lambang bendera aceh

Proses Islamisasi di Asia Tenggara khususnya di Nusantara ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam, yang pertama kali muncul di Pulau Sumatera dan lebih spesifiknya di daerah yang sekarang disebut Daerah Istimewa Aceh (DI. Aceh). Di sanalah muncul kerajaan-kerajaan berbasis Islam seperti di antaranya adalah yang paling masyhur yaitu Kerajaan Perlak, Kerajaan Samudera Pasai, dan Kerajaan Aceh Darussalam.

Kerajaan-kerajaan tersebut silih berganti memerankan peran penting sebagai aktor utama dalam penyebaran Islam di Nusantara, khususnya di Aceh. Berawal dari munculnya Kerajaan Perlak sampai kerajaan Islam terakhir di Aceh yaitu Kesultanan Aceh Darussalam yang akan dibahas lebih lanjut dalam artikel ini.

Kesultanan Aceh Darussalam dapat dikatakan sebagai penerus dari kerajaan-kerajaan yang telah eksis sebelumnya di Aceh, sehingga beberapa pendapat mengatakan bahwa Kerajaan Aceh Darussalam adalah suatu bentuk kesatuan dari kerajaan-kerajaan yang telah berdiri sebelumnya.

Pembahasan Kerajaan Aceh Darussalam dalam artikel ini akan berkisar tentang latar belakang proses berdiri dan perkembangan Kerajaan Aceh Darussalam, kondisi politik, sosial dan ekonomi Kerajaan Aceh Darussalam, perannya dalam penyebaran Islam serta masa kejayaan dan masa kemundurannya.

Kronologis Perkembangan Kesultanan  Aceh Darussalam

Wilayah Kesultanan Aceh
Wilayah Kesultanan Aceh

Sebelum Aceh berdiri menjadi sebuah kerajaan yang berdiri sendiri (bukan daerah taklukan), di daerah Sumatera Utara telah terdapat enam kerajaan yang terpenting, yaitu Kerajaan Perlak, Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan Teumiang (Burma), Kerajaan Pedie (Pedir/Pidie), Kerajaan Indera Purba (Lamuri/Lambri) dan Kerajaan Indera Jaya.[1]

Kesultanan Aceh Darussalam didirikan oleh seorang ahli tasawuf dari Parsi (ada yang mengatakan orang India keturunan Parsi) yang datang untuk memesatkan perkembangan dakwah Islam di Nusantara khususnya di kawasan Aceh dan Sumatera setelah mendengar mengenai perkembangan dakwah Islam di Perlak dan Samudera Pasai. Seorang ahli tasawuf tersebut bernama Jihan Syah atau Johan Syah. Beliau menikahi perempuan pribumi dan memiliki seorang anak laki-laki. Kemudian mendirikan Kesultanan Aceh pada tahun 601 H/1205 M. dan, menjadi sultan Aceh sampai 631 H/1235 M.

Ketika Sultan Johan Syah wafat, maka tampuk kepemimpinan dilanjutkan oleh keturunannya (yang dikenal dengan Dinasti Johan Syah) sampai tahun 811 H/1408 M. Setelah itu, Kesultanan Aceh Darussalam dipimpin oleh dinasti-dinasti yang lain secara bergantian. Para sultan yang memerintah Aceh Darussalam setelah wafatnya Johan Syah dari keturunannya adalah Sultan Ahmad Riayat Syah (631-665 H/1235-1269 M.), Sultan Mahmud Syah (665-708 ./1269-1308 M.), Sultan Firman Syah (708-755 H/1308-1345 M.), dan Sultan Mansyur Syah (755-811 H/1345-1408 M.).[2] Mereka menjadikan Ramni menjadi pusat pemerintahannya. Setelah wafatnya Sultan Mansur Syah, naiklah seorang yang bukan berasal dari keturunan Johan Syah dengan gelar Sultan Alauddin Inayat Syah, anak dari Abdullah Al-Malikulmubin.[3] Beliau berkuasa periode 811-870 H/1408-1465 M.

Pada mulanya pusat pemerintahan Aceh terletak di satu tempat yang dinamakan kampung Ramni dan dipindahkan ke Darul Kamal oleh Sultan Alauddin Inayat Syah.[4] Kemudian setelah wafatnya Sultan Alauddin Inayat, maka naik tahta Sultan Muzaffar Syah (870-901 H./1465-1497 M). Beliaulah yang menata dan membangun Aceh Darussalam.

Sebagaimana keterangan di atas, bahwa Kesultanan Aceh Darussalam belum menjadi sebuah kerajaan yang berdiri sendiri tetapi masih berupa kerajaan taklukkan, maka pada saat kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1497-1530) Aceh mampu keluar dari pengaruh kerajaan penakluknya[5] bahkan balik mempengaruhi kerajaan penakluknya. Selain itu, Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan yang telah muncul sebelumnya ke dalam kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam, dan saat itulah Kesultanan Aceh mulai berkembang di berbagai bidang seperti perluasan wilayah, melakukan perlawanan pada Portugis dan perkembangan perekonomian. Sepeninggal Sultan Ali Mughyat Syah, naik tahtalah anaknya Sultan Salahuddin (1530-1538 M.), namun dikarenakan bersikap terlalu lunak pada Portugis dan kurang memerhatikan pemerintahan maka digantikan oleh saudaranya Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (1538-1571 M.). Pada masa kekuasaanya pernah dilakukan penyerangan ke Malaka pada tahun 1547 M dan 1568 M.

Ketika berakhirnya kekuasaan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar, untuk beberapa lama kesultanan Aceh mengalami kemelut disebabkan perebutan kekuasaan di antara pewaris kekuasaan.[6] Akhirnya setelah melewati masa-masa tersebut pada tahun 1596 kekuasaan diambil alih oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Said al-Mukammal sampai 1604 dan diteruskan oleh Sultan Ali Riayat Syah periode 1604-1607 Aceh menjadi stabil kembali. Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M.).[7] Kemudian beliau digantikan oleh menantunya Sultan Iskandar Tsani yang berkuasa sampai 1641 M. Setelah itu kesultanan sempat dipimpin oleh beberapa Sultanah sampai pada tahun 1699 M.

Kesultanan Aceh Darussalam masih berdiri sampai tahun 1903 tetapi eksistensi dari Kesultanan Aceh mulai memudar karena penerus kekuasaan yang bersikap lunak pada bangsa asing dan terjadinya perebutan kekuasaan, sehingga berakhirlah Kesultanan Aceh pada tahun 1903.

Kondisi Politik, Sosial, dan Ekonomi

  1. Kondisi Politik
  • Melakukan ekspansi-ekspansi.
  • Menjadi sentral kekuasaan di Sumatera Utara.
  • Telah tersusun pemerintahan yang terstruktur, sistematis, dan koordinatif antara pusat dan daerah pada masa Sultan Iskandar Muda.
  • Menjalin hubungan diplomatik dengan Turki, India dan Parsi serta menjalin hubungan kekerabatan dengan Pahang.
  • Menjalin hubungan kerjasama dengan kerajaan-kerajaan Islam lain di Nusantara, khususnya di Jawa.
  1. Kondisi Sosial-Ekonomi
  • Sultan Iskandar Muda membendung penetrasi dan menekan arus perdagangan bangsa Eropa.
  • Bandar Aceh dijadikan pelabuhan internasional dalam upaya memakmurkan perekonomian.
  • Memonopoli perdagangan di pesisir Sumatera Barat sampai Inderapura.
  • Pusat perdagangan bagi pedagang Nusantara, Cina maupun Barat.
  • Penduduk Aceh ada yang bermatapencaharian sebagai pedagang dan pertukangan.
  • Lapisan masyarakat yang paling menonjol dibedakan menjadi Umara dan Ulama.
  • Diterapkan UU tentang tata pemerintahan yang diberi nama Adat Makuta Alam yang berdasarkan hukum syara.
  • Komoditasnya lada dan rempah serta banyak lagi barang-barang yang diekspor ke luar negeri dari Aceh.

Masa Kejayaan dan Kemunduran

Sultan Iskandar Muda
Sultan Iskandar Muda

Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaan pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1638 M). Dia dapat mengembalikan daerah-daerah yang melepaskan diri dari Aceh akibat perebutan kekuasaan sepeninggalan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah di akhir abad ke-16 serta terjadinya serangan Portugis yang sewaktu itu ada di Malaka.

Dia pun dapat menguasai sepanjang pantai Sumatera mengatur perdagangan lada. Masa ini pula sekitar Gayo dan Minangkabau diislamkan.[8] Selain dalam bidang  ekonomi, ada pula di bidang politik yaitu berhasilnya mempersatuakan seluruh lapisan masyarakat dan tersusunnya sebuah undang-undang tentang tata pemerintahan yang bernama Adat Makuta Alam.

Setelah meninggalnya Sultan Iskandar Muda dan digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M) mulai menandai kemunduran dengan kurang mampunya melawan kolonialis. Kemunduran semakin terasa sepeninggalnya Sultan Iskandar Tsani yang digantikan istrinya, Sultanah Tajul Alam Syafiatuddin Syah (1641-1675 M). Kesultanan Aceh menjadi tidak kokoh dengan banyaknya daerah yang melepaskan diri dan ketidakstabilan perdagangan.

Demi mempertahankan kerajaan, dia menjalin kerja sama dengan Belanda, akan tetapi justru mereka yang memonopoli. Mereka berkesempatan menikmati fasilitas yang diberikan Sultanah. Mereka juga mendirikan kantor Dagang yang berada di Pahang dan Silida. Sultanah pun sudah memberikan peringatan kepada mereka, akan tetapi tidak dihiraukan.

Sultanah Tajul Alam Syafituddin Syah wafat dan digantikan oleh Sultanah Nurul Alam Nakiatuddin (tidak jelas asal-usulnya) yang memerintah mulai tahun 1675-1678. Kehadirannya sama sekali tidak menyelesaikan masalah yang ada. Begitu pula saat digantikan dengan putrinya Raja Sertia, Kepemimpinan wanita tidak dilanjutkan lagi karena menyusulnya fatwa dari Mekkah bahwa syariat melarang seorang wanita menjadi pemimpin suatu negara (1699 M).[9]

Belum lagi terjadinya perebutan kekuasaan oleh beberapa sultan yang saling bersaing yaitu dari golongan sayid keturunan Fatimah binti Muhammad Saw. yang lahir di Aceh bernama Jamalul Alam Badrul Munir (1703-1726). Ia terus melawan sultan-sultan penggantinya.

Setelah itu, Jawharul Alam (1818-1824 M) berhasil menjadi sultan dengan bantuan Inggris. Aceh mengadakan perjanjian dengan Inggris (12 April 1818 M) yang diwakili Thomas Stamford Raffles untuk memberi kesempatan berdagang di Kesultanan Aceh dan Inggris memberikan jaminan keamanan dan perlindungan bagi Aceh. Pada 17 Maret 1824 Inggris dan Belanda mengadakan perjanjian London yang berisi tentang penghormatan kedaulatan Aceh oleh pihak Belanda. Tanggal 2 November 1871 dibuat Traktat Sumatera antara Belanda dan Inggris dengan menghapus traktat London. Perjanjian yang baru memberikan kesempatan bagi Inggris mengembangkan kekuasaan di Malaya dan Belanda di Sumatera.[10]

Aceh tetap berkemelut bahkan semakin berkepanjangan. Setelah datangnya para ulama-ulama dan tokoh masyarakat Aceh melancarkan perlawanan terhadap para kompeni pada tahun 1873-1904, dan Aceh kembali naik lagi. Perlawanan Aceh kepada Belanda terkenal dengan sebutan Perang Aceh. Perang itu bermula dari tidak didapatnya kata sepakat dalam proses perdamaian antara keduanya, sehingga pada tahun 1873 pecahlah perang. Tahun 1874 Sultan Muhammad Daud Syah diangkat sebagai Sultan. Sekalipun Kesultanan Aceh sudah dihapus oleh Belanda namun rakyat Aceh masih memiliki seorang sultan, Muhammad Daud Syah yang dinobatkan di masjid Indrapuri. Ia tertangkap tahun 1903 dibuang ke Ambon dan meninggal 1939 M.

Pada masanya telah diusahakan perdamaian antara Aceh dan Belanda namun gagal kembali karena tidak adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, sehingga perang kembali pecah dan barulah pada tahun 1903 Sultan mengakui kekuasaan Belanda maka berakhirlah kedaulatan Aceh pada awal abad ke XX.

Adapun faktor yang memengaruhi kemunduran kerajaan dapat dilihat dari internal maupun eksternal. Faktor internal yang memicu kemunduran yaitu melemahnya sultan-sultan yang berkuasa setelah meninggalnya Sultan Iskandar Muda, banyak pula kaum kapitalis dalam negeri yang tidak memedulikan kesulitan-kesulitan kerajaan. Faktor ekternalnya yaitu adanya campur tangan dari pihak luar, baik langsung maupun tidak langsung. [11]

Peran dalam Penyebaran Islam

Ulama-ulama yang berada di Kesultanan Aceh sangat memengaruhi berkembangnya penyebaran Islam. Mereka pun mendapat andil dalam perjuangan melawan para kompeni bersama tokoh-tokoh lainnya. Dengan demikian, Sultan Kerajaan Aceh menaruh perhatian terhadap ulama-ulama dengan menempatkannya dalam posisi jabatan, baik sebagai Mangkubumi atau lainnya.

Ada pula ulama yang mendapatkan kesempatan untuk mengelola serta mengawasi Masjid Raja dan sekitarnya. Sultan tidak memerintah langsung melainkan melimpahkannya kepada hakim tertinggi kerajaan Teuku Kadli Malikul Adil dan Panglima Masjid Raya.

Kesultanan Aceh memiliki andil dalam menyebarluaskan Islam ke berbagai daerah, baik yang masih di Pulau Sumatera atau luar Pulau Sumatera. Ekspansi-ekspansi yang dilakukan pada masa Kesultanan Aceh tidak hanya berunsur politik semata, melainkan dengan tujuan memesatkan dakwah Islam. Selain itu telah ditemukan satu dokumentasi tua yang berupa graf (graph) yang menunjukkan bahwa sekumpulan pendakwah yang diketuai oleh Abdullah al-Malikulmubin menyebarluaskan Islam ke Kedah (Semenanjung tanah Melayu), Campa, Minangkabau, dan Patani (Utara Semenanjung Tanah Melayu).[12]

Masa kekuasaan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar, beliau mengutus Syarif Hidayatullah (Ahmad Fathullah) untuk menyebarluaskan Islam di Pulau Jawa. Syarif Hidayatullah berhasil menyebarkan Islam di Jawa Timur dan Jawa Barat. Selain itu Syarif Hidayatullah pun memimpin mujahidin menghalau tentara Portugis. Karena pengaruh dan jasanya, maka dianggap oleh muslimin Jawa Barat sebagai wali Allah dan diberi gelar Sunan Gunung Djati.[13]

Peran lain Ulama di Aceh yaitu adanya lembaga-lembaga yang diberikan sultan secara sengaja untuk menghimpun para ulama dalam mendiskusikan berbagai masalah keagamaan, seperti Balai Jamaah Himpunan Ulama dan Balai Setia Hukama’. Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam mulai timbulnya ilmu tasawuf. Keempat ulama besar yaitu Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri dan Abdu Rauf al-Singkeli mempunyai latar belakang tasawuf, bahkan Hamzah Fansuri memiliki faham tersendiri, yaitu Wahdatul Wujud yang ditentang keras oleh Nuruddin ar-Raniri dengan faham Wahdatul Syuhud-nya. Dikarenakan berkembang pesatnya Islam pada masa Kesultanan Aceh Darussalam maka banyak pula ulama-ulama besar menghasilkan karya, seperti Hamzah Fansuri dengan karya Tibyan fi Ma’rifati al-U Adyan, Syamsuddin as-Sumantrani dengan karya Mi’raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin ar-Raniri dengan karya Sirat al-Mustaqim, dan Abdur Rauf as-Singkeli dengan karya Mi’raj at-Tulaab fi Fashil. Masih banyak karya mereka yang tidak dapat disebut satu per satu.[14]

BIBLIOGRAFI

Hasymy, A. 1963. Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Indonesia. Al-Maarif.

http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Penguasa_Aceh

Maryam, Siti,. et al.  2002. Sejarah Peradaban Islam : Dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: LESFI.

Sudirman, Adi. 2014. Sejarah Indonesia Lengkap Dari Era Klasik Hingga Terkini. Yogyakarta: DIVA Press.

Yahya Harun, M. 1995. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan  XVII. Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera.

Yusuf, Mundzifin. 2006. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka.

Thanks to : Ahmad Labib Majdi, mahasiswa SKI UIN Sunan Kalijaga

[1] Lihat A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Alma’arif, 1993), hlm. 190.

[2] Ibid., hlm 213 dan 437.

[3] Abdullah Al-malikulmubin adalah ketua dari kelompok pendakwah yang menyebarkan Islam di Asia Tenggara, khususnya di Nusantara. Kelompok ini mengambil pusat dakwah mereka di Aceh karena pada saat itu Aceh sebagai pusat perniagaan. Lihat A. Hasymy, hlm 212-213.

[4] A. Hasymy, hlm 286.

[5] Aceh Darussalam sebelum masa Sultan Ali Mughayat Syah masih berupa kerajaan taklukkan Kerajaan Pidie (Pedir). Lihat M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), hlm. 11.

[6] Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka, 2006), hlm. 68

[7] Adi Sudirman, Sejarah Lengkap Indonesia Dari Era Klasik hingga Terkini, (Yogyakarta: DIVA Press, 2014), hlm. 198.

[8] Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam  (Yogyakarta:LESFI, 2012), hlm 326.

[9] Yusuf, Sejarah, hlm. 69.

[10] Ibid,. hlm. 70.

[11] M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan  XVII (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), hlm. 15-17.

[12] A. Hasymy, hlm. 212.

[13] Ibid., hlm. 215.

[14] M. Yahya Harun, hlm. 19-20.

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *