Jilbab awalnya hanya dikenakan oleh segelintir perempuan muslim Indonesia yang taat. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, jilbab menjadi semakin populer dan menjadi bagian penting umat Islam di Indonesia.
Story Guide
Masa Kolonial: Pertemuan Budaya dan Agama
Melacak jejak jilbab pada periode kolonial bukanlah perkara mudah. Menurut G. F. Pijper, istilah ‘mukena’ telah dikenal oleh masyarakat sejak akhir abad ke-19. Akan tetapi, tidak banyak catatan ataupun arsip foto yang menunjukkan pemakaian jilbab dalam kehidupan sehari-hari.
Kondisi ini bisa disebabkan berbagai faktor, tetapi faktor pengaruh Barat tidak bisa dikesampingkan. Pengaruh Eropa yang telah muncul sejak abad ke-16, tentu saja memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan jilbab dan praktik berbusana perempuan Indonesia. Selama periode ini, Indonesia dikuasai oleh bangsa Eropa, seperti Belanda dan Inggris, yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk budaya dan agama.
Sebagai bagian dari upaya modernisasi dan westernisasi, pemerintah kolonial berupaya membatasi budaya dan ritual keagamaan penduduk Hindia-Belanda, termasuk praktik berjilbab. Hal ini membuat banyak perempuan Muslim enggan memakai jilbab.
Selain pengaruh Barat, kondisi ini juga dipengaruhi oleh pengaruh sufisme pada periode awal penyebaran Islam. Keberhasilan islamisasi tidak dapat dilepaskan dari sufisme yang dikenal akomodatif terhadap kepercayaan dan praktik-praktik lokal.
Sebagai hasilnya, muslim Indonesia menjadi lebih sinkretis dalam mempraktikkan Islam dan tidak terlalu menekankan pada simbol-simbol keagamaan seperti jilbab. Pemahamani ini rupanya menimbulkan anggapan bahwa penutup kepala hanya diwajibkan saat sholat.
Memasuki abad ke-20, seruan untuk memakai jilbab bergema di wilayah Hindia-Belanda. Di Sumatra, Kaum muda yang dipelopori Haji Abdul Karim Amrullah atau biasa dikenal dengan nama Haji Rasul (Ayah Buya Hamka), menghimbau agar penduduk Minangkabau tidak mengabaikan syariat Islam, termasuk kewajiban memakai jilbab bagi perempuan. Dalam salah satu karyanya, ia mengkritik keras kebaya pendek Minangkabau yang dianggapnya memperlihatkan aurat.
Sementara itu, di Jawa, muncul Muhammadiyah yang memperjuangkan hak berjilbab bagi perempuan bumiputra. Organisasi ini memandang jilbab sebagai bagian dari identitas keagamaan dan budaya yang penting bagi perempuan muslim. Muhammadiyah didukung oleh gerakan Aisyah yang juga memainkan peran penting dalam memperjuangkan hak perempuan muslim untuk mengenakan jilbab di Hindia-Belanda.
Aisyah berupaya mengadvokasi hak perempuan muslim untuk mengenakan jilbab sebagai bagian dari hak asasi mereka. Organisasi ini menjadi suara bagi perempuan muslim Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak mereka untuk mengenakan jilbab, termasuk di sekolah-sekolah dan institusi publik.
Namun, organisasi reformis yang paling aktif dan terbuka dalam mendakwahkan kewajiban memakai jilbab adalah Persis. Pemimpin Persis yang paling berpengaruh, Ahmad Hassan, menulis dakwah pertamanya tentang kewajiban berjilbab bagi perempuan Muslim pada tahun 1932.
Anggota perempuan Persis mengenakan gaya jilbab yang berbeda. Mereka menutup seluruh kepala dan hanya memperlihatkan wajah, jilbab tersebut tidak memperlihatkan rambut, leher, telinga dan bagian dada yang masih tersingkap oleh jilbab lainnya.
Pada tahun 1934, seorang pengkhotbah Persis mendakwahkan bahwa wanita yang tidak menutup kepalanya akan masuk neraka. Pidato ini kemudian menyebar dan menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat.
Metode dakwah Persis ini pada akhirnya menyeret organisasi pada perdebatan panas melawan majalah Aliran Baroe. Menurut Ahmad Hassan, majalah tersebut banyak mendapatkan pengaruh feminisme, sehingga mempertanyakan dasar dari penggunaan jilbab.
Selama periode kolonial, jilbab mengalami perubahan yang signifikan dalam bentuk dan gaya. Gaya jilbab yang digunakan perempuan pada masa ini dipengaruhi oleh pengaruh budaya Eropa dan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan aturan dan norma yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial. Jilbab pada akhirnya dipadukan dengan kebaya untuk menunjukkan identitas dan kesetiaan kepada agama Islam, sekaligus mengikuti tren mode yang ada.
Selama masa kolonial, perempuan muslim di Indonesia juga mulai mengeksplorasi berbagai cara untuk mengenakan jilbab yang berbeda, seperti menggabungkan unsur-unsur dari budaya lokal dan agama yang berbeda. Beberapa perempuan mulai mengenakan jilbab dengan cara yang lebih longgar dan menutupi sebagian besar tubuh mereka, sementara yang lain memilih gaya jilbab yang lebih ketat dan mengekspos bagian wajah mereka.
Pada saat yang sama, jilbab juga menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan dan upaya untuk mempertahankan identitas budaya dan agama di tengah tekanan dari bangsa penjajah. Perempuan muslim Indonesia menggunakan jilbab sebagai cara untuk mengekspresikan solidaritas mereka dengan sesama muslim dan menunjukkan ketahanan mereka terhadap pengaruh asing.
Periode Pasca-Kolonial: Kemerdekaan dan Perubahan
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, jilbab dan praktik berbusana perempuan Indonesia mengalami perubahan yang lebih signifikan. Seiring dengan perubahan sosial dan politik yang terjadi pasca-kemerdekaan, jilbab mulai diadaptasi untuk mencerminkan nilai-nilai kebangsaan dan modernisasi yang sedang diusung oleh negara baru.
Periode pasca-kolonial di Indonesia ditandai dengan upaya untuk menciptakan identitas nasional yang kuat dan menggabungkan berbagai budaya dan agama yang ada di negeri ini. Dalam konteks ini, jilbab menjadi simbol persatuan dan identitas bagi perempuan muslim Indonesia, yang mencerminkan keberagaman dan toleransi yang menjadi fondasi negara ini.
Meskipun telah merdeka, bukan berarti para perempuan muslim Indonesia memiliki kebebasan mutlak dalam berpakaian. Sebaliknya, jilbab sempat dilarang digunakan pada masa Orde Baru. Melalui Surat Keputusan No.52 tahun 1982, jilbab dilarang digunakan sebagai seragam sekolah. Keputusan yang dikeluarkan oleh Menter Pendidikan, Daud Yusuf, memicu kontroversi dan diskriminasi.
Para siswi yang tetap bersikeras memakai jilbab ke sekolah mendapatkan teguran keras dari sekolah. Bahkan para guru sering menolak mengajar bila mendapati masih ada siswi yang berhijab di kelasnya.
Masalah ini terus berlanjut pada periode menteri pendidikan selanjutnya yang dijabat Nugroho Susanto. Menteri Pendidikan baru itu malah mengancam akan memindah siswa yang masih nekat berjilbab ke sekolah agama.
Seiring bergulirnya kontroversi tersebut, hubungan Soeharto dengan umat Islam menjadi semakin renggang. Dukungan terhadapnya pun mulai melemah. Kondisi ini akhirnya memaksanya untuk mengambil kebijakan lebih akomodatif terhadap umat islam. Memasuki dasawarsa 1990-an, Soeharto mulai melunakkan sikapnya. Pada 1991, pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan baru yang mengizinkan pemakaian jilbab sebagai seragam alternatif.
Setelah reformasi, evolusi jilbab yang sempat terhambat kembali berlanjut. Pada periode ini jilbab mengalami perubahan dalam gaya dan bentuk, sejalan dengan perkembangan mode dan tren fashion yang ada.
Perempuan muslim Indonesia mulai mengenakan jilbab dengan cara yang lebih modis dan kontemporer, mencerminkan keinginan mereka untuk menjadi bagian dari dunia yang modern dan dinamis. Jilbab yang digunakan pada masa ini menampilkan berbagai corak, warna, dan bahan, yang mencerminkan kekayaan budaya dan kreativitas perempuan Indonesia.
Pada saat yang sama, perempuan muslim Indonesia juga mulai mengeksplorasi berbagai cara untuk mengenakan jilbab yang berbeda, baik dalam konteks formal maupun informal. Beberapa perempuan memilih gaya jilbab yang lebih longgar dan menutupi, seperti gaya jilbab syar’i, sementara yang lain memilih gaya jilbab yang lebih modis dan terbuka, seperti jilbab pashmina atau segi empat.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa jilbab bukan hanya simbol agama, tetapi juga sarana untuk mengekspresikan identitas dan kepribadian perempuan muslim Indonesia dalam berbagai situasi dan lingkungan.
Masa Kini: Era Globalisasi dan Keberagaman Gaya
Di era globalisasi, jilbab perempuan Indonesia semakin beragam dan menampilkan berbagai gaya, yang mencerminkan pengaruh dari berbagai budaya dan tren fashion internasional. Saat ini, jilbab digunakan oleh perempuan muslim Indonesia tidak hanya sebagai simbol keagamaan, tetapi juga sebagai bagian dari ekspresi diri mereka yang unik dan individual.
Namun, perempuan muslim Indonesia tidak hanya terpengaruh oleh tren fashion internasional, tetapi juga berperan aktif dalam menghadirkan tren dan gaya baru dalam dunia fashion muslim. Beberapa desainer dan influencer fashion muslim Indonesia telah mencapai ketenaran internasional, dan karya-karya mereka diakui di berbagai panggung mode dunia.
Selain itu, media sosial juga memainkan peran penting dalam menyebarkan tren dan gaya jilbab perempuan Indonesia. Melalui platform seperti Instagram, YouTube, dan blog, perempuan muslim Indonesia dapat berbagi inspirasi dan tips berbusana, serta saling mendukung dalam menciptakan gaya jilbab yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.
Era globalisasi juga menantang perempuan muslim Indonesia untuk menjaga nilai-nilai keislaman dalam berbusana, sekaligus menghadapi tekanan untuk tampil modis dan kontemporer. Perdebatan tentang bagaimana seharusnya jilbab dikenakan dan apa saja batasan dalam berbusana muslim terus berlangsung, baik di kalangan perempuan muslim maupun masyarakat Indonesia secara umum.
Meskipun terdapat perdebatan dan tantangan, perempuan muslim Indonesia terus berinovasi dan menciptakan gaya jilbab yang mencerminkan identitas mereka sebagai muslim, warga negara Indonesia, dan individu yang unik. Dalam konteks ini, jilbab bukan hanya sekadar penutup kepala, tetapi juga simbol kekuatan, kreativitas, dan keberagaman yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, sejarah evolusi jilbab perempuan Indonesia menunjukkan betapa kompleks dan dinamisnya perubahan yang terjadi dalam praktik berbusana muslim. Di tengah era globalisasi yang penuh tantangan, perempuan muslim Indonesia terus mencari cara untuk menggabungkan nilai-nilai keagamaan, identitas nasional, dan ekspresi diri dalam gaya berbusana mereka. Melalui inovasi dan kolaborasi, jilbab perempuan Indonesia akan terus berkembang dan mencerminkan kekayaan budaya dan agama yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah dan kehidupan bangsa ini.
Kesimpulan
Sejarah jilbab perempuan Indonesia mencerminkan perubahan sosial, politik, dan budaya yang terjadi sepanjang masa. Mulai dari masa kolonial, pasca-kolonial, hingga era globalisasi, jilbab telah mengalami berbagai transformasi dalam bentuk, gaya, dan makna. Kini, jilbab menjadi simbol keberagaman dan ekspresi diri bagi perempuan muslim Indonesia, yang terus mengadaptasi diri dengan perubahan zaman dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat global.
Daftar Pustaka
Benda, H.J. The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation, 1942-1945. The Hague: W. van Hoeve, 1965.
Brenner, S.A. Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and the Veil. American Ethnologist, 23(4), 673-697, 1996.
Dhofier, Z. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1999.
Fealy, G., & White, S. Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2008.
Jones, C. Materializing Piety: Gendered Anxieties about Faithful Consumption in Contemporary Urban Indonesia. American Ethnologist, 37(4), 617-637, 2010.
Navest, A. Islamic Fashion and Anti-fashion: New Perspectives from Europe and America. Bloomsbury Publishing, 2016.
Rinaldo, R. Mobilizing Piety: Islam and Feminism in Indonesia. Oxford University Press, 2013.
Sandikci, Ö., & Ger, G. Veiling in Style: How Does a Stigmatized Practice Become Fashionable? Journal of Consumer Research, 37(1), 15-36, 2010.
Tarlo, E. Visibly Muslim: Fashion, Politics, Faith. Berg Publishers, 2010. Tantowi, A. “The Quest Of Indonesian Muslim Identity: Debates on Veiling from the 1920s to 1940s.” Journal of Indonesian Islam [Online], 4.1, 2010.