Kesultanan Ternate

Masuknya pengaruh Islam ke Nusantara membawa perubahan signifikan terhadap budaya di kerajaan-kerajaan Nusantara. Sebelum Islam hadir, kerajaan-kerajaan di Nusantara menganut budaya Hindu-Buddha dan kepercayaan terhadap roh leluhur. Salah satu kerajaan yang mengalami pengaruh besar dari ajaran Islam adalah Kesultanan Ternate. Terletak di pulau Maluku yang kaya akan rempah-rempah, Ternate menjadi pusat penting dalam proses islamisasi di wilayah ini.

Seringnya kontak dengan para pedagang Muslim membawa Islam masuk ke daerah Maluku Utara, yang memiliki empat kerajaan besar: Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Namun, pada pembahasan kali ini, kita akan memfokuskan perhatian pada Kesultanan Ternate, yang menjadi kerajaan pertama di Maluku Utara yang bertransformasi menjadi kerajaan Islam.

Masuknya Islam di Kesultanan Ternate

kesultanan Ternate
Bendera Kesultanan Ternate. Wikimedia

Ternate pada masa pra-Islam sudah memiliki pemerintahan yang terstruktur. Raja pertama yang memerintah adalah Cico (1257-1277). Selama delapan generasi, keturunan raja non-Islam ini terus memimpin di Ternate.

Meskipun tidak diketahui secara pasti kapan Islam pertama kali masuk ke Maluku, para pedagang Muslim dari Arab, Persia, Jawa, dan Melayu berperan besar dalam proses ini. Kedatangan Islam ke Indonesia Timur, khususnya Maluku, tidak dapat dipisahkan dari pusat lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional seperti Malaka, Jawa, dan Maluku.

Sejak dulu, Maluku dikenal sebagai pusat rempah-rempah Nusantara, terutama komoditas cengkihnya. Hal ini menarik pedagang dari Barat maupun Timur untuk datang ke wilayah tersebut. Para pedagang Muslim yang tiba di Maluku tidak hanya berdagang tetapi juga bertujuan untuk menyebarkan Islam.

Pasar Ternate 1

Berbeda dengan tantangan yang dihadapi di Malaka atau Jawa, di Maluku para pedagang Muslim tidak perlu menghadapi kerajaan yang sedang mengalami perpecahan akibat perebutan kekuasaan. Mereka fokus menyebarkan Islam melalui perdagangan, dakwah, dan perkawinan.

Baca juga: Islamisasi di Maluku Utara

Ketika Tome Pires dan Gallevo datang ke daerah tersebut, mereka menemukan masyarakat yang masih banyak menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, serta hidup dalam kelompok masyarakat yang dipimpin oleh ketua adat masing-masing.

Para Muslim di daerah itu mulai bergerak melakukan islamisasi. Salah satu hasil dari proses islamisasi ini adalah masuknya Raja Ternate ke dalam Islam. Raja tersebut adalah Kolano Gapi Baguna II (1465-1486), yang setelah memeluk Islam mengganti namanya menjadi Kolano Marhum.

Perkembangan Islam di Kesultanan Ternate

Kolano Marhum merupakan raja pertama Ternate yang memeluk Islam. Ia masuk Islam setelah berkenalan dengan Datu Maula Hussein, seorang murid Sunan Giri.

Maula Hussein, yang berasal dari Minangkabau, tiba di Ternate pada tahun 1466. Tulisan-tulisannya mengenai al-Qur’an menarik perhatian penduduk asli.

Atas permintaan mereka, Maula Hussein mengajarkan huruf Arab dan ilmu tauhid, berhasil mengislamkan banyak orang melalui metode ini.

Putra Marhum, Zainal Abidin (1486-1500), menjadi raja pertama yang memakai gelar sultan yang kental dengan tradisi Islam. Pada masanya, kedatangan pedagang-pedagang Muslim semakin meningkat.

Melihat fenomena ini, Zainal Abidin memutuskan untuk memperdalam pengetahuan Islamnya dengan pergi ke Gresik pada tahun 1495 untuk berguru kepada Sunan Giri.

Di madrasah Giri, ia dikenal sebagai Raja Ballawa, yang berarti Raja Cengkeh, karena membawa cengkeh dalam jumlah banyak sebagai hadiah. Julukan ini mencerminkan Ternate sebagai produsen cengkeh terkenal.

Sekembalinya dari Giri, Zainal Abidin membawa para pendakwah dari Jawa untuk membantu penyebaran Islam. Salah satu pendakwah yang menonjol adalah Tuhubahahul.

Dalam waktu singkat, Zainal Abidin berhasil mengubah struktur kerajaan Ternate menjadi sebuah kerajaan Islam. Selain giat mengorganisasikan dakwah di kalangan penduduk, ia juga bersikap ramah terhadap mubaligh-mubaligh yang datang dari Arab, Jawa, dan Melayu.

Hambatan dalam Islamisasi

Kemajuan islamisasi di Ternate sempat tersendat akibat oposisi kuat dari penduduk yang masih terikat pada kepercayaan nenek moyang mereka. Penaklukan Portugis juga memperlambat gerakan dakwah Islam. Portugis menangkap dan memecat para qadi yang mengajarkan al-Qur’an kepada penduduk setempat.

Kedatangan Portugis ke Ternate membawa misi lain, yaitu melakukan kristenisasi di daerah tersebut. Meskipun Islam di Kesultanan Ternate masih berusia muda, usaha yang dilakukan oleh Portugis tidak berhasil sepenuhnya.

Hanya sedikit penduduk Ternate yang bersedia dibaptis, meskipun salah satu di antaranya adalah anggota keluarga kerajaan, yaitu Tabariji, seorang sultan Ternate yang memerintah antara tahun 1537-1538.

Tabariji awalnya memeluk agama Islam, tetapi atas tuduhan Portugis, ia dikirim ke Goa untuk diadili. Setelah sepuluh tahun dan tidak terbukti bersalah, ia dikembalikan ke Kesultanan Ternate, namun takhtanya telah diduduki oleh Sultan Khairun.

Rakyat Ternate tidak menghendaki Tabariji sebagai pemimpin karena ia telah dibaptis dan diberi gelar Dom Manuel. Bahkan seorang misionaris terkenal, Francis Xavier, yang berada di Maluku dari tahun 1546-1547, tidak dapat melepaskan pengaruh Islam di sana. Dakwah Islam mencapai puncaknya ketika didorong oleh unsur politik untuk mengusir penjajah dari tanah Maluku.

kesultanan Ternate
masjid Sultan Ternate

Sebagai kerajaan Islam, Kesultanan Ternate memiliki masjid sebagai tempat ibadah yang juga dimanfaatkan sebagai tempat musyawarah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi kerajaan.

Para ulama tidak ketinggalan dalam menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk membina rakyat, memberikan pengetahuan serta wejangan untuk menangkal kristenisasi dan pengaruh bangsa Barat. Dengan peran aktif para ulama, masyarakat Ternate terus memperkuat keimanannya dan mempertahankan identitas Islam mereka.

Masuknya Portugis ke Kesultanan Ternate

Dalam catatan Sejarah Raja-Raja Ternate, beberapa sultan memegang peran penting dalam proses islamisasi dan menghadapi Portugis, yaitu Sultan Zainal Abidin (sultan pertama dan perintis islamisasi), Sultan Sirullah, Sultan Hairun, dan Sultan Baabullah.

Pada tahun 1512, Portugis yang berada di Malaka mengirimkan utusan yang terdiri dari pedagang-pedagang Melayu ke Ternate. Mereka menyampaikan bahwa kedatangan Portugis bukan untuk menaklukkan Ternate, tetapi untuk menjalin persahabatan dan berdagang secara damai. Ini adalah upaya Portugis agar kedatangan mereka diterima oleh Sultan Bayanullah.

Pada tahun 1513, Portugis kembali datang ke Maluku dan disambut hangat oleh Sultan Ternate dan Sultan Tidore. Dari kedua pertemuan ini, Portugis akhirnya mengadakan ekspedisi tetap antara Malaka, Jawa, Maluku, dan Timor.

Kedatangan Portugis menyebabkan harga rempah-rempah melonjak pesat. Akibatnya, sultan-sultan di Maluku berlomba menjual rempah-rempah kepada Portugis dan berusaha menjalin hubungan dekat dengan mereka.

Persaingan ini membuat Portugis mendapat keuntungan besar, karena Ternate dan Tidore menawarkan mereka untuk mendirikan benteng di daerahnya masing-masing.

Portugis akhirnya memilih Ternate dan pada tahun 1521 mereka mendirikan benteng Santo Paolo di sana. Ternate bekerja sama dengan Portugis untuk mengikat pembeli dan mengalahkan Tidore.

Kesultanan Tidore, yang gagal menjalin kerja sama dengan Portugis, menerima kedatangan Spanyol. Adanya dua kekuatan Eropa di Ternate dan Tidore menyebabkan konflik antara kedua kesultanan tidak dapat dihindarkan.

Permusuhan antara Portugis dan Tidore terjadi bukan semata-mata karena dukungan terhadap Ternate. Permusuhan dimulai ketika Antonio de Brito, seorang kapten Portugis, mendengar kedatangan jung dari Banda yang hendak membeli cengkeh. Ia mengirim sebuah kapal galai untuk melawan jung tersebut, namun kapal galai itu tenggelam di dekat Tidore. Orang Tidore kemudian memenggal kepala 16-17 orang Portugis. Peristiwa ini menandai dimulainya perang melawan Tidore.

Pada tahun 1529, Dom Jorge de Meneses, bersama sekutu-sekutunya dari Ternate dan Bacan, menyerbu Tidore dan pasukan Spanyol di sana. Kekalahan Spanyol memicu perjanjian baru dengan Portugis yang dikenal sebagai Perjanjian Zaragoza, ditandatangani pada 22 April 1529. Perjanjian ini membagi belahan timur di antara kedua kerajaan dengan batas garis bujur yang melalui 297,5 liga laut atau 17° sebelah timur Kepulauan Maluku.

Dengan munculnya perjanjian ini, Spanyol menarik diri dari Maluku dan menuju Filipina, sementara Portugis menjadi penguasa tunggal di Maluku.

Konfrontasi Kesultanan Ternate dengan Portugis

Konfrontasi antara Kesultanan Ternate dan Portugis dimulai pada tahun 1533, dipicu oleh tindakan kasar dan semena-mena Kapten Portugis Tristoa de Altaida. Tindakan ini menimbulkan pemberontakan besar, di mana raja Ternate, yang sebelumnya sekutu Portugis, berubah menjadi musuh dan meminta bantuan dari penduduk Irian hingga Jawa untuk mengusir kapten Portugis dan pasukannya.

Orang-orang Ternate kemudian membakar benteng Portugis dan sebagian kota Ternate. Ternate juga melakukan konsolidasi kekuatan dengan kerajaan Tidore dan Bacan, sehingga seluruh Maluku bangkit melawan Portugis. Mereka berhasil merampas sebuah brigantine dan membunuh Balthasar Vogado beserta pasukannya, serta merampas senjata api dan senjata lainnya dari Portugis.

Perang ini sangat sengit, bahkan bisa dikatakan sebagai salah satu pertempuran terbesar selama pendudukan Portugis di Maluku. Kekalahan yang dialami oleh Altaida membuatnya harus meminta bantuan kepada Antonio Galvao di Malaka yang sedang sakit.

Ketika Antonio Galvao mendengar berita tersebut, ia segera menyiapkan dua kapal kuat, senjata, dan peledak dalam jumlah banyak. Ia juga melengkapi satu kapal dengan banyak pasukan atas biaya sendiri. Galvao tiba di Maluku pada 27 Oktober 1536 dan mendapati benteng Portugis dalam kondisi mengenaskan. Orang-orang Ternate telah meninggalkan pulau mereka dan menghimpun kekuatan di Tidore, mempersiapkan diri dengan sejumlah besar pasukan dan persenjataan, termasuk senjata api dan meriam.

Galvao mendekati kota Tidore dan menyatakan bahwa ia datang bukan untuk berperang, namun pasukan Maluku tidak mempercayai dan menyerang armada Portugis. Pada hari kedua, Galvao memberanikan diri untuk mendarat di Tidore. Dalam pertempuran yang terjadi, ia berhadapan dengan Sultan Baheyat (Dajalo) dari Ternate. Sultan Baheyat kalah dalam duel pedang dengan Galvao, yang kemudian berhasil memasuki benteng Tidore dan mendapatkan pengakuan atas kemenangannya dari raja-raja Maluku.

Ketika Galvao berkuasa di Maluku antara 1537-1540, daerah tersebut kembali menjadi korban kolonialisme Portugis sehingga rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Hairun melancarkan pemberontakan. Serangan-serangan terhadap benteng Portugis dilancarkan dengan gencar, terutama pada tahun 1565. Portugis merasa terancam dan menyiapkan siasat untuk meredakan perlawanan ini dengan mengundang Sultan Hairun untuk berunding dalam suatu jamuan perdamaian. Namun, pada 27 Februari 1570, Sultan Hairun dibunuh oleh pengawal Gubernur Lopez de Masquito.

Pengkhianatan ini memicu perlawanan yang lebih besar di bawah pimpinan putra Sultan Hairun, Sultan Baabullah. Perlawanan rakyat Ternate membuahkan hasil, mereka berhasil merebut benteng-benteng Portugis. Pada 28 Desember 1577, rakyat Ternate berhasil mengusir Portugis dari negerinya. Portugis pindah ke pulau lain dekat Tahula, namun terus-menerus diganggu oleh para pedagang Jawa dan Melayu, serta oleh orang-orang Ternate.

Pada masa pemerintahan Baabullah, Kerajaan Ternate mengalami kemajuan luar biasa. Pada tahun 1580, Baabullah mengadakan ekspedisi terakhir sehingga hampir seluruh daerah Maluku berada di bawah naungannya, menunjukkan keterampilan politiknya. Kesultanan ini terdiri dari 72 pulau, dari Mindanao di utara hingga Bima di selatan, dengan Irian di timur dan Kepulauan Marthao di barat.

kestultanan Ternate
wilayah kesultanan Ternate

Wilayah ini tetap utuh hingga pertengahan abad ke-17, sebelum seluruh kekuasaan atas Maluku dikuasai oleh Belanda. Meskipun kehilangan kekuasaan, beberapa sultan Ternate tetap berjuang untuk melepaskan Ternate dari tangan pemerintah kolonial, mendukung perjuangan rakyat secara sembunyi-sembunyi.

Penutup

Kesultanan Ternate memiliki sejarah panjang dan beragam yang melibatkan interaksi dengan berbagai kekuatan eksternal, terutama selama masa kolonial. Berdasarkan catatan resmi lingkungan istana Ternate, kesultanan ini telah dipimpin oleh 47 sultan. Sultan terakhir yang memerintah dengan wewenang penuh adalah Sultan Iskandar Muhammad Jabir Syah, yang dinobatkan pada tahun 1930 dan wafat di Jakarta pada tahun 1974 dengan pangkat Residen di Departemen Dalam Negeri.

Setelah wafatnya Sultan Iskandar Muhammad Jabir Syah, Kesultanan Ternate mengalami perubahan signifikan. Kesultanan ini tidak lagi berfungsi sebagai entitas politik yang berdaulat, tetapi tetap menjadi simbol budaya yang penting bagi masyarakat Ternate. Kesultanan Ternate, dengan sejarahnya yang kaya akan konflik dan interaksi dengan bangsa-bangsa luar, terutama Eropa, memainkan peran penting dalam sejarah Nusantara.

Daftar Pustaka

Azra, Asyumardi. (ed). 1989. Perspektif Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor.

Hamka. 1975. Sejarah Umat Islam IV. Jakarta: Bulan Bintang.

Harun, M. Yahya. 1995. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII. Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera.

Pusponegoro, Marwati Junet & Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka

Yusuf, Mudzirin, dkk. (ed). 2006. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *