Krisis moneter 1998 hanyalah secuil dari berbagai peristiwa ekonomi penting pada era Orde Baru. Di samping krisis tersebut, ada banyak peristiwa lain yang juga memiliki dampak signifikan, terutama pada awal masa pemerintahan ini.
Story Guide
Pembentukan Komisi Empat
Korupsi sudah menjadi penyakit bangsa yang sulit untuk disembuhkan. Mulai dari masa kolonial hingga kemerdekaan, praktik korupsi bukannya berkurang tapi malah makin menggurita.
Menurut penelitian Jamie Mackie, ketika rezim Orde Baru mulai berkuasa, korupsi tidak lagi dianggap sebagai hal baru. Fenomena ini telah menjadi endemik sejak masa pemerintahan Soekarno, bahkan hampir merusak akuntabilitas keuangan negara.
Meskipun korupsi sering dikeluhkan pada era Soekarno, tetapi tidak menjadi isu politik utama karena munculnya konflik-konflik yang lebih besar.
Baca juga: Menyaksikan Pemilu pada Masa Orde Baru
Ketika Soeharto mulai mengokohkan kekuasaannya, ia menyadari bahwa isu korupsi dapat dieksploitasi oleh lawan politiknya. Oleh karena itu, pada bulan Januari 1970, Soeharto mengumumkan pembentukan Komisi Empat yang bertugas melaporkan kasus korupsi di kalangan pegawai negeri Indonesia.
Pada bulan berikutnya, dalam pidato Hari Kemerdekaan, Presiden Soeharto mengutarakan komitmennya untuk memimpin langsung pemberantasan korupsi. Namun, sayangnya, seperti halnya presiden-presiden lainnya, komitmen tersebut hanya sebatas retorika belaka. Kenyataannya, praktik korupsi terus berkembang, bahkan rezim Soeharto dianggap sebagai salah satu rezim terkorup dalam sejarah Indonesia.
Krisis Beras 1972
Pada tahun 1972, Indonesia menghadapi tantangan serius terkait ketahanan pangan untuk pertama kalinya. Saat itu, kemarau panjang menyebabkan kekeringan yang parah di seluruh Asia Tenggara. Akibatnya, produksi beras di berbagai wilayah tidak mencapai target yang ditetapkan, sehingga kenaikan harga beras pun tak terelakkan.
Celakanya, prosedur pemantauan panen saat itu masih menggunakan metode yang kuno dan tidak efektif. Hal ini menyebabkan kurangnya kesadaran di kalangan petugas lapangan maupun pembuat kebijakan di Jakarta terhadap masalah ketahanan pangan hingga harga beras mulai meroket.
Memasuki bulan Agustus dan September, defisit beras makin nyata. Sementara itu, stok beras di tingkat global berada pada level yang rendah, membuat impor beras darurat semakin sulit dilakukan. Akibatnya, harga beras naik drastis dalam waktu singkat, memberikan tekanan besar pada harga-harga lainnya dan memberatkan ekonomi masyarakat bawah.
Krisis mendadak ini tidak hanya mengejutkan, tetapi sekaligus menyingkap kerentanan stabilitas ekonomi Indonesia.
Untungnya, pemerintah Indonesia dengan cepat menyadari urgensi situasi ini dan menjadikan ketahanan pangan sebagai prioritas utama. Selama bulan Oktober dan November tahun 1973, Soeharto secara rutin bertemu dengan pejabat-pejabat BULOG (Badan Urusan Logistik) dan menggelar rapat dengan sub-komite Stabilisasi Ekonomi Kabinet untuk membahas situasi beras.
Berbagai program baru untuk memperkuat ketahanan pangan segera diimplementasikan, yang kemudian membentuk pendekatan kebijakan beras di Indonesia untuk periode berikutnya. Salah satunya adalah penguatan sistem pemasaran dan pengadaan beras di seluruh negeri melalui semi koperasi pedesaan, BUUD (Badan Usaha Unit Desa), dan koperasi penuh, KUD (Koperasi Unit Desa).
Selain itu, rencana ambisius diumumkan untuk memperkuat BULOG, termasuk pembangunan cadangan pangan nasional sebesar satu juta ton beras. Meskipun operasi BULOG sering dikritik, terutama terkait manajemen dan gaya hidup pejabatnya, pada akhir tahun 1970-an, banyak tujuan telah tercapai secara substansial. Pada tahun 1979, jaringan gudang modern dengan total kapasitas satu juta ton telah selesai dibangun di seluruh Indonesia.
Peristiwa Malari
Krisis beras tahun 1972 tidak hanya menciptakan tekanan ekonomi, tetapi juga menjadi pemicu bagi gelombang ketidakpuasan yang melanda seluruh Indonesia. Puncaknya, tergambar pada kerusuhan Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) yang dramatis di Jakarta dan kota-kota besar lainnya pada bulan Januari 1974.
Selama beberapa hari kerusuhan berlangsung, ribuan mahasiswa turun ke jalan dalam demonstrasi anti-pemerintah. Kerusakan besar terjadi, termasuk penjarahan toko-toko dan pembakaran mobil di kota-kota besar. Angkatan bersenjata, didukung oleh tank-tank, dikerahkan untuk mengembalikan ketertiban.
Rencana kunjungan Perdana Menteri Jepang, Tanaka, pada pertengahan Januari dianggap sebagai pemicu utama kerusuhan ini. Namun, di balik semua itu, masyarakat sebenarnya telah muak dengan kondisi ekonomi yang sulit. Kebijakan ekonomi yang tidak populer, kenaikan harga-harga, dan penetrasi besar-besaran bisnis Jepang di Indonesia telah menguras kesabaran masyarakat.
Peristiwa Malari jelas mengguncang penguasa Indonesia saat itu. Soeharto segera mengambil langkah tegas untuk memperkuat kekuasaannya. Personel militer utama dipindahkan, dan sejumlah surat kabar harian serta majalah mingguan dibredel.
Selain itu, terjadi penyesuaian cepat dalam kebijakan ekonomi. Aturan investasi asing diperketat untuk menghambat beberapa sektor dari investasi asing, dan investasi Jepang di Indonesia ditinjau ulang.
Oil Boom
Bersamaan dengan kerusuhan Malari, terjadi perubahan signifikan dalam kondisi ekonomi global; ledakan minyak pertama pada tahun 1970-an tengah berlangsung. Perubahan ini kemudian memengaruhi pola pertumbuhan dan pembangunan di Indonesia selama sisa dekade tersebut.
Menariknya, pada awalnya, para pejabat Indonesia tidak menyadari sepenuhnya dampak fenomena ini. Meskipun harga minyak dunia mengalami lonjakan signifikan, kenaikan harga komoditas lain juga terjadi secara serentak, sehingga dianggap sebagai peristiwa biasa.
Pada bulan April 1972, harga minyak di pasar Indonesia sekitar 2,90 dolar AS per barel. Dalam satu tahun, harga tersebut naik menjadi $3,70. Pada bulan November 1973, harga minyak melonjak menjadi $6,00, dan terus meningkat hingga lebih dari $10,00 pada bulan Januari 1974.
Heinz Arndt mengomentari fenomena ini dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies: “Kenaikan harga minyak mentah di Indonesia telah mengubah prospek ekonomi negara ini… Kenaikan ini telah menyediakan sumber daya eksternal untuk pembangunan dalam skala yang sebelumnya tidak terpikirkan, sumber daya yang dapat dan harus dimanfaatkan dalam beberapa tahun ke depan untuk mencapai tujuan sosial Repelita II.”
Namun, keberhasilan oil boom tidak terjadi secara kebetulan belaka. Kebijakan pro-investasi asing yang diperkenalkan pada akhir tahun 1960-an berhasil mendorong arus investasi baru di sektor minyak Indonesia, yang kemudian mengakibatkan peningkatan produksi minyak secara signifikan.
Baca juga: Minyak untuk Pembangunan: Dinamika Pengelolaan Minyak Indonesia pada Masa Revolusi
Pada tahun 1966, produksi minyak di Indonesia masih berskala kecil, sekitar 470.000 barel per hari. Namun, pada awal 1974, produksi minyak meningkat menjadi hampir 1,4 juta barel per hari. Dengan demikian, dalam waktu kurang dari satu dekade, harga minyak meningkat empat kali lipat dan produksi meningkat tiga kali lipat.
Dampak dari masuknya “petro-dolar” ke perekonomian Indonesia selama periode ini sangat dramatis. Pendapatan dari minyak yang tercatat dalam anggaran meningkat lebih dari sepuluh kali lipat antara tahun 1970 dan 1977, dari sekitar Rp 100 miliar (sekitar $ 260 juta) pada 1970/71 menjadi hampir Rp 1.700 miliar (lebih dari $ 4.000 juta) pada tahun 1976/77.
Meskipun banyak mahasiswa yang berdemonstrasi menentang investasi asing selama kerusuhan Malari, pada akhirnya mereka juga merasakan manfaat besar dari peningkatan prospek pembangunan Indonesia yang disebabkan oleh oil boom.
Berbeda dengan sejumlah negara berkembang pengekspor minyak lainnya yang tidak menggunakan pendapatan minyak dengan efisien, Indonesia memanfaatkannya untuk tujuan pembangunan infrastruktur dan program-program pembangunan pedesaan. Pengeluaran-pengeluaran ini mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia selama beberapa dekade berikutnya.
Krisis Pertamina
Di tengah euforia oil boom, Pertamina justru meninggalkan catatan merah pada periode ini. Pertamina, yang didirikan pada tahun 1968 melalui penggabungan Permina dan Pertamin, telah menjadi perusahaan BUMN paling terkenal di Indonesia pada tahun 1974. Pada saat itu, perusahaan dipimpin oleh Ibnu Sutowo, yang kepemimpinannya penuh kontroversi.
Banyak yang berpendapat bahwa Pertamina merupakan “negara di dalam negara” dengan anggaran besar yang kurang transparan dan sering digunakan untuk transaksi di luar anggaran nasional.
Pada masa tersebut, rejeki nomplok petrodolar dari tahun 1973 dan 1974 menggoda Ibnu Sutowo untuk melakukan transaksi keuangan berisiko tinggi. Program-program diumumkan untuk memperluas kegiatan Pertamina ke berbagai bidang baru, seperti kerjasama dengan perusahaan baja milik negara, P.T. Krakatau, dan perkebunan padi di Sumatra Selatan.
Sayangnya, investasi Pertamina dilakukan dengan risiko tinggi, menggunakan pinjaman jangka pendek di pasar kredit internasional. Manajemen Pertamina sangat yakin bahwa pinjaman tersebut dapat dengan mudah dilunasi setiap kali jatuh tempo.
Awalnya, pengaturan pembiayaan ini berhasil selama tahun 1973 dan 1974, sampai pasar modal internasional mulai diperketat karena resesi besar di negara-negara kaya pada akhir tahun 1974. Ironisnya, kenaikan harga minyak yang menguntungkan Pertamina sebelumnya adalah faktor utama yang berkontribusi terhadap resesi di negara-negara kaya.
Pertamina mampu mengatasi masalah arus kas untuk sementara waktu, termasuk dengan memanfaatkan pembiayaan dari pemerintah. Namun, pada bulan Maret 1975, perusahaan ini tidak mampu memenuhi kewajiban keuangan dan pemerintah Indonesia harus turun tangan.
Beberapa bulan kemudian, terungkap bahwa utang yang dimiliki Pertamina jauh lebih besar dari perkiraan sebelumnya. Laporan awal menunjukkan bahwa utang jangka pendek Pertamina mencapai tidak kurang dari $1,5 miliar. Pada akhir tahun itu, Kepala Bappenas, Widjojo Nitisastro, memberikan pernyataan komprehensif kepada parlemen yang melaporkan bahwa total utang Pertamina tampaknya melebihi $2,3 miliar.
Namun, menjelang akhir tahun 1975, muncul rumor bahwa utang sebenarnya jauh lebih tinggi dan mungkin mencapai $6 miliar atau lebih. Pada awal Maret 1976, Ibnu Sutowo dicopot dari jabatannya sebagai presiden direktur Pertamina. Peristiwa ini menarik banyak perhatian media internasional dan merusak reputasi ekonomi dan keuangan Indonesia pada periode tersebut.
Spekulasi ini berakhir pada bulan Mei 1976 ketika Menteri Pertambangan, Mohamad Sadli, memberikan pernyataan jujur dan terperinci kepada parlemen. Sadli melaporkan bahwa Pertamina telah menanggung utang lebih dari 10 miliar dolar AS. Ia kemudian menggambarkan masalah Pertamina sebagai ‘krisis terbesar yang pernah dihadapinya sebagai Menteri Pertambangan’.
Pada saat itu, krisis Pertamina dianggap sebagai pukulan telak bagi perekonomian Indonesia secara luas. Dan tentu saja, krisis ini menunjukkan kesalahan serius dalam hal penilaian dan akuntabilitas internal di dalam pemerintahan Indonesia.