Apabila kita berbicara tentang difabel maka sulit untuk mengesampingkan diskriminasi yang selalu menghantui kehidupan mereka. Sebagai manusia mereka sulit memperoleh haknya sebagai manusia, salah satunya hak untuk belajar. Bisa dikatakan pendidikan merupakan hal yang asing bagi mereka. Akibat tidak memperoleh pendidikan sejak usia dini, perkembangan pikiran dan mental mereka pun terhambat dan secara perlahan masa depan mereka pun semakin gelap. Memasuki Abad Pencerahan muncul wacana untuk mendidik para difabel yang ditandai dengan munculnya para filsuf humanis dan pendirian sekolah difabel.
Kondisi Difabel pada Abad Pertengahan
Selama ratusan tahun Abad Pertengahan atau Abad Kegelapan, para penyandang disabilitas dihadapkan pada kondisi sulit dan menyedihkan akibat berbagai diskriminasi yang mereka peroleh.
Dalam masyarakat periode ini, konsepsi difabel jauh berbeda dengan masa kini. Alih-alih dianggap sebagai manusia, para difabel apa pun jenis dan tingkatannya justru dikelompokkan di bawah kategori “idiot”, sebuah istilah yang berasal dari Yunani.
Melalui istilah ini, para difabel tidak dianggap sebagai bagian dari warga negara, yang berarti mereka tidak mempunyai hak dalam ruang publik, mereka tidak menjadi bagian dari kebijakan publik, dan tidak memiliki hak untuk menikah dan memiliki keturunan.
Baca juga: Menelusuri Sejarah Difabel pada Masa Kuno
Dengan istilah idiot, para difabel dikucilkan dari sistem masyrarakat, dianggap aneh, tidak punya kemampuan, dan tidak pantas memperoleh haknya sebagai manusia. Pada akhirnya, mereka pun menjadi minoritas tanpa masa depan yang menghabiskan hidupnya sebagai pengemis di jalanan.
Tidak ada reformasi yang menonjol untuk memperbaiki nasib difabel, karena di dalam masyarakat abad kegelapan, para difabel dianggap tidak kecakapan untuk memahami instruksi dan pendidikan apa pun. Oleh sebab itu, tidak ada usaha untuk memberikan pendidikan bagi mereka.
Kondisi ini diperparah dengan munculnya kepercayaan bahwa menjadi difabel disebabkan oleh hukuman Tuhan atau kutukan iblis. Akibatnya, masyarakat masa itu meyakini bahwa nasib difabel hanya dapat diperbaiki melalui intervensi ilahi. Munculnya kepercayaan ini dapat dilacak dari kisah-kisah penyembuhan penuh mukjizat yang tak terhitung banyaknya pada masa ini.
Wacana Pendidikan Difabel dan Pendirian Sekolah Difabel
Memasuki pertengahan abad ke18, angin perubahan untuk difabel mulai berhembus dan dimulai dari Eropa. Proyek intelektual Abad Pencerahan yang bertujuan untuk membanguan pengetahuan, filosofi kemanusiaan dan pemikiran demokratis mendorong munculnya gagasan kesetaraan hak seluruh manusia.
Di dalam gagasan kesetaraan ini, semua manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga orang orang lain, khususnya individu di luar lingkaran keluarga.
Wacana untuk memperbaiki nasib difabel tidak dapat dilepaskan dari kemunculan gerakan reformis pada abad ini. Gerakan-gerakan tersebut membawa misi kemanusiaan terutama untuk memperjuangkan hak sesama manusia dan mengurangi penderitaan orang lain, termasuk difabel.
Semangat reformasi terkristalisasi paling kentara muncul di Prancis diwakili oleh para filsuf Pencerahan Prancis, seperti Diderot, Voltaire, dan Condillac. Mereka membuang metafisika spekulatif abad sebelumnya dan berusaha mengubah cara pandang umat manusia yang terlalu fokus dengan urusan agama menuju ke arah kesadaran sosial dan kepekaan terhadap sesama manusia. Filosofi mereka mengedepankan peningkatan kesejahteraan kelompok individu, mulai dari orang miskin, budak, dan difabel yang sebelumnya selalu dikucilkan.
Prancis menjadi lahan subur bagi perkembangan ide untuk memperbaiki nasib difabel. Gagasan untuk memberikan pendidikan dan mendirikan sekolah bagi difabel berkembang di wilayah ini. Pendidikan untuk difabel pertama kali diperuntukkan untuk tunarungu, kemudian tunanetra, dan terakhir tunagrahita. Dari Prancis konsep pendidikan difabel pun menyebar ke wilayah Eropa lainnya.
Perkembangan bidang pendidikan difabel di Prancis banyak dipengaruhi teori tabula rasa John Locke yang menganggap manusia lahir tanpa isi mental bawaan dalam artian kosong layaknya kertas dan seluruh pengetahuan manusia didapatkan sedikit demi sedikit melalui pengalaman dan persepsi alat indranya terhadap lingkungan luar.
Teori John Locke ini kemudian diadopsi oleh Abbé Charles Michel de l’Epée (1712-1789), seorang pendeta Perancis, yang mengasimilasikannya dengan cita-cita kesetaraan dan menggabungkannya dengan konsep baru bahasa isyarat dengan jari untuk tunarungu. Berkat usahanya itu, ia berhasil merancang pendekatan inovatif untuk pendidikan orang tuli yang kemudian diimplementasikan dengan pendirian sekolah difabel pertama di dunia (Sekarang bernama Institut National de Jeunes Sourds de Paris) antara 1750-1760. Sekolah ini mulai dibuka untuk publik pada 1760.
Gagasan Epée unntuk mempromosikan bahasa isyarat bisa dikatakan sangat revolusioner pada masa itu. Kesuksesannya mendidik dengan bahasa isyarat seolah memberitahukan pada dunia bahwa para difabel sebenarnya dapat dididik dan berkembang, asalkan menggunakan metode pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan mereka.
Banyak orang terpesona pada revolusi gagasan ini. Pengaruh Epée akhirnya tidak hanya mempengaruhi pendidikan untuk tunarungu saja, namun juga menginspirasi kelompok difabel lainnya seperti tunanetra dan tunagrahita untuk memperoleh pendidikan.
Setelah Epée, muncul Valentin Hauy sebagai tokoh berpengaruh bagi pendidikan difabel. Berawal dari pertemuannya dengan seorang pengemis tunanetra, Francois Leseur, di jalanan Paris pada Mei 1784. Hauy memperhatikan Leseur dapat membaca nominal uang yang ia berikan dengan indera perabanya.
Dari pengamatannya itu, muncul ide untuk mendidik Leseur. Ia kemudian mulai mengajari murid pertamanya itu untuk membaca huruf yang timbul, menyusun kalimat, aritmatika, kerajinan tangan, geografi, musik.
Ternyata perkembangan Leseur melebihi perkiraan, dalam tiga bulan perkembangannya sangat pesat. Kesuksesan itu menarik perhatian lembaga filantropi Prancis, yang akhirnya membantu Hauy mendirikan sekolah tunanetra pertama yang dinamai Institut National des Jeunes Aveugles ( Institute for Blind Youth) pada akhir 1784.
Tantangan yang berbeda muncul untuk pendidikan tunagrahita dan tunalaras. Selama ratusan tahun, para tunagrahita dikategorikan sebagai turunan dari tunalaras, akibatnya penanganan yang diberikan kepada mereka pun tidak jauh berbeda dengan penanganan terhadap tunalaras yang penuh kekerasan tidak manusiawi. Mereka dirantai telanjang di bilik-bilik kecil yang kotor dipenuhi tikus, tidak jarang mereka memperoleh hukuman cambuk atau penyiksaan lainnya.
Reformasi terhadap penanganan tunagrahita dan tunalaras baru muncul pada Abad Pencerahan yang disuarakan oleh Phillippe Pinel (1745-1826), yang dikenal pula sebagai psikiater pertama di Prancis. Pinel memperkenalkan metode moral treatment yang lebih berperikemanusiaan dan metodologis untuk menangani difabel. Melalui usahanya itu, Pinel mulai merubah institusi yang memenjarakan para difabel ke rumah sakit jiwa.
Sejalan dengan reformasi Pinel, muncul pula minat untuk mendidik penyandang disabiltas mental. Jean Marc Gaspard Itard menjadi tokoh yang mengawali usaha ini dengan mendidik seorang anak autis bernama Victor pada 1800.
Meskipun dihadapkan dengan berbagai kesulitan terutama kesulitan dalam mengajari berbicara, namun Victor mengalami perkembangan cukup signifikan khususnya dalam bersikap terhadap orang lain.
Usaha Itard itu kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Edouard Seguin. Dengan didorong semangat Abad Pencerahan, Senguin yakin bahwa pendidikan adalah hak universal dan masyarakat memiliki kewajiban untuk memperbaiki nasib sesamanya, termasuk nasib penyandang disabilitas mental. Bagi Senguin, tuga mendidik mereka adalah bagian dari gerakan sosial yang lebih luas menghapus kelas-kelas sosial dan membentuk masyarakat yang adil.
Pada tahun 1839, Senguin berhasil mendirikan sekolah swasta untuk penyandang disabilitas mental. Di sekolah itu ia mengembangkan metode pendidikan untuk perawatan untuk mereka. Berdasarkan penemuan revolusionernya, para tunagrahita bukanlah orang yang memiliki keterbatasan intelektual karena penyakit atau otak yang tidak normal, melainkan lebih kepada perkembangan mental yang terhambat. Oleh karena itu, solusi untuk melatih mereka adalah melakukan pelatihan sensorik. Pendekatannya yang komprehensif itu kemudian dijadikan dasar bagi hampir semua kelembagaan dan pendidikan anak-anak penyandang disabilitas mental abad ke-19.
Tiga sekolah difabel paling awal itu membawa misi normalisasi untuk difabel. Di bawah misi itu, mereka ingin mendidik para anak-anak difabel agar mampu menjadi manusia mandiri yang dapat melepaskan diri dari ketergantungan yang selama ini justru menjerat mereka. Dengan mempunyai bekal ilmu dan kemampuan yang cukup, para difabel diharapkan dapat kembali ke tempat asal dan mampu berintegrasi dengan masyarakat umum.
Pengaruh reformasi pendidikan untuk difabel di Prancis kemudian menyebar luas ke seluruh dunia. Mengikuti para perintis Prancis, gerakan-gerakan reformis yang memperjuangkan hak pendidikan untuk tunarungu, tunanetra, dan tunagrahita juga bermunculan di wilayah Eropa dan Amerika. Seiring dengan berjalannya waktu sekolah difabel pun menyebar ke seluruh penjuru dunia. Bahkan, metode yang ditemukan pada Abad Pencerahan itu sedikit banyak masih diadopsi hingga masa sekarang.
Daftar Pustaka
Flugel, J. C., & West, D. J. A hundred years of psychology (3rd ed.). London: Duckworth, 1964.
Kauffman, J. M. “Nineteenth century views of children’s behavior disorders: Historic contributions and continuing issues”. Journal of Special Education, 10, 1976, hlm. 335–349.
L’Epée, Charles-Michel . The Method of Educating the Deaf and Dumb: Confirmed by Long Experience. London: George Cooke, 1801.
MacMillan, M. B. “Extra-scientific influences in the history of childhood psychopathology”. American Journal of Psychiatry, 116, 1960, hlm. 1091–1096.
Perkins Institution for the Blind. Annual reports of the trustees of the New England Institution for the Education of the Blind to the corporation. Boston: J. T. Buckingham, 1881.
Wilson, Arthur M. Diderot. New York: Oxford University Press, 1957.
Winzer, Margret. A. “A tale often told: The early progression of special education”. Remedial and Special Education, 19, 1998, hlm. 212–218.
Winzer, Margret A. From Integration to Inclusion: A History of Special Education in the 20th Century. Washington DC: Gallaudet University Press, 2009.
Winzer, Margret. A. The history of special education: From isolation to integration. Washington, DC: Gallaudet University Press, 1993.
Mantap sekali penjelasannya