang Arab menyebabkan Bizantium terus melemah, sementara kekuatan Arab terus tumbuh terutama pada masa nabi.
Namun di lain pihak, wabah juga merugikan pasukan ekspansi Arab yang sedang menggempur wilayah Bizantium. Tercatat wabah menggagalkan dua kali upaya pengepungan Konstantinopel pada 668 dan 717 yang dilakukan pada masa Dinasti Umayyah (Mango dan Scott, 1977: 456). Karena itu Kekaisaran Bizantium tetap bertahan pada periode keemasan Islam ini.
Sementara untuk politik internal umat Islam, wabah berperan penting terhadap kemunduran Dinasti Umayyah dan kemunculan Dinasti Abbasiyah.
Dinasti Umayyah benar-benar dirugikan akibat wabah penyakit ini. Muawiyah II meninggal karena wabah pada tahun 64/683, hanya beberapa bulan setelah masa pemerintahannya dimulai. Beberapa informan mengklaim bahwa khalifah Marwan meninggal karena wabah. Wabah juga menimpa tokoh elit pemerintahan lainnya, seperti Ziyad bin Abi Sufyan, yang meninggal di Kufah pada 52/673 (Dols, 1974: 380).
Karena alasan ini, ketika musim wabah datang selama musim panas, para khalifah Ummayyah cenderung memilih meninggalkan kota untuk tinggal di istana gurun mereka, dekat dengan orang-orang badui. Akibat pengasingan ini pemerintah mereka pun terganggu, belum lagi diperparah dengan terus berkurangnya jumlah populasi.
Wabah lebih banyak terjadi di wilayah Suriah-Palestina dan Irak daripada di Mesir dan Persia. Wabah yang terus bermunculan mengakitbatkan melambatnya pertumbuhan populasi.
Sementara populasi Arab yang banyak menghuni wilayah Persia cenderung lebih sedikit terrdampak wabah. Dengan demikian kekuatan Dinasti Abbasiyah tetap terus tumbuh di saat kekuatan Dinasti Umayyah melemah. Karena itu tidak salah apabila mengatakan wabah memudahkan jalan Dinasti Abbasiyah untuk meraih tampuk kekuasaan.
Daftar Pustaka
Al-Tabari. The History of al-Tabar Vol. 13i: The Conquest of Iraq, Southwestern Persia, and Egypt, terj. G. H. A. Juynboll. New York: University of New York Press, 1989.
Dols, Michael W. “Plague in Early Islamic History.” Journal of the American Oriental Society, vol. 94, no. 3, 1974, pp. 371–383.
DOLS, MICHAEL WALTERS. The Black Death in the Middle East. Princenton: Princeton University Press, 1977.
Kohn, George C (Ed.). Encyclopedia of Plague and Pestilence: From Ancient Times to the Present. New York: Info Base Publishing, 2008.
Mango, Cyril; Scott, Roger. The Chronicle of Theophanes Confessor. Byzantine and Near Eastern History, AD 284–813. Oxford: Oxford University Press, 1977.
Procopius. History Of The Wars, Books I And II. Terj. H. B. Dewing. London: William Heinemann Ltd, 1914.
Russell, Josiah C. “That Earlier Plague”. Demography, vol. 5, no. 1, 1968.