Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 1930-1971

Share your love

Persatuan Tarbiyah Islamiyah atau disingkat Perti adalah organisasi tradisional Islam, yang berpusat di Bukittinggi, Sumatera Barat. Organisasi ini didirikan di suatu pesantren terkenal di Candung, dekat Bukittinggi, pada tanggal 20 Mei 1930. Perti merupakan benteng pertahanan golongan tradisional Islam terhadap penyebaran paham dan gerakan modern yang gencar dilakukan oleh Kaum Muda.

Fokus utama perjuangan Perti adalah memajukan sekolah, dan sebagai pemersatu segenap ulama tradisional di ranah minang. Namun, dalam perkembangannya organisasi ini bertransformasi menjadi partai politik pada tahun 1945. Sebagai Organisasi Islam masa pergerakan nasional, perjuangan Perti tidak lah mulus. Mereka menghadapi berbagai tantangan, mulai dari pertentangan antara angkatan tua dan muda, hingga stagnanisasi organisasi.

Islam di Minangkabau pada Awal Abad Ke-20

Ranah Minang, di samping salah satu daerah yang mengalami proses Islamisasi sangat dalam, wilayah ini juga terkenal mempunyai adat istiadat yang kuat. Banyak teori mengenai kapan masuknya Islam di Minangkabau[1], meskipun demikian raja Islam Pertama di Kerajaan Minangkabau (Pagaruyung) adalah Raja Alam Alif (1600 M). Adanya seorang raja Islam di Minangkabau, dapat diperkirakan Islam juga telah menyebar di wilayah tersebut.

Seperti halnya di wilayah Nusantara lainnya, Islam masuk ke wilayah Minangkabau secara damai. Sama halnya dengan wilayah Nusantara lainnya, para penyebar Islam di Minangkabau, menggunakan pendekatan persuasif dan cenderung toleran terhadap tradisi lokal. Sikap toleran terebut memberi kesempatan tumbuhnya akidah masyarakat Minangkabau secara perlahan-lahan.

Berkat metode itu, pada akhir abad ke-18, Islam telah banyak dianut oleh masyarakat Minangkabau. Benyak dari mereka yang tergabung ke dalam Tarekat Naqsyabandiyah. Pasca-Perang Paderi, tarekat tersebut semakin berkembang di Minangkabau.

Pada awal adab ke-20, terdapat dua golongan di Minangkabau. Golongan pertama adalah kaum tua. Mereka adalah kelompok kaum muslim Minangkabau yang dalam bidang akidah mengikatkan diri kepada pama Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah ajaran Abu al-Hasan al-Ast’ari dan Abu Muslim al-Maturidi, sedangkan dalam bidang ibadah berpatokan kepada mazhab Syaf’i. Di tengah gencarnya pembaharuan yang dilakukan kaum muda, golongan tua pun juga ikut tergerak mempertahankan aliran dan mazhab yang mereka amalkan.

Kelompok kedua adalah kaum muda. Kaum muda adalah mereka yang gencar melakukan usaha pemurnian kembali ajaran Islam, mereka banyak dipengaruhi oleh ulama besar Minangkabau seperti Haji Miskin, Haji Somanik, Haji Siobang, dan  Ahmad Khatib, Mereka menginginkan agama ini bersih dari unsur-unsur yang tidak termasuk dalam ajaran Islam.

Perbedaan cara pandang di antara kedua kelompok tersebut, menyebabkan pertetangan tidak dapat terhindarkan. Sekitar tahun 1906 M, pembicaraan tentang tarekat menjadi isu hangat di Minangkabau. Pada masa tersebut tarekat telah menyebar luas Minangkabau, dan banyak anggota masyarakat merasa tenang mempraktikannya. Oleh karena itu, ulama tua merasa perlu mempertahankan suasana tersebut. Mereka tidak ingin masyarakat resah, jika praktik-praktik keagamaan mereka dikecam.

Di sisi lain, ulama-ulama muda seperti Djamil Djambek dan kawan-kawannya tidak menginginkan pakem tersebut dipertahankan. Menurut mereka, praktik-praktik tarekat membuat umat Islam beku, stagnan, dan kehilangan dinamika. Di samping itu, mereka melihat amalan-amalan tarekat sebagai bid’ah yang perlu diberantas. Selanjutnya, para kaum muda mulai secara gencar menyerang kaum ulama tua, dengan menggunakan jalur media massa, tabligh, dan bahkan debat.

Dalam perkembangannya, pertentangan antara Kaum Tua dan Muda berikutnya, tidak hanya mencangkup masalah tarekat, tetapi merambat ke praktik keagamaan lain yang umumnya diamalkan oleh masyarakat Minangkabau, seperti masalah-masalah tentang ushalli, taqlid, ijtihad, bid’ah dan sebagainya. Polemik yang terjadi antara kedua kelompok ini berlangsung dalam masa cukup panjang melibatkan banyak tokoh, dan menggunakan banyak dalil.

Pada tahun 1909, Haji Abdullah Ahmad dari kalangan muda melakukan terobosan dengan membuka sekolah Adabiyah di Padang. Sekolah dasar ini memiliki sistem yang sama dengan Hollads Inladse School, kecuali bahwa di dalamnya agama dan al-Qur’an diajarkan secara wajib. Selanjutnya, pada tahun 1911 dan 1913, ia menerbitkan majalah al-Manar, dan  al-Akbar di kota yang sama. Terbitnya dua majalah tersebut, diikuti terbitnya majalah suara pembaharuan lainnya yang tersebar di beberapa daerah Minangkabau, seperti al-Ittiqan di Maninjau, al-Bayan di Parabek, al-Basur di Sungayang, al-Imam di Padang Japang, dan al-Munirulmanar di Padang Panjang.

Selain media cetak, kaum muda juga mendirikan beberapa lembaga-lembaga pendidikan. Salah satu lembaga pendidikannya yang paling berpengaruh adalah Sekolah Thawalib di Padang Panjang. Sekolah ini mempunyai karekteristik tersendiri dibanding sekolah tradisional, di sekolah Thawalib lebih ditekankan pada upaya untuk memahami Islam dari sumber aslinya, al-Qur’an dan Hadis. Sementara di sekolah kaum tradisional pada umumnya lebih menekankan pelajaran fikih dengan bermacam fatwa dari berbagai mazhab.

Segala sarana yang dimiliki oleh Kaum Muda Minangkabau semakin mengobarkan semangat pembaharuan. Setelah masuk dan berkembangnya Muhammadiyah di Minangkabau pada tahun 1925, gerakan kaum muda semakin bertambah besar dan menekan kaum tua.

Di lain pihak, posisi Kaum Tua semakin tersudut dengan segala upaya yang dilakukan kaum muda. Meskipun demikian, Kaum Tua tidak lantas menyerah, mereka mencoba melakukan serangan balasan dengan cara yang sama. Untuk itu, mereka menerbitkan majalah Suluh Melayu, sebagai tandingan majaah al-Munir. Suluh Melayu digunakan Kaum Tua untuk mempertahankan paham mereka, dan menangkis semua serangan yang dilakukan Kaum Muda melalu media massa.

Kehadiran dua majalah itu menjadikan Minangkabau semakin terpecah. Majalah al-Munir dengan tokoh-tokoh utamanya Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah, dan Djamil Djambek melawan Suluh Melayu dengan tokoh-tokohnya seperti Syekh Khatib Ali Padang, Syekh Saad Mungka, dan Syekh Bayang. Puncak konflik dua kelompok itu mencapai puncaknya antara tahun 1914 sampai tahun 1918.

Latar Belakang Lahirnya Perti

Pertentangan yang terjadi antara Kaum Tua dan Kaum Muda, ternyata mempunyai sisi positif bagi perkembangan pendidikan Minangkabau. Walaupun banyak perbedaan pandangan antara keduanya, ternyata tidak semua ide pembaharuan Kaum Muda ditolak oleh Kaum Tua.

perti
Logo Perti

Langkah Kaum Muda yang mengubah sistem pendidikan surau menjadi madrasah ternyata diserap oleh salah satu tokoh Kaum Tua, yakni Syekh Abbas. Pada tahun 1918, ia mendirikan sekolah Arabiyah School di Ladang Lawas, Bukittinggi, dan enam tahun kemudian, ia mendrikan Islamiyah School di Alur Tajungkang, Bukittinggi.

Ketika Syekh Abbas mendirikan sekolah-sekolah tersebut, golongan tua tidak langsung memberikan respon. Mereka tetap berpegang pada pendirian mereka sebelumnya, yakni mempertahankan sistem pendidikan berhalaqah. Akan tetapi, dengan semakin gencarnya gerakan Kaum Muda,  langkah Abbas juga diikut oleh para ulama Kaum Tua. Secara berangsur-angsur mereka mulai melakukan perubahan, perubahan baik sistem maupun sarana dan prasaran lembaga pendidikan mereka.

Tokoh lain yang menonjol dalam memodernisasi lembaga pendidikan adalah Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (1878-1970). Pada tahun 1926 M, ia mulai memodernisasi Surau Baru Candung yang telah didirikan sejak tahun 1908 M.  Ia merubah cara berhalaqah di surau menjadi berkelas madrasah. Selain itu, ia juga melengkapai madrasahnya dengan berbagai sarana pendidikan modern.

perti
Syekh Sulaiman ar-Rasuli

Dalam waktu relatif singkat, langkah Syekh Sulaiman Ar-Rasuli diikuti pula oleh kawan-kawannya sesama Kaum Tua, seperti Syekh A. Wahid Tabek Gadang di Payakumbuh, Syekh Muhammad Jamil Jaho di Padang Panjang, Syekh Arifin di Batu Hampar, dan lain-lain. Lembaga Pendidikan Madrasah akhirnya meluas di wilayah Minangkabau.

Pertumbuhan pesat Madrasah Tarbiyah di Minangkabau, memunculkan keinginan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli untuk menyatukan ulama-ulama Kaum Tua, dalam wadah organisasi. Untuk itu, ia memprakarsai sebuah pertemuan besar di Candung pada tanggal 5 Mei 1928.

Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan untuk membentuk sebuah organisasi yakni Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Organisasi ini bertanggung jawab untuk membina, memperjuangkan, dan mengembangkan madrasah-madrasah tarbiyah di Minangkabau. Selain itu, pertemuan di Candung juga merumuskan kesatuan pola dari madrasah-madrasah yang ada, baik nama, sistem pengajaran dan kurikulum.

Meskipun organisasi tersebut belum diresmikan secara formal, tetapi organisasi ini telah mampu mengilhami lahirnya banyak madrasah tarbiyah Islamiyah dan mengembangkan gerakan Kaum Tua di Minangkabau.

Dengan realitas sedemikian rupa, maka muncullah keinginan Kaum Tua untuk semakin mengembangkan oranisasi  persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Mereka berharap organisasi tidak hanya sekedar mengurusi sekolah, melainkan juga sebagai pemersatu segenap ulama tradisional di ranah Minang. Keinginan itu akhirnya terwujud, dengan diresmikannya organisasi bernama Persatuan Tarbiyah Islamiyah atau disingkat PTI dalam sebuah rapat di Candung pada tanggal 20 Mei 1930 M, dengan Sulta’in sebagai ketua pertama.

Perkembangan Persatuan Tarbiyah Islamiyah

Pada tahun 1931 M, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli memperoleh penghargaan Grote Zilveren Ster (Bintang Perak Besar) dari pemerintah Hindia Belanda. Pengghargaan ini diperoleh, berkat jasa Syekh Sulaiman dalam mewujudkan kerjasama yang harmonis antara ulama dan kaum adat.

Penghargaan yang diterima Syekh Sulaiman dirayakan dengan penuh suka cita oleh anggota lain Perti di suatu pertemuan besar di Batu Hampar. Pertemuan tersebut tidak hanya sebagai ungkapan rasa syukur, akan tetapi juga dimanfaatkan untuk membenahi organisasi. Salah satu pembenahan adalah perubahan struktur, jabatan ketua beralih dari Sulta’in kepada Syekh Abdul Madjid Koto Nan Gadang, dan jabatan sekretaris dari Gazali P. Tanjung kepada Syahruddin Marajo Dunia.

Satu tahun kemudian atau tahun 1932 M, Persatuan Tarbiyah Islamiyah melaksanakan kongres yang pertama di Koto Nan Ampek Pakayumbuh. Dalam kongres ini tercetus lah gagasan untuk mengganti nama organisasi menjadi Persatuan Islam Indonesia. Gagasan yang diprakarsai oleh angkatan muda Perti itu bahkan telah tertuang dalam keputusan kongres.

Pada awalnya, para ulama tua Perti tidak keberatan dengan perubahan nama organisai. Namun, setelah melakukan pertimbangan, mereka khawatir jika nama yang menonjolkan nasionalisme, justru akan memancing kecurigaan pemerintah kolonial. Akhirnya mereka mengusulkan agar keputusan tersebut dibatalkan.

Usulan itu pun ditolak angkatan muda yang mendominasi jumlah peserta kongres. Mereka berpendapat keputusan kongres tidak dapat dibatalkan begitu saja, dan harus tetap dihormati. Para ulama tua menganggap sikap generasi muda tersebut keras kepala. Mereka lantas menyampingkan hasil kongres, dan menguasai organisasi sepenuhnya. Para generasi muda yang segan terhadap generasi tua, terpaksa menerima keputusan sepihak dari generasi tua.

Selanjutnya, ketidaksepakatan dalam kongres pertama menyebaban disharmoniasai antara golongan muda dan tua. Disharmoniasai ini lah yang menjadi faktor utama stagnisasi dalam kehidupan dan aktivitas organisasi.

Meskipun stagnisasi tidak merambah ke dalam aktivitas belajar mengajar di madrasah dan tabligh di kelompok-kelompok pengajian, akan tetapi stagnasi tetap menghambat perkembangan Perti secara organisasi. Kasus ini sekaligus memberi  kesan dominasi generasi tua dalam tubuh Persatuan Tarbiyah Islamiyah.

Anggaran Dasar dan Tujuan Perti

Pada tahun 1935, ulama-ulama generasi tua memanggil seluruh pengurus dan penasihat untuk mengadakan rapat lengkap di Candung. Dalam rapat tersebut mereka menunjuk H. Sirajuddin Abbas (1905-1980), untuk memangku jabatan ketua Pengurus Besar Tarbiyah.

perti
Sirajuddin Abbas

Pada masa kepengurusannya, Persatuan Tarbiyah berhasil menerbitkan majalah Soearti dan menyusun anggran dasar sekaligus anggaran rumah tangga Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang disahkan pada konferensi tanggal 11-16 Februari 1935 di Bukittinggi. Di dalam anggaran dasar dijelaskan perubahan singkatan organisasi, jika sebelumnya disingkat PTI berubah menjadi Perti.

Pada pokok anggaran dasar Perti yang disahkan pada bulan Februari 1935 juga memuat nama, tempat, asas, tujuan, daya upaya organisasi Perti. Rumusan anggaran dasar kemudian disempurnakan dan disahkan kembali dalam Kongres II Perti tanggal 3-5 April 1935 di Bukit Tinggi.

Kongres II Perti melengkapi keputusan-keputusan yang telah disahkan sebelumnya, misal di bidang asas, jika sebelumnya hanya berasas Islam maka dalam kongres terdapat ditambahkan itikad menurut paham ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dan dalam syariat menurut mazhab Syafi’i. Selain itu, tujuan organisasi pun lebih dipaparkan sebagai berikut:

  1. Berusaha memajukan pengajaran agama Islam dan memperluas sekolah-sekolah agama bagi bumi putra seluruhnya.
  2. Memperkuat dan memperkokoh adat nan kawi, syara’ dan lazim dalam setiap negeri.
  3. Memperhatikan kepentingan ulama-ulama, guru-guru sekolah agama seluruhnya, terutama sekolah Tarbiyah Islamiyah.
  4. Memperkukuh silaturahim antara sesama anggota.
  5. Mempertahankan agama Islam yang suci dari segala serangan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Perti melakukan upaya-upaya sebagai berikut:

  1. Mengadakan sekolah-sekolah agama dengan nama Tarbiyah Islamiyah.
  2. Mengadakan penyiaran agama Islam dengan tabligh dan buku-buku.
  3. Menerbitkan atau membantu terbit dan tersiarnya buku agama, buku pengetahuan umum, dan majalah-majalah.
  4. Mengadakan rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan.
  5. Mengemukakan keperluan-keperluan itu kepada umum, jika dirasa perlu kepada yang berwajib juga.
  6. Mengadakan atau memelihara suatu ikhtiar yang berguna bagi kehidupan secara Islam.
  7. Melakukan perusahaan berdasar keuangan unuk keselamatan anggota dan perserikatannya.
  8. Membangun studi fonds untuk menolong kesengsaraan umum.
  9. Memasuki raad-raad pemerintah (menjadi anggota dewan-dewan pemerintah atau perwakilan peerintah) untuk kepentingan perserikatan dan anggota.

Dalam anggaran dasar juga disebutkan bahwa struktur organisasi Perti terdiri atas Pengurus Besar yang didampingi oleh Dewan Penasihat. Dari Pengurus Besar itu ditunjuk beberapa pengurus besar harian, yang meliputi ketua, sekretaris, dan bendahara.

Untuk daerah-daerah yang jauh dari kedudukan Pengurus Besar diadakan Majelis Wakil Pengurus Besar, yang minimal terdiri atas lima puluh orang dan pimpinannya disebut Konsul Pengurus Besar. Majelis tersebut akan mengoordinir cabang-cabang. Selanjutnya cabang-cabang akan menggordinir anak-anak cabang.

Transformasi Menjadi Partai Politik

Adanya anggaran dasar yang jelas dalam tubuh Perti, menjadikan organisasi ini semakin berkembang. Organisasi Perti berhasil melebarkan sayapnya hingga ke pusat-pusat pendidikan tradisional di Jambi, Tapanuli, Bengkulu, Aceh, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan. Pada akhir pemerintahan Hindia Belanda tercatat Perti memiliki 45.000 murid yang tersebar di surau-surau yang berafiliasi dengan mereka. Sementara jumlah anggota Perti sekitar 350.000.

Pada tahun 1939, Perti membuat sebuah piagam kerjasama dengan kaum adat (Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkbau). Di tahun yang sama Perti bergabung dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Walaupun bukan sebagai partai politik, Perti mengirim utusannya pada kongres GAPI tahun 1939.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Perti melanjutkan kegiatan pendidikan dan sosialnya. Akan tetapi jumlah anggota dan muridnya tidak mengalami pertumbuhan berarti, bahkan menurut Deliar Noer, jumlah anggota Perti pada masa Jepang mengalami penurunan. Banyak di antara murid yang kembali pulang ke kampung halaman. Kesulitan perbubungan menambah berkurangnya hubungan antara pusat pendidikan satu dengan lainnya.

Memasuki tahun 1944, para pemimpin Perti melakukan gebrakan dengan bergabung ke Majelis Islam Tinggi (MIT) di Bukittinggi, suatu organisasi Islam untuk seluruh Sumatera yang diketuai oleh Syekh Muhammad Djamil Djambek, seorang ulama modernis yang di masa lalu sempat bersitegang dengan ulama tua Perti.

MIT merupakan tempat untuk merujuk persoalan-persoalan agama, tetapi selama Perang Pasifik, organisasi ini kurang dapat berfungsi dengan baik. Pada bulan Desember 1945, MIT bertransformasi menjadi Masyumi cabang Sumatera sehubungan dengan edaran pemerintah sebelumnya agar rakyat mendirikan partai politik sebagai cermin pelaksanaan demokrasi .

Pada periode yang sama pula Perti memutuskan untuk menjadikan organisasi mereka suatu partai politik tersendiri. Keputusan tersebut diambil pada tanggal 22 November 1945, dan diperkuat oleh kongres di Bukittinggi tanggal 22-24 Desember 1945. Para pemimpin Perti mengemukakan alasan perubahan bentuk organisasi dari sosial-agama menjadi partai politik.

Pertama, mereka tidak cocok berada dalam MIT, dan kemudian dengan Masyumi (transformasi MIT) karena dominasi kaum modernis yang kurang memperhatikan perasaan dan aspirasi kalangan tradisional di daerah Sumatera. Kedua, para pemimpin Perti memandang pentingnya politik dalam mempertahankan paham agama mereka, dan akan lebih muda dilakukan dengan merubah organisasi mereka menjadi partai daripada dengan berjuang melalui MIT dan Masyumi.

Eksistensi Partai Politik Perti

Partai Perti menerima mereka yang sudah berumur 15 tahun sebagai anggota. Hal ini berbeda dari umur anggota partai-partai Islam lainnya, yang memberi batas minimum 18 tahun, sejalan dengan anggapan kedewasaan seseorang menurut peraturan.

Alasan pertama penetapan umur minimum keanggotaan Partai Perti adalah banyaknya orang yang menikah muda di kampung-kampung. Alasan lainnya adalah pandangan ambivalen dari para pemimpin Perti terhadap organisasi mereka, yaitu sebagai organisasi agama dan organisasi politik. Dari sudut agama, seseorag telah dianggap akil baligh jika berumur 15 tahun, dan ini berlaku baik bagi mereka yang menganut paham tradisional atau modern.

Ambivalensi juga tercermin dalam struktur kepemimpinan Partai Perti. Di dalam sturuktur partai terdapat dua macam pimpinan: Pengurus Besar yang menjadi badan eksekutif partai, dan Dewan Partai Tertinggi yang mengambil keputusan yang mendasar.

Sirajuddin Abbas terpilih sebagai ketua umum Dewan Partai Tertinggi, dan sampai tahun 1955 ia menjadi satu-satunya wakil Perti dalam parlemen. Bahkan dapat dikatakan Perti sangat bergantung pada Sirajuddin Abbas dan keluarganya. Peran besar keluarga dalam partai, menjadikan Perti sama dengan partai Islam lainnya. Dalam PSII dicerminkan oleh keluarga Tjokroaminoto, dan dalam NU oleh keluarga Hasyim Asy’ari.

Dalam perkembangannya Parta Perti tetap memperlihatkan kegigihannya dalam mempertahankan mazhab Syafi’i. Di dalam Anggaran dasar Partai tahun 1953 dipaparkan bahwa partai tidak boleh dibubarkan, partai harus hidup dari abad ke abad sebagai benteng pertahanan kaum ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah yang bermazhab Syafi’i.

Anggaran dasar tersebut memperlihatkan keinginan Perti untuk mempertahankan kedudukan mereka dalam bidang politik serta masyarakat. Untuk keperluan kaderisasi, Perti menghimpun pengikut sebanyak-banyaknya dengan cara menggalang para pemuda dalam Persatuan Pemuda Islam Indonesia, Persatuan Murid-Murid Tarbiyah Islamiyah, dan Kepanduan al-Anshaar.

Perti  juga mengambil langkah dan menyatakan tekadnya untuk ikut mempertahankan kemerdekaan Indonesia, di antaranya dengan mendirikan satu barisan tentara Islam bernama Laskar Muslimin Indonesia (Lasymi).

Periode 1945-1949, bangsa Indonesia lebih banyak mencurahkan perhatiannya kaada usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan dalam bentuk perjuanga nnfisik. Bibit pemikiran olitik yang sudah mulai tumbuh di kalangan orang-orang Perti pun sempat terhenti. Namun, pembicaraan di sekitar masalah itu tidak lah berhenti sama sekali.

Pada pemilu pertama tahun 1955, Perti ikut serta dalam pemilihan itu. Akan tetapi Perti tidak memperoleh suara yang signifikan, mereka hanya memperoleh 4 kursi DPR dan 7 kursi Konstintuante. Sedikitnya kursi yang diperoleh jika dibandingkan dengan partai Islam lainnya disebabkan pusat Perti yang berada di Sumatera, sementara partai-partai lainnya berada di Jawa. Akibatnya, Perti kesulitan menjaring pemilih di wilayah Jawa, yang merupakan wilayah dengan penduduk terbanyak.

Dalam Kongres Ulama Indonesia di Palembang tahun 1957, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Ketua Dewan Penasehat Perti, mengkritik sikap pemerintah yang memberi hati kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia bahkan mengeluarkan fatwa, bahwa paham komunis itu adalah kufur, dan oleh sebab itu haram bagi umat Islam mengikuti PKI.

Ketika Demokrasi Terpimpin mulai diberlakukan Soekarno pada tahun 1960, Perti termasuk partai Islam yang bersikap kooperatif terhadap kebijakan itu. Perti berpendapat bahwa kedudukan Islam dalam negara Indonesia yang berhaluan Manifesto Politik Usdek (UUD 45, Sosialisme, Demokrasi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia) sudah baik. Mereka juga menilai pandangan Soekarno terhadap Islam sangat positif.

Konsistensi Perti mempertahankan sikap kooperatifnya terus berlanjut pada masa Orde Baru. Meskipun masa itu Perti terpecah ke dalam dua kubu (Sirajuddin Abbas dan Rusli A. Wahib), Perti tatap mendukung kepemimpinan Soeharto sebagai kepala negara Indonesia yang dpilih secara sah pada tahun 1968. Bahkan, kubu Sirajuddin Abbas bergabung dengan Golongan Karya (Golkar) untuk memenangkan pemilihan umum tahun 1971. Dengan terpecahnya Perti, dan bergabungnya salah satu tokoh besar mereka ke Golkar maka eksistensi Perti di dunia perpolitikan pun perlahan-lahan menghilang.

BIBLIOGRAFI

Koto, Alaiddin. 2012. Persatuan Tarbiyah Islamiyah: Sejarah, Paham Keagamaan, dan Pemikiran Politik 1945-1970. Jakarta: Rajawali.

Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Noer, Deliar. 1990. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.

[1] Beberapa Sejarawan mengatakan Islam masuk ke Minangkabau pada abad ke-7, ke-12 M, ke-14 M, dan ke-16 M.

Rifai Shodiq Fathoni

Rifai Shodiq Fathoni

I explore disability and medical history as a history buff. I examine how society and medicine have treated and changed for people with disabilities over time.

2 Comments

  1. Assalamu’alaikum Buya..Kiranya bisa di uraikan juga tentang sejarah berdirinya PEMUDA ISLAM, sebagai wadah generasi muda PERTI..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *