Jugun Ianfu merupakan perempuan penghibur yang mendampingi tentara Jepang selama periode perang. Sesuai namanya, sejak tahun 1942-1945 atau periode Perang Asia Pasifik mereka diharuskan untuk memenuhi kebutuhan biologis tentara militer Jepang secara kasar, tidak manusiawi, dan dalam jumlah besar. Para perempuan ini sebenarnya mengerti mereka telah melawan rambu normalitas ataupun budaya Timur, namun tipu muslihat, ancaman, dan teror tentara Jepang berhasil menaklukan mereka, sehingga tidak ada pilihan lain selain menjadi perempuan penghibur.
Story Guide
Awal Mula Keberadaan Jugun Ianfu
Ianjo resmi pertama Jugun Ianfu pertama kali didirikan pada tahun 1932 di Shanghai. Pendirian itu dilatarbelakangi oleh merebaknya kasus perkosaan yang dilakukan oleh tentara Jepang pada masa Perang Jepang-Cina. Perkosaan brutal itu menyebabkan penyakit kelamin merebak di antara tentara-tentara Jepang.
Hal ini tentunya melemahkan kekuatan angkatan perang kekaisaran Jepang. Oleh sebab itu muncul gagasan untuk merekrut perempuan-perempuan lokal, menyeleksi kesehatan dan memasukan mereka ke dalam Ianjo-Ianjo sebagai rumah bordil militer Jepang.
Pada awal pembentukan sistem Jugun Ianfu, pemerintah Jepang berharap dengan adanya hiburan yang layak bagi para tentara dapat meningkatkan moral dan kinerja serta menghindari penyakit kelamin tentaranya.
Untuk menunjang rencana itu maka dibangunlah tempat-tempat hiburan/Ianjo bagi tentara digaris depan. Di Ianjo-Ianjo inilah para Jugun Ianfu ditempatkan untuk memuaskan nafsu tentara Jepang. Sistem Jugun Ianfu dibuat secara terorganisir dengan perencanaan yang matang.
Pada awal Perang Asia Pasifik, pemerintah Jepang merekrut Jugun Ianfu secara masif melalui cara konvensional yaitu dengan memuat iklan yang menawarkan pekerjaan sebagai pelacur. Iklan-iklan tersebut muncul pada surat kabar yang terbit di Jepang dan koloni-koloni Jepang, seperti di Korea, Manchukuo, dan dataran Tiongkok.
Tanggapan atas iklan tersebut awalnya cukup baik. Banyak perempuan yang dengan sukarela mendaftarkan diri mereka sendiri dan ada juga perempuan-perempuan yang dijual oleh keluarganya sendiri karena alasan ekonomi.
Meskipun demikian, banyak wanita yang tertipu atau ditipu agar bergabung dengan bordil militer. Bahkan Jepang memaksa gadis muslim Hui di Cina untuk melayani mereka sebagai budak seks dengan mendirikan sekolah “Huimin Girl” dan mendaftarkan anak perempuan Hui ke sekolah untuk dijadikan sebagai Jugun Ianfu.
Kehidupan Sehari-hari para Jugun Ianfu
Gangguan kesehatan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dari pekerjaan semacam ini. Oleh karena itu, tentara dianjurkan untuk menggunakan alat pengaman atau kondom, namun tidak sedikit dari mereka yang menggunakan kondom yang telah kotor, bahkan banyak juga yang tidak mau menggunakan benda tersebut.
Kondom-kondom yang disediakan di tempat hiburan menjadi tanggung jawab dari Departemen Keuangan Tentara serta Markas Besar Logistik. Mereka bertanggung jawab mengirimkan kondom ke wilayah-wilayah yang diduduki oleh tentara Jepang dan juga memastikan kondisi kondom yang siap pakai. Pada tahun 1942, contohnya, terhitung 32,1 juta kondom yang telah dikirim ke berbagai unit di luar Jepang.
Di tempat hiburan militer Jepang, hak-hak reproduksi perempuan sangat diabaikan. Walaupun terkena penyakit kelamin merupakan sesuatu yang buruk bagi para perempuan ini, namun ada lagi yang lebih buruk yaitu kehamilan.
Untuk mencegah adanya kasus kehamilan, umumnya perempuan-perempuan itu diberikan semacam ramuan dari tumbuh-tumbuhan untuk mencegah kehamilan. Apabila sudah terlanjur hamil maka mereka dipaksa untuk mengaborsi janin mereka dengan menggunakan pil.
Namun ada juga tempat hiburan yang memperbolehkan para Jugun Ianfu untuk melahirkan dengan ketentuan-ketentuan tertentu, tetapi setelah itu mereka harus kembali melayani para tentara. Selain dengan obat-obatan, ada juga tempat hiburan yang mensterilisasi Jugun Ianfu agar tidak lagi dapat menstruasi.
Sejalan dengan meluasnya kekuasaan tentara Jepang, maka bertambah pula kebutuhan terhadap tempat hiburan bagi tentara Jepang, dengan kata lain prostitusi yang berbasis sukarela menjadi tidak mencukupi. Pada daerah-daerah terpencil yang membutuhkan lapangan pekerjaan, maka pekerjaan dengan bayaran yang baik menjadi suatu hal yang menarik agar dapat mencukupi kebutuhan mereka.
Namun pada saat taktik tersebut tidak dapat berjalan lancar guna merekrut Jugun Ianfu, maka perekrutan langsung pun menjadi jalan keluar. Perekrutan langsung ini adalah perekrutan yang dilakukan secara langsung oleh polisi ataupun pemerintah lokal, yang biasanya menggunakan kekerasan terhadap para perempuan yang mereka rekrut.
Mereka mendatangi rumah-rumah penduduk, kemudian menculik anak gadisnya untuk dijadikan Jugun Ianfu. Pada akhirnya, perempuan dikondisikan untuk menjadi budak seks di bawah Undang-Undang Umum Mobilisasi Nasional yang begitu mengikat.
Menjadi Jugun Ianfu yang di paksa adalah derita sepanjang hari. Terdapat kebutuhan hidup para Jugun Ianfu, sikap Jepang dapat dibedakan dalam dua priode yaitu priode awal pendudukan, yang ditandai oleh kelimpahan, di mana kebutuhan bagi para Jugun Ianfu terpenuhi, seperti makanan bergizi, obat-obatan, sampai pada sarana mandi, dan periode sulit, pada sekitar tahun 1943, yang ditandai dengan makin menurunya persediaan makanan dan penjatahan yang ketat.
Sedangkan untuk hiburan para Jugun Ianfu, pihak pengelola rumah bordil tidak memberikan fasilitas khusus kecuali di Telawang berupa tiket untuk menyaksikan sandiwara. Di dekat rumah bordil tersebut ada pula rumah makan yang terkadang Jugun Ianfu diajak oleh tamunya untuk makan dan minum di rumah makan tersebut
Salah satu praktek menarik dari rumah bordil Jepang adalah adanya sistem penggantian nama, dari nama lokal menjadi nama Jepang. Semua orang yang direkrut Jepang akan langsung diberi nama Jepang dan tidak boleh lupa menggunakanya.
Para Jugun Ianfu tidak tahu persis mengapa ada penggantian nama tersebut. Mereka sendiri tidak berani mempermasalahkan penggantian nama tersebut. Namun mereka menduga bahwa penggantian tersebut dimaksudkan untuk memberi efek tersendiri bagi orang Jepang yang masuk kerumah bordil tersebut, karena mereka juga memanggil nama Jugun Ianfu dengan menggunakan nama Jepang tersebut
Jugun Ianfu di Indonesia
Di Indonesia sendiri praktek Jugun Ianfu mulai berlangsung sejak kedatangan tentara Jepang. Ianjo–Ianjo didirikan di kota-kota penting di Jawa seperti Batavia, Bandung, Ambarawa, Muntilan dan Semarang. Tidak hanya perempuan-perempuan lokal yang dijadikan sebagai Jugun Ianfu, tetapi perempuan Belanda juga tidak luput dari proses perekrutan.
Perempuan-perempuan yang tidak mau melayani nafsu Tentara Jepang diancam disiksa dan keluarganya akan dibunuh. Mereka tidak jarang dipukuli, ditendang, dan diperkosa pada malam pertama. Beberapa dari wanita ini diperkosa oleh pemimpin tentara dan juga oleh beberapa manajer rumah bordil. Salah satu petugas medis, yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala terhadap para wanita ini, juga memperkosa mereka.
Baca juga: Penyebaran Penyakit kelamin di Hindia-Belanda
Menurut kesaksian, seorang wanita mencoba bunuh diri dengan mengambil kina dosis besar, tetapi gagal. Iia kemudian dikirim ke rumah sakit jiwa. Wanita lain juga mencoba untuk bunuh diri dengan memotong pembuluh darahnya, namun tidak berhasil. Beberapa wanita mencoba melarikan diri dari rumah bordil, tetapi mereka segera ditangkap dan dibawa kembali. Seorang gadis tidak sadarkan diri selama dua hari karena terkejut karena diperkosa. Beberapa hamil dan melakukan aborsi.
Penghibur telah menambah daftar panjang praktik kekerasan selama masa pendudukan Jepang. Perlakuan tidak manusiawi yang mereka terima menyebabkan trauma luar biasa pada saat itu. Tidak hanya itu, mereka juga harus menanggung warisan psikologis bahkan setelah setengah abad kemudian.
Terbongkarnya Praktek Jugun Ianfu
Pada Tahun 1992, untuk pertama kalinya Kim Hak Soon korban asal Korea Selatan membuka suara atas kekejaman militer Jepang terhadap dirinya ke publik. Setelah itu masalah Jugun Ianfu terbongkar dan satu persatu korban dari berbagai negara angkat suara.
Kemudian tahun 2000 telah digelar Tribunal Tokyo yang menuntut pertanggung jawaban Kaisar Hirohito dan pihak militer Jepang atas praktek perbudakan seksual selama perang Asia Pasifik. Tahun 2001 final keputusan dikeluarkan di Tribunal The Haque.
Baca juga: Kegetiran di Kamp Tjideng
Setelah itu tekanan internasional terhadap pemerintah Jepang terus dilakukan. Pada Oktober 2007 Kongres Amerika Serikat mengeluarkan resolusi tidak mengikat yang menekan pemerintah Jepang memenuhi tanggung jawab politik atas masalah ini. Meski demikian pemerintah Jepang sampai hari ini belum mengakui apa yang telah diperbuat terhadap ratusan ribu perempuan di Asia pada masa perang Asia Pasifik.
BIBLIOGRAFI
Hicks, George. The Comfort Women: Japan’s Brutal Regime of Enforced Prostitution in the Second World War. New York: . W. Norton & Company, 1997 M.
Juliantoro, Dadang dan A. Budi Hartono. Derita paksa perempuan: kisah Jugun Ianfu pada masa pendudukan Jepang, 1942-1945. Jakarta: Sinar Harapan, 1997 M.
Tanaka, Yuki. Japan’s Comfort Women Sexual slavery and Prostitution during World War II and the US Occupation. London: Routledge, 2002 M.