Periode kejayaan Dinasti Umayyah secara resmi dimulai setelah berakhirnya peperangan antara keturunan Marwan ibn al-Hakam dan Abdullah ibn al-Zubair. Setelah kematian Yazid ibn Muawiyah, dan penarikan pasukan dari tanah Arab, Abdullah ibn al-Zubair diproklamirkan sebagai khalifah yang sah. Wilayah-wilayah seperti Hijaz, Arab Selatan, Mesir, dan sebagian Suriah kemudian mengakuinya sebagai khalifah yang baru.
Kepemimpinan Dinasti Umayyah yang sempat kosong pasca meninggalnya Mu’awiyah II (683-684 M), diambil alih oleh Marwan ibn al-Hakam (684-685 M), sepupu dan mantan sekretaris Utsman ibn Affan. Marwan menyadari bahwa kekuatan Dinasti Umayyah yang tercerai-berai perlu dikonsolidasikan untuk melawan kekuatan dari Hijaz dan merebut kembali legitimasi sebagai khalifah yang sah.
Perlawanan melawan Ibn al-Zubair mencapai puncaknya pada masa Abdul Malik (685-705), putra Marwan. Abdul Malik mengirim jenderal kepercayaannya, al-Hajjaj, yang berhasil menghancurkan gerakan anti-Umayyah. Sejak 25 Maret 692 M, al-Hajjaj telah mengepung Mekah selama enam setengah bulan.
Terinspirasi oleh semangat kepahlawanan ibunya, Asma’ binti Abu Bakar, dan bibinya, A’isyah, Ibn al-Zubair berperang gigih melawan al-Hajjaj hingga akhirnya terbunuh pada tahun 693 M. Kepalanya dikirim ke Damaskus, dan tubuhnya digantung untuk beberapa waktu sebelum akhirnya dikembalikan kepada ibunya. Sejak saat itu, kekuatan kaum Anshar di Hijaz berhasil ditaklukkan, dan kekhalifahan Umayyah kembali berdiri tegak.
Story Guide
Khalifah-Khalifah pada Periode Kejayaan Dinasti Umayyah
Seperti yang sudah dipaparkan di atas, bahwa periode kejayaan dinasti Umayyah dimulai pada masa kepemimpinan Abdul Malik. Periode kejayaan ini bertahan hingga masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz, sebelum akhirnya dinasti Umayyah memasuki fase disintegrasi untuk kedua kalinya.
Pemerintahan Abdul Malik ibn Marwan
Abdul Malik ibn Marwan lahir pada tahun 647 M/26 H dan meninggal pada tahun 705 M. Sejak muda, ia dikenal sebagai ahli ibadah yang tekun. Abdul Malik diangkat sebagai khalifah berdasarkan wasiat ayahnya, Marwan I, pada tahun 685 M. Ia naik takhta bersamaan dengan naiknya Abdullah ibn al-Zubair sebagai khalifah, sehingga memunculkan dualisme kepemimpinan. Bahkan, ia awalnya dianggap sebagai khalifah yang tidak sah.
Sejak pengangkatannya, Abdul Malik menghadapi banyak tantangan dan perlawanan dari berbagai pihak, mirip dengan pendahulunya, Muawiyah I. Meskipun awalnya kekuasaannya diragukan, Abdul Malik berhasil menguasai Mesir dan Syam, serta kemudian Irak dan wilayah-wilayah sekitarnya.
Baca juga: Dinasti Umayyah Periode Awal
Meskipun dianggap sebagai khalifah yang tidak sah, ia mampu menguasai Mesir dan Syam, kemudian Irak dan wilayah-wilayah sekitarnya hingga peristiwa terbunuhnya Abdullah ibn Zubair. Sejak terbunuhnya Abdullah ibn al-Zubair pemerintahannya diangap sah, dan pemerintahan dinasti Umayyah secara bertahap kembali stabil.
Usaha Stabilisasi Wilayah Dinasti Umayyah
Keberhasilan Abdul Malik dalam menjaga stabilitas dan memperluas wilayah kekhalifahannya tidak lepas dari kesetiaan dan kegigihan dua panglima perang andalannya: al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi di timur dan Musa ibn Nushayr di barat. Capaian militer yang gemilang saat itu berkat komando kedua tokoh ini.
Al-Hajjaj, mantan kepala sekolah di Taif, adalah tokoh kunci yang mengokohkan kembali kekhalifahan Dinasti Umayyah. Setelah berhasil mengalahkan perlawanan Abdullah ibn al-Zubair, ia diangkat menjadi gubernur Arab pada usia 31 tahun. Dalam dua tahun, al-Hajjaj berhasil mengendalikan keamanan di Hijaz, Yaman, dan Yamamah di sebelah timur. Pada Desember 694 M, ia dipanggil oleh khalifah untuk mengemban tugas di Irak, yang dikenal dengan penduduknya yang suka berselisih dan bermuka dua.
Di Irak, Syiah dan kaum Khawarij selalu menjadi oposisi yang mengancam Dinasti Umayyah. Kedatangan al-Hajjaj tidak diduga-duga oleh penduduk setempat. Setelah tiba di Irak, ia langsung menyampaikan khutbah yang berisi peringatan kepada penduduk bahwa ia tidak segan-segan memenggal kepala siapa pun yang membangkang.
Peringatan itu bukanlah sekadar kata-kata kosong. Bagi al-Hajjaj, tidak ada orang yang tidak bisa ia taklukkan atau bunuh. Bahkan Anas ibn Malik, seorang ahli hadis dan sahabat Nabi, pernah diikat lehernya dengan kalung bertuliskan nama al-Hajjaj karena dituduh bersimpati kepada oposisi.
Meskipun al-Hajjaj memperlakukan penduduk dengan keras, ia berhasil meredakan pemberontakan di Irak hingga Persia. Komandannya, al-Muhallab ibn Abi Shufrah, berhasil menghancurkan kelompok Azraqi pada tahun 699 M, salah satu sekte Khawarij yang paling berbahaya. Keberhasilan-keberhasilan ini menjadikan peran al-Hajjaj sangat vital bagi stabilitas pemerintahan Umayyah.
Arabisasi dan Reformasi Administrasi Negara
Abdul Malik adalah perintis arabisasi di berbagai bidang. Ia mengganti bahasa administrasi publik dari Yunani ke Arab di Damaskus dan dari Persia ke Arab di Irak serta provinsi-provinsi timur. Selain itu, ia menerbitkan uang logam berbahasa Arab.
Perubahan bahasa ini menyebabkan restrukturisasi kepegawaian, di mana orang-orang Arab mulai mengisi posisi-posisi penting dalam administrasi, sementara pegawai non-Arab yang menguasai bahasa Arab tetap dipertahankan. Proses peralihan ini berlangsung cukup lama, dimulai sejak masa pemerintahan Abdul Malik hingga penerusnya.
Abdul Malik juga merombak struktur pemerintahan, yang pada masanya ditentukan oleh empat departemen pokok:
- Kementerian Pajak Tanah (diwan al-kharraj): Bertugas mengawasi departemen keuangan.
- Kementerian Khatam (diwan al-Khatam): Bertugas merancang dan mengesahkan ordonansi pemerintah. Pada masa Muawiyah, telah diperkenalkan meterai resmi untuk memorandum dari khalifah. Setiap tiruan memorandum ditempus dengan benang, disegel dengan lilin, dan dipres dengan segel kerajaan.
- Kementerian Surat Menyurat (diwan al-Rasail): Mengontrol permasalahan di daerah-daerah dan semua komunikasi dari gubernur-gubernur.
- Kementerian Urusan Perpajakan (diwan al-mustagallat): Mengelola urusan perpajakan.
Pada tahun 695 M, Abdul Malik mencetak dinar emas dan dirham perak yang murni hasil karya orang Arab. Wakilnya di Irak, al-Hajjaj, mencetak uang perak di Kufah pada tahun berikutnya. Kebijakan ini menandai peralihan dari penggunaan mata uang asing ke mata uang Arab.
Untuk melengkapi Kementerian Surat Menyurat, Abdul Malik juga mengembangkan sistem layanan pos, menggunakan kuda antara Damaskus dan ibu kota provinsi lainnya. Layanan ini dirancang terutama untuk kebutuhan transportasi pejabat pemerintah dan surat-menyurat mereka.
Usaha Ekspansi Masa Abdul Malik
Dalam perluasan wilayah, muncul sosok yang tak kalah berpengaruh dengan Al-Hajjaj dan Musa ibn Nushayr, yaitu Qutaybah ibn Muslim, seorang jenderal ulung dari suku Mudhar. Di bawah kuasa Al-Hajjaj, pada tahun 704 M, Qutaybah diangkat sebagai gubernur Khurasan yang pusat pemerintahannya berada di Marw.
Menurut catatan al-Baladzuri dan al-Thabari, dari markas besarannya di Khurasan, Qutaybah memimpin 40.000 tentara Arab di Bashrah, 7.000 di Kufah, dan juga memiliki 7.000 prajurit bayaran. Dengan kekuatan ini, Qutaybah berhasil menggelar beberapa ekspedisi militer yang luar biasa di wilayah-wilayah seberang sungai, Transoxiana, dan Asia Tengah.
Melalui rangkaian ekspedisi militer yang brilian, Qutaybah berhasil merebut Takaristan pada tahun 705, Bukhara di Shadga beserta sekitarnya (706-709), dan kampanye Qutaybah terus berlanjut hingga masa al-Walid ibn Abdul Malik.
Keberhasilan dalam medan pertempuran barat yang dipimpin oleh Musa ibn Nushayr dan rekan-rekannya tidak kalah gemilang dibandingkan dengan pencapaian Al-Hajjaj dan pasukannya di wilayah timur. Tak lama setelah menaklukkan Mesir (640-643 M), Musa menyerbu Ifriqiyah, meskipun wilayah itu baru sepenuhnya dikuasai setelah pendirian al-Qayrawan[1] pada tahun 670 oleh Uqbah ibn Nafi.
Pemerintahan Al-Walid ibn Abdul Malik
Al-Walid ibn Abdul Malik, atau yang dikenal dengan panggilan Abu al-Abbas pada masa muda, tidak terkenal karena keahliannya dalam ilmu Nahwu (gramatika bahasa Arab). Meskipun telah berusaha belajar selama enam bulan bersama seorang ahli tata bahasa, namun ia tetap belum menguasainya sepenuhnya.
Namun demikian, semangat jihadnya untuk memperluas pengaruh Islam tidak pernah padam. Ketika ia naik tahta menggantikan ayahnya, Abdul Malik, pada tahun 705-715 M, ia berhasil menaklukkan wilayah luas, termasuk semenanjung Iberia dan India. Masa pemerintahan al-Walid ditandai dengan kemenangan, kemakmuran, dan kejayaan bagi dunia Islam.
Meskipun sibuk dengan tugas pemerintahan, ia tetap menyempatkan waktu untuk melakukan amal sosial, seperti mengadakan sunatan massal bagi anak-anak yatim, memberdayakan mereka yang merawat yatim, melayani kaum lansia, serta memberikan perhatian khusus kepada orang-orang buta. Selain itu, ia memperluas Masjid Nabawi, memberikan dukungan kepada fakir dan miskin, dan melarang mereka untuk meminta-minta kepada manusia.
Kesuksesan Ekspansi Walid ibn Abdul Malik
Pada tahun 706 M, al-Walid memperpanjang jabatan Qutaybah sebagai panglima sekaligus gubernur. Qutaybah kemudian menaklukkan wilayah Bikund. Setelah sukses mengendalikan daerah tersebut, Qutaybah merebut Bukhara antara tahun 706-709 M, dan sebagian wilayah Samarkand pada tahun 710-712 M, sebelum melanjutkan ke Khawarizm. Raja Khawarizm bersedia berkerjasama dan menjaga perdamaian dengan tentara Islam, setelah Qutaybah berhasil menenangkan konflik internal di sana.
Di saat yang sama, pemberontakan meletus di Samarkand, dan Hajjaj meminta Qutaybah menangani situasi tersebut. Setelah berhasil mengendalikan kembali Samarkand, banyak penduduk setempat yang bergabung dengan pasukan Muslim. Dengan tambahan sekitar 27.000 tentara lokal, Qutaybah melanjutkan ekspansinya ke wilayah barat Gurun Gobi dan sekitar Danau Baikal. Penaklukan-penaklukan ini menjadi awal bagi kehadiran Islam di Asia Tengah.
Pada tahun 708 M, Muhammad ibn Qasim mendapat tugas dari al-Hajjaj untuk menaklukkan dataran India. Ia menuju Sind, berhasil merebut pelabuhan Deibul di muara sungai Indus, dan menamainya Mihram. Ibnu Qasim meluaskan kemenangannya di seluruh Sind, bahkan sampai ke Maltan, pusat ziarah terkenal di selatan Punjab. Setelah berhasil mengepung Brahmanbat dan menyeberangi Bayas, Maltan menyerah kepada pasukan Ibnu Qasim.
Ekspansi ke wilayah Barat pada masa al-Walid masih dipercayakan kepada Musa ibn Nushair. Musa berhasil menundukkan Aljazair dan Maroko, lalu mengangkat Thariq ibn Ziyad, seorang mantan budak, sebagai wakil pemerintah di wilayah tersebut.
Dipicu oleh kemenangan-kemenangan di Afrika Utara dan perpecahan dalam kerajaan Gothia Barat di Andalusia, pada tahun 710 M Musa mengirim Tarif ibn Malik untuk melakukan rekognisi wilayah tersebut. Pada puncaknya, pada tahun 711 M, Musa mengirimkan Thariq ibn Ziyad untuk menaklukkan Gothia Barat yang dipimpin oleh Raja Roderick.
Dengan keajaiban, pasukan Thariq yang hanya berjumlah 12.000 orang berhasil mengalahkan pasukan Roderick yang diperkirakan berjumlah sekitar 100.000 orang. Dengan demikian, Andalusia jatuh ke tangan pasukan Muslim.
Setelah mendengar kesuksesan Thariq, Musa beserta 18.000 pasukannya bergerak ke Spanyol untuk memperkuat kekuasaan dinasti Umayyah di sana. Musa berhasil memperluas wilayah ke Barcelona di timur dan Calica di barat laut.
Baca juga: Penaklukan Andalusia
Musa berencana melanjutkan ekspansinya ke Prancis, namun khalifah Walid memutuskan untuk menghentikan ekspansi ke Eropa karena khawatir Musa akan mendirikan negara sendiri di wilayah yang ditaklukkannya, sehingga ia memanggil Musa dan Thariq kembali ke Damaskus. Penaklukan Andalusia menandai puncak dari keberhasilan pemerintahan Walid ibn Abdul Malik dalam perluasan wilayah dinasti Umayyah.
Perkembangan Arsitektur
Al-Walid diakui sebagai salah satu arsitek terbesar dari dinasti Umayyah. Di bawah pemerintahannya yang damai dan sejahtera, khalifah ini memiliki kecenderungan yang kuat terhadap kemegahan arsitektur. Sehingga tidak mengherankan jika ketika orang-orang Damaskus berkumpul, pembicaraan mereka sering kali tertuju pada keindahan bangunan yang didirikan oleh al-Walid.
Walid, yang wafat pada usia 40 tahun, melakukan ekspansi dan peningkatan pada Masjidil Haram serta melakukan renovasi besar-besaran pada Masjid Nabawi di Madinah. Ia juga mendirikan berbagai institusi untuk merawat orang-orang yang menderita lepra, penyandang cacat, dan buta di Suriah.
Al-Walid mungkin merupakan salah satu penguasa pertama yang mendirikan rumah sakit khusus untuk penyakit kronis dan lepra, suatu inovasi yang kemudian diadopsi oleh Barat. Dari gereja di Baklabak, Walid memindahkan sebuah kubah keemasan dan meletakkannya di atas kubah masjid ayahnya di Jerusalem.
Namun, prestasi terbesarnya dalam bidang arsitektur adalah transformasi Katedral St. Yahya di Damaskus menjadi sebuah masjid yang megah. Masjid ini terkenal dengan nama Masjid Umayyah, dan hingga saat ini tetap menjadi tempat yang populer dikunjungi oleh para wisatawan dari seluruh dunia.
Pemerintahan Sulaiman ibn Abdul Malik
Sulaiman ibn Abdul Malik ibn Marwan, atau yang lebih dikenal sebagai Abu Ayyub, dianggap sebagai salah satu khalifah terbaik dari Dinasti Umayyah. Meskipun masa pemerintahannya singkat, hanya dua tahun, namun dia meninggalkan jejak yang signifikan.
Ia naik tahta pada tahun 715 M sesuai dengan wasiat ayahnya, Abdul Malik. Sebelum Sulaiman menjadi khalifah, al-Walid mencoba untuk mencopot posisinya sebagai putra mahkota dan menggantikannya dengan putranya sendiri, Yazid ibn Abdul Malik.
Upaya ini memicu intrik di dalam istana Umayyah mengenai pewaris tahta. Posisi Sulaiman sebagai putra mahkota didukung oleh Umar ibn Abdul Aziz, mantan gubernur Madinah yang diberhentikan oleh al-Walid. Umar bahkan diasingkan ke sebuah ruangan kecil selama tiga hari, sebelum akhirnya mendapat pengampunan.
Ketika Sulaiman mengetahui situasi tersebut, ia menyatakan bahwa Umar adalah penerusnya. Hubungan baik antara Sulaiman dan Umar berlanjut selama masa pemerintahannya, dengan Umar menjadi penasihat utama yang sering dimintai pendapat sebelum Sulaiman mengambil keputusan.
Kebijakan-kebijakan Sulaiman banyak berbeda dengan pendahulunya. Dia mendorong pelaksanaan salat tepat waktu, sementara sebelumnya para pemimpin sering menunda waktu salat. Selain itu, Sulaiman juga melarang nyanyian dan musik.
Dalam bidang militer, Sulaiman memberhentikan banyak pejabat yang diangkat oleh al-Hajjaj dan membebaskan para tawanan di Irak. Salah satu keputusan kontroversialnya adalah menunjuk Yazid ibn Muhallab sebagai pengganti Panglima Qutaybah, yang telah memberikan kontribusi besar pada ekspansi Dinasti Umayyah.
Yazid ibn Muhallab, yang diangkat sebagai gubernur baru Khurasan, berhasil menaklukkan Jurjan dengan cara damai. Namun, tindakannya yang kejam, seperti membantai 4.000 penduduk Jurjan sebagai hukuman karena melanggar perjanjian damai, menimbulkan kontroversi.
Selain Jurjan, pasukan Sulaiman juga merebut Hisn al-Hadid, Saradaniyah, Syaqa (sebuah kota di Armenia), dan kota Slavia. Sulaiman meninggal saat sedang berada di medan perang Dabiq karena sakit. Sebelum meninggal, ia mewasiatkan Umar ibn Abdul Aziz sebagai khalifah penggantinya, diikuti oleh Yazid ibn Abdul Malik.
Pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz
Pengganti Sulaiman, Umar ibn Abdul Aziz ibn Marwan, dikenal sebagai seorang khalifah yang saleh dan jujur dalam segala hal, dengan panggilan Abu Hafsh. Umar lahir di Hulwan, Mesir pada tahun 681 M. Ibunya, Ummu ‘Ashim binti ‘Ashim ibn Umar ibn Al-Khathab, menjadikan Umar berasal dari keturunan Umar ibn Khathab.
Umar menggantikan khalifah Umayyah sebelumnya, Sulaiman ibn Abdul Malik, pada tahun 717 M. Meskipun masa pemerintahannya singkat, hanya berlangsung selama 2 tahun 5 bulan, namun pemerintahan Umar berhasil mencapai stabilitas yang luar biasa pada zamannya.
Umar sangat dipengaruhi oleh para ulama, sehingga kebijakan yang ia terapkan jauh berbeda dengan pendahulunya yang cenderung sekuler. Jika pada masa al-Walid, masyarakat sering membicarakan kemegahan arsitektur Umayyah, pada masa Umar, diskusi lebih sering berkisar pada al-Qur’an dan Sunnah.
Umar lebih memfokuskan energinya pada membangun kedamaian dan mengislamkan negara daripada melakukan ekspansi dan mengumpulkan kekayaan. Kebijakan-kebijakannya sangat berpengaruh di daerah yang mayoritas penduduknya belum memeluk Islam, sehingga banyak yang masuk Islam, menjadikan masa pemerintahan Umar sebagai puncak dakwah Islam.
Kesederhanaan Umar tercermin dari pakaian sehari-harinya yang sederhana, dan sulit bagi rakyat untuk mengenali bahwa dia adalah seorang khalifah ketika ia bergaul dengan mereka. Namun, popularitas Umar sebagai khalifah tidak hanya karena kesalehannya, tetapi juga karena kebijakannya yang membatalkan berbagai diskriminasi terhadap umat Kristen.
Berbagai larangan yang membedakan perlakuan terhadap umat Kristen dihapuskan oleh Umar, seperti larangan menduduki jabatan publik, mengenakan turban, dan mendirikan tempat ibadah. Maka, selama kepemimpinannya, Umar tidak hanya dicintai oleh umat Islam, tetapi juga oleh umat agama lain.
Kebijakan Umar ibn Abdul Aziz dalam Memberantas Korupsi
Khalifah Umar ibn Abdul Aziz dikenal karena ketegasannya dalam menegakkan hukum dan keadilan, tanpa pandang bulu. Siapa pun yang bersalah akan menerima hukumannya. Orang-orang yang terlibat dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak akan ditoleransi. Mereka tidak hanya dipecat dari jabatan mereka, tetapi juga dihukum sesuai dengan tingkat pelanggaran yang mereka lakukan.
Salah satu contoh yang mencolok adalah kasus Yazid ibn Muhallab, gubernur Khurasan. Yazid tidak dapat membuktikan bahwa tuduhan penggelapan pajak dari kas provinsi tersebut tidak benar, sehingga ia dipecat dari jabatannya dan diasingkan ke pulau Cyprus.
Jabatan Yazid di Khurasan kemudian digantikan oleh Jabi ibn Abdullah. Meskipun Yazid berusaha melarikan diri dari penjara Cyprus dengan memberi sogokan kepada kepala penjara dan memimpin pemberontakan di Khurasan, khalifah Umar ibn Abdul Aziz berhasil menangkapnya dan mengirimnya kembali ke penjara, kali ini di Aleppo.
Umar tidak hanya fokus pada memberantas korupsi di kalangan pejabat negara, tetapi juga pada pembangunan moral di negaranya. Dia secara aktif menghapus praktek korupsi, baik dari dalam keluarganya sendiri, dari pejabat pemerintah, maupun dari rakyat.
Khalifah ini tidak membedakan antara teman atau lawan politik, atau antara keluarga dan non-anggota keluarga. Sikap ini pada akhirnya dimanfaatkan oleh pihak oposisi, seperti gerakan Bani Abbas, yang mulai mengumpulkan kekuatan untuk menggulingkan Dinasti Umayyah.
Kebijakan Umar ibn Abdul Aziz dalam Bidang Perpajakan dan Harta
Umar ibn Abdul Aziz, setelah menjabat sebagai khalifah, tidak hanya memerintahkan anggota keluarganya, termasuk istrinya Fatimah binti Abdul Malik, untuk menyumbangkan kekayaan mereka kepada kas negara, tetapi juga mengeluarkan dekret bahwa kekayaan yang diperoleh dengan cara merugikan rakyat harus dikembalikan ke negara, serta mengambil alih kekayaan keluarga para pendahulunya.
Umar dikenal sebagai pemimpin yang sangat responsif terhadap aspirasi rakyat biasa. Dia menghapuskan 81 jenis pajak yang tidak adil yang sebelumnya dibebankan kepada rakyat oleh pemerintah sebelumnya. Selain itu, dia juga menghapuskan harta yang dikumpulkan melalui penerapan jizyah kepada warga non-Muslim.
Kesederhanaan dan kedermawanan Umar ibn Abdul Aziz terlihat jelas ketika ia meninggal dunia pada usia 35 tahun pada tahun 720 M. Saat itu, ia hanya meninggalkan satu set pakaian dan uang tunai sebesar 17 dinar, yang kemudian dibagikan kepada 11 anaknya setelah dipotong biaya untuk kain kafan dan pemakaman.
Pemerintahan Yazid Ibn Abdul Malik ibn Marwan
Yazid Ibn Abdul Malik, yang sering dipanggil Abu Khalid, adalah Khalifah kesembilan dari Daulah Umayyah. Ia lahir pada tahun 70 Hijriyah / 687 Masehi. Yazid II mengambil alih kekuasaan setelah kematian Umar ibn Abdul Aziz pada tahun 720 M.
Pada awal empat puluh hari pemerintahannya, dia menunjukkan kemampuan dalam menjalankan negara dengan baik, namun setelah itu, pemerintahannya mulai kacau dan dipenuhi dengan penyelewengan.
Kualitas kepemimpinan Yazid sangat jauh dari para khalifah sebelumnya. Tidak ada upaya ekspansi atau penyebaran Islam yang signifikan selama masa pemerintahannya.
Bahkan, segera setelah dia naik tahta, timbul pemberontakan di daerah-daerah yang sebelumnya telah diislamkan oleh Qutaybah dan Umar II. Pemberontakan ini akhirnya mengakibatkan kehilangan beberapa wilayah Islam.
Di masa pemerintahannya, konflik antarsuku, antarbangsa Arab, antara Iran dan Arab, serta antara Iran dan Turan menjadi sangat mencolok, mengarahkan Dinasti Umayyah ke ambang kehancuran.
Pemerintahan yang kacau di bawah Yazid II tidak berlangsung lama, karena dia meninggal pada tahun 724 M. Upaya untuk menghidupkan kembali kejayaan Dinasti Umayyah kemudian dilakukan oleh Hisyam ibn Abdul Malik.
Pemerintahan Hisyam ibn Abdul Malik ibn Marwan
Hisyam ibn Abdul Malik lahir pada tahun 691 M, sebagai anak keempat dari Abdul Malik ibn Marwan. Dia dikenal sebagai sosok yang berani dan berpikiran tajam. Hisyam menjadi Khalifah ke-10 dari Dinasti Umayyah, menggantikan Yazid II yang telah meninggal.
Yazid II meninggalkan sejumlah masalah yang harus dihadapi oleh penggantinya. Untuk mengatasi ini, Hisyam harus bekerja keras untuk mengembalikan kejayaan Dinasti Umayyah yang hampir runtuh.
Langkah pertamanya adalah merebut kembali daerah-daerah yang sebelumnya menyatakan pemberontakan. Hisyam berhasil mengatasi satu demi satu pemberontakan, termasuk pemberontakan suku Turagesh di Asia Tengah yang dipimpin oleh Khan Su Lu dengan bantuan dari Cina. Dengan mengerahkan Umar ibn Hubairah dan Khalid al-Qasri, pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan.
Hisyam menerapkan strategi yang efektif untuk meredam pemberontakan, memperkuat perdamaian, mengkonsolidasikan Islam secara permanen, dan melakukan ekspansi wilayah. Dia banyak mengambil contoh dari kesuksesan era Umar ibn Abdul Aziz yang dikenal dengan kebijakan perdamaian dan penyebaran Islam tanpa menggunakan kekerasan. Salah satu strateginya adalah dengan mempromosikan asimilasi antara orang Arab dan masyarakat setempat melalui pendekatan budaya.
Selama masa kekhalifahannya, Hisyam adalah pemimpin yang jujur dan selalu memprioritaskan kesejahteraan rakyatnya. Dia tidak pernah menyumbangkan harta ke Baitul Mal sebelum diperiksa oleh empat puluh pembagi sedekah. Kemudian, setelah bagian yang pantas diambil, harta itu didistribusikan kepada orang-orang yang membutuhkannya.
Wafatnya Hisyam pada tahun 743 M menandai akhir dari periode keemasan Dinasti Umayyah. Penerus-penerusnya tidak mampu melanjutkan upaya pemulihan yang telah dilakukan oleh penguasa-penguasa Umayyah pada masa kejayaan mereka, sehingga Dinasti Umayyah kembali merosot menuju disintegrasi sebelum akhirnya digulingkan oleh revolusi Abbasiyah.
BIBLIOGRAFI
Abdurrahman, Dudung. 2012. “Peradaban Islam Masa Umawiyah TImur”. Dalam Siti Maryam dkk (ed). Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: LESFI.
As-Suyuthi, Imam. 2015. Tarikh Khulafa’. Terj. Samson Rahman. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Bosworth, C. E. 1993. Dinasti-Dinasti Islam. Terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan.
Hitti, Phillip K. 2006. History of The Arabs. Terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Karim, M. Abdul. 2014. Bulan Sabit di Gurun Gobi. Yogyakarta: Suka Press.
Lapidus, Ira M. 2000. Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian I dan II. Terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: RajaGrafindo Persada
[1] Al-Qayrawan berarti kafilah. Pembangunan ini diperuntukkan sebagai markas untuk melakukan serangan ke suku-suku Berber.