Eksplanasi sejarah secara sederhana diartikan sebagai usaha untuk membuat unit sejarah intelligible (dimengerti secara cerdas). Banyak karya sejarawan yang memberi keterangan tentang eksplanasi sejarah seperti karya Alan J. Lichtman dan Valerie French Historian and the living past atau karya C. Behan Mc. Cullagh Justifying Historical Description yang menerangkan eksplanasi sejarah sebagai hubungan sebab akibat.
Story Guide
Asal Mula Eksplanasi Sejarah
Eksplanasi sebenarnya sudah terkandung dalam penulisan sejarah naratif yang hanya menekankan pada aspek kronologi sebuah peristiwa sejarah. Namun, eksplanasi yang terkandung dalam sejarah naratif tersebut hanya sebatas eksplanasi naratif yang tidak mampu memberi penjelasan secara lebih gamblang sebab-akibat yang terkandung dalam sebuah peristiwa sejarah itu sendiri.
Keadaan ini mengharuskan adanya kolaborasi antara ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya guna melacak kausalitas gerak historis yang kompleks dari suatu peristiwa sejarah. Kolaborasi antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial tersebut kemudian mengantarkan terlahirnya sejarah analitis (Dipelopori oleh Annales School).
Kaum historis kemudian tidak tinggal diam menyikapi kehadiran sejarah analitis tersebut. Hal ini dikarenakan mereka berpendapat bahwa setiap peristiwa sejarah memiliki keunikan dan individualitas tersendiri, sehingga peristiwa sejarah tidak dapat dianalisis dan direduksi.
Leopold von Ranke merupakan tokoh yang menyuarakan hal tersebut. Ia berpendapat bahwa kehadiran sejarah bukan bertujuan untuk mengadili masa lalu atau bahkan memberikan pelajaran bagi peradaban manusia di masa depan, melainkan untuk menunjukkan keinginan dari masa lalu yang sebenarnya.
Karena itu, Ranke menyuarakan bahwa seorang sejarawan harus bersifat objektif, yakni menghasilkan sebuah karya sejarah sebagaimana adanya peristiwa tersebut terjadi.
Ranke berpendapat bahwa seorang sejarawan hanya bertugas untuk mengungkap fakta yang tidak perlu dicampur dengan pernyataan nilai. Sejarawan juga tidak perlu melibatkan perasaan kemanusiaannya dalam merekonstruksi sebuah peristiwa sejarah. Sejarawan bebas dalam menulis kebaikan atau keburukan seorang tokoh dengan didasarkan pada sumber-sumber yang benar. Pandangan inilah yang kemudian disebut dengan sejarah deskriptif naratif.
Menanggapi kehadiran dari sejarah deskriptif naratif tersebut, Sartono Kartodirjo berpendapat bahwa sejarah deskriptif narasi hanya memuat statement of fact, adapun statement of Value belum dapat tergambarkan melalui sejarah deskriftif naratif, sehingga pertanyaan mengenai sebab terjadinya sebuah peristiwa belum mampu untuk dijawab.
Sartono berpendapat bahwa seorang sejarawan harus menggunakan bantuan dari ilmu-ilmu sosial lainnya guna melacak kekuatan-kekuatan maupun faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya suatu peristiwa sejarah. Inilah yang kemudian menjadi jembatan kemunculan sejarah analitis.
Sejarah analitis membutuhkan kerangka referensi atau teori yang berfungsi untuk mengidentifikasikan masalah, menyusun kategori-kategori untuk mengorganisasi hipotesis yang melalui berbagai macam interpretasi data dapat diuji serta memperlihatkan kriteria yang dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu.
Berkhofer mengatakan bahwa sejarah bertujuan untuk mensintesiskan fakta-fakta yang diperoleh dari data yang diolah dengan teori tertentu dan interpretasi yang menyeluruh. Oleh karena itu, sintesis merupakan bagian dari metode sejarah yang mengharuskan adanya eksplanasi sejarah di dalamnya.
Apa itu Eksplanasi Sejarah?
Eksplanasi memiliki asal kata dari kata kerja dalam bahasa Inggris to explain (yang kemudian dimaknai dengan penjelasan, eksplanasi, eksplanation).
D.H. Fishcer memaknainya dengan membuat terang, jelas, dan dapat dimengerti. Hanya saja Fishcer membatasi pengertian menjelaskan di sini untuk what, how, when, where, dan who. Sementara untuk pertanyaan why, menurutnya tidak merasa perlu dibahas karena orang-orang tidak perlu atau ingin tahu mengenai pertanyaan tersebut.
Eksplanasi merupakan perluasan pertanyaan faktual untuk mengetahui lebih jauh terkait alasan dan proses terjadinya sebuah peristiwa sejarah.
Kuntowijoyo berpendapat bahwa eksplanasi atau penjelasan sejarah (historical explanation) merupakan sebuah upaya yang harus dilakukan seorang sejarawan guna menciptakan sebuah rekonstruksi peristiwa sejarah yang dapat dimengerti secara cerdas (intelligible explanation).
Urgensi dari intelligible explanation dalam sejarah merupakan tuntutan dari pernyataan bahwa sejarah bukan hanya sekedar kausalitas semata melainkan harus memiliki sisi analisis yang kuat dengan demikian, eksplanasi sejarah merupakan bagian dari metode sejarah.
KAIDAH-KAIDAH EKSPLANASI SEJARAH
Kuntowijoyo dalam karyanya yang berjudul Penjelasan Sejarah (Historical Explanation) menuliskan terdapat enam kaidah eksplanasi sejarah, yaitu regularity, Generalisasi, Inferensi Statistik, Metode Statistik, Pembagian Waktu dalam Sejarah, Narrative History, dan multi-interpretable. Keenam kaidah tersebut akan dipaparkan lebih lanjut.
Regularity (keajekan, keteraturan, konsistensi).
Regularity secara umum dapat diartikan sebagai cara menjelaskan hubungan sebab akibat atau kausal antar persitiwa sejarah. Maksudnya adalah terdapat hubungan antar peristiwa sejarah. Misalnya jika peristiwa C terjadi, maka peristiwa E yang berhubungan dengan peristiwa C juga akan terjadi.
Generalisasi
Mc. Cullagh berpendapat bahwa generalisasi merupakan persamaan karakteristik tertentu. Suatu bagian yang menjadi ciri sebuah kelompok juga menjadi ciri dari kelompok lainnya. Generalisasi sejarah yaitu proses membandingkan unit-unit sejarah.
Inferensi Statistik, Metode Statistik
Urgensi inferensi (kesimpulan) dan metode statistik untuk penjelasan sejarah merupakan hal yang sangat berguna untuk memverifikasi generalisasi (pernyataan-pernyataan umum).
Aydelotte (sejarawan Amerika) juga berpendapat bahwa melalui kuantifikasi, maka berakhirlah sejarah yang impresionistik. Pernyataan-pernyataan yang mengandung generalisasi-generalisasi faktual, seperti “signifikansi”, “meningkat”, “menyebar”, sebenarnya merupakan pernyataan kuantitatif yang dapat diukur secara akurat.
Pembagian waktu dalam sejarah
Terdapat dua hal yang penting dalam aspek pembagian waktu dalam sejarah. Pertama ialah waktu sejarah yang hampir tidak berubah, yaitu waktu geografis (sejarah jangka panjang, longue duree). Hal ini berkaitan dengan hubungan manusia dengan lingkungan alam, sejarah bergerak berulang-ulang terus-menerus memperbarui diri tanpa henti.
Kedua di atas permukaan sejarah yang hampir-hampir tidak berubah, ada waktu sosial (siklus jangka pendek, conjoncture, conjuncture). Sejarah bergerak dalam ritme yang lembut, kelompok-kelompok muncul, dinasti-dinasti dibangun, kerajaan-kerajaan berkembang.
Ketiga sejarah bergerak cepat dan silih berganti. Ada perang dan damai ada menang dan kalah. Hal-hal itu disebut dengan sejarah peristiwa-peristiwa.
Narrative History
Sejarah naratif merupakan usaha untuk menulis sejarah secara deskriptif, tetapi bukan sekedar menjejerkan fakta. Setidaknya terdapat tiga syarat cara menulis sejarah naratif, yaitu colligation, plot, dan struktur sejarah.
Pertama, colligation. Teori ini dikemukakan oleh W.H.Walsh. Ia berpendapat bahwa menulis sejarah merupakan usaha mencari inner connection (hubungan dalam) antar peristiwa sejarah.
Kedua adalah plot. Plot adalah cara mengorganisasikan fakta-fakta menjadi satu keutuhan. Seorang sejarawan tidak mungkin melakukan penulisan sejarah secara universal, melainkan harus memecahnya menjadi bagian-bagian yang lebih spesifik, seperti sejarah politik, sejarah agama, dan lain-lain.
Ketiga adalah struktur sejarah. Michael Stanford mengutarakan bahwa perlunya struktur sejarah sebagai rekonstruksi yang akurat.
Multi-interpretable
Multi-interpretable atau multi interpretasi berkaitan dengan proses penginterpretasian sebab-sebab terjadinya suatu peristiwa. Pada fase ini, data sejarah yang ditemukan akan ditafsirkan dengan cara yang berbeda.
Fase ini bertujuan untuk membuat data sejarah mampu memberikan informasi bagi peneliti sejarah. Hal ini berkaitan pada hakikat bahwa data sejarah merupakan hal yang bersifat diam dan tidak memiliki kemampuan sendiri untuk memberikan informasi.
Oleh sebab itu, diperlukan interpretasi dari sejarawan untuk membuat data sejarah “berbicara” dan mampu memberikan informasi terkait sebab terjadinya suatu peristiwa sejarah.
Proses penafsiran dalam sejarah sangat berkaitan erat dengan subyektifitas sejarawan itu sendiri. Menurut Mohammad Ali terdapat empat faktor pokok yang ikut mewarnai subjektifitas penafsiran, yaitu:
- Kebangsaan, seperti negeri, wilayah atau daerah, alam dan lingkungan pegunungan, tanah datar, pedalaman, dan pesisir.
- Golongan: penjajah, terjajah, negara produsen, negara konsumen, suku, partai, dan agama.
- Semangat zaman sejarawan
- Kepribadian sejarawan seperti asal usul pendidikan, keluarga, maupun lingkungan.
Hakikat suatu keterangan historis selalu terdapat dalam kaitan antara dua deskripsi mengenai keadaan-keadaan masa silam. Sebuah keterangan bukanlah merupakan sebuah deskripsi mengenai sesuatu dalam kenyataan historis.
Hal ini kemudian mengharuskan seorang sejarawan untuk membedakan antara deskripsi dengan keterangan. Bagaimana seharusnya bentuk keterangan dalam historis agar terlihat logis dan memenuhi syarat merupakan sebuah pertanyaan mendasar di kalangan filsuf sejarah.
Oleh karena itu, rasional, formal, dan logis merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam eksplanasi sejarah.
Ragam Eksplanasi Sejarah
Eksplanasi sejarah memiliki beberapa ragam, yaitu sebagai berikut:
Kausalitas
Pengkajian dalam sejarah tidak terlepas dari proses perubahan di dalamnya. Sejarawan akan sering bertanya tentang sebab-sebab dan keterangan dari suatu peristiwa yang terjadi dan akan menguak proses yang terjadi di dalamnya. Oleh karena itu, dalam pengkajian sejarah, istilah perubahan, sebab, dan keterangan memiliki keterkaitan satu dengan lainnya.
Hukum kausalitas membuktikan bahwa setiap fenomena merupakan akibat yang ditumbulkan dari sebab sebelumnya. Pada perkembangannya, hukum ini dinilai tertinggal, karena memiliki tendensi deterministik.
Sebagai alternatif dari gejala tersebut, maka muncullah pendekatan fungsional. Proses pencarian sebab untuk peristiwa yang sama merupakan langkah awal dari model ini.
Langkah ini akan memunculkan banyak sebab atas terjadinya satu pertistiwa yang sama yang kemudian disebut dengan kemajemukan sebab (multiplicity causes). Sebab-sebab yang diperoleh berkedudukan yang sama, untuk kemudian dilakukan analisis terhadap sebab-sebab tersebut yang akan mengarah kepada pencarian sebab utama (ultimate cause) atau prima cause.
Keberatan-keberatan yang digaungkan atas metode ini adalah terkait jangkauan keterangan kasusal hanya terbatas dan dianggap cenderung memisahkan sebab dan akibat.
Covering Law Model (CLM)
Covering law model (kemudian disebut dengan CLM) dirumuskan untuk pertama kali oleh David Hume yang merupakan seorang filsuf dari Skotlandia (1712-1776 M).
Hume dikenal sebagai ilmuwan yang berkecimpung di bidang ilmu alam. Pada perkembangannya banyak yang tertarik untuk mencoba menerapkan metode yang ada di ilmu alam ke dalam ilmu sosial yang berkaitan dengan manusia.
Menurutnya manusia itu memiliki kesamaan dengan alam, yang diatur oleh hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu, Hume berpendapat bahwa perbuatan manusia tunduk kepada prinsip-prinsip tertentu yang konstan dan universal.
Aliran ini beranggapan bahwa pertanyaan sebab atas terjadinya suatu peristiwa menjadi penting untuk dikaji. Adapun sebab-akibat dari suatu pertistiwa diyakini memiliki keterkaitan.
Penganut paham covering law model ini berpendapat bahwa setiap penjelasan dalam sejarah diharuskan akan mampu diterangkan oleh hukum umum (general law) atau hipotesis universal atau dari bentuk hipotesis universal.
Teori ini juga memandang tidak ada perbedaan mendasar antara ilmu alam dengan sejarah. Penjelasan dari suatu peristiwa sejarah diperoleh melalui penempatan peristiwa sejarah di bawah hipotesis, teori, atau hukum umum. Adapun penjelasannya akan diperoleh melalui proses dedukasi antara pernyataan hukum-hukum umum dengan kondisi-kondisi awal.
Hermeneutika
Friedrich Schleiermacher (1768-1834) yang merupakan seorang teologis dari Jerman dapat dianggap sebagai pencetus awal paham Hermeneutika ini.
Sebagai teolog, ia tertarik terhadap persoalan penafsiran teks-teks tertentu dalam al-kitab. Ia beranggapan bahwa menghayati diri dalam jalan pikiran orang lain tidak hanya berguna untuk menafsirkan teks-teks atau maksud seorang lawan bicara.
Seorang sejarawan penting untuk masuk ke dalam jiwa zaman pelaku sejarah. Adapun pengalaman pribadi sejarawan dianggap sebagai penerjemah. Oleh karena itu, madzhab ini dinamakan dengan hermeneutika yang berasal dari bahasa Yunani hermeneus yang bermakna penerjemah.
Hermeneutika menganggap penting pribadi peneliti, karena ditimba dari pengalaman hidup peneliti sejarah sendiri.
Wilhelm Dilthey (1833-1911) merupakan tokoh yang berjasa dalam perkembangan hermeneutika di Jerman. Ia berpendapat bahwa setiap pengalaman baru menurut isinya turut ditentukan oleh semua pengalaman yang sampai pada saat itu pernah kita miliki, sebaliknya pengalaman baru itu memberi arti dan penafsiran baru kepada pengalaman-pengalaman lama.
Hal ini menunjukkan adanya hubungan timbal balik yang terjalin antara pengalaman lama dengan pengalaman baru. Dilthey berpendapat bahwa psikologi merupakan ilmu yang berperan dalam mengkaji pengalaman seseorang.
Gadmer sedikit berevolusi dengan berpendapat bahwa praduga seorang peneliti sejarah serta tradisi-tradisi yang diterimanya dengan sadar atau tidak sadar, bukan merupakan penghalang, melainkan syarat mutlak proses mengerti sejarah akan mencapai keberhasilan.
Kedudukan hermeneutika dalam historiografi adalah sebagai alat kritik terhadap sumber-sumber sejarah. Hermeneutika juga mencoba untuk memahami makna sebenarnya dari sebuah dokumen, sajak, teks hukum, tindakan manusia, bahasa, budaya asing, atau diri sendiri.
Pengertian hermeneutika berkaitan erat dengan proses penafsiran teks-teks yang berasal dari masa lampau serta penjelasan dari para pelaku peristiwa sejarah. Penganut faham ini memberikan penjelasan bahwa perbuatan manusia hanya dapat dijelaskan melalui kajian ideografik.
Menurut teori ini, dalam melakukan rekonstruksi terhadap suatu peristiwa sejarah, seorang sejarawan harus menghayati dan menempatkan dirinya dalam alam pemikiran pelaku sejarah.
Sejarawan juga dituntut untuk memasuki diri pelaku sejarah dan berupaya memahami terkait perasaan, pemikiran, maupun perbuatan dari pelaku sejarah. Kondisi tersebut tentunya harus tetap didasarkan pada data yang diperoleh.
Terdapat beberapa kritik yang dilontarkan kepada Hermeneutika, di antaranya adalah pandangan yang berpendapat bahwa hermeneutika berawal dari pemikiran Descartes.
Hal ini jelas ditentang oleh penganut madzhab ini. Mereka berpendapat sebaliknya bahwa pikiran dan perbuatan manusia selalu beriringan. Selanjutnya adalah pendapat yang mengatakan bahwa jangkauan dalam hermeneutika sangat terbatas.
Analogi
Analogi dianggap penting dalam proses eksplanasi sejarah yang dinilai akan memicu proses aktivitas intelektual dari seorang sejarawan.
Meskipun demikian, penggunaan analogi dalam eksplanasi sejarah akan dapat memicu terjadinya kekeliruan karena ia hanya berkedudukan sebagai alat bantu dalam proses pembuktian sebuah peristiwa sejarah. Oleh karena itu, sejarawan dituntut untuk senantiasa selektif dalam menggunakan analogi.
Menurut Machiavellian, Moral menjadi hal yang tidak penting dalam mendapatkan atau mempertahankan kekuasaannya. Jika dengan cara halus tidak dapat memberikan kekuasaan kepadanya maka cara keji bisa dilegalkan.
Tujuan utamanya adalah memperoleh kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan. Demikianlah para sejarawan yang menemukan dalam penelitiannya para pemimpin (kepala negara, kaisar, presiden, raja, maupun sultan) yang menggunakan cara-cara semacam itu di mana saja dan kapan saja, menganalogikannya (memberi label) “Machiavellian”.
Model motivasi
Eksplanasi model ini terbagi menjadi 2 bagian, yaitu:
1. Bentuk eksplanasi kausal yang menekankan pada akibat sebagai sebuah perbuatan, sedangkan sebab merupakan pikiran yang berperan dalam memunculkan suatu perbuatan.
Kasualitas dalam sejarah merupakan suatu rangkaian peristiwa yang mendahului dan peristiwa yang menyusul. Rekonstruksi suatu peristiwa sejarah tidak dapat mengabaikan sebab akibat yang beriringan dengan peristiwa itu sendiri.
Contohnya adalah terjadinya peristiwa Pemberontakan Petani Banten yang melibatkan para petani di Banten pada masa itu. Ternyata ada sebab yang mendukung terjadinya peristiwa tersebut, di anataranya adalah kolonialisme yang semakin bertumbuh di kalangan masyarakat Banten pada masa itu.
Timbulnya semangat keagamaan yang diaplikasikan dalam konsep jihad di kalangan masyarakat Banten pada masa itu. Serta berkembangnya ajaran tarekat di kalangan masyarakat Banten pada masa itu.
Hal-hal tersebut merupakan sebab penting yang mengantarkan pecahnya pemberontakan petani di Banten pada tahun 1888 M. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa meletusnya suatu peristiwa sejarah tidak serta merta timbul dengan sendirinya melainkan pasti ada sebab yang mengikutinya dan sebab-sebab yang ada menjadi sangat penting keberadaannya untuk ditilik dalam merekonstruksi sebauh peristiwa sejarah.
2. Bentuk tingkah laku yang berpola. Model ini menggunakan pendekatan psikohistori yang bersumber pada terori psikoanalisis dari Sigmund Freud.
Keterbatasan dari metode psikoanalisis itu sendiri menjadi kelemahan bagi teori bentuk tingkah laku yang berpola. Penerapan dari metode ini adalah dengan cara sejarawan masuk ke dalam sisi psikologis pelaku sejarah, misalnya kepuasan dan semangat.
Hal ini biasanya diterapkan dalam penulisan sejarah biografi dari seorang tokoh. Seorang sejarawan dalam menulis sejarah biografi maka harus masuk ke dalam diri tokoh tersebut dengan menggunakan pendekatan psikoanalisis untuk merekonstruksi seorang tokoh dengan lebih mendalam.
Bibliografi
Abdurrahman, Dudung. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2007
Alfian, Ibrahim, Muhd. Yusof dan Yahya Haji, Mahyudin. Sejarawan dan pensejarahan: Ketokohan dan Krya. Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1988.
Ankersmit, F.R. Refleksi Tentang Sejarah Pendapat-Pendapat Modern Tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia, 1987.
Daliman, A. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ombak, 2012
Gazalba, Sidi. Pengantar Sejaah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1981
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press, 1976
Hamid, Rahman dan Muhammad Saleh Madjid. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Ombak, 2011
Hegel, G.W.F. Filsafat Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Heryati. Pengantar Ilmu Sejarah. Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Palembang
Kartodirdjo, Sartono. Ungkapan-Ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1990
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogja, 2003
_______. Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995
_______. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008.
Madjid, M. Dien dan Johan Wahyudi. Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar. Jakarta: Prenada Media Grup, 2014
Rochmat, Saefur. Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Grha Ilmu, 2009
Sjamsuddin, Helius. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak, 2007
Susanto, Dwi. Pengantar Ilmu Sejarah, Buku Perkuliahan Program S-1 Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya.
Zulaicha, Lilik. Metologi Sejarah. Buku Perkuliahan Program S-1 Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya.