Kejayaan Dinasti Umayyah di Damaskus (693-743M)

Share your love

Periode kejayaan dinasti Umayyah secara resmi baru dimulai setelah berakhirnya peperangan, antara keturunan Marwan ibn al-Hakam dengan Abdullah ibn al-Zubair. Sebab, setelah kematian Yazid ibn Muawiyah, diikuti penarikan pasukan dari tanah Arab, Abdullah ibn al-Zubair diproklamirkan sebagai khalifah yang sah. Selain daerah tempat tinggalnya di Hijaz, daerah-daerah seperti Arab Selatan, Mesir, dan sebagian Suriah kemudian mengakuinya sebagai khalifah yang baru.

Kepemimpinan Dinasti Umayyah yang sebelumnya kosong pasca meninggalnya Mu’awiyah II (683-684 M), dipegang oleh Marwan ibn al-Hakam (684-685 M), sepupu dan mantan sekretaris Utsman ibn Affan. Sadar akan kekuatan dinasti Umayyah yang tercerai berai, Marwan mencoba melakukan konsolidasi kekuatan untuk melawan kekuatan dari Hijaz dan mengambil kembali legitimasi sebagai khalifah yang sah.

Perlawanan melawan Ibn al-Zubair, mencapai puncaknya pada masa Abdul Malik (685-705), putra Marwan. Abd al-Malik mengirim jenderal tangan besi yang merupakan tangan kanannya, al-Hajjaj. Dia berhasil menghancurkan gerakan anti khalifah Umayyah. Sejak 25 Maret 692 M, al-Hajjaj telah mengepung Mekah selama enam setengah bulan.

Terinspirasi oleh semangat kepahlawanan ibunya, Asma’ binti Abu Bakar dan bibinya A’isyah, Ibn al-Zubair berperang gigih melawan al-Hajjaj hingga akhirnya terbunuh pada tahun 693 M. Kepalanya dikirim ke Damaskus, dan tubuhnya digantung untuk beberapa lama, sebelum dikembalikan kepada ibunya. Sejak saat itu, kekuatan kaum Anshar di Hijaz berhasil ditaklukkan, dan kekhalifahan Umayyah kembali berdiri tegak.

 

Khalifah-Khalifah pada Periode Kejayaan Dinasti Umayyah

kejayaan dinasti umayyah
Wilayah Umayyah masa kejayaan

Seperti yang sudah dipaparkan di atas, bahwa periode kejayaan dinasti Umayyah dimulai pada masa kepemimpinan Abdul Malik. Periode kejayaan ini bertahan hingga masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz, sebelum akhirnya dinasti Umayyah memasuki fase disintegrasi untuk kedua kalinya.

Pemerintahan Abdul Malik ibn Marwan

Abdul Malik ibn Marwan ibn al-Hakam ibn Abi al-‘Ash ibn Umayyah lahir pada tahun 647 M/ 26 H dan meninggal pada tahun 705 M. Sejak usia mudanya ia dikenal sebagai seorang ahli ibadah yang terkenal. Ia dilantik sebagai khalifah berdasarkan wasiat ayahnya, Marwan I (685 M), pada masa pemerintahan Abdullan ibn al-Zubair, dan dianggap sebagai khalifah yang tidak sah.

Sejak diangkat sebagai khalifah, dan selama sepuluh tahun pertama kekhalifahannya, Abdul Malik banyak dijegal oleh lawan-lawannya, dan seperti pendahulunya, Muawiyah I, ia juga harus menghadapi musuh di berbagai wilayah.

Meskipun dianggap sebagai khalifah yang tidak sah, ia mampu menguasai Mesir dan Syam, kemudian Irak dan wilayah-wilayah sekitarnya hingga peristiwa terbunuhnya Abdullah ibn Zubair. Sejak terbunuhnya Abdullah ibn al-Zubair pemerintahannya diangap sah, dan pemerintahan dinasti Umayyah secara bertahap kembali stabil.

 

Usaha Stabilisasi Wilayah Dinasti Umayyah

Keberhasilan Abdul Malik dalam menjaga stabilitas dan memperluas wilayahnya tidak terlepas dari kesetiaan dan kegigihan dua panglima perang andalannya di wilayah barat dan timur kerajaan. Dengan kata lain, capaian militer yang gemilang saat itu adalah berkat komando al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi di sebelah timur dan Musa ibn Nushayr di sebelah barat.

Al-Hajjaj, mantan kepala sekolah di Taif, seperti yang telah dipaparkan di atas merupakan tokoh yang berjasa mengokohkan kembali kekhalifahan dinasti Umayyah. Setelah berhasil mengalahkan perlawanan Abdullah ibn al-Zubair, ia diangkat menjadi gubernur Arab pada usianya ke-31 tahun.

Dalam kurun waktu dua tahun, al-Hajjaj berhasil mengendalikan keamanan di Hijaz, setelah itu di Yaman, dan Yamamah di sebelah timur. Pada Desember 694 M, ia dipanggil oleh khalifah untuk mengemban tugas serupa di Irak yang selalu bergolak, yang penduduknya dikenal sebagai “orang-orang yang suka berselisisih dan bermuka dua.”

Di kota Irak, Syiah dan kaum Khawarij selalu menjadi oposisi yang mengancam dinasti Umayyah. Kedatangan al-Hajjaj tidak diduga-duga penduduk setempat, setelah tiba di Irak al-Hajjaj langsung berkhutbah yang berisi peringatan kepada penduduk Irak, bahwa ia tidak segan-segan memenggal penduduk yang membangkang.

Khutbah yang berisi peringatan itu bukanlah kata-kata kosong. Bagi al-Hajjaj, tidak ada orang yang tidak dapat ia taklukkan atau dibunuh. Bahkan leher Anas ibn Malik, seorang ahli hadis dan sahabat nabi, pernah diikat dengan kalung yang bertuliskan nama al-Hajjaj, karena dituduh telah bersimpati kepada pihak oposisi.

Meskipun al-Hajjaj memperlakukan penduduk dengan keras, tetapi al-Hajjaj berhasil meredakan pemberontakan di Irak hingga Persia. Komandan pasukannya, yang dipimpin oleh al-Muhallab ibn Abi Shufrah, juga berhasil menghancurkan kelompok Azraqi (699 M), salah satu sekte Khawarij yang paling berbahaya. Keberhasilan-keberhasilan tersebut menjadikan peran al-Hajjaj sangatlah vital bagi stabilitas pemerintahan Umayyah.

Arabisasi dan Reformasi Administrasi Negara

Abdul Malik menjadi perintis usaha Arabisasi dalam berbagai bidang. Diantaranya meliputi perubahan bahasa yang digunakan dalam catatan administrasi publik dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab di Damaskus, dan dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arab di Irak dan provinsi bagian timur, serta penerbitan uang logam arab.

Perubahan bahasa secara otomatis menyebabkan perubahan struktur kepegawaian. Orang-orang asli Arab mulai banyak mengisi posisi-posisi penting bidang administrasi, sementara pegawai non-Arab ang telah menguasai bahasa Arab dipertahankan. Peralihan ini berjalan cukup lama, dimulai sejak pemerintahan Abdul Malik hingga pemerintahan penerusnya.

Abdul Malik juga merombak struktur pemerintahan, yang pada masanya ditentukan oleh empat departemen pokok. Keempat kementrian ini adalah:

  1. Kementrian Pajak Tanah (diwan al-kharraj) yang tugasnya mengawasi departemen keuangan.
  2. Kementerian Khatam (diwan al-Khatam) yang bertugas merancang dan mengesahkan ordonansi pememrintah. Sebagaimana masa Muawiyah, telah diperkenalkan materai resmi untuk memorandum dari khalifah, maka setiap tiruan dari memorandum itu dibuat, kemudian ditempus dengan benang dan disegel dengan lili, yang akhirnya dipres dengan segel kerajaan.
  3. Kementerian Surat Menyurat (diwan al-Rasail), dipercayakan untuk mengontrol permasalahan di daerah-daerah dan semua komunikasi dari gubernur-gubernur.
  4. Kementerian Urusan Perpajakan (diwan al-mustagallat)

Pada tahun 695 M, Abdul Malik mencetak dinar emas dan dirham perak yang murni hasil karya orang Arab. Wakilnya di Irak, al-Hajjaj, mencetak uang perak di Kufah pada tahun berikutnya. Kebijakan itu menandai bergesernya penggunaan mata uang cetakan asing ke cetakan Arab.

kejayaan dinasti umayyah
Koin Arab Abdul Malik

Untuk melengkapi kementeriaan Surat Menyurat, Abdul Malik juga mengembangkan sistem layanan pos, dengan menggunakan kuda antara Damaskus dan ibu kota provinsi lainnya. Layanan ini dirancang terutama untuk memenuhi kebutuhan transportasi para pejabat pemerintah dan persoalan surat-menyurat mereka.

Usaha Ekspansi Masa Abdul Malik

Dalam bidang ekspansi wilayah, muncul tokoh lain selain Al-Hajjaj dan Musa ibn Nushayr, tokoh tersebut bernama Qutaybah ibn Muslim, seorang jenderal handal yang berasal dari suku Mudhar. Dengan wewenang dari al-Hajjaj, pada tahun 704 M, Qutaybah ditunjuk menjadi gubernur Khurasan yang beribu kota di Marw.

Menurut al-Baladzuri dan al-Thabari dari pusat pemerintahannya di Khurasan, Qutaybah mengendalikan 40.000 pasukan Arab di Bashrah, 7.000 pasukan di Kufah, dan 7.000 orang tentara bayaran. Dengan pasukan tersebut, Qutaybah berhasil melakukan beberapa ekspedisi militer di kawasan seberang sungai, Transoxiana, Asia Tengah.

Dalam serangkaian ekspedisi militer yang brilian, Qutaybah berhasil menguasai Takaristan (705), Bukhara di Shadga serta kawasan sekitarnya (706-709), ekspedisi Qutaybah ini terus berlanjut hingga masa al-Walid ibn Abdul Malik.

Penaklukan-penaklukan di medan pertempuran barat di bawah pimpinan Musa ibn Nushayr dan para komandannya tidak kalah gemilang, jika dibandingkan dengan penaklukan al-Hajjaj dan komandannya di timur. Segera setelah menaklukan Mesir (640-643 M), dia menyerbu wilayah Ifriqiyah, tetapi penaklukan ke seluruh wilayah itu baru dilakukan setelah pembangunan al-Qayrawan[1] pada 670 oleh Uqbah ibn Nafi.

Pemerintahan Al-Walid ibn Abdul Malik

Al-Walid ibn Abdul Malik atau sering dipanggil dengan nama Abu al-Abbas pada masa mudanya dikenal tidak pandai dalam ilmu Nahwu (gramatika bahasa Arab). Meskipun telah berusaha belajar dalam waktu enam bulan dengan ahli tata bahasa, ia masih tidak menguasainya.

Akan tetapi, ia selalu berjihad untuk memperluas pengaruh Islam. Ketika ia mulai berkuasa pada tahun 705-715 M menggantikan ayahnya, Abdul Malik. ia berhasil menaklukkan banyak wilayah bahkan hingga ke semenanjung Iberia dan India. Masa pemerintahan al-Walid merupakan periode kemenangan, kemakmuran, dan kejayaan Islam.

Meski disibukkan dengan pemerintahannya, ia masih menyempatkan untuk mengkhitan anak-anak yatim, mengatur orang-orang yang memelihara yatim, melayani para lansia, serta merawat orang-orang buta. Ia juga memperluas masjid Nabawi, memberi jaminan bagi para fukha, orang-orang yang lemah, fakir dan miskin. Dan mengharamkan atas mereka untuk meminta-minta kepada manusia.

Kesuksesan Ekspansi Walid ibn Abdul Malik

Pada tahun 706 M, al-Walid memperpanjang jabatan Qutaybah sebagai panglima merangkap gubernur. Qutaybah kemudian menaklukkan wilayah Bikund. Setelah berhasil berhasil menguasai daerah tersebut, Qutaybah menguasai Bukhara pada tahun 706-709 M, dan sebagaian wilayah Samarkand tahun 710-712 M, kemudian menuju Khawarizm. Raja Khawarizm mengadakan kerja sama dan perdamaian dengan tentara Islam, setelah Qutaybah menyelamatkan daerah ini dari konflik antar suku.

Sementara itu, di wilayah Samarkand sempat muncul pemberontakan dan Hajjaj menginstruksikan agar Qutaybah menyelesaikannya. Setelah Samarkand berhasil dikuasai kembali, banyak pribumi yang bergabung dengan tentara muslim. Dengan tambahan tentara lokal sekitar 27.000 orang, Qutaybah melanjutkan ekspansi ke daerah-daerah bagian barat Gurun Gobi dan sekitar Danau Baikal. Penaklukan-penaklukan itu sekaligus menandai masuknya kekuatan Islam di daerah Asia Tengah.

Pada tahun 708 M, Muhammad ibn Qasim diberi kepercayaan oleh al-Hajjaj untuk menundukkan dataran India. Ia menuju Sind, sesampainya di sana ia berhasil menduduki pelabuhan Deibul di muara sungai Indus, dan memberi nama baru Mihram.

Ibnu asim bisa memperluas kemenangannya di seluruh penjuru Sind, hingga tiba di Maltan, pusat haji terkenal orang-orang India di sebelah selatan Punjab. Semenjak berhasil mengepung Brahmanbat dan menyeberangi Bayas, Maltan menyerah kepada pasukan Ibn al-Qasim.

Ekspansi ke wilayah Barat di zaman Walid, masih dipercayakan pada Musa ibn Nushair. Musa berhasil menundukkan daerah Aljazair dan Maroko, setelah itu dia mengangkat mantan budak bernama Thariq ibn Ziyad, sebagai wakil untuk memerintah di daerah itu.

Didorong oleh kemenangan-kemenangan di Afrika Utara dan timbulnya konflik internal dalam kerajaan Gothia Barat di Andalusia, maka pada tahun 710 M Musa mengirim Tarif ibn Malik untuk memata-matai wilayah tersebut. Puncaknya pada tahun 711 M, Musa mengirimkan tangan kanannya, Thariq ibn Ziyad, untuk menaklukkan Gothia Barat yang dipimpin Raja Roderick.

Secara luar biasa pasukan Thaqriq yang hanya berjumlah 12.000 orang berhasil mengalahkan pasukan Roderick, yang kira-kira berjumlah total 100.000 orang. Dengan demikian Andalusia berhasil ditaklukkan oleh pasukan muslim.

Setelah mendengar keberhasilan Thariq, Musa beserta 18.000 pasukannya menuju Spanyol untuk menstabilkan kekuasaan dinasti Umayyah di sana. Musa berhasil memperluas ekspansi sampai ke Barcelona sebelah timur, dan Calica di sebelah Barat laut.

Musa memutuskan untuk meneruskan ekspansinya ke Prancis. Akan tetapi khalifah Walid memutuskan mengakhiri ekspansi Eropa karena khawatir Musa akan mendirikan negara sendiri di tanah taklukkan, dan memanggil Musa dan Thariq ke Damaskus. Penaklukan Andalusia menandai puncak kesuksesan pemerintahan Walid ibn Abdul Malik dalam ekpansi wilayah dinasti Umayyah.

Perkembangan Arsitektur

Al-Walid dikenal sebagai arsitek terbesar Umayyah. Pada masa pemerintahannya yang relatif damai dan sejahtera, khalifah Walid memiliki kecenderungan terhadap kemegahan arsitektur. Akibatnya, ketika orang-orang di Damaskus berkumpul bersama, tema obrolan mereka berkisar pada bangunan-bangunan indah yang didirikan khalifah al-Walid.

Walid yang meninggal pada usia 40 tahun, memperluas dan mempercantik Masjidil Haram serta merenovasi Masjid Nabawi di Madinah. Dia juga membangun berbagai institusi untuk melayani para penderita lepra, yang lumpuh dan buta di Suriah.

Al-Walid mungkin merupakan penguasa pertama yang membangun rumah sakit bagi penderita penyakit kronis dan rumah-rumah penderita lepra, yang kelak ditiru Barat. Dari gereja di Baklabak, Walid memindahkan kubah keemasan yang kemudia dia tempatkan di atas kubah masjid ayahnya di Jerusalem.

 Masjid Umayyah

Prestasi terbesarnya dalam bidang arsitektur adalah mengubah fungsi Katedral St. Yahya di Damaskus, menjadi masjid yang sangat agung. Masjid ini dikenal dengan nama masjid Umayyah, dan hingga saat ini masih banyak dikunjungi oleh pengunjung dari berbagai penjuru dunia.

Pemerintahan Sulaiman ibn Abdul Malik

Sulaiman ibn Abdul Malik ibn Marwan, atau biasa dipanggil Abu Ayyub merupakan salah seorang yang terbaik dari kalangan khalifah Dinasti Umayyah. Meskipun demikian pemerintahannya hanya berjalan singkat, yakni selama dua tahun.

Ia menjadi khalifah pada tahun 715 M berdasarkan wasiat ayahnya, Abdul Malik. Sebelum Sulaiman menjabat sebagai khalifah, al-Walid ingin mencopot posisinya sebagai putra mahkota dan menginginkan putranya, Yazid ibn Abdul Malik yang menjadi khalifah penggantinya.

Usaha tersebut sempat menimbulkan intrik internal Umayyah mengenai jabatan khalifah selanjutnya. Posisi Sulaiman sebagai putra mahkota didukung oleh Umar ibn Abdul Aziz mantan gubernur Madinah yang diberhentikan al-Walid. Akibatnya, Umar ibn Abdul Aziz sempat diasingkan di sebuah ruangan sempit selama tiga hari, setelah tiga hari dia diberi ampunan.

Ketika Sulaiman mengetahui masalah tersebut. Maka, Sulaiman menyatakan bahwa Umar adalah pengganti setelahnya. Hubungan baik Sulaiman dan Umar terus berlanjut hingga masa Sulaiman menjadi khalifah, Umar ditunjuk sebagai perdana menteri yang sering dimintai nasehat sebelum Sulaiman memutuskan sesuatu.

Khalifah Sulaiman banyak memunculkan kebijakan yang berbeda dengan pendahulunya. Dia menghidupkan sholat di awal waktu setelah pemimpin-pemimpin sebelumnya lebih sering mengakhirkan waktu sholat. Sulaiman juga melarang nyanyian dan musik.

Di bidang militer, Sulaiman banyak memecat orang-orang al-Hajjaj dan melepaskan para tawanan yang ada di Irak. Salah satu kebijakannya yang kontroversial adalah mengangkat Yazid ibn Muhallab sebagai pengganti Panglima Qutaybah, yang telah banyak berjasa bagi kesuksesan ekspansi dinasti Umayyah.

Gubernur baru Khurasan, Yazid ibn Muhllab, berangkat dari Merv untuk menguasai Jurjan yang diakhir dengan damai. Di sini sang gubernur baru, meninggalkan kesan kurang baik dengan membantai 4.000 orang mawali Jurjan, hal ini dikarenakan penduduk Jurjan melanggar perjanjian damai yang sudah disepakati.

Selain berhasil menaklukkan Jurjan, pasukan Sulaiman juga berhasil menaklukkan daerah Hisn al-Hadid, Saradaniyah, Syaqa (sebuah kota di Armenia), dan kota Slavia. Sulaiman meninggal saat sedang berada di medan perang Dabiq lantaran sakit. Sebelum meninggal dia berwasiat menjadikan Umar ibn Abdul Aziz sebagai khalifah penggantinya dan setelahnya Yazid ibn Abdul Malik.

Pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz

Pengganti Sulaiman, Umar ibn Abdul Aziz ibn Marwan merupakan seorang khalifah yang saleh dan jujur dalam segala hal. Ia mempunyai panggilan Abu Hafsh. Umar dilahirkan di Hulwan, Mesir pada tahun 681 M. Ibunya bernama Ummu ‘Ashim binti ‘Ashim ibn Umar ibn Al-Khathab, sehingga Umar merupakan khalifah yang berasal dari keturunan Umar ibn Khathab.

Umar menggantikan khalifah Umayyah sebelumnya, Sulaiman ibn Abdul Malik, pada tahun 717 M. Pemerintahannya hanya berlangsung singkat yakni 2 tahun 5 bulan. Meskipun berlangsung singkat, pemerintahan Umayyah dapat mencapai kestabilan yang luar biasa pada masanya.

Umar sepenuhnya berada di bawah pengaruh para teolog, sehingga tidak mengherankan kebijakan yang dicetuskannya jauh berbeda dengan para pendahulunya yang dikenal sekuler. Jika pada masa pemerintahan al-Walid masyarakat selalu mendiskusikan kemegahan arsitektur Umayyah, berbeda halnya dengan masa pemerintahan Umar, di mana masyarakat ketika berkumpul lebih banyak berdiskusi tentang al-Qur’an dan Sunnah.

Umar  lebih banyak mencurahkan energinya untuk membangun kedamaian dan mengislamkan negara daripada melakukan ekspansi dan mengumpulkan kekayaan.  Kebijakan Umar tersebut sangat berpengaruh di daerah yang rakyatnya belum banyak memeluk Islam, mereka berbondong-bondong masuk Islam, sehingga menjadikan pemerintahan Umar menjadi masa keemasan dakwah Islam.

Kesufian Umar bisa dilihat dari pakaian yang dia kenakan sehari-hari yang penuh tambalan, dan ketika berbaur dengan rakyat akan sulit mengenali bahwa dia merupakan khalifah. Ketenaran Umar sebagai khalifah bukan hanya karena kesalehan dan kesederhanannya, atau kebijakannya menguarai pajak kepada para muallaf. Umar adalah khalifah pertama dan satu-satunya dari keluarga Umayyah yang memutuskan berbagai batasan yang merendahkan orang Kristen.

Berbagai larangan yang mendiskriminasi umat Kristen dihapuskan Umar, mulai dari larangan menduduki jabatan publik dan mengenakan turban, serta larangan mendirikan tempat ibadah semuanya dihapuskan. Sehingga pada masa kepemimpinannya, Umar tidak hanya dicintai oleh umat Islam tetapi juga dari umat agama lain.

Kebijakan Umar ibn Abdul Aziz dalam Memberantas Korupsi

Khalifah Umar ibn Abdul Aziz tidak pandang bulu dalam penegakan hukum dan keadilan. Siapa pun yang salah, akan mendapat hukumannya. Orang-orang yang korup, kolusi, dan nepotisme ditindak dengan tegas. Mereka bukan saja dipecat dari jabatannya, melainkan juga dihukum sesuai kadar kesalahan mereka.

Salah satu gubernur Umayyah yang terkena hukuman tersebut dalah Yazid ibn Muhallab, gubernur Khurasan. Yazid tidak mampu membuktikan atas ketidakbenaran tuduhan penggelapan pajak dari kas provinsi, maka gubernur yang merangkap wali Khurasan tersebut dipecat dan diasingkan ke pulau Cyprus.

Pemerintahan Yazid di Khurasan digantikan oleh Jabi ibn Abdullah. Yazid sempat mencoba kabur dari penjara Cyprus dengan menyogok kepala penjara, dan memimpin pemberontakan di Khurasan. Namun, khalifah Umar ibn Abdul Aziz berhasil menangkap dan memenjarakannya lagi di Aleppo

Umar tidak hanya memecat dan menghukum para pejabat negara yang korup, melainkan juga memusatkan kebijakannya untuk membangun negerinya secara moril. Ia memberantas perilaku korup dari diri sendiri, keluarga, pejabat kemudian rakyat.

Ia tidak membedakan kawan atau lawan dan keluarga atau orang yang tidak mempunyai ikatan keluarga dengan khalifah. Pada perkembangannya sikap inilah yang justru dimanfaatkan pihak oposisi untuk mempersiapkan pemberontakan. Salah satunya adalah pergerakan Bani Abbas yang mulai menghimpun kekuatan untuk meruntuhkan Dinasti Umayyah.

Kebijakan Umar ibn Abdul Aziz dalam Bidang Perpajakan dan Harta

Umar ibn Abdul Aziz setelah menjadi khalifah bukan hanya memerintahkan keluarganya, termasuk istrinya Fatimah bin Abdul Malik, agar menyerahkan kekayaannya kepada kas negara. Dia juga mengeluarkan dekrit bahwa kekayaan yang dikumpulkan di atas penderitaan rakyat harus dikembalikan ke negara dan menyita kekayaan  keluarga para pendahulunya.

Umar merupakan pemimpin yang sangat mendengar suara rakyat biasa, dia menghapuskan 81 macam abwab (pajak yang tidak manusiawi), yang telah dibebankan pada rakyat oleh para pendahulunya. Umar juga menghapuskan harta-harta yang dikumpulkan atas penerapan jizyah kepada kaum mawali.

kejayaan dinasti umayyah
Makam Umar ibn Abdul Aziz yang selamat dari pengrusakan revolusi Abbasiyah

Kesederhanaan dan kedermawanan khalifah Umar ibn Abdul Aziz tergambar ketika dia wafat di usia 35 tahun (720 M). Ketika dia hanya meninggalkan satu stel baju dan uang tunai 17 dinar yang dibagikan kepada 11 anaknya setelah dipotong biaya kian kafan dan tanah kuburannya.

Pemerintahan Yazid Ibn Abdul Malik ibn Marwan

Yazid Ibn Abdul Malik atau sering dipanggil dengan Abu Khalid merupakan Khalifah kesembilan Daulah Umayyah. Ia lahir pada tahun 70H/687 M. Yazid II menjadi khalifah menggantikan Umar ibn Abdul Aziz yang wafat pada tahun 720 M.

Pada empat puluh hari pemerintahannya, ia mampu menjalankan pemerintah dengan baik, namun setelah itu pemerintahannya berubah kacau dan penuh dengan penyelewengan.

Kualitas kepemimpinan Hisyam sangat jauh jika dibangingkan khalifah sebelumnya. Tidak ada eskpansi atau penyebaran Islam yang berarti pada masa Yazid II.

Bahkan, tidak lama setelah ia memangku jabatan khalifah justru bermunculan pemberontakan di daerah-daerah yang sebelumnya diislamkan oleh Qutaybah dan Umar II. Pemberontakan itu akhirnya menyebabkan lepasnya beberapa wilayah Islam.

Pada masanya yang paling tampak adalah konflik antarsuku, antarbangsa Arab, antara Iran dan Arab, dan antara Iran dan Turan yang menyebabkan Dinasti Umayyah berada di ambang kehancuran.

Pemerintahan kacau Yazid II tidak bertahan lama, karena ia wafat pada 724 M. Selanjutnya kejayaan Dinasti Umayyah coba dihidupkan kembali oleh Hisyam ibn Abdul Malik.

Pemerintahan Hisyam ibn Abdul Malik ibn Marwan

Hisyam ibn Abdul Malik lahir pada tahun 691 M. Ia adalah anak keempat dari Abdul Malik ibn Marwan.

Hisyam adalah seorang yang keras tekadnya dan berpikiran cemerlang. Ia menjadi khalifah Dinasti Umayyah ke-10 menggantikan Yazid II yang meninggal.

Yazid II meninggalkan berbagai permasalahan untuk penggantinya. Untuk mengatasinya, Hisyam harus bekerja keras untuk mengembalikan kejayaan Dinasti Umayyah yang sempat hampir hancur.

Usaha pertamanya adalah menguasai kembali daerah-daerah yang sebelumnya melepaskan diri. Satu-persatu pemberontakan dihadapinya, seperti pemberontakan suku-suku Turagesh di Asia Tengah yang dipimpin Khan Su Lu dengan bantuan Cina. Setelah khalifah mengerahkan Umar ibn Hubairah dan Khalid al-Qasri, pemberontakan itu berhasil ditumpas.

Hisyam menerapkan upaya yang sangat baik untuk menurunkan volume pemberontakan, menerapkan perdamaian, islamisasi secara permanen dan melakukan perluasan wilayah. Ia banyak mengambil pelajran dari kesuksesan era Umar ibn Abdul Aziz yang identik dengan perdamaian dan islamisasi tanpa paksaan. Sebagian cara itu juga ditempuh dengan asimilasi antara Arab dan pribumi setempat melalui jalur budaya.

Selama menjadi khalifah, Hisyam adalah pribadi yang jujur dan selalu mementingkan rakyatnya. Ia tidak pernah memasukkan harta ke dalam Baitul Mal sebelum empat puluh pembagi harta sedekah menyaksikannya. Kemudian, ia mengambil haknya dan memberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.

Di saat Dinasti Umayyah perlahan-perlahan meraih kejayaannya kembali, Khalifah Hisyam meninggal pada tahun 743 M.

Wafatnya Hisyam menandai berakhirnya era keemasan dinasti Umayyah. Penerus-penerus dinasti Umayyah masa selanjutnya kurang bisa meneruskan usaha yang telah dirintis penguasa-penguasa Umayyah masa kejayaan, sehingga menjadikan Dinasti Umayyah masuk kembali ke masa disintegrasi sebelum runtuh oleh revolusi Abbasiyah.

BIBLIOGRAFI

Abdurrahman, Dudung. 2012. “Peradaban Islam Masa Umawiyah TImur”. Dalam Siti Maryam dkk (ed). Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: LESFI.

As-Suyuthi, Imam. 2015. Tarikh Khulafa’. Terj. Samson Rahman. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Bosworth, C. E. 1993. Dinasti-Dinasti Islam. Terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan.

Hitti, Phillip K. 2006. History of The Arabs. Terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Karim, M. Abdul. 2014. Bulan Sabit di Gurun Gobi. Yogyakarta: Suka Press.

Lapidus, Ira M. 2000. Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian I dan II. Terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: RajaGrafindo Persada

[1] Al-Qayrawan berarti kafilah. Pembangunan ini diperuntukkan sebagai markas untuk melakukan serangan ke suku-suku Berber.

Rifai Shodiq Fathoni

Rifai Shodiq Fathoni

I explore disability and medical history as a history buff. I examine how society and medicine have treated and changed for people with disabilities over time.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *