Serangan Kamikaze di Perang Dunia II

Serangan Kamikaze merupakan taktik bom bunuh diri yang dirancang untuk menghancurkan kapal perang musuh selama Perang Dunia II. Kata kamikaze berarti “angin ilahi”, mengacu pada angin topan yang memorak-porandakan armada invasi Mongol yang menyerang bangsa Jepang pada tahun 1281.

Serangan Kamikaze Pertama

Munculnya serangan kamikaze tidak dapat dilepaskan dari situasi Perang Dunia II yang semakin mendesak pihak Jepang. Adanya gap kekuatan tempur dan mulai redupnya harapan untuk menang membuat serangan bunuh diri menjadi opsi yang dipertimbangkan.

Setelah kekalahan Jepang di Pertempuran Attu (11-30 Mei 1943), demoralisasi hebat dialami oleh pasukan Jepang. Mereka mulai putus asa menyadari bahwa gap kekuatan tempur dengan Sekutu terlalu jauh. Pada 29 Mei 1943, kekaisaran secara resmi mengumumkan penggunaan serangan gyokusai, yang berarti pasukan Jepang tidak segan menggunakan serangan bunuh diri untuk menghindari kekalahan dan menjaga kehormatan (Mori, 2017).

Pada pertengahan 1944, kondisi perang semakin membuat pasukan Jepang putus asa (Rielly, 2010). Ide untuk menggunakan serangan bunuh diri pun tidak dapat dihindarkan.

Admiral Takijiro Onishi menjadi tokoh penting dalam pembentukan unit serangan bunuh diri (tokubetsu kōgekitai). Sementara itu, unit serangan bunuh diri udara dari Angkatan Laut Kekaisaran Jepang disebut shinpū tokubetsu kōgekitai (unit serangan khusus angin ilahi) (Axell, 2002).

Selama Perang Dunia II, pengucapan kamikaze hanya digunakan secara informal di media Jepang dalam kaitannya dengan serangan bunuh diri, tetapi setelah perang, penggunaan ini diterima di seluruh dunia dan diimpor kembali ke Jepang.

Strategi tersebut memperoleh dukungan dari Kapten Angkatan Laut Jepang, Eiichiro Jo, yang mengatakan “Kami tidak dapat melumpuhkan banyak kapal induk musuh dengan metode konvensional. Kita harus membentuk unit Serangan Khusus yang akan menghancurkan tubuh kapal induk musuh.”

Kebanyakan pilot kamikaze merupakan para pilot muda yang secara sukarela mendapatkan pelatihan terbatas. Minimnya jumlah pilot berpengalaman yang tersedia melatarbelakangi perekrutan pilot muda.

Dengan menggaungkan slogan “Mati lebih terhormat daripada menyerah” pada tanggal 25 Oktober 1944, Angkatan Laut Jepang menggunakan pesawat pengebom kamikaze untuk pertama kalinya di Pertempuran Teluk Leyte untuk mempertahankan Filipina. Pertempuran Leyte menjadi pertempuran laut terbesar dalam sejarah yang terjadi di Samudra Pasifik, sekaligus menandai serangan pertama kamikaze.

Lima pesawat Mitsubishi A6M Zero yang dipimpin oleh Letnan Seki berusaha menyerang beberapa kapal induk. Salah satu pesawat berusaha menabrak jembatan USS Kitkun Bay tetapi malah meledak di atas jembatan penghubung dan terguling ke laut. Dua lainnya berusaha menabrakkan diri ke USS Fanshaw Bay tetapi dihancurkan oleh tembakan anti-pesawat. Dua pesawat terakhir menukik ke arah USS White Plains, tetapi karena asap menghalangi pandangan salah satu kapal membelok ke arah USS St.Lo. pesawat tersebut menabrak dek kapal dan ledakan dari bom yang dibawa pesawat menenggelamkan kapal induk tersebut (Tolland, 2003).

kamikaze
Serangan unit Kamikaze A6M Zero terhadap USS St Lo, 25 Oktober 1944. Sumber Official U.S. Navy photograph. Wikimedia

Pada 26 Oktober 1944, 55 pesawat kamikaze dari Tokko merusak tiga kapal induk besar: USS Sangamon, Santee, dan Suwannee; dan tiga kapal yang lebih kecil: USS White Plains, Teluk Kalinin, dan Teluk Kitkun. Akibat serangan ini, tujuh kapal induk tertabrak serta 40 kapal lainnya mengalami kerusakan (5 tenggelam, 23 rusak berat, dan 12 rusak sedang).

Kendati pasukan Sekutu mengetahui bahwa pasukan Jepang yang tidak segan mengorbankan nyawanya, mereka tidak siap menghadapi serangan bunuh diri menggunakan pesawat di pertempuran Teluk Leyte pada Oktober 1944. Serangan Kamikaze terhadap kapal perang Sekutu berlanjut sepanjang Perang Dunia II.

Shigeyaki Mori (2017) dalam penelitiannya berjudul “The Japanese contribution to violence in the world: The kamikaze attacks in World War II”, menganggap Kamikaze bukanlah serangan bunuh diri tanpa harapan semata, melainkan serangan yang dibuat dengan penuh perencanaan untuk menahan laju pasukan Amerika. Onishi menyadari kemungkinan kekalahan total di kemudian hari, untuk itu ia berharap serangan kamikaze dapat memaksa musuh ke meja perundingan.

Di saat Angkatan Laut Jepang mulai menggunakan serangan kamikaze, angkatan darat masih menggunakan serangan konvensional sepanjang Oktober 1944. Mereka akhirnya menyadari bahwa serangan bunuh diri lebih efektif, karena itu pada bulan November angkatan darat mulai beralih menggunakan serangan bunuh diri.

Angkatan darat membentuk pasukan khusus yang disebut Banda dan Fugaku Squadron. Pasukan khusus ini dibekali dengan pesawat Ki-49-II Donryu dan Ki-67-Hiryu.

Pesawat Bunuh Diri Jepang

Sebagian besar pesawat kamikaze adalah pesawat tempur biasa atau pembom ringan. Pesawat tersebut dilengkapi dengan bom dan tanki bensin ekstra, sehingga ledakan yang dihasilkan dapat maksimal. Pilot yang menerbangkan pesawat tersebut kemudian menabrakkan pesawat khusus mereka langsung ke kapal Sekutu.

Pesawat Tokko angkatan laut Jepang pada umumnya menggunakan Mitsubushi A6M5 Reisen/Zero tanpa komponen radio dan komponen yang memberatkan pesawat, tidak lupa pesawat dibekali bom seberat 250kg di hidung pesawat. Pada awalnya pilot hanya diperbolehkan menekan tombol peledak sesaat sebelum pesawat mencapai sasaran, namun taktik berubah, pilot diperbolehkan melepaskan bom ke sasaran sebelum menabrakkan diri dengan harapan mengenai dua titik target (Zaloga, 2011).

Rudal biasanya diluncurkan dari ketinggian lebih dari 7.500 meter dan lebih dari 80 km dari targetnya, rudal akan meluncur sekitar 5 km dari targetnya sebelum pilot menyalakan tiga mesin roketnya untuk mempercepat pesawat hingga lebih dari 960 km per jam.

Pilot Kamikaze sengaja menabrakkan pesawat yang dibuat khusus langsung ke kapal perang musuh. Meskipun pihak Sekutu mengatakan serangan itu adalah sebuah bentuk keputusasaan, namun di dalam kepercayaan Jepang, menyerah dipandang sebagai hal yang tidak terhormat.

kamikaze
USS Missouri sebelum tertabrak Mitsubishi A6M Zero, 11 April 1945. Sumber: http://www.navsource.org/archives/01/016302c.jpg.

Motoharu Okamura, yang memimpin skuadron kamikaze, mengatakan bahwa pada tahun 1944, “Saya sangat yakin bahwa satu-satunya cara untuk merubah jalannya perang adalah dengan menggunakan serangan crash-dive dengan pesawat kita. Tidak ada jalan lain. Berikan saya 300 pesawat dan saya akan mengubah gelombang perang.”

Menurut data militer AS, 2800 serangan Kamikaze menenggelamkan 34 kapal dan merusak ratusan lainnya selama perang. Di Okinawa, kamikaze menewaskan hampir 5.000 pasukan Angkatan Laut AS, sekaligus menjadi kerugian terbesar AS dalam satu pertempuran (Axell, 2002).

Meskipun serangan kamikaze terbilang lebih efektif dibanding serangan konvensional, namun gelombang perang tidak berubah. Jepang tetap kalah dalam Pertempuran Teluk Leyte dan kemudian pertempuran lainnya. Akhirnya Jepang terpaksa menyerah tanpa syarat kurang dari setahun kemudian.

Daftar Pustaka

Axell, Albert. Japan’s Suicide Gods. London: Pearson Education, 2002.

Dower, John W. War Without Mercy: Race and Power in the Pacific War. New York: Pantheon, 1986.

Hallion, Richard P. “Precision Weapons, Power Projection, and The Revolution In Military Affairs.” USAF Historical Studies Office, 1999.

Mori, Shigeyuki. “The Japanese contribution to violence in the world: The kamikaze attacks in World War II”. International Forum of Psychoanalysis. 28, 2017.

Toland, John. The Rising Sun: The Decline & Fall of the Japanese Empire, 1936-45. New York: The Modern Library, 2003.

Zaloga, Steve. Kamikaze: Japanese Special Attack Weapons 1944–45. New Vanguard. Osprey Publishing, 2011.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *